Category Archives: MYH

Menjawab Sapaan Malam-malam yang Hangat

Dalam rubrik khusus MYH ini, sengaja kata pengantar atau prolog ini terpublikasi di belakang. Hanya sedikit saya beri judul bukan sebagai “kata pengantar”, melainkan lebih cenderung  ke “menjawab”. Sesuai dengan tagline blog “pemberi makna akan rindu kepada angan”, apa jadinya jika makna itu sudah ada yang bukan berdasar rindu, melainkan hasrat atau ego? Karena makna itu lebih banyak kita dapati saat kita memelihara rasa, daripada pada saat menuntaskannya.

Jadi, bisa saya katakan hanyalah sebuah ruang pelarian atas kejenuhan keadaan yang semakin menggerus hakikat hubungan antarmanusia. Bahwasanya apa yang dikatakan persatuan selama ini, hanyalah omong kosong belaka disaat kelembutan berkah itu mampu membuktikan satu hal utama, yakni tidak adanya pondasi untuk saling mengamankan dan saling mempercayai dalam konteks persatuan.

Anggap saja, saya butuh hiburan atas ketidakselarasan kata dan laku yang lalu-lalang dimana-mana dalam berbagai hubungan yang dibangun, yang akhirnya mendorong saya untuk berkelakar tentang sesuatu yang lain. Menciptakan sebuah ruang dimana rasa aman dan percaya akan tetap saling terjaga meski membutuhkan iman, karena ini bukanlah sesuatu yang dapat ditakar dengan timbangan logis.

Banyak sekali pertemuan cinta yang harus dimaknai meski mayoritas para pejalan cinta masih kebingungan akan siapa sebenarnya yang dicintai, orang lain-kah atau sebenarnya hanya dirinya sendiri? Oleh karena itu, sengaja saya pakai banyak kiasan dalam rubrik ini agar menciptakan banyak lipatan prasangka yang mesti dimaknai kembali. Karena prasangka itu akan menjadi tirakat terbaik menemukan kesejatian di luasnya samudera kehidupan.

Mungkin ini bukan sesuatu yang nantinya bisa dibanggakan oleh seseorang. Mungkin juga ini bukan sesuatu yang mewah baginya, yang nantinya bisa ia perlihatkan dan tunjukkan kepada orang-orang terkasihnya. Namun setidaknya, hanya melalui ini upaya yang bisa saya lakukan dalam segala keterbatasan.

Saya hanya bisa merangkai kata menjadi sekelumit makna yang tak pernah bisa saya sampaikan di depannya. Dalam setiap perjumpaan selalu ada jejak ingatan untuk dirajut menggunakan benang kata. Dengan harapan, agar saya dapat menciptakan kehangatan makna, sebagai tambahan bekal dalam ketidakjelasan arah. Bahkan, dalam ketidaktahuan tujuan.

Terlebih untuk Sang Maha Pemberi Cinta yang menitipkan rasa ini kepadaku, yang selalu menyertai dan membimbing jari-jemari dalam mencipta kata demi kata hingga teruntai menjadi makna, tiada lagi rasa syukur yang bisa terucap saat adanya rasa syukur itu sendiri adalah pemberian-Mu. Bahkan, jika saya habiskan 1 ember tinta selama masa hidupku, semua kata yang tertulis tak lain merupakan manifestasi wujud cinta dan pengabdian seorang hamba kepada Tuannya.

Engkau bukanlah yang pertama-tama harus kusebut, karena kata pertama itu sendiri hanya bermakna jika ada kedua, ketiga, dst. Sedangkan Engkau hanya Sang Maha Tunggal, Ahad, Allahu Shamad. Setidaknya ada 32 Judul yang memang membutuhkan sedikit upaya lebih untuk memahami keabsurdannya yang mencoba menabrakkan stigma ataupun dogma yang tak sengaja telah membangun ketidaktepatan paradigma.

Ini semua tertulis tatkala malam yang hangat (MYH) menyapa sekalipun dalam dinginnya kegelapan. Engkau menjadi sinar, penuntut, penghibur, sekaligus penolongku. Suatu saat, Engkau, dia, ataupun saya sendiri akan mengetahui, jika iman yang dituntut, buah kearifan dan kebijaksanaan yang dirasa tidak akan tega bahkan untuk sedikit saja mengkhianati rindu yang telah dititipkan.

Jadi, jangan harap akan mendapat kebahagiaan ketika mengarungi 32 waktu ini, kecuali sudah siap untuk selalu menahan diri. Dan tidak disarankan bagi yang over mengutamakan cinta kepada diri sendiri. Karena, bagaimana engkau kamu akan mencinta jika engkau tak kenal diri?

Akhir Sekaligus Awal Menuju Keabadian

MYH | 032

Ini merupakan akhir dari rubrik MYH ini, yang mungkin saja akan menjadi langkah awal bagi siapapun yang terpantik olehnya. Kata-kata yang terangkai atas buah pemikiran dari judul yang pertama hingga terakhir, anggap saja semua merupakan pertanyaan. Semuanya merupakan gerak yang menumbuhkan. Bahkan, kalaupun gerak itu tak tertuju atau tak ada jawaban, bisa jadi justru tidak ada jawaban itulah merupakan jawabnya.

Dalam sebuah forum rutinan kemarin ada yang menanyakan tentang hubungan cinta dengan logika. Apakah cinta membutuhkan sebuah bukti yang dapat diterima dengan logika? Mengapa cinta seperti menuntut pembuktian? Lalu, ketika tidak ada jawaban pembuktian bahkan balasan, apakah rasa cinta itu akan hilang? Apakah agama belum cukup kita perdagangkan, hingga cinta pun ikut di-transaksional-kan?

