Category Archives: Semata

Satu yang Tak Terpisahkan

NYK | 025

Bagaimana aku bisa mengetahui tujuan ini jika hanya engkau yang mengetahui jalan itu? Sebenarnya tidak ada sesuatu apapun di tempat ini, sekalipun engkau mengatakan banyak hal yang sebenarnya dapat diri ini lihat dan memberikan arah tujuan tersebut. Bahkan semua yang telah diketahui dan banyak dirasakan, dia tidak berada di suatu tempat yang mampu kita menuju kepadanya.

Kalau saja tujuan itu banyak diri ini ketahui telah tersimpan dalam hati, yang sesekali diri ini banyak bertemu dengannya di alam pikiran. Atau seringkali diri membelainya dengan tangan lembut ini atau banyak membicarakannya dengan mulut lamis ini, apakah “aku” dapat memastikan bahwa saya dapat menemukan dan menemukannya?

Sekalipun banyak kukoyak bagian itu satu-persatu dan menghancurkannya berkeping-keping, tidak ada satupun alasan yang cukup kuat untuk membuktikan sumber dari segala manifestasi rasa yang terwujud denganmu.  Bagaimana mungkin aku mampu mengetahui jika keadaan diri sendiri saja tidak pernah bisa dipastikan? Terlebih jika kita sendiri tidak mengetahui tentang binatang yang hidup dalam diri.

Lalu diri yang lain berkata bahwa ia berada di sisi yang lain atau di luar diri. Bagaimana bisa engkau memastikan? Apa engkau pernah menapaki ketidakterbatasan ini jengkal demi jengkal? Mungkin saja benar bahwa ia berada di dalam dan di luar diri, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Tidak ada tempat yang mampu menampungnya, sebab hanya Dia yang meliputi segalanya.

Perjalanan ini masih terasa pincang meski hal tersebut tak menjadikan alasan untuk berhenti melangkah. Mungkin saja, kehadiranmu mampu membuat sedikit lupa akan keterpincangan yang selama ini dialami. Itupun mungkin bukan karena inginmu, ataupun inginku, karena keinginan kita hanyalah sebagian kecil dari keinginan yang meliputi seluruhnya.

Kasih, jika datang sebuah tanya, “Tidakkah engkau serius?” Sesekali engkau bisa melihat kembali dan bertanya, adakah sesuatu yang tidak serius? Mungkin saja semua ini hanya bagian dari sebuah permainan yang penuh sandiwara, tapi engkau bisa menilai bahwa ada sesuatu yang serius di balik segala permainan ini. Sekalipun itu sangat lembut dan tersembunyi, dan mungkin saja kini engkau sedikit mulai mengenalinya setelah pertemuan ini.

Kalaupun ini semua adalah cinta, ia akan berada di depanmu, tinggal di sampingmu, bahkan terus mengikuti di belakangmu. Meski semua kata seolah jadi membatalkan niat ketulusannya, namun semua tak lebih hanya sebagian cara untuk memesrai kerinduan. Sebab, ia akan kembali lagi ke tempat asalnya, kecuali engkau memberanikan diri untuk memanggilnya.

Dan mungkin pula engkau mesti tahu, sekalipun diri ini menuliskan atau banyak menyatakan, sesungguhnya bukan diri ini yang melakukannya. Diri ini hanyalah anak panah yang tak akan pernah melesat tanpa busur dan sesuatu yang menariknya.  Oleh sebab itu pula, aku memilih mencintamu dalam diam karena tidak akan ada penolakan. Meskipun justru membuat diri seolah-olah nampak seperti pengecut.

Tapi akankah ada arti seorang pahlawan tanpa adanya pengecut? Adakah kejahatan di dunia ini yang tidak mengandung kebaikan? Adakah segala gelap yang engkau tawarkan tak kau isi dengan cahaya? Sedangkan, semua yang membuat perbedaan sesungguhnya berasal dari satu, bukan? Apakah mungkin itu semua dipisahkan?

Kasih, diri ini mungkin akan memilih sesuatu yang berlawanan dengan segala keinginanmu. Tidak akan mengintimidasi apa yang sudah menjadi harapanmu. Lakukanlah. Sekalipun berlawanan, namun diri ini mungkin tidak akan sanggup terlepas, hanya agar dirimu mampu tetap tegak dalam keseimbangan langkahmu.

Kasih, mungkin saja ini akhir, tapi tidakkah di saat yang sama “akhir” juga berarti sebuah pertanda akan sebuah awal?

Ketiadaan dan Kemustahilan

NYK | 024

Adakah bangunan itu akan nampak begitu megah tanpa struktur pondasi yang kuat? Ataukah ada pohon itu dapat menjulang tinggi menggapai langit tanpa akar yang kokoh? Mayoritas dari kita meyakini dan menyepakati bahwa umumnya kita selalu dibuat kagum oleh hal-hal yang eksis, baik karena keindahannya, kemegahannya, atau hal lain yang seketika langsug memikat.

Dari sekian hal yang eksis tersebut, tidakkah kita juga semestinya berpikir, mengapa yang selalu diperdebatkan hanyalah hal-hal yang eksis? Bukankah hal yang tidak eksis pun memiliki pengharapan untuk muncul dalam semesta yang eksis? Karena kita tidak mungkin bisa menefikkannya, layaknya ketika kita membutuh bangunan yang megah dan indah, pasti ada kalanya kita akan mempelajari pondasi sekalipun pada akhirnya ia tak nampak.

