Category Archives: Pancasila

Romantisme Sumpah Pemuda!

Apa yang mesti diteguhkan lagi di peringatan hari Sumpah Pemuda sekarang ini? Terutama bagi para pemuda itu sendiri? Para pemuda itu sedang berjuang untuk mendapati pendirikan yang sewajarnya, sebelum memsasuki hutan rimba dunia. Para pemuda itu sedang berjuang tidak untuk menang demi dirinya sendiri, melainkan kebersamaan. Maka, setidaknya cukup dengan mampu bertahan hidup dalam hutan rimba tersebut nampaknya sudah menjadi prestasi yang mesti diapresiasi.

Para pemuda itu bosan dengan romantisme zaman di setiap peringatan hari-hari besar perjuangan. Sebab, pemuda hanya diceritakan tentang ketangguhan perlawanan, sedangkan dalam kehidupan nyata mereka sendiri. Musuh terbesar yang mesti dilawan adalah diri mereka sendiri, atau bahkan bangsa mereka sendiri. Maka diam dan bertahan mungkin adalah pilihan yang tepat untuk sementara waktu. Dengan sedikit bersandiwara ikut hagemoni bila perlu.

Untuk apa lagi kami bertumpah darah untuk tanah air satu? Kalau kekayaan tanah air sendiri hanya dimonopoli oleh para elit penguasa.  Untuk apa lagi kami mesti berbangsa satu? Kalau nyatanya tidak ada jaminan keamanan dan keselamatan oleh pemimpin bangsa, kecuali hanya sengkarut perselisihan. Untuk apa lagi kami mesti menjunjung berbahasa satu? Jika beragam bahasa dan budaya hanya sekedar digunakan sebagai hiasan pakaian Garuda yang tersungkur lesu.

Para pemuda ini adalah rakyat yang terus tumbuh dan beradaptasi seiring dengan kemajuan zaman. Yang terus berusaha memahami dan menghargai segala peninggalan zaman. Para pemuda ini bebas dengan otentisitasnya masing-masing, yang pasti akan menimbulkan banyak perbedaan. Lantas kenapa mesti diseragamkan menjadi satu? Sedangkan para pemuda ini tidak bangga dengan seragam apapun, sebab sudah mengenakan pakaiaan yang layak saja dirasa sudah cukup.

Sumpah pemuda ini jangan sampai menjadi sumpah serapah, saling kutuk sana-sini dengan begitu mudahnya. Saling lempar kesalahan yang sudah menjadi budaya karena pendidikan hanya fokus terhadap pengenalan apa yang benar dan apa yang salah. Para pemuda ini hanya sedang mengalami krisis mental dan kepercayaan diri yang luar biasa, meski tanpa disadari oleh bangsa itu sendiri.

Pemuda-pemudi harapan bangsa ini seolah-olah dididik, disekolahkan, digembalakan tidak untuk menjadi versi terbaik bagi generasinya. Akan tetapi, pemuda-pemudi ini hanya dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus. Generasi yang mbuntut, ikut-ikutan, tidak memiliki tanggung jawab, tidak memiliki keberanian. Sifat pengecut dan munafik menjadi hal yang bisa ditemui hampir di mana saja, sebab mereka tidak sadar telah dicuri harga dirinya.

Innovasi dan daya kreasi yang seharusnya bisa dioptimalkan, justru dianggap sebagai ancaman. Tentu saja ancaman atas kesejahteraan elit-elit bangsa yang telah banyak memperkaya diri. Para juragan yang merasa dirinya juragan karena harta kekayaan yang ada di saku mereka. Sehingga apapun mereka anggap bisa diselesaikan dengan uang.

Tentu tidak ada salahnya merevisi sumpah pemuda, atau mengganti judulnya menjadi misalnya “Ikrar Pemuda”, atau yang lainnya. Pemuda-pemudi ini tidak hanya setahun menjalani kehidupannya semasa remaja, namun bertahun-tahun. Maka dibutuhkan suatu kebaruan yang tidak membosankan, yang melepaskan, yang menjadikan diri mereka berani untuk mencari dan menjadi versi terbaik bagi generasinya. Untuk menjadi generasi pembaharu bagi bangsa dan kemashlahatan rakyatnya.

Yang berani bertanggung jawab atas hutang ribuan triliun yang mungkin membutuhkan banyak generasi untuk menyelesaikannya. Tapi, pemuda-pemudi ini harus siap dan berani mengambil langkah awal yang menentukan masa depan anak cucu mereka kelak. Yang bangga bukan atas warisan peninggalan hutang negara, melainkan atas kemerdekaan yang sejati. Bukan atas kendaraan apa yang mereka miliki, akan tetapi atas keamanan dan kenyamanan bahkan saat harus berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum.

Dan para pemuda itu sendiri seharusnya mengetahui, bahwa kita sedang tidak berkompetisi untuk mendapatkan nilai atau ranking yang terbaik. Kita tidak sedang berlomba untuk dapat mencari laba sebanyak-banyaknya. Kita sedang berjuang bersama-sama untuk terus menggali pengetahuan untuk melawan diri kita sendiri, “melawan bangsa kita sendiri”, seperti apa yang pernah diungkapkan oleh Bung Karno.

Sebab pengetahuan itu merupakan perjuangan, bagi pemuda-pemudi yang memiliki cita-cita yang mulia. Dan pengetahuan itu hanya bisa didapat bukan dengan cara saling bersaing menapaki puncak yang tinggai. Akan tetapi ilmu itu akan tetap bersemayam dengan merendahkan diri dan penuh perhatian secara seksama. Kalau enggan segera untuk memulai, lantas mau kapan lagi, wahai engkau yang mengaku Pemuda Bangsa!?