Rasa-rasa yang dialami seseorang merupakan sebuah anugerah atas pengalaman yang sedang menjadi salah satu sudut pemandangan kehidupan yang sedang dinikmatinya. Baik itu cinta, bahagia, pilu, lara, dsb. Hanya saja, mengapa kita sering merasa bisa mengendalikannya? Saat kita sedikit saja mencoba mengendalikan, bisa berarti kita kehilangan kesempatan untuk menikmati sebuah anugerah. Dan kita tidak akan pernah bisa mengendalikan rasa itu, kecuali pikiran kita bisa memanipulasinya lewat kata-kata ataupun gesture tubuh yang sedikit diubahnya.

Itulah yang sedang terjadi, aku sangat pintar memanipulasi atau memodifikasi kendaraan raga ini, agar tidak terlihat sebagaimana mestinya. Semakin banyak hijab-hijab prasangka itu menutupi diriku, aku merasa lebih aman. Dunia ini memang menjadi sebuah panggung pertunjukan untuk selalu bersembunyi dari inti kata-katanya. Apalagi dalam tatapan pandangmu, yang menjadi kelemahanku.

Malam yang hangat ini selalu menjadi satu-satunya caraku menyapamu. Jika dalam setiap gerak langkah atau pertanyaan, aku mendapati sesuatu yang menyenangkan, hal tersebut belum cukup membuatku ingin mengucap kasih kepadamu. Begitupun sebaliknya, jika langkah-langkah kecil ini memberikanku pengalaman tidak menyenangkan, lantas tak membuatku segera berucap kata maaf. Menyenangkan atau tidak menyenangkan, bukan menjadi sesuatu yang aku tuju dalam kehangatan malam yang tersaji.

Rasa duka atau bahagia tidak bisa lagi dijadikan alasan bagiku berhenti menggerakkan pertanyaan-pertanyaan kepada semesta. Pilu ataupun tawa tak membuatku terpancing untuk mengubah kebiasaanku menyapamu. Meskipun, ada atau tidak adanya kehadiranmu juga tak lantas menjadikanku kehilangan rasa cinta kepadamu. Bagaimana lagi aku bisa menyatakan cinta jika engkau sendiri yang memberikan cinta ini kepadaku?

Karenamu aku belajar kelembutan melalui keheningan kata diantara kita. Karenamu aku banyak belajar kerendah-hatian, melalui segala pemberianmu. Jadi apapun bentuk jawabannya, itu semua tergantung gerak pertanyaan kita selama ini. Dan aku selalu berhati-hati, jika suatu saat ujian itu datang aku melupakan rasa yang telah dianugerahkan,  “maka ketika penderitaan Kami kirimkan kepada mereka, mereka tidak merendahkan diri, melainkan hati mereka menjadi semakin keras(6:43)

Api tidak akan tercipta tanpa udara. Asap-asap yang mengepul itu pun tercipta bukan karena api, melainkan ranting-ranting yang terbakar. Perhatikan, sudah berapa kali kita menikmati bunga itu bermekaran meski dalam waktu yang berbeda. Tidak semuanya logis dan bisa dipahami, bahkan untuk mengenal sebenar-benarnya cinta, logika kita takkan pernah bisa menundukkannya selama detak jantung masih terdengar.

Ketika seorang lawan menendang bola ke arah gawang yang aku jaga, hal tersebut merupakan pertanyaan yang sedang diajukan. Berhasil atau tidak aku menangkap bola agar tidak masuk ke gawang, itulah jawaban. Sekarang tinggal, dimanakah posisi aku dan kamu berada?

Dan perlu kamu ketahui, ketika cinta itu datang, ia tak lantas mendatangkan kebahagiaan. Bahkan, jika kebahagiaan itu yang dirasa, bisa jadi itu merupakan sebuah istidraj. “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (6:44)

Maka, sebegitu enggankah engkau jika lebih memperhatikan gerakku? Meski keberanian itu bisa menjadikan potensi tuntasnya penantian, dan menjadikannya akhir sekaligus awal menuju keabadian. Selamat. Berjuang. ^^

Debu dan Angin

MYH | 031

Duduk termangu dalam temaram berteman suara deru hujan merupakan sebuah kesempatan untuk banyak menyimpan ingatan tentang apa yang sedang aku pikirkan pada saat itu juga. Suatu saat, ketika situasi ini tercipta kembali dengan posisi dan nuansa yang sama, dengan mudahnya aku dapat membuka kembali ingatan tersebut sembari berhitung tentang kebaikan apa yang diperoleh atas hasil pikiran pada waktu yang telah berlalu.

Aku pun mulai banyak berhitung tentang apa yang telah aku pikirkan dan pelihara dalam waktu yang cukup lama. Selalu kukejar apa yang aku pikirkan sebelum menjadi kata-kata. Dengan kata lain, selalu aku utamakan makna atas apa yang ada di alam pikiran/dunia ruh sebelum aku meliterasikannya ke dalam kata-kata/ dunia tubuh. Termasuk sebuah rasa, yang begitu melekat, meskipun telah banyak aku coba untuk membuangnya.

Biasanya sesuatu akan tumbuh selama ia terpelihara, sedangkan apa yang ada di dalam pikiran semua itu tak berlaku. Semakin kita mencoba untuk membuang atau menghilangkannya, justru yang terjadi pikiran dan rasa itu semakin melekat. Akan tetapi, ada beberapa hal di dunia pikiran yang tak segalanya mesti diungkapkan. Yang nantinya akan banyak melatih diri akan kesabaran, keikhlasan, hingga jauh melebur dalam ketulusan.