Kalaupun keberadaan menampung ketiadaan, begitu pula sebaliknya dengan ketiadaan, akan terkandung pula keberadaan. Hal itu nampak seperti buah dari makna-makna yang banyak terpantik dati sebuah ketiadaan yang bermanifestasi menjadi kata-kata. Kita akan sulit mencari, menemukan, bahkan membuktikan, kecuali hanya sebatas meyakininya.

Tidak ada persaingan antara kedua belah pihak yang berseberangan, kecuali pada akhirnya hanya saling menguatkan. Karena semua itu bermuara pada satu ujung yang sama, atau dengan kata lain hanya bersumber dari satu pencipta. Tidak mungkin kita mengenal angka 2 tanpa adanya 1 sebelumnya. Dan apabila dari masing-masing memiliki pengharapan yang sama, haruskah rasa malu itu mencuat sebab pengabulannya memiliki arti peniadaan bagi yang lain?

Setiap orang mengaku berebut kebaikan, padahal kebanyakan dari mereka hanya mempertahankan kenyamanan diri mereka sendiri. Kebaikan hanya mengarahkan diri kepada pengagungan atas eksistensi perjuangannya. Sekalipun semua itu dilakukan tanpa terlihat oleh siapapun, tapi diri akan bergantung dan berharap kepada Yang Tunggal. Berharap perhatiannya, bahkan balasan kebaikan atas upaya yang telah dilakukannya.

Disaat diri sudah pasti mendapatkan cinta, mengapa sering meminta balasan lebih? Ketika rasa cinta itu merupakan pondasi bangunan ataupn akar dari pohon nan agung, mengapa diri mesti mempertanyakan keberadaan wujud? Sedangkan di atas permukaan selalu ada cahaya yang memberi petunjuk. Diri ini hanya mempersiapkan sesuatu yangkuat dan kokoh untuk menanggung beban apapun yang kelak akan ditempatkan di pundak diri masing-masing.

Kasih, engkau tidak perlu mengetahui bagaimana akar harus menembus bebatuan untuk mencari setetes air. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan agar pondasi beton ini mampu menjadi inti dari bangunan pencakar langit. Ketiadaan cinta itu tak usah engkau resahkan ataupun engkau khawatirkan. Sebab, ia menjelma atas keinginannya sendiri dalam kesunyian dan tumbuh dalam keheningan.

Kasih, sekalipun engkau mencoba menarik cinta ini kepadamu. Akan sangat mustahil bagiku untuk menyesuaikan diri di sana, dan sangat sukar pula bagimu untuk dapat sampai ke tempat ini. Sekalipun bisa, akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Betul apabila mustahil untuk melakukan sesuatu yang mustahil, tapi tidak mustahil untuk melakukan sesuatu yang sukar, bukan?

Jangan harap kebahagiaan itu akan selalu menyelimutimu, sekalipun dengan cinta. Sebab engkau masih hidup di dunia ini, hal tersebut menjadi suatu keniscayaan. Kecuali engkau siap dengan kekecewaan dan keputusasaan. Lalu akankah engkau masih memiliki sisa-sisa keberanian?

Oleh sebab itu pula, mungkin diri tidak akan mendekat karena pengalaman yang banyak telah memberi pelajaran. Biarlah rasa ini merindumu seperti adanya. Sekalipun ada harap engkau akan merasakannya, namun harapan itu tak lebih dari kebaikan yang semoga akan lebih engkau dapatkan. Apabila cinta kesejatian itu mengandung 2 bagian antara derita yang mendera dan bahagia yang memuaskan, tidakkah engkau mengetahui bagian mana yang akan diri persembahkan padamu?

Tidak Menyesali Kesempatan

NYK | 023

Mengapa sering kita menyalahkan hujan untuk pembenaran diri? Padahal ketika kita memberanikan diri untuk keluar, hampir sudah dapat dipastikan kita akan menemui keajaiban-keajaiban yang tak nampak dalam suasana terang. Bukankah hujan ada bukan untuk kita hindari? Bukankah dia juga butuh teman, yang mana engkau rela bermain dan bermesraan dengannya. Tidak hanya menonton dengan bualan kopi dan hangatnya selimutmu.

Jika demikian, apa bedanya hujan dengan perasaan-perasaan yang selalu saja engkau upayakan untuk menghindar, bahkan lari darinya. Seperti kesedihan, kebencian, keputus-asaan, dan rasa-rasa yang sefrekuensi lainnya. Akan tetapi, kita tak sadar suka menonton bahkan menggunjingnya jika ada orang lain yang mengalaminya. Dan tak sadar pula kita justru menyediakan ruang dan menanam benih-benih penyakit itu di dalam hati kita.

Tapi, seperti itulah wajarnya manusia. Yang katanya penuh dengan cinta dan tidak bisa hidup tanpanya. Cinta yang sudah pasti satu paket berisi rasa suka segaligus rasa benci, kebahagiaan sekaligus kesedihan. Tidak bisa kita hanya berdiam di satu sisi, sementara sisi yang lain dibiarkan kosong. Alhasil jika ada ketimpangan seperti itu, maka skita juga harus bersiap-siap untuk terjatuh. Dan spada waktu itu pula kita sedang diberikan kesempatan merasakan sakit.

Kasihan Si Hujan yang sering dijadkan alasan atas sakit-sakit yang sebenarnya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Begitu sabarnya hujan merelakan dirinya menjadi cacian dan hujatan oleh orang-orang yang mengaku dirinya cerdas. Tidak bisa dibayangkan apabila sekali waktu saja hujan meminta tuannya untuk marah dan membalas hujatan-hujatan itu. Tidak bisa dibayangkan jika rasa-rasa keputusasaan itu ikut berdemo menuntut hak keeksistensiannya.