Adil yang “Sok” Sosial

Dalam kehidupan berbangsa dan berbegara, yang telah memiliki sistem pemerintahan yang sedemikian rupawan. Yang kadang terlalu rupawan. Atau tidak hanya terkadang, tapi selalu nampak rupawan. Sitem-sistem ini dibuat memiliki tujuan utama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

                Setelah sekian lama negera tersebut katanya telah “merdeka” sejak tahun 1945. Sekuat apapun mereka berusaha. Sebrilian apapun mereka menerapkan sistem-sistem untuk mensejahterakan perekonomian. Tetapi tetap saja sampai sekarang usianya telah mencapai 73 tahun, tujuan tersebut belum mampu untuk diwujudkan.

                Karena keadilan itu sendiri rasanya hambar. Menurut Pak Zonk yang namanya keadilan, ya kalau polling menunjukkan pak Wowo mengungguli Pak Joko. Sementara masyarakat melihat kalau lembaga yang mengadakan polling tersebut telah memanipulasi data sehingga memenangkan Pak Wowo. Logika terhadap keadilan itu sendiri sifatnya fluktuatif. Tergantung empan dan papan. Tergantung timing-nya seperti apa.

                Kita suka berharap keadilan yang secara tidak sadar hal tersebut merupakan keegoisan kita untuk mendapatkan kenyamanan, kemapanan. Secara individu saja terkadang kita tidak bisa bersikap adil. Kita terlalu banyak memanjakan perut daripada otak. Kita terlalu banyak memikirkan perut yang kososng daripada otak yang perlu juga diberi asupan-asupan cakrawala keilmuan. Agar ia tidak kopong. Kita ingin sehat, akan tetapi yang dipikirkan hanya perut, ya mustahil!

                Begitupun dengan negara ini yang ingin mewujudkan keadilan sosial, yang berarti target dari tujuan itu (rakyat Indonesia) memiliki hak ataupun jaminan untuk mendapatkan keadilan itu. Lha modyar wae, Cuk! Padahal mayoritas rakyatnya menganggap jika keadilan itu bersifat kenyamanan dan kemapanan  dalam sudut pandang perekonomian. Yang kurang mampu ingin kaya, yang kaya ingin semakin bertambah kaya.

                Keadilan di negeri itu memiliki ratusan juta arti. Yang harusnya negara tersebut dapat menyatukan asumsi keadilan itu sendiri. Bagaimana Negara menjembatani? Bukan berusaha mengurusi sesuatu, yang akhirnya malah ngrusuhi sesuatu, njipuki, nggondoli hak-hak yang tidak seharusnya menjadi milik yang ‘sok’ berusaha mengurusi.

                Jangan berpenampilan adil yang sok sosial. Negara tidak akan mampu mewujudkan tanpa kerjasama dari seluruh elemen negara. Mesti disatukan satu suara keadilan seperti apa yang mereka bayangkan. Atau hanya akan bertingkah adil yang sok sosial itu akan berjalan sedemikian rupa sampai anak cucu kita tidak memiliki keadilan apapun karena hak-hak keadilan mereka telah terampas semua oleh para elite penguasa.

                Ini bukan ramalan, ini adalah salah satu bentuk kepedulian. Salah satu bentuk kasih sayang karena terlalu banyak memikirkan yang seharusnya tidak mau kupikirkan sama sekali. Sebenarnya saya males membuat essay yang seperti ini. Karena negara ini telah terlalu banyak membuat janji-janji palsu. Terlalu banyak orang rakus yang berkuasa. Terlalu banyak wakil rakyat yang menyukai pencitraan yang terbungkus dalam ke-eksistensi-an media.

                Dimana mereka hanya memikirkan mereka yang berpendidikan. Tiap pengurus negara mereka adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang telah terpelajar. Terdidik sedemikian rupa untuk meneruskan perjuangan para pendahulu mereka yang telah sukses banyak menipu rakyat. Mantan mahasiswa-mahasiswa itu tidak terdidik untuk menjadi generasi baru yang berani melawan arus zaman. Melawan segala bentuk ketidakadilan secara lantang, bukan sembunyi-sembunyi lewat akun jejaring sosial mereka. Yang terlalu banyak berisikan rupa-rupa mereka nan rupawan.

                Terlalu banyak kaum intelektual di negeri ini, tapi tidak diimbangi dengan spiritualitas dan mentalitas yang seimbang. Hingga keadaan negara zaman now menjadi bukti betapa “indahnya” moralitas para pemuda negeri mimpi tersebut.

                Yang ku mengerti hanya segala sifat itu ternyata relatif, semua itu sementara. Segala sifat tak bisa jadi tujuan ataupun karena bukan itu yang sejati. Kita hanyalah keabadian yang terbelenggu dalam kesementaraan. Kita hanya bisa berusaha istiqomah terhadap suatu sifat.

                Termasuk untuk terus ber-istiqomah dalam bersikap adil yang mesti dimulai dari diri kita sendiri. Hal ini ditandai dengan tidak banyaknya berkeluh kesah pada diri sendiri. Mengakui kalau semua keadilan akan sesuai porsinya jika kita istiqomah. Lalu setelah itu kita melihat keluar, mengamati segala gejala-gejala sosial yang ditafsirkan ke dalam lingkup ketidakadilan.

                Ketidakadilan tidak hanya bersifat materialistik. Jika kita mengejawantahkan ketidakadilan sebagai suatu ketidaksejahteraan ekonomi. Kamu akan mengalami ketidakadilan itu selama hidupmu. Akan selalu ada jurang kaya dan miskin. Maka dari itu Nabi Agung Muhammad SAW selalu menginginkan untuk hidup dekat dengan orang fakir disaat untuk menjadi kaya pun selalu ditawarkan oleh Tuhan, ketika wafat pun demikian.