Benar jika seluruh kehidupan ini merupakan permainan yang seringkali melenakan. Dunia ini merupakan panggung bagi yang suka bersandiwara, bahkan dengan pikiran atau rasanya sendiri. Semua pasti akan mengalami, memperjuangkan, bahkan rela meniadakan dirinya untuk masuk dalam pertunjukan tersebut. Akan tetapi, itu tak lantas mendewasakannya jika yang engkau tuju adalah kebahagian dan demi keberadaan diri kita sendiri.

Karena kedewasaan itu terutama pikiran sangat mungkin untuk ditandai. Tapi bagaimana mungkin kita bisa menandainya, jika melalui wujud yang nampak pun kita sering terkecoh. Bagaimana kita akan mungkin menelusuri jauh ke dalam? Kamu sendiri pun masih mengutamakan kebahagiaan dan bersenang-senang, padahal kedewasaan nalar itu tertandai ketika dia sudah tidak bermain-main lagi sekalipun dalam ruang permainan.

Keseriusan itu bukan untuk ditunjukkan kepada yang lain melalui kata-kata indah, karena engkau akan merasa malu dengan pertunjukan tersebut sehingga nantinya engkau akan lebih memilih merahasiakannya daripada ikut berlomba menunjukkannya. Uniknya, orang-orang pintar zaman sekarang justru memilih menunjukkannya melalui status, story, atau bahkan fleet. Sekalipun mengatasnamakan untuk menyebarkan kebaikan, namun tujuan utama dari kebiasaan itu adalah eksistensi. Lalu, mulutmu berkata bahwa engkau masih menomorsatukan Dia, benarkah?

Menurut Rumi, Ilmu ataupun pengetahuan yang engkau, aku, dan kita dapati yang mewujud ke dalam segala laku dan kata yang sia-sia akan seperti angin. Sedangkan, kita sebagai manusia layaknya debu yang siap diterpa angin tersebut. Ketika angin dan debu tercampur, maka ia akan melukai mata manusia kemana pun ia pergi. Lalu, masih bisakah kita bilang demi kebaikan? Menurutmu lebih banyak yang tercerahkan atau terlukai? Kecuali yang nampak hanya semakin bertambahnya kekacauan dan keluhan.

Nantinya, ketika kita benar-benar membawa kesadaran sebagai debu, engkau akan lebih memperhatikan kata-kata yang terdengar dan lebih bersungguh-sungguh terhadap laku yang dijalaninya. Hingga engkau tak sadar telah menguraikan air mata.

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi’ (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad SAW).” (5:83)

Namun, yang terjadi akan sebaliknya jika angin atau bahkan air itu mengalir di atas debu. Dia akan menjadi sesuatu yang menumbuhkan dan menciptakan kelahiran-kelahiran baru ketika dia mengaliri buah-buahan, segala jenis tanaman,  dan bunga-bunganya. Ya, permainan ini pun ternyata masih panjang dan belum usai. Masih banyak kelokan dan tikungan yang menyebabkan penderitaan sebelum mencapai tujuan.

Oleh sebab itu, kepada hujan aku hanya termenung. Meratapi engkau yang telah lama menetap di dalam pikiran. Bahwa suatu saat nanti jika semua ini akan menjadi kata-kata yang nampak begitu jelas olehmu, aku enggan akan menghadirkan luka atas tidak kuasanya aku menahan diri. Sebenarnya aku sudah mengumpulkan banyak modal alasan untuk berkelit dan melakukan pembelaan diri atas kemungkinan itu.

Namun sekali lagi, aku hanya memilih menahan diri, dalam batas dan kapasitas yang telah ditentukan. Dan aku mengetahui konsekuensinya sekalipun  perhatianku hanya tertuju padamu tanpa ada laku yang menyertainya. Lalu, bagaimana mungkin aku mencari perkara yang amat rendah, apabila yang amat menakjubkan telah ada?

PINTU IMAJINASI

MYH | 030

Aku berjalan dalam ketidakpastian sembari bertanya-tanya kepada diriku, “kemana aku tertuju? Atas dasar apa aku rela untuk melangkahkan kaki menuju sesuatu yang tidak dapat aku pastikan?” Aku pun sebenarnya tidak mengetahui persis keberangkatan niat seperti apa yang aku pegang, kecuali satu kepastian dan kepercayaan atas cinta.

Ketika diriku banyak berangan-angan tentangmu, itu hanya sekedar membaca karena tak pernah aku ungkapkan angan-angan itu kepadamu. Jika ada sesuatu yang membuatku terus-menerus menarik perhatian kepadamu, hal itu tak lantas membuatku ingin memilikimu. Jika diriku bersedia menahan segala keberadaanku di depanmu, itu pun tak seketika membuatmu mampu untuk menelanku.

Rahmat seperti apa yang akan aku dapatkan? Atau semua itu merupakan hukuman atas kesalahan yang pernah terjadi? Tapi apakah rahmat terikat pada kebaikan atau kesalahan? Karena jika sesuatu yang baik itu menimpa kepadaku, bisa jadi itu merupakan suatu istidraj. Lantas hati ini pun sangat sering bertanya, “lalu, untuk apa aku diciptakan jika segala sesuatunya sangat mudah untuk diputarbalikkan? Untuk apa aku menuju ke suatu tempat, jika pada akhirnya engkau singgahkan aku di tempat yang lain?”