Padahal sudah jelas dan terbukti, setelah hujan ada kemungkinan terang. Meskipun ada kemungkinan hujan lagi setelahnya, tapi bisa diyakini pula bahwa akan ada terang lagi setelahnya, dan seterusnya. Lalu, mengapa kita mesti takut? Meskipun sebenarnya kita hanya perlu bersiap-siap untuk segala kemungkinan. Dan apapun kesiapan yang telah diupayakan itu bukan sebuah jaminan kepastian, melainkan hanya sebatas ikhtiar dengan niat kebaikan.

Lalu, bagaimana dengan cinta yang selalu mengandung dua sisi yang berlawanan? Sebab, tanpa perlawanan takkan pernah terjadi proses penguatan. Secanggih apapun kecerdasan manusia memformulasikan rumusan cinta, ia tidak akan mampu menerjemahkan ataupun memastikan apapun tentang cinta. Kecuali hanya sebatas gejala-gejala pada jiwa manusia.

Begitu pula yang terjadi pada rasa yang mungkin sedang dititipkan pada diri. Tidak semuanya memilih terang dengan harap akan memberikan kenyamanan. Adakalnya, sedikit orang akan memilih untuk membersamai hujan agar tetap dapat menikmati cinta dalam sunyi yang terkandung dalam riuhnya hujan. Tidak semuanya ingin menyatakannya secara lugas, kecuali memilih untuk menyatakannya melalui perilakunya kepada semesta. Sebab, yang nampak pada segala yang tertangkap dalam pandangannya hanyalah manifestasi akan wujudmu.

Keadaan ini tidak berlaku pada ilmu-ilmu apapun, kecuali cahaya yang mengantarkan dirinya pada perasaan cinta tersebut. Untuk apa ia menanggung mata, jika yang menjadi nikmat adalah rasa. Orang yang mencinta tidak menyesali waktu saat mencinta, akan tetapi apabila terlewatnya waktu atau kesempatan ketika perasaan cinta tersebut membuatnya hidup.

Kasih, kata-kata ini tidak meminta untuk dipahami terlebih untuk dimengerti. Sebab, ada kesempatan untuk berbagi itu sudah lebih dari cukup meski kita tidak sedang berada di dunia yang sama. Adakalanya esok engkau akan mengetahui, meski waktu sudah tidak lagi ada.

Tujuan Kerinduan yang Sama

NYK | 022

Bagaimana mungkin rasa rindu padamu membiarkan diri ini pergi? Meskipun rasa itu mengikat seperti belenggu, namun karenanya semua terwujud menjadi syukur. Sebab, hanya kebaikan yang akhirnya didapatkan, sekalipun segala letih dan ketakutan tak pernah bisa pergi selama perjalanan sebelum mencapai keindahan itu. Tidakkah engkau melihat, bagaimana sekuntum mawar nan cantik itu sanggup memikat di antara duri yang begitu tajam?

Mungkin saja kita hanya ikan-ikan yang sibuk mencari makan di samudera kehidupan yang luas, namun suatu waktu memakan makanan yang telah dipasangi kail. Awalnya diri merasa tertipu hingga berusaha untuk lepas dari jeratan itu. Kail yang merobek mulut menyebabkan darah terkucur. Diri bergerak mengerahkan segala kemampuan untuk terlepas. Hingga secara berangsur tak terasa diri mulai lemas, dan Si Pemancing mulai menarik secara perlahan.

Akan tetapi, bagaimana kalau jerat itu merupakan kail cinta yang sengaja diperuntukkan untuk hamba-hambaNya yang akan dinaikkan ke dalam dekapan perahu asih-Nya? Tidakkah perasaan tertipu itu akan sekejap berubah menjadi sebuah kepercayaan? Tapi semua itu hanya akan terjadi setelah pengorbanan dan perjuangan telah banyak dilalui. Bahkan mesti merasakan kekalahan diri atas segala keyakinan yang sebelumnya mati-matian dipertahankan.

Kita harus kembali mencermati bagaimana kail itu ditarik secara perlahan dan bertahap. Kita seolah sengaja dibuat lelah hingga terluka akibat perbuatan kita sendiri.

Dalam salah satu kitab, keadaan seperti ini digambarkan dengan sebuah pernyataan seseorang kepada Kanjeng Nabi, “Ya Muhammad, cabutlah agamaku, karena aku tidak menemukan kedamaian.” Kemudian Sang Rasul menjawab, “Bagaimana mungkin agama ini membiarkan seseorang lepas sebelum membawanya ke tujuan?”

Semua ini bukan berarti sebuah ajakan untuk mendapatkan segala penderitaan ataupun rasa sakit yang sama. Masing-masing memiliki batasan dan juga limitasi cara bertahan yang berbeda. Terlebih jika mesti berhadapan dengan senyuman itu, tidak mungkin diri memberkian balasan suatu kejujuran dengan diri yang meronta-ronta penuh luka ataupun peluh, kecuali rona kebahagiaan yang hampir sama.

Namun, akankah itu akan menjadi sebab atas datangnya suatu hukuman atas kelalaian dan kedholiman diri? Layaknya awan yang menaungi Suku Madyan kala itu, nan keteduhan dan kesejukannya dikira akan mendatangkan hujan, nyatanya hanya akan menjadi tambahan azab dengan gelombang panasnya. Akankah kerinduan itu begitu saja akan melepaskan diri kita sebelum sampai ke tujuan?