                Kita tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan. Mengubah taraf hidup khalayak ramai menjadi sejahtera secara ekonomi. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus menemani mereka. Kita kikis jurang perbedaan itu dengan memandang mereka sama. Sama disini memiliki artikulasi yang sangat luas dan menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari.

                Keadilan sosial adalah kesatuan dalam menyatukan perspektif. Tak peduli kaya miskin, kuat lemah ataupun benar salah. Yang positif akan selalu bisa memahami, menampung, bahkan menarik yang negatif. Tidak ada pertengkaran sampai harus menumpahkan darah karena pada hakikatnya semuanya adalah saudara. Tak peduli jawa, batak, bugis, pace, cina, arab dan etnis-etnis lainnya. Keadilan sosial itu hanya memahami kalau kita satu, Indonesia.

                Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah mimpi. Mimpi yang mungkin saja bisa diwujudkan hanya dengan meminta kepada Yang Maha Adil. Berharap Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang rela memberikan sedikit kuasanya untuk menunjuk wakilnya agar keadilan itu bisa terwujud. Karena keadilan yang sejati hanya milik-Nya.

20 februari 2018

Adil Yang ‘Sok’ Sosial – Keadilan Sosial Hanyalah Mimpi

Dalam kehidupan berbangsa dan berbegara, yang telah memiliki sistem pemerintahan yang sedemikian rupawan. Yang kadang terlalu rupawan. Atau tidak hanya terkadang, tapi selalu nampak rupawan. Sitem-sistem ini dibuat memiliki tujuan utama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

                Setelah sekian lama negera tersebut katanya telah “merdeka” sejak tahun 1945. Sekuat apapun mereka berusaha. Sebrilian apapun mereka menerapkan sistem-sistem untuk mensejahterakan perekonomian. Tetapi tetap saja sampai sekarang usianya telah mencapai 73 tahun, tujuan tersebut belum mampu untuk diwujudkan.

                Karena keadilan itu sendiri rasanya hambar. Menurut Pak Zonk yang namanya keadilan, ya kalau polling menunjukkan pak Wowo mengungguli Pak Joko. Sementara masyarakat melihat kalau lembaga yang mengadakan polling tersebut telah memanipulasi data sehingga memenangkan Pak Wowo. Logika terhadap keadilan itu sendiri sifatnya fluktuatif. Tergantung empan dan papan. Tergantung timing-nya seperti apa.

                Kita suka berharap keadilan yang secara tidak sadar hal tersebut merupakan keegoisan kita untuk mendapatkan kenyamanan, kemapanan. Secara individu saja terkadang kita tidak bisa bersikap adil. Kita terlalu banyak memanjakan perut daripada otak. Kita terlalu banyak memikirkan perut yang kososng daripada otak yang perlu juga diberi asupan-asupan cakrawala keilmuan. Agar ia tidak kopong. Kita ingin sehat, akan tetapi yang dipikirkan hanya perut, ya mustahil!

                Begitupun dengan negara ini yang ingin mewujudkan keadilan sosial, yang berarti target dari tujuan itu (rakyat Indonesia) memiliki hak ataupun jaminan untuk mendapatkan keadilan itu. Lha modyar wae, Cuk! Padahal mayoritas rakyatnya menganggap jika keadilan itu bersifat kenyamanan dan kemapanan  dalam sudut pandang perekonomian. Yang kurang mampu ingin kaya, yang kaya ingin semakin bertambah kaya.

                Keadilan di negeri itu memiliki ratusan juta arti. Yang harusnya negara tersebut dapat menyatukan asumsi keadilan itu sendiri. Bagaimana Negara menjembatani? Bukan berusaha mengurusi sesuatu, yang akhirnya malah ngrusuhi sesuatu, njipuki, nggondoli hak-hak yang tidak seharusnya menjadi milik yang ‘sok’ berusaha mengurusi.

                Jangan berpenampilan adil yang sok sosial. Negara tidak akan mampu mewujudkan tanpa kerjasama dari seluruh elemen negara. Mesti disatukan satu suara keadilan seperti apa yang mereka bayangkan. Atau hanya akan bertingkah adil yang sok sosial itu akan berjalan sedemikian rupa sampai anak cucu kita tidak memiliki keadilan apapun karena hak-hak keadilan mereka telah terampas semua oleh para elite penguasa.

                Ini bukan ramalan, ini adalah salah satu bentuk kepedulian. Salah satu bentuk kasih sayang karena terlalu banyak memikirkan yang seharusnya tidak mau kupikirkan sama sekali. Sebenarnya saya males membuat essay yang seperti ini. Karena negara ini telah terlalu banyak membuat janji-janji palsu. Terlalu banyak orang rakus yang berkuasa. Terlalu banyak wakil rakyat yang menyukai pencitraan yang terbungkus dalam ke-eksistensi-an media.

                Dimana mereka hanya memikirkan mereka yang berpendidikan. Tiap pengurus negara mereka adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang telah terpelajar. Terdidik sedemikian rupa untuk meneruskan perjuangan para pendahulu mereka yang telah sukses banyak menipu rakyat. Mantan mahasiswa-mahasiswa itu tidak terdidik untuk menjadi generasi baru yang berani melawan arus zaman. Melawan segala bentuk ketidakadilan secara lantang, bukan sembunyi-sembunyi lewat akun jejaring sosial mereka. Yang terlalu banyak berisikan rupa-rupa mereka nan rupawan.

                Terlalu banyak kaum intelektual di negeri ini, tapi tidak diimbangi dengan spiritualitas dan mentalitas yang seimbang. Hingga keadaan negara zaman now menjadi bukti betapa “indahnya” moralitas para pemuda negeri mimpi tersebut.

