Pelajar Bodoh yang Istiqomah Terhadap Kebodohannya

Salah satu hasil dari sistem pendidikan adalah memisahkan dan membedakan mana yang pintar dan bodoh dalam hal penguasaan materi yang telah diberikan. Tapi apakah kepintaran tersebut dapat dijadikan sebuah jaminan? Terutama ketika mereka tumbuh menjadi dewasa dan pasti ada saatnya ia akan menjadi seorang pemimpin di lingkungannya.

Sekalipun usaha pengajar juga telah semaksimal mungkin dalam mendidik para siswa-siswinya, namun tetap saja situasi yang diinginkan tak ubahnya justru menjadi buah simalakama bagi negeri yang membangunnya. RPP ataupun silabus hanya menjadi pedoman tentang materi yang akan diberikan sesuai mata pelajaran masing-masing.

Bukan berarti pendidikan itu tidak penting, melainkan mencoba memahami keinginan belajar si buah hati lebih pentin daripada memaksakan ia menjadi sesuatu kelak. Paradigma sebuah kesuksesan juga mesti direkonstruksi ulang cara pandangnya agar mereka siap menghadapi terjangan zaman yang semakin kalut tak menentu. Kebaikan seolah menjadi urutan terakhir setelah memperolah kekayaan, kekuasaan, maupun kekuatan.

Apakah ada sekolah-sekolah yang fokus utamanya adalah mengeluarkan potensi kebaikan para siswa didiknya? Mengajarkan kebijaksanaan? Baik yang di bawah kementrian pendidikan ataupun kementrian agama seolah tidak memperdulikan itu. Yang pasti, masing-masing dari lingkungan itu dapat mengadakan lomba-lomba untuk saling berkompetisi memilih yang terbaik dalam hal kecerdasan.Agar perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju.

Sial! Menurutmu siapa yang paling diuntungkan dengan kecerdasanmu? Rakyatkah? Negarakah? Atau segelintir orang yang akan mempekerjakanmu kelak? Berapa dirham yang kau butuhkan hingga kau mau untuk pergi meninggalkan orang tuamu, keluargamu serta teman-teman seperjuanganmu? Alasan merubah nasib sudah menjadi basi, karena ketika pergi yang diutamakan adalah menyenangkan diri sendiri.

Seorang pendidik pernah berujar bahwa ilmu tertinggi itu bukan di universitas-universitas, tapi justru ilmu itu berada di desa. Yang mayoritas terletak di sekitar lingkungan tempat tinggal kita. Pendidik ini masih mengutamakan kebaikan sebagai poin utama dalam proses pembelajaran. Sehingga desa-lah yang menjadi pilihan utamanya sebagai tempat atau ruang pembelajaran daripada ruang eksklusif yang disebut universitas.

Kecuali jika kekayaan menjadi prioritas utama dari seorang pelajar sebagai jalan satu-satunya untuk memenuhi segala keinginan. Tentu tidak ada yang salah dalam segala yang telah terjadi hingga makna pun menjadi pro dan kontra. Itu sudah biasa.

Tentu peranan dan kebijaksanaan orang tua akan menjadi sangat sentral dalam membentuk moral anak-anaknya. Dalam memberikan pengasuhan dan perhatian terhadap anak-anak yang manjadi titipannya. Apa gunanya cerdas tanpa kebijaksanaan? Apa gunanya kekayaan jika tidak bersifat keadilan? Apa gunanya kekuasaan tanpa kepercayaan? Apa gunanya kekuatan tanpa rasa tanggung jawab?

Parahnya lagi, mayoritas lingkungan pekerjaan menjadikan legalitas dari lembaga pembelajaran tertentu sebagai syarat utama jika seseorang ingin mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, semua meski menapaki lajur pendidikan formal. Sekalipun terpaksa.

Butuh keberanian untuk dapat keluar dari penjara tersebut. Mental seorang pencari ilmu sejati, yang dapat menyingkap berbagai makna di setiap ruang dimana ia berada. Karena semua akan mencoba memberikan tekanan dan perhatian kepadamu jika kamu membangkakng terhadap formalitas. Sudah pasti ‘pelajar nakal’ akan menjadi identitas utama yang akan didapat jika kamu menapaki jalan pelarian ini.

Sekolah seolah telah menjadi penjara bagi anak-anak yang mencoba untuk bergembira dengan teman-temannya, lingkungannya, bahkan yang ingin mencari kegembiraan karena mendapatkan sedikit perhatian dari keluarganya. Kecuali bagi mereka yang selalu mampu mengakali meski konsekuensi dari hal mendapatkan kegembiraan adalah mendapatkan cap bodoh dari teman-temannya.

Yang pintar semakin berlomba untuk menjadi pemimpin, dengan kecerdasannya, ketangkasannya. Tapi apakah benar yang memimpin adalah orang cerdas? Ataukah rakyatnya sendiri yang mengganggap pemimpinnya bodoh karena merasa dirinya pintar? Disaat kewajiban kita kepada pemimpin adalah menghormatinya. Toh, ketika rakyat telah tunduk tapi justru pemimpinnya yang dzalim, biarkan itu menjadi tanggung jawabnya kelak. Tugas kita hanya mempercayainya, sekalipun dianggap bodoh.

Antara yang dipilih atau yang memilih, sebenarnya juga tidak terjebak kepada dua pilihan pintar atau bodoh. Cukup tugas pelajar sejati hanya mengabarkan kebaikan lewat output perilaku masing-masing. Daripada ikut menghardik, lebih baik diam. Lebih baik mana antara ikut membunuh atau dibunuh? Membodohi atau dibodohi?

Jika menjadi bodoh menjadi suatu jalan daripada dianggap pintar. Istiqomahlah dengan prasangka kebodohan diri. Ketika berhasil membuka suatu pintu ilmu jangan harap itu akan selesai, karena kamu telah membuka ruang ilmu yang lebih luas lagi. Bukankah Tuhan juga memberi wejangan, “dan tidaklah kamu diberikan pengetahuan, melainkan hanya sedikit?” Jika kekayaan hanya akan membuatku lupa dan kekuasaan hanya akan menjerumuskan dalam kefasikan, lantas buat apa kita memperebutkan kekayaan dan kekuasaan?

Kalau kamu percaya ada Sang Maha Adil, kamu pun tidak akan pernah merasa khawatir. Dan dengan Sang Maha Pengasih, dirimu tidak perlu lagi bersedih. Asalkan kebodohanmu tidak membuatmu malas untuk terus berjuang dalam hal apapun. Dan hanya pelajar sejati yang mampu mengembara dengan kebahagiaan.