Kasih, diri telah mendapat peringatan untuk tidak pernah memaksakan sesuatu yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan kekecewaan. Sebab jiwa atau diri kita ini hanya menjadi rumah bagi harapan dan juga segala ketakutan. Maka, seharusnya diri atau mungkin seluruh manusia hanya diperintahkan untuk meletakkan anak panah pada busurnya. Bukan, lantas menarik anak penuh tersebut sesuai kehendaknya. Sekalipun target bidikan kita adalah kebaikan, namun jangan sekali-kali kita biarkan kehendak diri menguasai, kalau tidak ingin suatu saat keputusasaan datang menyapa.

Tapi, bukan manusia kalau tidak berputus-asa. Bagaimana mungkin kita tidak berputus-asa ketika diri banyak dikecam oleh segala bentuk kehendak? Lalu, adakah kabar dengan kedamaian? Yang hampir terlupakan karena sapaannya yang terasa seperti kilat di antara gemuruh mendung keputusasaan.

Kasih, baik segala kejadian saat ini ataupun kelak yang masih belum kita ketahui, pada akhirnya akan membawa kita pada tujuan yang sama. Hanya saja, perjalanan ini takkan pernah terselesaikan tanpa adanya perjuangan yang banyak mendatangkan penderitaan bagimu. Maka terimalah, dan bersiaplah! Kalau tidak ingin semua itu menjadi sia-sia.

Tenanglah, diri ini tidak akan membiarkan kabut mendung kegelisahan itu mengaburkan cahaya senyummu. Menuju keabadian bersama.

Kosong

NYK | 021

Yang dianggap buruk, biarlah buruk. Asal kita tidak terpengaruh oleh itu. Jika keburukan itu mempengaruhi, kenapa diri-diri yang merasa baik tidak berusaha memperluas pengaruhnya? Kenapa tidak meminta langsung kepada Tuhan agar dunia dan seisinya hanya kebaikan yang terjadi?

Kita hanyalah seonggok daging yang diberikan kemungkinan untuk condong ke arah kebaikan atau sebaliknya. Tidak mungkin akan pernah terjadi kebaikan jika tidak terjadi godaan yang mengarah ke keburukan. Apabila dunia ini hanya diisi oleh siang, akankah hidup hewan-hewan yang beraktivitas di malam hari? Baik siang ataupun malam, dalam keduanya terkandung kebaikan pun keburukan. Begitu juga manusia.

Kita tidak akan pernah selesai dengan dualitas di dalam kehidupan yang penuh dengan cobaan. Dan di alam cobaan itu sendiri pasti melibatkan ujian, kesulitan, dan juga banyak marabahaya untuk segera bisa diatasi dan dilalui. Sebab oleh karena keadaan tersebut, manusia tumbuh menjadi dewasa, bijaksana, dan mungkin menuju kemuliaan.

Apakah mungkin kita menetapkan kemuliaan, tanpa melihat sesuatu yang hina. Kita hanya sebuah wadah yang diisi oleh banyak interpetasi yang mengandung banyak tendensi. Maka, penyesalan tidaklah menyapa tatkala kematian menyapa. Tetapi ketika kita sadar, bahwa telah banyak kita bergantung pada bayangan sia-sia saat hidup.

Tidak tengah segala keluh kesah ataupun penyesalan, masih lebih beruntung mereka masih diberi kesempatan untuk dipelihara dalam rahmat Tuhan, daripada mereka yang terbuang dan dibiarkan dalam ketersesatan. Hal itu bisa nampak bagaimana cara Tuhan tidak menodai ingatan mereka yang sedang dirundung banyak kegelisahan, dengan selalu mengingat kebaikan Tuhan. Bagaimana kebaikan itu akan terjaga, jika kepercayaan mulai memudar?

Sementara diri ini sejatinya adalah kosong. Dan akan kembali pada keadaan kosong pula. Bagaimana yang isi akan menyatu dengan isi yang lain? Bagaimana mungkin Yang Maha Tunggal akan tergantikan dengan eksistensi tunggal-tunggal yang lain?

Dualitas mungkin sebuah perbedaan, namun mungkin pula merupakan suatu pasangan. Keduanya hidup saling berdampingan, dan juga saling bergantian. Di satu sisi menghasilkan suatu dinamika dan getaran, sementara di sisi lain akan menjaga suatu keharmonisan. Itu semua hanyalah gambaran yang tercitrakan dari berbagai bentuk perjalanan dan hikmah. Yang tidak akan menjadikan diri sebagai “apa-apa”, sebab diri tetap bukanlah “apa-apa”, apalagi “siapa-siapa”.

Untuk apa pula kita mesti berkecamuk dengan pergelutan dunia yang begitu saja. Ataupun polemik pergaulan dan keintiman yang itu-itu saja. Untuk apa pula kita hidup berdampingan jika pada akhirnya hanya akan melatih kemunafikan antar sesama. Sekalipun diri telah banyak dihiasi dengan ilmu hitung, ilmu pandang, sekalipun keluasan cinta. Sedang diri masih memasang tarif harga yang tinggi di depan khalayak.

Tiada satu pun bagian dari tubuh ini, sekalipun itu kecantikan ataupun ketampanan yang tidak berasal dari ketiadaan/kekosongan. Pun dengan segala dualitas yang menyebabkan perbedaan, padahal tak lebih dari sebuah manifestasi penyatuan dengan wujud keindahannya. Bisa melalu berbagai wujud “keadaan” atau “kata” yang sudah pasti banyak ditemui setiap hari.