Dan jangan pernah membayangankan bahwa tidak akan ada yang menyengsarakanmu, atau bahkan akan membunuhmu, kecuali tanpa rahmat Allah. Selama ini kita secara tidak sadar banyak mempersempit makna akan rahmat yang datang hanya kepada hal yang baik. Padahal baik dan buruk itu pun hanya kesepakatan tentang cara pandang yang terbatas sekalipun disepakati oleh orang-orang terpilih nan cerdas. Karena kita hanyalah keterbatasan.

Namun, dengan keterbatasan itu, kita diberi kesempatan untuk memiliki imajinasi. Percayakah bahwa segala sesuatu yang berbentuk berawal dari sebuah imajinasi? Segala rumah yang terbentuk itu merupakan buah pemikiran para arsitek atau para perencana pembangunan. Sedangkan dunia tempat tinggal kita sekarang ini merupakan sebuah bentuk yang pada akhirnya keadaan wujud dunia sekarang merupakan cerminan dari para penghuninya.

Sebelum kita menentukan gerakan awal sebelum menuju kemanapun, imajinasi kita telah memberikan mapping tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dilalui. Dan dari imajinasi itu, secara intuisi dan naluri kita akan memberikan penilaian terhadap gambaran tersebut yang pada akhirnya kita sebut sebagai prasangka. Jangankan dunia, “Tuhan pun sesuai dengan prasangka para hamba-Nya terhadap-Nya.”

Pada umumya orang banyak mengira bahwa menanam kebaikan merupakan diwujudkan melalui sebuah laku nyata. Akan tetapi, sebenarnya konsep menanam itu semestinya berawal dari imajinasi yang kita bentuk ke dalam prasangka yang baik. Inilah yang pada akhirnya juga menjadi awal dari terbentuknya niat. “Segala sesuatu akan sampai pada tujuannya sesuai dengan niat.” Sepertinya hadits tersebut sudah menjadi sebuah rumusan fakta, bahwa dari imajinasi pada akhirnya bisa menjadi pintu awal menuju sesuatu yang nyata.

Bagaimana imaji bisa menjadi kenyataan? Banyak orang memaknai hal tersebut sebagai mimpi, yang bisa membawa seseorang ke dalam sikap obsesi yang menjadikannya berpikir idealis. Akan tetapi segala bentuk imajinasi tetap membutuhkan pondasi yang kuat agar yang muncul adalah aktualisasi kebijaksanaan, bukan kesembronoan.

Mungkin, karena itu pula aku lebih banyak berburu angan daripada kata. Aku lebih banyak menggali makna, daripada mencoba mendapati sesuatu yang nyata. Dan diantara banyak angan yang kutemui, ada sesuatu yang datang dan pergi tanpa sekalipun aku memiliki kehendak terhadapnya. Engkau seolah menjelma menjadi sebuah manifestasi atas cinta yang selalu ada dan hadir.

Dunia ini mungkin saja merupakan sementara, tapi kita juga tidak sanggup membuktikan kalau nantinya dunia akan selalu ada. Sama halnya dengan semua imaji yang tercipta, yang datang untuk mengahadirkan rupa. Tak peduli baik atau tidak baik kemasan(kondisi)nya, karena semua cinta yang datang sudah pasti tak pernah lupa membawa keranjang rahmat.

Betul. Cinta. Ribuan bentuk ataupun perubahan atas imajinasi mampu digerakkan olehnya. Jika aku berkata cinta itu sekarang bermanifestasi menjadi dirimu, salahkah jika aku ingin memilikimu?

Dalam Batas, Aku Menunggu Untuk Kau Jerat

MYH | 029

Apakah engkau kira aku berhenti melihatmu tatkala tatap enggan untuk hadir? Pandangan ini selalu mampu melihat apapun yang engkau inginkan, mengetahui sesuatu harapan yang sangat ingin lekas mendapat kepuasan, meskipun sebenarnya rasa takut lebih banyak mendominasi harapan tersebut. Bahkan amarahmu selalu pintar bersembunyi di balik senyum indah yang engkau berikan.

Aku dan kamu sebenarnya tak lebih dari binatang buas yang lihai memanfaatkan akal pikiran. Kita selalu terjerat oleh nafsu, menjadi budak keinginan, dan selalu bergerak mencari tempat untuk melampiaskan. Hanya saja, semua itu mampu kita kemas dengan baik dalam akhlak layaknya kodrat yang telah diamanatkan sebagai manusia.

Tapi, tubuh ini layak untuk diisi oleh sesuatu yang sekiranya akan berdampak kebahagiaan. Terdapat banyak hal penting yang dapat engkau masukkan ke dalam diri selama pengembaraan ini. Bahkan, tempat yang engkau anggap panggung sandiwara ini pun menyimpan banyak rahasia yang dapat engkau jadikan energi mengarungi ketersesatan yang sering dijumpai. Lalu, apakah engkau akan memutuskan untuk berhenti?

Malam yang hangat datang terlalu cepat hingga tak sempat mengurai banyak makna. Semua terlewatkan begitu saja. Angan-angan suara tentangmu seolah tinggal disampingku, hingga hal tersebut sangatlah cukup memberikan ketenangan dan menghapus segala letih yang sudah lama tertahan.

Tak berhenti disitu, engkau pun kembali hadir menemani dalam keterlelapan. Setidaknya memberikan keindahan di antara banyak mimpi-mimpi yang terlalu sering berlalu-lalang. Mimpi yang selalu ditunggu di antara banyak ketidakjelasan makna yang membutuhkan banyak upaya lebih untuk mengungkapnya. Dan semua itu tentunya membutuhkan jala kesabaran untuk mendapatkannya, lalu memasukkannya ke dalam diri.