                Yang ku mengerti hanya segala sifat itu ternyata relatif, semua itu sementara. Segala sifat tak bisa jadi tujuan ataupun karena bukan itu yang sejati. Kita hanyalah keabadian yang terbelenggu dalam kesementaraan. Kita hanya bisa berusaha istiqomah terhadap suatu sifat.

                Termasuk untuk terus ber-istiqomah dalam bersikap adil yang mesti dimulai dari diri kita sendiri. Hal ini ditandai dengan tidak banyaknya berkeluh kesah pada diri sendiri. Mengakui kalau semua keadilan akan sesuai porsinya jika kita istiqomah. Lalu setelah itu kita melihat keluar, mengamati segala gejala-gejala sosial yang ditafsirkan ke dalam lingkup ketidakadilan.

                Ketidakadilan tidak hanya bersifat materialistik. Jika kita mengejawantahkan ketidakadilan sebagai suatu ketidaksejahteraan ekonomi. Kamu akan mengalami ketidakadilan itu selama hidupmu. Akan selalu ada jurang kaya dan miskin. Maka dari itu Nabi Agung Muhammad SAW selalu menginginkan untuk hidup dekat dengan orang fakir disaat untuk menjadi kaya pun selalu ditawarkan oleh Tuhan, ketika wafat pun demikian.

                Kita tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan. Mengubah taraf hidup khalayak ramai menjadi sejahtera secara ekonomi. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus menemani mereka. Kita kikis jurang perbedaan itu dengan memandang mereka sama. Sama disini memiliki artikulasi yang sangat luas dan menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari.

                Keadilan sosial adalah kesatuan dalam menyatukan perspektif. Tak peduli kaya miskin, kuat lemah ataupun benar salah. Yang positif akan selalu bisa memahami, menampung, bahkan menarik yang negatif. Tidak ada pertengkaran sampai harus menumpahkan darah karena pada hakikatnya semuanya adalah saudara. Tak peduli jawa, batak, bugis, pace, cina, arab dan etnis-etnis lainnya. Keadilan sosial itu hanya memahami kalau kita satu, Indonesia.

                Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah mimpi. Mimpi yang mungkin saja bisa diwujudkan hanya dengan meminta kepada Yang Maha Adil. Berharap Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang rela memberikan sedikit kuasanya untuk menunjuk wakilnya agar keadilan itu bisa terwujud. Karena keadilan yang sejati hanya milik-Nya.

20 februari 2018

SILA SEKAWAN

Untuk sebentar saya renungkan (setidaknya oleh saya sendiri) adalah menjaga keceriaan anak-anak itu, bukan malah merusak moralnya, kecuali kamu Tuhan! Dan untuk sekedar catatan saja, saya ngorek-orek tentang sila-sila ini adalah dampak atas ketidakpahaman saya atas korelasi keadaan dan landasan ideologi bangsa ini. Entah itu mengenai posisinya, maknanya, atau mungkin karena telah kehilangan potensi untuk mengaplikasikan hasil dari pemaknaan sila-sila ini. Eh, sebentar! Kehilangan apa sengaja dihilangkan? Sengaja kehilangan atau telah dihilangkan?

Sekawan dalam bahasa Indonesia memiliki arti angka 4. Sebuah angka yang memiliki filosofi sebagai tonggak sebuah kursi untuk menopang segala bebannya. Bahkan, dalam Islam pun ada Ayat Kursi yang sering juga disebut sebagai doa sapu jagad. Sekawan juga bisa memiliki makna sepertemanan yang memiliki kesamaan rasa sepertanggung jawaban ataupun sepenanggungan. Tapi ada apa dengan sila ke-sekawan (empat) bangsa ini?

Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan/dalam Permusyawaratan Perwakilan.” Jujur saya selalu ingin menahan tawa ketika mendengar pemimpin upacara membacakan sila keempat ini. Bukan karena menyepelekan, tapi saking (sok)perhatiannya saya pada sila yang paling panjang ini justru membuat saya tak pernah habis fikir.

Itu semua dikarenakan tidak pernah adanya kesamaan realita antara tiap kalimat yang ada di dalam sila tersebut. Kata pertama adalah kerakyatan, yang tentu sangat berbeda sekali maknanya dengan rakyat. Ya sudah kalau memang yang dimaksud kerakyatan berposisi sebagai subjek, setelah itu ada kata yang dipimpin.

Rakyat itu berposisi sebagai puncak pemimpin kedaulatan, bahkan “sekelas” presiden pun seharusnya memiliki kedudukan yang tidak lebih dari rakyat. Bosnya itu rakyat dalam sistem demokrasi ini. Rakyat hanya akan dipimpin oleh Tuhan. iya, mungkin hanya saya yang saya gagal. Makanya saya sering tertawa sendiri.

Tapi kata-kata terakhir lah yang selalu membuat saya berpikir. Ini negeri orang waras semua. Ini negeri kok pada bergembira semua. Ini negeri lucu-lucu semua. Semua makhluk bahkan materi di negeri ini sangatlah cocok jika dijadikan handai tauladan.

Hikmat kebijaksanaan yang memimpin rakyat. Mana ada? Hikmat sangkaanmu! Tawa ini semakin tak bisa terbendung. Kebijaksanaan nd*smu! Adanya malah pencitraan disana-sini. Jika itu hikmat pasti kesejahteraan yang dipimpin akan selalu terjaga. Jika itu bijaksana, tidak akan ada manusia-manusia yang akan berebut kekuasaan kecuali jika hanya ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Aji-aji mumpung.