Kasih, apabila engkau bagian dari rusukku? Akankah engkau akan menjadi bagian dari penyatuan dalam kehampaan atau kekosongan itu? Atau akan tetap memilih untuk berserakan dalam segala ketidakjelasan yang tidak akan mungkin bisa dijelaskan, terlebih untuk dipastikan.

Sungguh, tidak ada harapan sama sekali untuk memilikimu. Kecuali, hanya untuk sedikit berbagi kebaikan ataupun kehinaan. Bersama menuju kekosongan itu, sediakah engkau?

Mendustakan Keberuntungan

NYK | 20

Ternyata kita masih beruntung, diantara mereka yang mesti dirundung derita. Yang bukan sedang mempertahankan hidupnya untuk selalu membuka pintu ridho atas tuannya. Kita lantas merintih atau mungkin merajuk bukan atas derita, melainkan karena nikmat yang begitu agung.

Dia memberi kita cahaya yang mencerahkan hati, saat tubuh ini sangat kaku, layu, dan mati. Dia dekap peluh air mata ini, lalu menggantinya dengan kerinduan yang lebih memabukkan daripada sebotol anggur. Bahkan Dia rela menghargai kotoran kita, dengan menunaikan pundi-pundi harta yang kita anggap sebagai keuntungan.

Adakah kita mencari persamaan atas penderitaan yang telah banyak diceritakan dan dialami sendiri oleh para kekasihnya? Sedang kita sendiri hanya mengharap barokah untuk keselamatan diri sendiri dan enggan untuk setidaknya berbagi. Kalau dipikir, bukankah kita ini sungguh egois?

Seorang Hilal yang ditempatkan di kandang hingga membuatnya sakit, namun ia tidak menggerutu atas nasibnya, namun justru membuktikan kesetiaannya melewati ujian sekalipun majikannya seorang muslim. Dan saat Kanjeng Nabi menjenguknya, Hilal pun berkata, “Bagaimana tidur terasa tidak enak bila terbangun oleh matahari kenabian? Bagaimana bisa disebut kehausan orang yang kepalanya disirami air kehidupan?”

Keadaan itu mungkin hanyalah sebulir debu di padang pasir rahmatNya. Keadaan seperti itu memungkinkan seseorang mencapai tingkatan tertentu yang diberikan kepada orang-orang yang mempelajari kalamullah dengan benar. Bagaimana mungkin kita tidak beruntung?

Mungkin saja waktu menjadi masalah, sehingga diri merasa menjadi tawanan ketidakadilan. Meski tak diragukan bahwa bisa saja Tuhan berkata “Kun” dan merubah semuanya dalam sekejap, namun mengapa Dia memperpanjang penciptaan semesta ini selama enam hari, yang mana tiap harinya setara dengan seribu tahun, wahai kekasih?

Untuk merasakan puncak gunung, kita mesti menapaki langkah demi langkah. Makanan yang dihangatkan secara tergesa-gesa akan cepat rusak pula. Bahkan, kita semua membutuhkan waktu sembilan bulan dalam kandungan untuk dapat terlahir dari rahim seorang ibu. Tidakkah itu menunjukkan bahwa semuanya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, kesabaran dan kelembutan. Lantas, tidakkah rahmat itu datang salah satunya sebagai bayaran atas kesabaran itu? Penantian itu mungkin saja tidak sia-sia dan berbalas kebahagiaan yang sejati.

Jangan sampai kita pelihara penyakit yang sulit disembuhkan. Atau mungkin enggan untuk sembuh. Karena mungkin itulah kematian dalam hidup. Dan ketika keadaan seperti itu datanglah nasihat, “Kerjakanlah apa yang kalian mau, sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (41:40)

Kasih, tidakkah amarah itu menjadi candumu? Sediakah engkau menahan diri saat segala sesuatunya menyerangmu? Tidak bisa dipungkiri bahwa amarah itu ada karena ketakutan yang mungkin saja melandamu saat ini. Tapi, tidakkah engkau memperhatikan rasa bahwa masa depan itu lebih nyata dibandingkan saat ini? Apakah itu keabadian?

Tangis Penyucian

NYK | 019

Nampak tarian dan juga tangisan yang berhamburan bagai debu yang terhembus angin di teriknya siang. Sekalipun menyejukkan, namun keadaan itu mungkin bisa menyakitkan pandangan bagi yang sedang menikmatinya. Pencarianku kepadamu mungkin saja penderitaan bagiku. Meskipun begitu, aku tidak akan menyangkal dan hanya akan terduduk dengan tenang, sebab aku hanya meyakini engkau akan kembali untuk mendekapku tanpa kesulitan. Engkau adalah penopang yang menghapus segala derita yang menyapaku.

Jika kita fokus terhadap 1 urusan di antara 10 perhatian, maka kesembilan perhatian yang lain akan mengikutinya. Ketika aku merawat akar yang nampak sekarat, maka akan ada yang menghidupkannya, menumbuhkannya, menjadikan batang, daun dan bunga-bunga baru, dll. Hingga menciptakan nikmat akan keindahan seiring berjalannya waktu, meski pandangan kita hanya tertuju pada yang satu.

