Di Atas Tanah Hijau Ketidakpastian


Semua permasalahan tidak akan mempengaruhi percepatan waktu, siang dan malam akan selalu silih berganti menjalankan perannya. Begitupun waktu yang terus melaju tidak akan mempengaruhi rasa yang telah tertanam ataupun tenggelam. Lalu apa ada yang mampu mengintervensi rasa? Apakah benar jika rasa itu tercipta atas dasar selera atau karena kebiasaan saja?

Jelas akan banyak faktor, baik tendensi ataupun urgensi yang menciptakan rasa jika dinalar pakai akal manusia. Namun, akal manusia hanya mampu menjangkau dan mengidentifikasi atas apa yang telah terjadi menurut kebiasaan-kebiasaan pada umumnya, yang biasanya telah terdokumentasi rapi di dalam tulisan dan biasa disebut sebagai buku pengetahuan.

Apakah kehadiran buku-buku hanya sekedar untuk mengantisipasi, meminimalisir, ataupun memberikan solusi atas segala masalah? Menuntun jalan keluar atas mereka yang merasa terjebak. Menambah keluasan kacamata pandang atas mereka yang selama ini seakan hanya memakai kacamata kuda. Menambah ketulusan asih atas mereka yang terbutakan oleh cinta wadag. Bahkan tak jarang mengenalkan ke-absurd-an atau keniscayaan daripada bertemu sapa dengan realita kenyataan.

Semua jawaban adalah ketidakpastian sekalipun itu sangat bersifat solutif yang membenarkan bahkan menyelamatkan. Namun itu kan bersifat subjektif, tidak bisa digeneralisasikan, yang berarti belum pasti. Apakah ada kepastian di atas tanah hijau ketidakpastian? Lantas, mengapa kamu mencari kebahagiaan jika itu belum pasti. Mengapa engkau cari cinta? Jika cinta tak melulu butuh pembalasan bahkan secerca harap. Mengapa engkau cari kekuasaan? Jika itu tidak bisa membawamu dalam keabadiaan. Bahkan segala pengetahuan yang tertuliskan dalam milyaran kata-kata adakah yang bisa mengantarkanmu ke kebenaran yang sejati? Karena pada akhirnya kata-kata itu akan hilang bersama dengan ilmu-ilmu yang telah singgah.

Ketika kita berlagak seolah telah mengenal Sang Pencipta, lalu mencoba meyakini bahwa segala harapan telah disandarkan kepadanya, apakah itu akan membuatmu semakin nyaman? Lagi-lagi jawabannya adalah belum pasti! Dan tergantung siapa pelaku yang sikap mulianya telah berikhtiar dengan segala tantangan perjalanan hidupnya. Disaat kita mengangankan hal tersebut dengan bungkus keimanan, namun nyatanya akhlak seringkali berlari membelakangi apa yang mereka imani.

Dan kita menyangka, akhlak yang mewujud telah sejalan dengan iman yang sudah terpegang erat. Enggan mengerami sunyi, lantas melemparkan diri untuk turut eksis ke dalam kerumunan semu. Perhatian yang selalu tercurahkan tanpa keimanan yang dipegangnya, terasa hambar sehingga ia berusaha mengais perhatian-perhatian yang tercecer di antara debu-debu tanah hijau tersebut.

Syariat hanya menjadi kosmetik untuk merias diri dan menarik pahala, tarekat diumbar laksana dirinya-lah yang telah melakukan usaha lebih dibanding lainnya. Hakikat pun tak lebih sebatas pemanis pembicaraan, maka nampaklah cahaya temaram yang disangkanya (terang) adalah buah makrifat. Oleh karena itu, kedaulatan berfikir disini memiliki peran yang sangat penting. Karena pikiran ibarat pintu sebelum segala penglihatan atau pengetahuan diolah di dalam hati. Masakan yang terwujud dalam akhlak tentu akan sangat bergantung pada segala proses tersebut.