Lanjut di kata permusyawaratan perwakilan. HOAX. Tidak ada musyawarah untuk mewujudkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar memiliki cinta terhadap bosnya(rakyat). Yang ada adalah juragan-juragan itu hanya diakali dan tak pernah dianggap. Sesuatu yang musyawarah untuk menjadikan pemimpin untuk dijadikan wali rakyat yang adil, bersih, dan transparan sangatlah susah. Dan negeri ini belum pernah sekalipun benar-benar ingin mewujdkannya.

Bos-bos di negeri ini terlalu baik. Wakil-wakil mereka dibiarkan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya. Mereka sangat baik hati walaupun sering kena tipu. Bos-bos rela rugi demi kesejahteraan wakil-wakilnya yang sangat haus akan materi.

Mungkin ini negeri hiburan bagi para penduduk langit. Gimana ada dasar negara yang mereka buat hanya sebagai formalitas belaka. Tanpa pernah dipahami, dipelajari, apalagi dilakoni. Yang ada sila-sila itu hanya terucap lewat pemimpin upacara. Yang hanya kita ikuti pelafalannya, bukan pemahamannya. Bukan tafsirnya. Hanya suaranya.

Jadi apa sebaiknya? Seperti apa seharusnya. Tidak akan pernah ketemu juntrungan-nya walau kita men-jlentreh-kan semua persoalan-persoalan yang terlanjur sudah ruwet ini. Manusia tidak akan pernah bisa melakukan perubahan ini. Kecuali tanpa campur tangan bantuan Tuhan. Jadi, gak usah sok Meng-aku-kan diri sendiri!

Lalu, hikmat kebijaksanaan itu adalah kerelaan Tuhan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah yang ruwet ini. Dan permusyawaratan perwakilan adalah gimana kita sebagai rakyat mencoba untuk mengikutsertakan Tuhan untuk diajak duduk bersama dalam permusyawaratan. Tidak ada wakil rakyat juga bukan suatu masalah bagi bangsa ini, karena mereka sudah sangat sadar ada Tuhan yang menjadi sebaik-baiknya wakil bagi mereka.

Jadi sila ini tidak usah dibikin terlalu panjang dan terkesan seperti guyonan baut manusia-manusia zaman now. Sekali-kali ketidakwarasan ini perlu didudukkan kembali bersama-sama untuk merumuskan kembali. Setidaknya mau mencoba. Setidaknya yang keempat ini bisa menjadikan kita sekawan. Sepertemanan. Seperjuangan.

Abnormal <137>

15 February 2018

Persatuan Indonesia

Menurut kalian apakah Indonesia sudah bersatu? Karena yang saya pahami persatuan itu hanya dalam konteks kewilayahan, yang mendeskripsikan kalau wilayah ini termasuk bagian dari daerah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.

                Jika dilihat dari masyarakatnya, apalagi di zaman sekarang. Rasa persatuan itu sudah tidak ada bahkan mustahil persatuan itu tercapai karena ketidakjelasan tujuan kemana arah Indonesia ini akan menuju. Kemana Garuda ini akan terbang. Apakah harus terjadi penjajahan atau pertumpahan darah terjadi lebih dahulu agar memunculkan rasa persatuan tersebut. Hal ini serasa menjadi pekerjaan rumah sendiri bagi seluruh warga untuk tetap menjaga keamanan dan kenyamanan setelah pemilihan presiden besok. Siapapun pemenangnya, yang menang jangan terlalu angkuh dan yang kalah tetap mesti legowo dengan siap untuk saling bersinergi membangun moral Republik ini.

                Sampai saat ini, Negara masih aman karena sikap dasar warganya yang memiliki rasa toleransinya. Yang akhir-akhir ini mulai terancam oleh kesadaran mereka sendiri yang mulai merasa peran dari agama sangat penting. Celakanya, Tuhan sangat menyayangi mereka dengan mendatangkan bermacam-macam aliran. Memberikan banyak jalan untuk memilih agama dan kepercayaan.

                Rasa lapar akan kekosongan rohani yang mereka alami selama ini menjadi momentum dimana salah satu ormas salah satu agama dengan penganut mayoritas di negeri tersebut mencanangkan penggantian pancasila. Yang menurut mereka hukum tersebut tidak sesuai dengan syariat agama mereka.

                Ormas yang keberadaannya menjadi ancaman kesatuan Negeri yang selama ini terjaga oleh toleransi warganya mulai menyebar virusnya. yang anehnya ormas tersebut terbentuk bukan berasal dari inisiatif warga Negeri tersebut, tetapi berasal dari luar Indonesia yang mengatasnamakan Islam. Dan anehnya lagi, ormas tersebut banyak diboikot di banyak negara Islam, tapi di Negeri Awan ini mereka dapat dengan santai tetap berteriak disana-sini.

Sumber : Bali Travel News

                Itu merupakan bukti kalau Negara tersebut sangat menjunjung toleransi atau ketidakpahaman kalau dirinya sedang terancam. Mereka selalu merasa aman karena “Tuhan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradabnya”-nya. Mereka selalu membiarkan kekayaannya dicuri oleh negara-negara lain disaat di negaranya tingkat kesejahteraan dengan tolak ukur material juga sangat pas-pasan.

                Perpolitikan di negeri tersebut seolah dibohongi oleh jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena keadaan riil-nya sekarang dari rakyat, oleh rakyat, untuk kesejahteraaan para poli’tikus penguasa. Sistem kepegawainnya condong ke transendensi eksistensial. Subsidi silang kesehatan yang juga masih merumitkan bagi masyarakat kecil.

                Lalu dimana Persatuan? Yang katanya satu rasa satu bangsa. Yang katanya bhineka tunggal ika. Dimana disatu sisi seseorang makan jutaan rupiah sekali makan dengan lahapnya disaat ada teman disampingnya yang butuh perjuangan untuk mendapatkan sesuap nasi sehari, itupun belum pasti bisa didapatkan.