Kita harus bisa menemukan satu keutamaan yang nantinya segala perhatian akan menyusul pergerakanmu. Sekalipun engkau mengetahui segala cakrawala keilmuan dalam kehidupan, hal itu bukan berarti engkau mampu untuk mengetahui segala aturan Tuhan.  Kita tidak akan pernah bisa mengetahui sebab pintu pengetahuan itu hanya akan menjadikan diri semakin kecil. Kita tidak akan pernah lagi bisa memastikan sebab yang ditemui hanyalah kekerdilan dan kerendahan.

Seorang pecinta tidak akan menghendaki kemegahan ataupun kemasyhuran, namun ia akan tetap mencari cara tentang bagaimana untuk tetap memesrai nikmat yang datang kepada dirinya. Percayakah engkau pada kalimat, “Aku akan duduk di samping orang-orang yang mengingatku.”? Apabila aku tidak duduk denganmu, tentu saja tidak akan ada kata-kata yang selalu menyapamu. Tidak akan ada hasrat tentangmu yang tumbuh dalam hatiku apabila aku tidak mengingatmu. Tanpa adanya anggur, tentu tidak akan pernah tercium aroma anggur kenikmatan itu.

Malam-malam ini akan berlalu, tangisan itu akan segera berakhir tak berbekas. Bahkan mungkin hilang dan tergantikan dengan bahagia-bahagia yang mungkin akan segera mendekapmu. Di sisi yang lain, kata-kata ini sungguh membosankan sekalipun ia selalu berupaya memberimu terang setiap saat. Menjadi suatu penegasan bahwasanya dalam ketidakpedulianmu pun ia akan selalu ada.

Adakah kecantikan itu tidak menarik bagi banyak para lelaki? Pun dengan ketampanan. Tentu saja tidak adil jika keistimewaan itu sanggup memantik lebih banyak hasrat orang-orang. Meskipun waktu akan tetap mengoyak-ngoyak keistimewaan itu menjadi biasa-biasa saja. Oleh karena itu, temukanlah cinta di antara hasrat yang sudah sampai dalam perhatianmu. Sebuah cinta yang ketika engkau berada di dalamnya akan menemukan tempat bersandar dan kebahagiaan, yang tak akan terkoyak oleh belati sang waktu.

Ketika engkau terbangun, biarkan saja tangisan itu tetap membekas. Biarkan luka itu menganga dan mengakibatkan luka di hati. Sebab, keadaan itu mungkin bisa menjadi salah satu cara membuka hijab-hijab yang selama ini menutupi hati. Atau biarkan lubang itu menjadi jalan bagi rahmat untuk masuk dan memberikan ketenangan di hatimu. Tidak ada penawar yang lebih ampuh kecuali engkau menemukannya sendiri di dalam hati.

Apabila engkau mencari penawar ataupun penghibur di luar diri, layaknya wangi bunga mawar yag kau kira menjadi bagianmu, maka usaha itu akan terasa melelahkan bahkan mungkin merendahkan dirimu. Jadikanlah semesta adalah bagian darimu, bukan sebaliknya. Apakah engkau pernah melihatku terluka ataupun lelah? Sementara yang aku lakukan hanya duduk dengan sabar dan diam di tempatku.

Dan jika merasakan rindu ini termasuk bagian dari meminta sebagian darimu. Disaat engkau tertawa atau menangis, saat bahagia ataupun duka, adakah yang aku tunggu selain melihat senyum semesta itu? Sekalipun ini sebatas mimpi, atau ketika aku sadar kelak masih mendapati rasa ketenangan darimu, bolehkah?

Bertahan Merawat Dekap Anganmu

NYK | 018

Diri ini tak akan pernah berhenti menyesal. Selalu saja ada hal yang membuat kesabaran itu lepas, bukan oleh sebab apapun, melainkan diri yang rela menjadi tawanan keinginan. Tapi dari keadaan itulah pada akhirnya kita mengenal sepercik hasrat yang menjadi api dan bisa kapan saja bisa membakar sangkar yang sedang engkau huni.

Pernah diri ini percaya bahwa apa yang dilakukan bisa memberi pengaruh dan harapan tentang kebaikan. Di saat yang sama, apa yang dipikirkan tersebut justru menjadi celah yang bisa membawa diri ke tujuan yang sebaliknya. Mengapa? Karena segala yang ditahan atau dilarang justru semakin menguatkan hasrat, layaknya menyiram api dengan minyak tanah.

Karena ada sesuatu yang bergejolak dan tidak terkontrol, maka kita harus berlatih menahan diri. Kita tidak akan pernah mungkin bisa menghilangkannya. Kita tidak akan mungkin bisa menghentikan laju pertumbuhan rumput hanya dengan menghilangkan bagian yang tampak dari pandangan. Sebab masih ada akar yang akan menjadikannya tumbuh kembali.

Terkecuali kalau kita hanya ingin menghabiskan waktu dan energi untuk memangkas rumput, daripada memilih untu mencabut sampai ke akarnya, sekalipun membutuhkan upaya yang lebih. Begitu pula dengan apa yang menjadi segala gundah itu melanda, kita hanya sibuk untuk menghilangkannya dan ingin segera menggantinya, akan tetapi lupa kalau masih ada akar atau sebab yang suatu saat akan menumbuhkan sesal itu kembali datang.

Dan hal itu mungkin akan membutuhkan satu  waktu dalam kesempatan hidup yang sedang diberikan. Oleh karena itu, mungkin diri terlalu egois dan sibuk mengurus dirinya sendiri. Daripada mencoba untuk memberi keyakinan kepada orang lain untuk segera kembali ke jalan yang dianggap benar. Saya sendiri tidak akan pernah memaksakan apa yang saya pikirkan untuk diterima olehmu, dan saya hanya akan terus belajar untuk bagaimana bersikap “baik” tidak hanya kepadamu, tapi semuanya.

