Secarik Kertas Kehidupan

Ketika pelajaran telah usai, Gus Welly mempersilahkan murid-murid untuk menanyakan sesuatu. Lala yang menjadi siswa paling jenius seketika paham dengan yang dimaksud Gus Welly. Jadi, ketika beberapa murid mencoba bertanya, Gus Welly sedikit menomerduakan Lala. Namun sepertinya, memang Lala dan selalu saja yang setiap waktu selalu berhasil menciptakan pertanyaan yang Gus Welly sendiri agak malas menjawabnya.

“Pak, kalau memang kita seharusnya tidak menggantungkan diri kepada manusia, bagaimana dengan kita ini yang masih belum dapat mencari nafkah sendiri dan butuh uang saku dari orang tua?” tiba-tiba Mukhsin, murid pendiam ini bertanya seolah ada dorongan rasa yang selaras menabrak cara berpikirnya.

Gus Welly nampak menuliskan sesuatu di dalam note kecilnya. Selanjutnya, Gus Welly mempersilahkan Lala mengajukan argumentasi. Karena daripada memilih sikap seolah responsif, Lala selalu condong menampakkan sikap reaktif.

“Begini pak, dengan melihat zaman kita yang seperti ini. Apakah memungkinkan kita tidak menggantungkan hidup kepada manusia? Disaat kita sendiri adalah makhluk sosial yang hidup berdampingan dan saling berbagi antara satu dengan yang lain.” Tanya Lala.

“Pertanyaan yang bagus, mungkin ada pertanyaan yang lain? Atau coba kita cari jawabannya bersama. Jawaban yang diberikan bapak nantinya sangatlah subjektif, bisa benar dan kebanyakan salahnya. Bukan berarti bapak lebih mengetahui, siapa tau jika ada dari cah Bagus atau cah Ayu disini yang ingin menyampaikan pengetahuannya, sangat dipersilahkan. Karena, Bapak sendiri disini juga belajar dari kalian.”

Apa yang disampaikan Gus Welly menjadi metode pembelajaran yang sangat tipikal dari beliau. Sekalipun mata pelajaran yang Gus Welly ajarkan bersifat ilmu pasti, namun yang beliau tekankan dalam situasi belajar adalah membuat kenyamanan suasana. Apabila situasi yang tercipta membuat mridnya nyaman dan gembira, ilmu lain yang diselipkan akan lebih mudah masuk daripada belajar dengan keadaan terpaksa. Sekalipun mereka masih muda, Gus Welly memahami jika ilmu yang dijadikan mata pelajaran wajib tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah hidup di masa depan para pemuda-pemudi di kelasnya.

Mungkin para pengajar telah banyak yang menerapkan metode seperti ini. Hanya saja, kelemahan terbesar pengajar adalah mereka merasa menjadi seorang pengajar. Hingga kebenaran mutlak berada di tangan mereka. Berbeda dengan Gus Welly, dia tidak pernah meletakkan kebenaran pada kata-kata yang disampaikannya. Sekalipun Gus Welly mempunyai kekuasaan mutrlak di dalam kelasnya. Adab antara Guru dan murid memiliki posisi yang bisa berubah sewaktu-waktu.

“Untuk Lala, dengan kemudahan komunikasi seperti ini. Ilmu sangat mudah untuk didapatkan, bahkan seperti membanjiri mereka bagi para pencari ilmu. menggantungkan hidup manusia disini lebih Bapak maknai sebagai menokohkan seseorang. Terlepas dari segala label identitas yang melekat pada dirinya. Karena penyakit manusia di dalam banjir ilmu ini adalah mereka terjebak dalam ruang untuk menokohkan seseorang, hingga jika tidak seuai dengan yang sepemikiran. Mereka akan sulit bergaul bahkan membatasi dirinya sendiri untuk dapat hidup bersosial. Solusinya mudah untuk melepaskan diri dari terjebak dalam kubangan ini. Jangan sampai kehilangan cinta. Mereka semua adalah ciptaanNya, tugas kita hanya mencintai. Ketika kamu tepat menggantungkannya, kamu akan diberikan dimensi pandangan cinta yang lebih luas, mungkin.” Terang Gus Welly menjawab pertanyaan Lala. “ Oiya, tadi Lala bertanya ‘apakah memungkinkan’ kita bergantung kepada yang selain manusia?” Gus Welly merobek secarik kertas dari note kecilnya, lalu memberikannya kepada Lala. Secara tidak langsung, sobekan kertas kecil itu merupakan amanah yang ditugaskan Gus Welly untuk disampaikan kepada teman-temannya yang hanya penasaran saja.

Benar saja, pandangan teman-temannya tertuju oleh sobekan kertas yang diberikan Gus Welly tkepada Lala. Meskipun tidak semuanya.

“Untuk Mas Mukhsin, ini adalah realitas yang Bapak yakin semua mengalaminya. Secara tidak sadar kita memang terlalu banyak mengajukan permintaan kepada orang tua untuk memenuhi segala keinginan-keinginan kita. Dan apakah ada orang tua yang tidak berusaha untuk memenuhi kebuthan anaknya?” Mukhsin menggelengkan kepalanya memperhatikan kata-kata Gus Welly.

“Hanya saja, tidak semua orang tua memiliki harta yang cukup untuk memenuhinya sekalipun mereka telah berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Dari oang tua seharusnya kita dapat belajar. Ketika mereka tidak memenuhi kenginan kita, itu bakal menjadi sebuah ujian kesetiaan dan kesabaran kita sebagai orang yang terlahir dari rahim orang tuanya. Terlepas dari segala sifat dan keadaan orang tua, siapakah yang memberikan kekuatan untuk tetap setia dan selalu bersabar?” Gus Welly melanjutkan,” Dia tidak bisa disubjekkan maupun diobjekkan untuk dijadikan gantungan segala harap ataupun keluh kesah kita. Karena kita sendiri butuk kesesuaian rasa  dengan kapabilitas yang sesuai agar bisa terkait dan menggantungkan diri.”

Segala diskusi pun semakin melebar, Gus Welly mempersilahkan para adik-adiknya tersebut jika mau mendiskusikan segala ketidakjelasan kata-kata yang disampaikannya. Hanya satu yang ditekankan beliau, kebenaran itu bisa terletetak dimana saja dan bersifat fluktuatif. Terutama mengenai kehidupan, karena kebenaran yang kita temukan sekarang, mungkin saja bisa menjadi kesalahan yang belum kita temui di masa yang akan datang.

Dan Lala menjadi kerumunan banyak teman-temannya yang penasaran dengan apa yang tertulis dalam secarik kertas yang diberikan oleh Gus Welly. Setelah dibuka, ternyata hanya terdapat huruf “ba’(ب)”. “Apa maksudnya itu Laa?” temen-temannya bertanya. Dan Lala hanya tersenyum sembari berkata dalam hati bahwa huruf itu mengingatkannya atas apa yang pernah disampaikan oleh Gus Welly tentang Rabbun (Maha Pengasuh).