Mantra Kehancuran

Setiap orang telah merasa pintar karena memang benar-benar pintar. Mereka sangat cerdas memfasilitasi segala keinginan hingga sangat mudah sekali berbaur dan menjadikan dirinya mudah dikenal. Bahkan segala perkataannya begitu sangat licin bagi sebuah noda kesalahan kecil itu menempal pada raungannya.

Hingga pada suatu saat, Gus Welly melihat Bewol diam dengan tatapannya yang tak seperti biasa. Seperti ada sesuatu yang mengganjal yang hendak ingin disampaikan. Bewol menatap landscape persawahan di halaman belakang pendopo.

Gus Welly menyapa, “Kamu lagi apa, Wol? Kalau boleh aku tebak, kamu sedang butuh kesejukan atau sedang tidak ingin menyendiri?” (meskipun disana Bewol duduk sendiri)

“Jujur saja, aku sedang membenci diriku sendiri, terutama hatiku!” Bewol langsung mengungkapkan kesesalannya. “Aku kesini hanya ingin membuang kebencianku yang mungkin sangat tidak seharusnya aku pikirkan.” Lanjutnya.

“Biarkan kali ini aku mendengarkanmu, tapi jangan kau balik bertanya. Aku hanya ingin kamu bercerita kepada manusia jika kau masih aku anggap manusia.” Sindir Gus Welly tentang karibnya yang suka menyendiri memandangi semesta, seolah menyendiri namun mencari hiburan lewat jawaban angin yang semilir. Mencari makna di tengah kebisuan alam yang selalu menyimpan sejuta isyarat.

Tentu ini adalah hiburan yang sangat sederhana. Bukan sesuatu yang umum jika hiburan itu justru dicari di tempat yang hening daripada mencari perhatian di tengah kerumunan. Sudah sewajarnya manusia mengadu. Tapi bagi Bewol, mengadu kepada manusia hanya menimbulkan 2 pilihan. Ketidakpastian atau nasihat solutif yang belum tentu orang tersebut mengamalkannya. Paham bahwasanya mencari perhatian dari langit lebih utama daripada manusia.

“Oke, memang suatu wejangan memang bersifat sangat solutif. Tapi jangan memaksakannya masuk ke dalam ranah yang dirinya sendiri sering luput. Satu hal yang dapat saya ambil dari puasa berkomunikasi dan internet adalah tentang status di media sosial. Apapun. Status pribadi memiliki sifat informatif. Apapun yang ditulis (mungkin) merupakan kebenaran pada saat itu. Menurutmu dari fenomena story telling di media sosial, antara menyampaikan kebenaran dengan ingin diperhatikan, mana muatannya yang lebih besar? Tanya Bewol.

“Ingin diperhatikan, bukan begitu?” singkat Gus Welly.

“Nah, itulah yang membuat saya sedikit membenci diri saya sendiri.”

“Lha, kenapa bisa begitu?”

“Saya sangat mengenal seseorang yang begitu mengenal langit, akan tetapi ia… .”

“Bukan aku to?” Gus Welly tiba-tiba memotong.

“Emang kamu kenal langit, Gus?” mereka tertawa sejenak sembari meracik tembakau aka nglinting untuk menemani bincang senja kala itu.

Bewol menceritakan bahwa sebenarnya kebencian terhadap dirinya disebabkan atas sebuah pandangan yang erat kaitannya dengan manusia nglangit yang sedang bingung. Dia sedang linglung dengan segala keresahan dan pencariannya. Karena sudah merasa nglangit, kebenaran pandangannya jadi susah untuk diinterupsi. Terlebih cintanya terhadap diri sendiri. Tentang naluri manusia mencari sebuah kenikmatan dan kenyamanan bagi dirinya sendiri. Sekalipun, dia memahami ada seseorang yang sedang membutuhkan kehadirannya. Namun, diacuhkan begitu saja karena ego cintanya kepada dirinya sendiri.

“Kebencian terhadap diriku muncul ketika hatiku sakit. Kenapa aku mesti memperdulikannya? Sedang aku yang tidak tahu apa-apa ini hanya mencoba memahami bahwa itu adalah bagian dari proses pengembaraannya.”

“Terus, bukankah hal tersebut adalah hal yang wajar? Tidak semua bisa memiliki cakrawala pandangan sepertimu. Bahkan aku sendiri meski kamu memanggilku ‘Gus’. Tapi bagiku, kamu lebih nampak seperti Kiai, dengan ayat-ayatNya yang tidak terfirmankan.” Puji Gus Welly terhadap Bewol.

“Ngawur! Kamu tahu apa yang ada dipikarnku sekarang. Ia nampak seperti penjilat. Jadi pikiranku ini seharusnya langsung bisa mematahkan pandangan Kiai terhadapku.” Tanpa disadari Bewol sepertinya sudah mampu mengindahkan perasaannya.

“Penjilat seperti apa yang kamu maksud jika ia seorang yang cintanya justru menghijabi asihnya sendiri terhadap semesta, terutama karena ia telah mengetahui bahwa ia sendiri telah diharapkan, namun lebih memilih diam tanpa rasa kerelaan untuk berkorban. Nglegoni (setidaknya ada usaha untuk membuat lega yang mengharapkannya.”

“Bisa penjilat idealisnya sendiri, penjilat kebenaran, bahkan penjilat Sang Messiah.”

Benar bahwasanya Rasulullah diutamakan. Tapi, aktualisasi yang dapat diwujudkan dari keutamaan Beliau adalah akhlaknya. Salah satu cara kita merasa dekat bukan dengan bertapa/berkholwat. Tapi teruslah mengasihi segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Dan dari status kata-kata di media sosialnya nampak seperti merapalkan mantra kehancuran. Lantas, bagaimana kalau itu tidak hanya seseorang, melainkan ribuan bahkan jutaan manusia?

2 Oktober 2019