Mungkin saja jalan itu akan nampak konyol, sebab hanya akan ada luka yang mesti ditahan. Namun saat itu hanya teringat sebuah ajarannya, tentang antisipasi tergadap kecemburuan bahkan juga fitnah. Maksudnya, kita mesti sanggup menahan segala kesewenangan ataupun kesedihan yang disebabkan oleh manusia. Kalau tidak, engkau mesti menggunakan cara yang lain, yakni menahan diri dalam kesunyian dan godaan yang selalu saja menyeruak untuk dilawan.

Pada akhirnya, kita hanya menyadari bahwa bukan diri kitalah yang sanggup bertahan, tetapi oleh sebab lukalah pada akhirnya kita mampu bertahan. Buat apa juga kita mesti angkuh terhadap upaya, kalau segala daya bukanlah berasal dari diri kita. Biarkan saja kesabaran menjadi layar perahu kita mengarungi lautan kehidupan, sampai kelak kita mendapati apapun tujuan yang dikehendaki oleh semilir anginnya.

Bila engkau datang aku akan menyerah dalam pengaruhmu. Dan aku akan tunduk pada ketidakjelasan yang selalu engkau tawarkan. Atau mungkin saja aku biarkan engkau memanfaatkanku. Aku tidak akan merubah apapun pandangan yang engkau inginkan dariku, wahai kekasih. Sebab aku akan menjadikan itu sebagai kesempatan bukan untuk menunjukkanmu kebajikan, namun itu menjadi kesempatanku untuk melatih kemampuan bertahanku. Itu akan menjadi tempat untuk memperbaiki kualitas cintaku.

Denganmu, adalah keniscayaan. Namun bersamamu, merupakan suatu keyakinan. Bahwa tiada angan yang dihadirkan di antara kemerdekaan pikiran yang tak terikat dengan makna diri. Terlebih jika ia datang menawarkan sebuah senyuman ataupun dekap kehangatan bagai akar yang tak nampak oleh pandangan. Lalu, tidakkah seharusnya aku merawat sapa anganmu, kasih?

Sesal Kerinduan yang Melantang

NYK | 017

Maka, cahaya itu akan menawarkan satu evolusi penglihatan dan melahirkan cara pandang yang baru. Dengannya, akan engkau temui hakim baru yang lebih bijaksana dari sebelumnya. Akan engkau dapati perhitungan dan penilaian baru setelah cahaya itu menembus tabir diri yang selama ini menjadi penghalang bagi penglihatan.Mungkin saja, jika suatu waktu terbesit tanya, “perasaan seperti apakah yang engkau cipta, hingga begitu mencintaku? Sementara aku tidak begitu merasakannya, sebab tidak ada suatu hal apapun yang selama ini engkau lakukan kepadaku, meski sekedar sapa. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menaruh perhatian kepadamu.”Apakah di setiap sebab, harus tertanggung segala akibat? Apakah segala yang tertunaikan, harus ada pengembalian?Jika menjadi hamba yang melayani sepercik Rahman Rahim yang menjadi tamu bagi hati, menjadi buah cinta atupun kerinduan, dan bermanifestasi ke dalam wujud-wujud yang menjadi kehendaknya, bukankah itu sudah lebih cukup? Kita dipercaya dan diamanahi rasa pada akhirnya hanya untuk menyampaikan, bukan untuk menagih rasa yang lain, apalagi berharap terhadap sesama makhluk.Mayoritas jika harapan itu banyak digantungkan kepada sesama, maka siap-siaplah kita akan banyak menemui kekecewaan. Dan jika itu terjadi, bukan berarti apa yang ada di luar diri yang tidak sanggup memenuhi ekspektasi, melainkan harapan yang berasal dari dalam diri. Karena harapan itu sendiri berbanding lurus dengan rasa takut. Semakin besar kita menaruh harapan pada sesuatu, maka semakin besar pula kita terhadap sesuatu tersebut.Cahaya itu mengenalkan tidak hanya bagian luar, namun juga mampu menerawang masuk ke dalam isi. Kulit dan isi merupakan satu bagian yang tidak bisa kita mengambil salah satunya, karena masing-masing juga memiliki fungsi dengan prinsip pemanfaatan yang sama. Kita tidak akan pernah bisa melihat benih itu akan tumbuh dari sebuah biji yang telah dikelupas kulitnya.Sama halnya dengan selama ini tersembunyi dalam isi, pada akhirnya akan terepresentasikan melalui tingkah lakunya. Ketika kita kecil hal itu akan mudah kentara, namun ketika mulai beranjank dewasa, kita secara otomatis akan semakin pintar bersandiwara atas apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam hati, hingga memanipulasi tingkah laku agar tidak mudah kentara.Mungkin saja cita-cita itu terlalu mulia, dengan terus menganggap rendah diri. Atau dengan ketidaksempurnaan yang dirasa tidak pantas jika meski disandingkan dengan sesuatu yang lebih sempurna.Sebab diri masih banyak membutuhkan perbaikan karena panjangnya jalan yang mesti dilalui. Bisa jadi keadaan itu akan membuat kita terbebas, akan tetapi ketika hati tetap setia melayani rindu, maka akan selalu terbesit harapan ataupun penghargaan sebab diri ini terdiri atas kulit dan juga isi. Oleh karena itu pula, tujuan tidak akan tercapai tanpa kerja yang mempengaruhinya.Bagaimana mungkin diri ini berpaling? Jika wajahmu selalu teringat jelas sekalipun dalam angan. Bagaimana mungkin diri ini meminta imbalan? Jika mencintamu saja sudah begitu banyak memberi kenikmatan untuk terus mengingatnya hingga rela mengorbankan diri. Tinggal waktu yang akan menjelaskan tentang kapan segala tanya akan terjawab. Dan segala yang tersembunyi akan lekas terungkap.Akankah engkau sendiri rela untuk hidup dalam kurungan? Kurungan yang kita sangka sebagai kehidupan. Yang berlimpah cahaya rahmat, tapi kita tetaplah selalu dibuat tersesat. Kita hanya sebongkah bejat yang selalu membangkang untuk menjadi tawanan kerinduan. Yang akhirnya akan tetap menghilang, diiringi sesal yang melantang. Kasih, bolehkah aku merajuk kepadamu?