                Tapi inilah negeri dongeng, negeri awan, khayangan atau apalah mereka menyebutnya. Menawarkan sepenggal surga dengan keelokan pesona alamnya. Memberikan keramah tamahan di setiap sudut kakimu beranjak.

                Tidak akan pernah bisa terprediksi keadaan negera tersebut. Persatuan ibarat fatamorgana yang selalu didambakan hanya oleh yang sedang merasakan dahaga. Dahaga oleh ketimpangan ketidakadilan yang mereka rasakan. Dahaga akibat kebohongan poli’tikus terus-menerus, yang celakanya dia sendiri sebelumnya yang mengelu-elukan.

                Jangan kan Persatuan Indonesia. Persatuan di desa saya pun sangat sulit saya rasakan karena  menyangkut banyak kepala dimana disetiap kepala memilki perspektif kepercayaannya sendiri mengenai persatuan. Bahkan,kepada diri sendiri pun kita sulit untuk memahami persatuan. Tentang siapa diri kita? Membedakan antara nafsu, kebutuhan, keinginan, ilham ataupun karamah. Kita sering tertipu oleh persatuan diri kita sendiri.

                Jadi persatukan dulu diri kita dengan mengenali dan memahami setiap nafas yang terhirup hingga kau rasakan itu mengalir ke seluruh tubuhmu. Menyapa setiap jengkal stasiun organ yang ia lalui. Merasakan hakikat diri kita hingga kita mengenal siapa kepala negara dalam diri kita. Siapa kepala pemerintahannya. Siapa menteri-menterinya. Hingga apa saja masyarakat yang ada di dalam diri kita ini.

                Kan, kalau diri kita sakit, tidak hanya salah satu anggota tubuh yang terkena sakit saja yang kita rasakan efeknya. Tetapi seluruh anggota badan merasakan efek dari rasa sakit tersebut. Kepala pemerintahan mendelegasikan kalau tubuh ini sedang sakit dan pada saat itu pula seluruh raga terasa lemas. Dan ketika kepala negara mengeluarkan dekrit untuk segera menyembuhkan rasa sakit itu, seluruh ornamen tubuh pun memberikan energi positifnya untuk segera memperbaiki kerusakan yang menimbulkan rasa sakit tersebut. Memang tubuh ini sangat canggih bagi siapa yang mampu untuk lebih mengenali setiap bagian didalamnya.

                Itulah hakikat persatuan. Satu rasa satu karsa. Bahkan satu cipta. Sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Sejatinya manusia adalah makhluk mulia dengan kecanggihan akalnya untuk beradaptasi dengan rasa sakit dan segera mereduksinya dengan segala imajinasi-imajinasi yang selalu dengan bebas bisa mereka ciptakan.

                Sejatinya kita bukan manusia rakus. Bukan manusia cuek. Bukan manusia pendamba kekuasaan. Sejatinya manusia adalah perindu kedamaian. Sejatinya manusia selalu dalam pencarian tentang arti kebenaran. dan karena itu pula dibutuhkan rasa persatuan.

Festival Lembah Baliem

                Rasa persatuan bukan untuk eksistensi atau pengakuan kekuasaan atas negara lain. Rasa persatuan bukan untuk pamer kesejahteraan kepada negara lain. Rasa persatuan bukan karena kemenangan yang telah negara raih atas segala hal.

                Akan tetapi rasa persatuan demi benar-benar tercapainya kedamaian di seluruh negeri bahkan dunia. Bukan hanya kepada sesama manusia saja. akan tetapi kepada hewan, tumbuhan, samudera, gunung, dan segala ornamen yang menjadi tempat untuk kita tinggali. Bahkan kepada makhluk-makhluk ghaib sekalipun.

                Kita harus bisa menjamin keselamatan bahkan kesejahteraan bagi semua itu. Tidak  hanya untuk kelompok, ras, etnis, atau kelompok tertentu. Lalu seperti apakah persatuan yang diperlukan setidaknya oleh sang Garuda untuk mewujudkan itu semua? Persatuan yang seperti apa?

9 februari 2018

Manusia (sok) Adil dan Beradab!

Siapa yang dapat mengartikan “ke-manusia-an”? sebelum kita memasuki adil serta beradab. Manusia yang nengerti kalau dirinya manusia saja sangat sulit ditemukan zaman now. Apalagi ditambahi imbuhan “ke – an”. Semakin dimengerti-mengertikanlah arti dari segala kesalahpahaman. Tapi untungnya, masyarakat sudah nyaman dengan kegagalpahaman ini.

Manusia yang merasa memiliki hak atas keegoisan mereka. Manusia yang merasa adil. Manusia yang merasa beradab. Begitukah? Manusia yang merasa paling manusia.

Apakah kemanusiaan sama seperti manusia. Jadi dalam sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” yang diharapkan itu manusianya ataukah rasa kemanusiaannya saja. Saya sedikit curiga dengan kata “kemanusiaan” yang mendeskripsikan suatu sifat seperti manusia, seakan sifat manusia itu baik dan penyayang atau kadang kala disebut manusiawi.

Lalu apakah sifat manusiawi lebih mulia daripada hewani atau hayati? Hewan selalu menjadi korban prasangka atas segala tindak kriminalitas yang katanya “sangat tidak manusiawi” dan lebih seperti perilaku hewan. Aneh gak sih? Hewan yang hanya punya naluri tanpa akal aja selalu disalah-salahin. Apa salah mereka jika naluri dan insting mereka memang seperti itu?

Lantas apakah dengan mengkambinghitamkan perilaku hewan lalu akan menjadikanmu mengerti akan sikap kemanusiaanmu? Apakah itu adil dan beradab? Atau jangan-jangan sila adil dan beradab tersebut hanya ditujukan kepada manusia-manusiaan saja, tidak menganggap segala makhluk bahkan materi yang terdapat di bumi rumah pancasila.