Segala kitab gubahan manusia merupakan alat bantu untuk memaknai satu-satunya kitab suci. Berbagai metode pembelajaran akhirnya mencuat hingga membentuk sekte yang berbeda-beda. Perselisihan pun akhirnya tersulut akibat dari banyaknya sekte-sekte yang terbentuk. Tahukah darimana akar permasalahan tersebut muncul? Semua berawal dari ketidakmampuan atau masih terbatasnya alam pikiran kita untuk menerima segala perbedaan yang ada, terlebih atas ketidaknyamanan yang diterima.

Pada saat kita hidup di dunia ketidakpastian atau fana’, yang penuh dengan kepalsuan dan sandiwara karena ketidakpastian itu hanyalah salah satu bentuk dari sendau gurau panggung kehidupan, kita mesti berusaha menyucikan jiwa dari segala penyakit hati, iri, dengki, benci, ataupun curang. Segala keadaan dualitas akan menjadi arena pembelajaran yang sangat luar biasa. Mulai dari benar-salah, kaya-miskin, kuat-lemah, pintar-bodoh, dsb. Padahal, mengapa kita meski menciptakan keadaan bertolak belakang padahal tidak ada satupun di dunia ini yang tercipta dengan sia-sia. Dan jangan dikira setelah merasa aman menyucikan jiwa, kita akan terbebas dari segala macam godaan. Yang ada, justru godaan akan datang dengan level godaan yang semakin berat.

Kita akan selalu lebih dekat dengan setan daripada Tuhan. Biasakanlah dan anggaplah mereka memang ditakdirkan untuk meningkatkan level keimanan seorang hamba (bagi yang benar-benar menghamba). Jika muncul pertanyaan kenapa? Silahkan tafsirkan sendiri keadaan zaman dan arah tujuan perjalanannya. Hingga akhirnya tumbuh benih kearifan dan juga kebijaksanaan untuk dapat memposisikan diri di tengah ketidakjelasan iman bahkan ketidakpastian takwa dan keniscayaan sesuatu yang disangka adalah ihsan.

Semua mulai pintar bersolek hingga sulit membedakan kejujuran dan yang memiliki potensi kecurangan paling besar. Seorang yang ditunjuk menjadi pemimpin dibutuhkan menjaga amanah atas segala urusan yang dipercayakan rakyat kepadanya. Tidak hanya mengakomodir cendekiawan namun juga para mantri di pelosok desa. Tidak hanya memperhatikan para pengusaha besar namun juga rakyat-rakyat di kaki pegunungan yang setiap hari naik ke lereng gunung saat fajar hanya untuk mencari seonggok kayu bakar. Apakah memikirkan pengusaha besar lebih rewel dibandingkan masyarakat di sekitar pegunungan?

Apa dipikir Nur Muhammad yang tercipta pertama kali hanya bermakna tentang kebaikan? Ketika ditelisik, mana yang lebih banyak mengandung hikmah antara kebaikan dan keburukan? Disaat cahaya itu menyelimuti segalanya. Mana yang lebih banyak mengandung pahala antara yang sunnah dan wajib? Tapi apa gunanya semua ketidakpastian jika kita sendiri tidak tepat dalam memaknai apa itu muhabbah. Ketika semua adalah satu kesatuan atas refleksi cintaNya, sekalipun hidupmu nampak tak jelas bagi orang lain, semua akan menjadi keindahan dan kegembiraan.

 Ketika mencoba menata dan meletakkan kembali sesuatu pada tempatnya, jangan heran ketika dunia seolah menjauhimu. Terasing hanya akan menjadi sebuah masalah bagi mereka yang tidak mengenal sepi, namun bukankah justru harusnya beruntung mereka yang merasa terasing? Andai saja, ada waktu bagiku membalas pelukMu di atas tanah hijau ketidakpastian ini, meski sekejap.