Cahaya Ketenangan

NYK | 016

Karena engkau sudah menyebabkan ketenangan bagiku.” Dalam rentang terang ataupun diam, hati ataupun jiwa selalu berjalan melayani rindu. Bukan untuk kebahagiaan diri, melainkan untuk rasa itu sendiri. Rasa yang dititipkan olehnya.

Jadi, tidakkah apapun yang menjadi kehendakmu, menjadi sesuatu yang diridhoi olehnya. Sebab, apa yang hendak engkau lakukan mungkin diyakini demi sebuah keamanan akan sesuatu. Apapun yang mungkin saja engkau disibukkan olehnya, mungkin pula demi ketenangan yang engkau sendiri tidak pernah memberi maksud itu kepadanya.

Bisa jadi nantinya aku akan terlihat seperti tawanan, meskipun itu menjadi suatu kebaikan yang diberikan olehnya, sebab aku akan terus mengingatnya. Segala bias penilaian hanya akan menjadi embun yang menyejukkan, sebab mengingatnya akan membuat aku lebih taat.

Andaikata Dia sedang menunjukkan ketidaksukaannya kepadaku, bisa jadi keresahan akan menjadi perangaiku. Ketika hasrat “melayani” itu diubah menjadi ingin “terlayani”, maka hilang atau batal sudah segala yang dititipkan. Kehendak itu mungkin sudah tidak lagi selaras hingga keharmonisan yang sudah terbangun, seketika akan mudah menjadi gundah gulana.

Lantas, akankan seseorang akan mendapat suatu perlindungan oleh suatu canda bahagia? Ataukah oleh sebab derita? Sekalipun kedua sisi itu tak akan pernah luput dari pengawasannya, manakah yang akan lebih menarik perhatiannya?

Suatu kemasan makanan ringan pasti dibuat untuk menarik hati para pembeli. Akan tetapi, apakah suatu perjuangan hanya hendak ditujukan untuk membeli nilai suatu kemasan, ataukah isinya yang masih rahasia dan tertutup oleh kemasan tersebut? Karna selalu ada kemungkinan isi tak sesuai dengan ekspektasi yang terpampang dalam kemasan. Begitupun sebaliknya, bisa jadi kemasan yang tidak menarik tidak lagi menjadi suatu perhitungan, sebab sudah yakin akan kenikmatan isi yang tersaji.

Aku bisa saja mengungkapkan banyak kata rindu kepadamu,tapi bisa jadi hal tersebut adalah awal ataupun akhir. Semua kata itu hanyalah kemasan ucapan ataupun tulisan yang akan lenyap seiring dengan berjalannya waktu. Namun bagaimana jadinya jika kemasan itu tak seindah yang lainnya? Tanpa ada kata-kata ataupun ucapan yang sangat bisa digunakan untuk menarik perhatianmu. Seperti halnya suatu tempat jauh di dalam diri, yang mana banyak rasa dititipkan, yakni jiwa.

Jiwa mungkin saja merupakan suatu isi yang tak bisa sekedar dicitrakan oleh keindahan kemasan. Layaknya perasaan rindu yang tidak bisa direpresentasikan hanya dengan sebatas bualan kata. Yang tak akan menjadi sebuah makna tanpa adanya untaian karsa atupun derita. Sebab jiwa ini tak lagi berbatas dengan raga, kemasan, yang bisa jadi tanda awal ataupun akhir. Yang mana tujuannya bukanlah kesementaraan, melainkan keabadian. Ia akan menerjang segala fana, mencari kesejatian.

Pada waktu sekarang ini, ada bagian pengingat dari diri yang tinggal di masa lalu dan hakim yang tinggal di masa yang akan datang. Mereka tidak akan pernah terlepas dariku. Akan tetapi, ada sesuatu yang spesial dari masa lalu yang mana masa depan tidak mampu merasakannya. Yaitu merasakan senyum itu terlahir kembali, dengan segala manis yang dikandungnya.

Adapun segala ketenangan yang hanya dirasakan, tak ada yang lebih menenangkan dari apa yang dirasa saat ini. Segala kebaikan yang telah banyak engkau semai, kini semua berbuah kembali menjadi kenikmatan bagimu.

Mungkin saja keindahan itu tak akan berbatas jika harus diceritakan lewat kata, kecuali hanya berujung kehancuran. Sebab, saat engkau pinta untuk menjelaskannya, aku sendiri tidak akan mampu menjelaskan lagi kapada diriku, apalagi kepadamu, Kasih. Namun, bahagialah! Sebab cahaya itu masih berkenan menemanimu.