Jargon “khilafah” sudah basi di hati pancasila karena segala syarat dan ketentuan mendasar untuk menjadi khilafah sudah berada di dua sila pertama. Jadi yang teriak-teriak di monas sampai mengadakan kumpulan fans wirosableng mungkin kurang mendalami hakikat dari sila-sila pancasila. Tapi, untung negara ini sangat menjunjung tinggi ‘HAK’, jadi monggo-monggo saja.

Karena sangat sulit menjadi manusia, maka digantilah menjadi kemanusiaan yang memungkinkan kita yang bukan manusia untuk menjadi adil dan beradab. Karena manusia itu pun sejatinya tidak pernah bisa adil terhadap siapapun dan menjadi beradab sangatlah tergantung situasi.

Prediksi dari perakit pancasila sangatlah tepat manusia menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab. Menghindarkan manusia itu sendiri dari kegagalpahaman untuk menjadi manusia yang adil dan beradab karena itu sangatlah mustahil. Untung mereka tidak mengerti kalau mereka tidak mengerti.

Bayangkan saja dengan keadaan Indonesia saat ini kalau manusia itu mengerti, dan mengerti kalau mereka mengerti. Sudah pasti terjadi kemunafikan dimana-mana. Pembohongan publik, manipulasi pencitraan, manifestasi kekuasaan. Karena mereka mengerti tapi berpura-pura menjadi adil dan beradab.

Lalu jika manusia yang mengerti dan mengerti kalau dia tidak mengerti. Ini keadaan paling aman. Manusia yang enggan untuk mengambil resiko. Manusia yang selalu terima dengan segala keadaan. Dan jika manusia itu tidak mengerti, dan tidak mengerti kalau dia mengerti. Dia hanya akan menjadi pengikut arus.

Dan yang terakhir jika manusia itu sudah tidak mengerti, dan tidak mengerti kalau dia tidak mengerti. Ini adalah tipikal manusia zaman now, termasuk saya di dalamnya. Yang mengaku paling beradab dan adil akan tetapi dia tidak mengerti apa itu adab atau keadilan. Orang yang mengaku mengerti kebenaran tapi tidak tahu hakikat kebenaran.

Manusia ini adalah manusia pembuat onar, pemantik perpecahan. Orang yang mengagungkan literasi tanpa pernah menggunakan akalnya untuk memahami isi kandungan literasi-literasi. Manusia yang memutarbalikkan iman menjadi kesembronoan laku sosial.

Jadi intinya jangan hanya jadi kemanusiaan. Tapi jadilah manusia sejati. Tidak perlu menjadi adil, tapi cukup berkeadilan. Tidak harus beradab, tapi tahu unggah-ungguh.

Ah, sudahlah. Yang penting tahu maksudnya kalau bisa jadi manusia, ya, yang adil dan memiliki adab. Toh, zaman now juga akan segera berakhir. Keadilan akan keluar dengan sendirinya. Peradaban akan terbentuk hasil dari interaksi  lingkungan sosial  dan lingkungan alamnya.

7 februari 2018

Ruh Pancasila (Sila ke-1)

Setiap raga pasti mempunyai jiwa yang didalamnya bersemayam ruh. Ruh yang menjadi wujud sejatinya. Yang menjadikan wujud dari raganya. Jika batinnya baik, maka dhohir-nya pun akan terwujud baik.

                Ketika negera antah berantah, negara yang ketika itu merdeka selama ratusan tahun, memerlukan sebuah dasar atau ideologi yang diharapkan bisa mengemban segala problem yang beraneka ragam. Dimana mayoritas penduduk negara tersebut memiliki banyak suku dan bangsa. Sebuah konsep yang diharapkan mampu menyatukan seluruh perbedaan, dalam beragama, bahasa, dan etnis.

                Sesosok negara baru lahir yang berusaha menciptakan rumusan cara berpikir untuk menemukan jalan kembali pulang hingga ujung waktu kematiannya. Dengan keanekaragaman latar belakang yang pasti memiliki tendensi dan cara pandang masing-masing dalam mewujudkan keadilan sosial.

                Sampai pada waktunya mereka merumuskan sila pertama dari kelima sila yang akan disusun. Yang dibutuhkan sebagai ruh untuk mengejawantahkan keempat sila berikutnya. Yang secara personal pun secara otomatis telah menjadi landasan ataupun kepercayaan untuk menjalani keberlangsungan hidupnya.

                Hingga terbentuklah ruh Pancasila yang bernama “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Diharapkan mampu menyatukan 5 agama yang saat itu berada di negara tersebut. Yang membebaskan setiap warganya untuk memilih agama dan kepercayaannya. Tidak ada mayoritas dan minoritas, semua mempunyai perlakuan yang sama sebagai warga negara.

                Tapi kemanakah ruh Pancasila sekarang? Disaat mereka para kaum ekstrimis mulai menghunuskan pedang perpecahan dengan alibi kemusyawaratan? Disaat agama Islam yang menjadi mayoritas negara tersebut seharusnya bisa melindungi agama lain, tapi dimanfaatkan secara sepihak oleh oknum-oknum pendamba kekuasaan.

                Hanya dengan senjata literasi-literasi ayat ataupun hadits, itu dapat membutakan hati seseorang yang selama ini haus akan ilmu teologi. Teringat pesan Simbah kala itu,”lha wong memanusiakan manusia aja belum bisa koq mau menjadi hamba Allah.”