Walaupun yang terjadi justru sebaliknya, engkau habiskan banyak waktumu dalam pengembaraan. Berkeliaran mencari sesuatu yang dapat menghadirkan kebahagiaan untuk dirimu. Aku berenang dalam luasnya samudera yang sungguh tak mengerti batas. Sekiranya aku mengatakan batas, itu pun belum tentu aku memahaminya, bahkan terkesan berpura-pura. Karena batasan ini sangat sulit untuk dilihat dan diukur sebagaimana batas-batas yang telah dikenal.

Batas itu sangatlah lembut, dan ketika batas itu terungkapkan dan menjadi sebuah pemahaman, hilang sudah kelembutan yang selama ini melekat. Segalanya akan mencuat penuh dengan pengharapan. Jika seperti itu adanya, batas tidak lagi menjadi kemerdekaan diri. Karena  semua yang dilakukan akan penuh dengan tendensi.

Tanpa diungkapkan, engkau sesungguhnya sudah mendengar meskipun aku sembunyi. Engkau sesungguhnya telah melihat aku berenang di kisaranmu, meski yang tampak hanya sebatas bayang-sayang samar. Dan engkau pun dapat merasakan kehadiran itu sekalipun jarak tak selalu mewujudkan tatapan-tatapan yang menunjukkan rasa saling ketertarikan. Namun dari semua itu, batas justru hadir tatkala kita banyak mengenal sesuatu dari luar. Menjadi penghalang yang nantinya menghambat langkah atau justru ketika tak disegerakan akan menghilang.

Semua itu adalah prasangka yang banyak memberikan penilaian kepada kita. Sekalipun mereka banyak berkata batas yang mengandung kelembutan. Dan perhatikanlah, mana yang akan lebih sering kita masukkan ke dalam diri? Sedangkan ketika memasukkan, kita butuh kedaulatan diri agar tak mudah terombang-ambing dalam ketidakjelasan.

Dan memahami atau tidak kelembutan dalam batas pun sesungguhnya itu hanyalah jalan. Karena “mereka tidak akan memahami apa pun dari Pengetahuan Tuhan, melainkan sejauh yang Dia kehendaki” (2:255). Aku enggan batas-batas itu hanya akan kau kenal sebagai penghias kata atau sesuatu yang mistik. Aku akan membiarkan segala kelembutan itu hanyut atau mungkin terbakar oleh waktu jika hal itu merupakan kebaikan yang sangat mungkin mendatangkan keajaiban. Mungkin karena itulah aku memilih untuk enggan untuk mengungkapkan kelembutan ini kepadamu. Aku tak lain hanyah seekor ikan yang sedang berenang tanpa batas sembari menunggu waktu untuk kau jerat. Dan menjadi salah satu di antara banyaknya sesuatu yang akan engkau kenang dalam dirimu. Aku tak peduli jika nantinya engkau akan telan aku, jika hanya itu satu-satunya jalan aku akan melebur ke dalam dirimu, Kasih!

Untuk Tetap Tinggal

MYH | 028

Awan mulai menggerutu tatkala sangkaan tak kunjung terbukti dan selalu mewujud keniscayaan. Antara aku dan kamu. Yang enggan untuk memulai kata.

Meskipun diam sudah menjadi kebiasaan, tapi cinta tak pernah henti bergetar. Mengisyaratkan kelembutan atau ketulusan yang selalu saja menari-nari di kisaran kita. Hingga menjadi kehangatan yang selalu mudah tuk memudar seketika.

Lantas, keresahan itu menyapa, karena yang ditunggu ataupun yang disapa tak kunjung membalas dengan kata. Seolah denting waktu kian menjerat karena harapan tak kunjung jua diperkenankan untuk setidaknya mencapai kesepakatan.

Mungkin saja hanya aku yang tak terlalu berani mengungkap rasa. Karena jarak dan dunia yang terlalu berlebihan memenggal kasta. Meski karena rasa itu pula, ada batas-batas yang tak ingin ditabrak sebagaimana mestinya. Menunggu momentum seakan menjadi satu-satunya pilihan.

Ya, aku tidak berani untuk berkata bahwa “aku cinta” kepada sesuatu selain Engkau. Karena ketika engkau banyak menguji ketulusanku dengan rasa-rasa yang menggoda, pada saat itu puka engkau selalu banyak memastikan cinta itu. Antara melupakan, menggantikan, atau mungkin sebagai sebuah pelampiasan.

Tapi, kenapa engkau biarkan cinta itu bersedih? Bahkan merintih dalam kesepiannya. Apakah itu hanya sebuah pemantik agar terkumpul keberanianku? Atau hanya sebuah jebakan untuk menguji rasa yang engkau titipkan.

Berikan aku sedikit lagi pertanda setidaknya dengan kata “jangan pergi”, sekalipun aku mengetahui engkau sanggup dan terbiasa sendiri, maka aku akan memastikan untuk tetap tinggal. Lalu ambillah apapun dariku, akan aku pastikan bahwa yang memilikiku mengijinkannya jika itu kamu, Kasih.

Cahaya yang Engkau Lewatkan

MYH | 027

Andai saja aku biarkan mata ini terjaga agar bisa menyambutmu kedatanganmu, apakah hal tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan untukmu? Terlebih hal itu sudah menjadi hal biasa yang terlihat, tentu akan semakin memperbesar potensi kebosanan. Bahkan siang dan malam pun selalu memberikan suasana yang berbeda di setiap kepergian ataupun kedatangannya. Terutama bagi para penikmat kemesraannya.

