Nglangit di Lereng Sumbing Sebagai Prosesi Pelantikan Diri

Debu-debu seolah menari-nari diatas hembusan angin yang sedang mabuk. Ya, mabuk karena kecepatan anginnya tidak normal seperti biasanya. Siulan-siulan alami yang dihasilkan oleh bambu-bambu yang mulai rapuh terdengar merdu, berpadu dengan berisik angin yang sakau. Dihiasi dengan lautan awan yang nampak menyelimuti kota Magelang. Begitupun cahaya semburat Sang Fajar dari timur seolah menawan mata pandang kami yang langsung tak ingin ketinggalan momentum semesta memamerkan keelokannya.

Angin itu mulai menunjukkan tajinya tatkala kaki mulai menapak di Gardu Pandang Mangli 2, yang berada tepat berada kurang lebih sekitar 500 meter di bawah Pos Pendakian 1 jalur pendakian Gunung Sumbing via Butuh. Rencana awal memang ingin menikmati pemandangan di pos pertama tersebut serta ingin merebahkan diri sejenak setelah mata cukup tertawan dari gelut lelap yang berlalu sekejap. Jadi, tidak  perlu persiapan seribet mendaki gunung kecuali kompor portabel dan gas beserta sepaket perangkat untuk menyeduh kopi. Dan yang paling penting dari persiapan tentu saja adalah niat. Tanpa adanya niat menembus dingin dengan mata sayu karena mesti berangkat ketika langit masih gelap, semua pasti hanya sekedar menjadi wacana.

Sekedar inormasi saja, banyak spot yang bisa dinikmati di Kabupeten Magelang dengan view atau sudut pandang yang memiliki ciri khasnya masing-masing, terutama yang berada di sekitaran lereng Sumbing. Keistimewaan yang tersaji adalah gunung-gunung yang berbaris rapi dari Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Andong dan Gunung Telomoyo di sisi timur, ketika kita menengok ke sisi utara, disana nampak Gunung Ungaran, dan di selatan terhampar Bukit Menoreh yang memanjang. Oleh sebab itu pula topograi kota Magelang nampak seperti mangkok yang dilindungi oleh dataran tinggi di semua sisinya.

Setelah menikmati fenomena sunrise yang memanjakan mata, kami segera beranjak menuju pos pendakian pertama. Sepanjang perjalanan, kami disapa oleh beberapa penduduk lokal yang siap untuk bertani atau mencari rumput. Salah satu diantaranya adalah seorang nenek renta yang sempat berbincang ringan sejenak sembari menapaki jalan batuan pedesaan. Tanpa jaket, bahkan tanpa alas kaki, Sang Nenek begitu nampak lebih perkasa ketimbang kami yang sontak langsung merasa menjadi lelaki muda renta. Yang lebih mengagetkan, usia Sang Nenek sudah berada di usia yang ke-82. Wowww…! Apakah kegiatan tracking setiap hari menjadi rahasia keperkasaan beliau? Di usia yang umumnya atau wajarnya sudah tidak mampu lagi melakukan kebiasaan yang membutuhkan fisik seperti ini. Semoga keberkahan dan kemuliaan selalu menaungi beliau yang telah memberikan banyak pelajaran dari bagian perjalanan kami khususnya.

Perjalanan dari Gardu Pandang menuju Pos Pendakian 1 tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar 30 menit. Selain itu, kemudahan juga tersedia bagi yang ingin menikmati pendakian tanpa membutuhkan fisik. Dengan menggunakan ojek bertarif 20k-30k, dimana perbedaan harga tergantung pada waktu. Ojek ini tidak mangkal, namun dengan menghubungi informasi kontak yang terpampang di Pos pertama.

Akhirnya, kopi telah terseduh. Keteduhan di bawah naungan Hutan Pinus nampak spesial sembari menikmati hamparan kemegahan semesta. Diiringi nyanyian alam yang harmonis melupakan sejenak kepenatan rutinitas harian sembari menyalurkan bakat umum manusia, rebahan! Sayangnya, kami tidak membawa hammock. Tapi merebahkan diri di atas tumpukan daun pinus yang kering tak kalah nyaman. Suasana yang masih asri dan belum banyak terjamah ini sangat cocok bagi yang tidak begitu suka dengan keramaian. Karena sudah pasti, diri kita juga membutuhkan refreshing. Yang salah satu jalannya adalah menjauh dari keramaian dan bermesraan dengan alam.

Mungkin hari ini bertepatan dengan momentum sejarah bangsa dengan prosesi pelantikan pemimpin baru. Tapi siapapun pemimpinnya, itu tidak akan berpengaruh besar terhadap kehidupan kami sehari-hari yang tak pernah lelah mencari penghidupan. Namun, tugas kami sebagai rakyat adalah menghormati, mempercayai dan mendukung beliau sebagai pemimpin yang terpilih. Masalah jujur tidak jujur, amanah tidak amanahnya beliau, biarkan itu menjadi urusannya kepada Maha Penguasa Kehidupan.

Nglangit begitu kami menyebutnya, sebagai sebuah proses pembelajaran dengan sudut pandang yang berbeda mengenai kehidupan. Sejenak merasakan menjalani kehidupan sebagai manusia langit. Semoga angin yang bergembira ini menjadi prosesi tersendiri bagi kami untuk setidaknya melantik diri sendiri untuk terus berbenah dan terus berproses serta berjuang mengemban amanah utama manusia sebagai khalifah semesta raya yang dititipkan kepada kami, para hamba sahaya. Jangan pernah salahkan alam jika ada yang merugikan. Kalaupun merasa ada, tanyakan kepada diri apakah ada yang salah dengan kami (offside/berlebihan) terhadap cara kami menikmati alam?

Magelang, 20 Oktober 2019