                Jadi apa yang sebenarnya menimpa adalah merah putih yang merahnya kemerahan. Putih yang putihnya keputihan. Sampai-sampai Tuhannya pun menjadi Ketuhanan. Sebuah objek yang ditambahi imbuhan ke-an menurut pelajaran bahasa Indonesia memiliki arti terlalu dan seperti.

                Mungkin jika arti pertama yang kita ambil itu tidak bakal menjadi masalah. Yang memprihatinkan ialah negeri tersebut secara tidak sadar ingin ruh ‘seperti’ Tuhan. Saling berebut kebenaran, menghina yang miskin, yang ndeso, yang tak berpendidikan.

                Tindak krimainanl terjadi dimana-mana seiring dengan kemajuan teknologi yang sering mempertontonkan kemewahan. Orang yang tidak mampu jadi mendamba, sedang orang yang mampu semakin licik untuk mempertahankan hartanya.

                Mungkin itu semua merupakan cara Tuhan yang memberikan cahayanya melalui lorong labirin yang berbeda-beda. Biarkan mereka ber-‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Pastilah mungkin hanya saya saja yang gagal pada kalimat itu. Saya hanya memahami Tuhan itu Ahad. Tuhan tidak hanya Maha Esa, akan tepapi masih terdapat Maha-Maha yang lain.

                Tuhan tidak hanya milik satu agama mayoritas, akan tetapi Tuhan yang menjadikan Ruh Pancasila dapat menampung beraneka ragam etnis, budaya dan bahasa. Tuhan yang tidak bertindak seperti jaksa yang suka menghakimi. Yang tidak seperti pemerintah yang hanya bisa memerintah. Tapi, Tuhan yang selalu berjalan bahkan disamping para perongsok, Tuhan yang suka ngopi bareng bersama tukang becak. Bukan Tuhan yang mengidamkan kekuasaan dan kemenangan.

                Jika Tuhan sudah Esa itu kan berarti Tuhan tidak butuh kekuasaan atau kemenangan, karena Tuhan yang Esa tersebut sudah pasti berkuasa dan mutlak menang. Jika kita yakin Tuhan itu Maha Esa, seharusnya kita memiliki kesadaran bahwa Tuhan telah meliputi segalanya. Namun, sepertinya memang masyarakatnya diberi pelajaran sedemikian rupa atas kasih sayangnya.

                Karena moral masyarakatnya sudah terlalu “pintar”, sudah terlalu sering menghakimi, sudah terlalu sering terjebak dalam masalah yang sama tanpa ada penyelesaian. Mereka hanya sibuk pada benarnya sendiri dibawah naungan Tuhan yang kata mereka Esa.

                “Hidup dan mati karena Tuhan” yang selalu mereka lafadzkan setelah takbir pertama dan sebelum membaca surat Al-Fatihah hanya isapan kelingking. Bagaimana bisa mereka mengenal pancasila kalau terhadap dirinya sendiri pun mereka masih labil?

                Terhadap Ruhnya pun kebanyakan hanya sampai batas jiwanya. Itupun sekedar gejala-gelalanya jiwa saja yang dipelajari oleh kaum psikologi. Mereka baru sampai kepada nafs, belum mencapai tahap Ruh yang Ar-Rahman dan Ar-Rahim.

                Begitu pula pancasila, kita seharusnya tidak hanya sekedar atau melafadzkan saja rukun dan syariat pancasila. Kita selalu ragu dengan ‘Ketuhanan’. Kita harus tegas menyebut Tuhan. Sebagai sebuah subjek yang diharapkan menjadi Ruh Pancasila, bukan lagi sebagai pelengkap objek.

                Pelengkap objek yang selalu pura-pura kita tunggalkan, padahal selalu kau anggap Tuhanmu yang paling benar. Terutama oleh kaum-kaum sempalan politik yang gagal mendapat jatah kekuasaan yang menggunakan agama sebagai momentum untuk menyerang balik.

                Tuhan yang tidak pernah menyuruh hambanya untuk berlomba menumpuk harta dan memegang kekuasaan. Tapi kita ‘ber-Tuhan’ kepada pembangunan ekonomi atas dasar kesejahteraan. Kita disuruh ‘ber-Tuhan’ akan tetapi para elite akademis mengarahkan negara ini agar menjadi negara maju.

                Kita ber-Tuhan Yang Maha Esa akan tetapi pemungutuan pajak diluar nalar. Hukum semakin tidak masuk akal. Pemerintahan semakin pintar membuat topeng pembangunan. Bahkan pendidikan menjadi ajang untuk “memintarkan” anak kecil untuk menjadi ujung tombak pembangunan di masa depan. Kasian.

  Tuhan akan selalu menjamin hidupmu. Beda dengan “berketuhanan” yang selalu menuntut kalian sebagai objek pembangunan para penguasa elite politik. Tuhan sangat berbeda dengan Ketuhanan. Tuhan Yang Maha Esa sudah pasti satu, tetepi jika berketuhanan Yanag Maha Esa itu bukan berarti satu.

                Kita hanya terlalu sayang sama Pancasila. Dan pada saat itu pancasila sempat dianggap sebagai Thogut. Jujur saya sakit hati dan tidak terima. Tapi mereka beruntung, saya tidak bisa melawan apalagi sampai marah kepada orang yang tidak menggunakan akal pikiran mereka.

                Kita mesti menjaga akar sila pertama dan selalu mengawasi agar ketika diterpa angin tidak tumbang. Agar tidak mudah terprovokasi oleh benalu-benalu yang sering mengganggu. Agar batang, daun, buah, dan bunganya dapat berkembang baik jika akarnya kita jaga. Agar sila-sila berikutnya dapat berjalan seperti apa yang diharapkan oleh akar.

                Ruh tidak lagi dikendalikan oleh pemegang saham Ketuhanan. Ruh itu tumbuh menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa.

6 Februari 2018