Engkau mungkin telah diberkahi dengan mahkota emas, dengan rambut ikalnya yang lebih menarik. Akan tetapi jika aku hanya terpaku kepada paras nan menawan itu. Atau andai saja aku tertuju pada mahkota emas itu, mungkin tatap, senyum, ataupun kehangatan yang selalu kau beri sudah tak lagi menjadi arti. Dan akan sangat mungkin segala kata-kata yang terangkai ini telah terputus.

Engkau sudah pasti mengenalku, tentang bagaimana banyaknya sikap menahan diri pada akhirnya mengajarkan akan kekosongan. Meskipun tidak pernah terbesit sama sekali pengalaman-pengalaman itu banyak memberiku pelajaran sejak kecil. Hingga ketaatan ataupun kemandirian bukan lagi sesuatu yang perlu dibanggakan. Karena justru kekosongan itu yang lebih melekat dan layak untuk dirindukan.

Mungkin saja ia telah banyak membersamaiku dalam kesabaran, seolah ia pun enggan menggantikan sesuatu apapun selain dirinya, terlebih untuk dirimu. Oleh karena itu, aku tetap menyimpan motivasi-motivasi kejahatan, agar aku masih tetap bisa menjaga kebaikan kepadamu. Aku tidak akan berhenti berprasangka kepadamu, agar aku tidak berhenti untuk selalu menahan diri. Apalagi demi cinta yang masih begitu banyak mengharapkan balas darimu.

Aku mungkin akan kehilangan bahagia dan memilih untuk berduka atas segala kemungkinan jika aku melewatkan keindahan sapaanmu. Namun, bukankah syarat datangnya bahagia justru harus ada duka Llara? Begitupu sebaliknya. Karena kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang banyak terlihat darimu. Hingga aku mendapatkan keindahan yang merdeka atas segala hal, terutama jika hal tersebut menyangkut apapun tentang dirimu.

Suatu saat, dirimu pasti akan menemukan satu waktu ketika hanya melihat duri yang tumbuh atau bahkan mungkin segala bentuk najis mengerumuni diriku. Hal-hal seperti itu akan menghentikan langkahmu untuk mendekat kepadaku. Jika tempat yang penuh duri dan kehinaan itu merupakan dinding rumahku, jangankan untuk masuk, sekedar menyentuhnya pun engkau pasti akan ketakutan.

Bagaimana mungkin mahkota emas akan menyandingkan diri dengan kehinaan yang jelas-jelas tampak? Sedangkan aku sama sekali tak terpengaruh oleh penglihatan-penglihatan tentang sesuatu yang menjadi dinding rumahku. Bahkan ketika engkau berkata sesuatu yang buruk tentang selimut atau dinding rumahku, kenapa aku mesti marah? Sedangkan itu satu-satunya syarat menuju jalan pintu kebahagiaan denganku.

Aku bagaikan pembunuh yang sama sekali tidak memiliki empati ataupun simpati karena selalu dapat menikmati prasangka mereka dengan canda tawa. Mungkin saja aku memiliki banyak musuh yang mereka tidak memiliki syarat apapun untuk dapat mengutukku. Atau mereka justru menghancurkan dirinya sendiri dengan banyak menghindar dari pandanganku.

Hanya engkau yang benar-benar mengenalku yang mampu menembus dinding rumah itu tanpa prasangka apapun. Hanya mereka yang banyak menahan diri dalam keterasingan atau kekosongan yang mampu membuka hijab-hijab kehinaan yang menyelimuti. Dan hanya engkau yang benar-benar terpilih yang akan terus meneruskan langkah.

Cinta bukanlah sesuatu yang mesti didapatkan. Cinta merupakan sesuatu ketika dengannya engkau akan selalu rela untuk memberi tanpa mengharap balas. Rindu bukanlah sesuatu yang menjadikanmu lantas ingin segera bertemu, kecuali ia akan menjadikanmu semakin candu tanpa harus memadu.

Kasih, coba perhatikan kembali, adakah cahaya itu engkau lewatkan? Sedang engkau sendiri tahu, bahwa waktu banyak memberi ruang kita bersama dalam kekosongan asa, bahkan mengikat dalam tali kemesraan yang fana. Atau haruskah aku merayu?

Kasta Kerinduan

MYH | 026

Ketika hati sedang dibuat murung oleh keadaan, rasa rindu selalu datang dan menjadi pelipur terbaik. Meski ia tak lantas dapat mengeringkan hamparan tanah basah seusai hujan mereda. Atau mungkin saja ketika kerinduan itu datang, hujan akan semakin merasa nyaman sehingga kemesraan akan semakin memuncak tanpa ada yang harus pergi.

Dan ternyata kerinduan itu pun memiliki kasta atau tingkatan-tingkatan. Seperti apa tingkatan-tingkatan itu sebenarnya masing-masing dari kita pasti mengalaminya. Karena kita memiliki bekal cinta. Engkau mungkin merasa rindu kepada seseorang. Pertama-tama yang akan diusahakan adalah sebisa mungkin dapat melihatnya secara langsung. Ketika hal itu tidak mampu terwujud, kita bisa menyapanya melalui pesan tertulis yang semakin dimudahkan seiring berkembangnya teknologi. Bahkan, teknologi mampu mewujudkan keinginan yang pertama meski jarak menjadi sekat.

Dengan teknologi, yang mustahil menjadi memungkinkan.

Yang paling menarik ketika kerinduan itu begitu mencekam, namun kita memilih berpuasa atas kehendak untuk segera menuntaskannya. Dengan memilih untuk tidak menatap atau tidak menyapa, bahkan tanpa kata. Ya, pada akhirnya aku memilih untuk berpuasa atas rasa rindu itu sendiri. Saat dia menjadi pelipur terbaik, justru aku berpaling darinya dan mungkin akan terlihat seperti orang bodoh.

Kepada manusia, kita pun melakukan banyak perhitungan untuk mengambl jalan pembuktian. Padahal, itu bisa menjadi media latihan untuk melatih kerinduan kepada Yang Maha Merindu. Bagaimana mungkin aku memiliki rasa rindu, jika rindu yang terasa pun telah Kau ijinkan untuk singgah di kehinaan ini.

Kita tak sadar sering mengobral kata rindu bahkan cinta, namun kelakuan kita sama sekali tak mencerminkan itu. Terlebih jika kita menapaki tingkatan rindu yang pertama, diri akan selalu menuntut untuk menatap kekasih. Kecuali jika keadaan pada saatnya akan mengajarkan tentang arti kehilangan. Setelah kehilangan, kita pasti juga dipertemukan oleh ketidaksetiaan atau pengkhianatan. Karena sang kekasih masih ada, maka keadaan memaksa diri untuk menahan tatap dan sapa,

Bisa saja kita marah dan membiarkan nafsu menguasai diri untuk melampiaskan amarah-amarah. Menatapnya untuk mengumbar segala dendam karena telah merasa dikhianati. Lalu, apakah cinta itu masih terjaga? Kerinduan pada level ini akan banyak mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan tentu bagi mereka yang sudah berpasangan.

Dan terakhir, ketika segala cinta menyeruak ke sumbernya. Rasa rindu pun demikian. Ia bermanifestasi menjadi apapun dan kapanpun hingga benar-benar menjadi pelipur dan pemberi semangat terbaik. Sang kekasih tidak pernah mewujud, tidak pernah menyapa, dan absurd. Keabsurdan ini lebih dari sekedar pengkhianatan. Ia benar-benar tak mau atas diri yang masih banyak menyimpan kedzaliman. Ia benar-benar membutuhkan pembuktian yang tidak hanya membutuhkan kesabaran dan keikhlasan. Ia menginginkan pengorbanan.

Sampai titik inilah engkau akan benar-benar memahami bahwa mengingat mati benar-benar akan menajdai nasihat terbaik. Bahkan pesan bijak seperti “hiduplah seperti orang yang sudah mati” benar-benar seperti bukti pengorbanan yang mesti dijalani. Karena oleh karenanya, engkau disucikan dari segala tendensi yang sudah meracuni diri.

Untuk menjaga rindu, lebih baik tak usah kau tanyakan kepadaku berapa usia rindu yang sudah terpelihara. Kalaupun kini engkau yang aku rindu, aku pasti menyembunyikannya supaya engkau tak mengenalnya. Dan aku tidak pernah berusaha untuk mengendalikan rasa yang dilimpahkan. Aku selalu berusaha menikmatinya, terlebih jika itu menyayat-nyayat menjadi sesuatu yang menyakitkan.

Ya sakit-sakit yang datang sering membuatku tersenyum, meskipun di sisi lain semakin mendatangkan hujjah karena dianggap menyepelekan. Meski apa yang membuat tersenyum sebenarnya adalah kehadiran sosok-sosok yang banyak mengajarkan tentang rindu dan membagikan kehangatannya. Penantian itu tertunaikan dengan kehadiranmu, dan pada waktu itu pula hati selalu memberanikan diri berbisik, “Kasih, sediakah engkau tinggal?”

Menenggak Anggur

MYH | 025

Ketika hujan kembali menyapa, semua tentangmu masihlah sama. Aku tidak akan mengikuti hanya untuk melihat. Aku takkan mendengar hanya untuk menuntaskan rindu. Yang tumbuh semakin rimbun dan penuh warna, meski kau pupuk itu dengan kepedulian. Karena aku sendiri berusaha menghindar dari sesuatu yang coba engkau pahami.

Rintik hujan selalu memutar segala kenangan yang mungkin akan engkau sangka indah. Tak sedikit, orang mengira aku telah banyak menenggak anggur. Sedangkan aku meminum darah dari hatiku sendiri. Banyak orang mengira bahwa aku telah banyak memetik buah keilmuan, saat aku hanya masih tersesat dalam ketidaktahuan dan ketidakmengertian dunia yang selalu saja berhasil membuatku terkecoh.

Berulang kali aku mengatakan cinta, tanpa harus kau baca. Berulang kali aku mengatakan rindu tanpa harus kau dengar. Dan berulang kali pula aku membutuhkan kasihmu, tanpa harus kau pedulikan aku. Semua itu menjadi keindahan sekalipun engkau juga membutuhkan sepercik cahaya untuk dapat menikmatinya.

Apakah ini termasuk keajaiban?

Keajaiban adalah yang membawamu dari keadaan rendah menuju keadaan yang lebih tinggi. Keajaiban yang memindahkan engkau dari sana ke sini, dari kebodohan ke kecerdasan, dari kematian ke kehidupan. Pada awalnya engkau adalah debu, mati dan dibawa ke dalam dunia kehidupan tanaman. Dari sana engkau berjalan ke dalam dunia binatang, hingga akhirnya berada dalam dunia manusia sekarang. Semua itu keajaiban menurutku.

Aku pun sebelumnya telah menyerahkan diri pada sesuatu yang tidak dapat aku lihat. Aku telah banyak mengaku cinta kepada sesuatu yang tidak dapat aku dengar. Aku pun banyak mengaku-aku rindu kepada sesuatu yang tidak dapat aku rasakan dekapan hangatnya. Adakah alasan bagiku, jika kekuatan itu juga akhirnya berlaku kepadamu? Ataukah engkau adalah ujian cinta kepdanya yang memanifestasi wujudnya di dalam dirimu?

Nantinya, jika aku terbiasa melihat, mendengar dan mendekapnya, bukankah aku akan mudah menjadi bosan? Akan tetapi Dia selalu memliki ribuan cara untuk membuatku tidak bosan dan banyak menggodaku dengan manifestasi cintanya yang seolah ia wujudkan ke dalam dirimu.

Dan, kalau aku mengakui keajaiban itu di depanmu sekarang, mungkin engkau akan menertawakanku, menginjakku, bahkan menamparku karena kau anggap aku telah banyak menenggak anggur di awal. Dan aku tahu ketika mengatakan itu padamu, kamu hanya berkata, “aku akan membunuh dengan kata-katamu sendiri, sengsaralah engkau!”

Namun, bukankah itu keindahan?

Karena Aku Hanya Melihatmu

MYH | 024

Sebenarnya aku juga tidak mengerti darimana dan kapan rasa itu tumbuh ketika tatapan matamu menitipkan pertanyaan tentang hal tersebut. Hanya saja, aku sudah terbiasa untuk membagi-bagikan rasa itu kepada yang membutuhkan. Meskipun sebatas kehadiran, atau menemani kesunyiannya dalam relung sepinya kebersamaan.

Kebahagiaan itu selalu datang tanpa memberi tanda akan sapaannya. Sekalipun di sepanjang jalan ini telah banyak yang menawarkan buah kebahagiaan yang sama, hanya dua buah yang tidak bisa aku memintanya dan mengharapkan keberadaannya. Sehingga aku hanya bisa menanam biji-biji pemberiannya, tanpa mengharapkan akan memanen buahnya. Berharap nantinya akan banyak yang cukup merasakan nikmatnya, tanpa perlu mengetahui awal kenikmatan yang dirasakan.

Aku tidak pernah sanggup membalas, sekalipun diriku telah dipenuhi denganmu, olehmu, dan untukmu. Karena belum tentu dirimu akan menerima dan senang akan pembalasanku. Mungkin bisa sebaliknya, kamu justru merasa risih jika aku memberikan hal yang sama seperti yang engkau berikan. Dan yang aku tahu pasti, kamu tidak membutuhkannya.

Dan kalaupun engkau membutuhkannya, engkau akan terus tinggal disini. Sementara aku justru membiasakan berkeliaran dalam kegelapan karena konon dalam kegelapan itu air kehidupan akan ditemukan. Bagaimana aku akan mengajakmu kepada sesuatu yang tidak mengenakkan dan berharap engkau tinggal dalam ketidakenakan tersebut?

Aku ingin kau terus saja membalikkan punggumu, jangan kau layani aku dengan duduk berhadap-hadapan denganku. Aku ingin seperti itu, sehingga yang kau lihat hanyalah nasihat dan sapaan biasa. Namun, jika engkau berusaha menatap mataku, aku tidak mau betapa rasa asih dan rahmat atas rasa itu sendiri terlihat lemah.

Apakah engkau tahu berapa lama aku menahan rasa benci terhadap situasi itu? karena ketika engkau duduk bersamaku, aku takut tidak akan sanggup lagi menahan segala daya yang selama ini tersyirat. AKu tidak sanggup lagi menahan kata yang selama ini ingin mengucap. Atau aku tidak tahan lagi menahan kehendakku sendiri, bahwa selama ini aku hanya melihatmu. Persis seperti yang sedang kita alami.

Bualan-bualan itu banyak berserakan, karena orang yang kalut dalam hasrat cintanya hanya akan seperti orang bodoh yang suka menjilat-jilat, mengorbankan kemakmurannya, demi memberi kesan bahagia terhadap kekasihnya. Mereka takluk oleh dirinya sendiri ketika melakukan pengejaran sesuatu yang dianggapnya cinta. Sedangkan kebanyakan dari mereka tak sadar bahwa yang mereka inginkan adalah kepuasan hasrat pribadi. Bukan ketulusan apalagi cinta.

 Aku sudah sangat biasa hanya melihatmu terbebas dari jasad yang engkau bawa. Oleh karena itu, aku tidak ingin mengharapkan perjumpaan denganmu. Karena mungkin aku sendiri belum benar-benar cinta dan masih menyimpan hasrat atas kehadiranmu. Aku cinta karena rindu, sedang rindu itu tercipta karena rasa ingin jumpa denganmu.

Kenapa hal tersebut aku tanamkan? Mungkin karena aku tidak butuh balasan apapun, termasuk cinta yang sama. Aku tidak mau kamu menggila dengan melihat segala sesuatunya berawal darimu. Dari satu. Aku hanya akan membawamu ke keabadian dan kekekalan untuk dapat terus merasakan kebahagiaan. Apa yang engkau rasakan kesementaraan, sedangkan yang aku jalani adalah keabadian.

Karena jika aku menginginkan perjumpaan denganmu, maka ketika aku menanam benih-benih rindu, tidak akan pernah aku menginginkan sesuatu apapun kecuali diperjumpakan lagi denganmu. Semua wujud laku mungkin merupakan bagian manifestasi atas keinginan untuk berjumpa denganmu. Cinta ini pun lahir tentu atas kehadiran dan perkenaanmu.

Biarkan aku hanya melihatmu, dan duduk cukup dengan mengingatmu. Kecuali jika engkau ingin menemani kegelapan dan kesunyian ini.

***

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (18: 110)