Greet The Light

She came from nowhere
In the conscious or unconscious soul
In the void or silence of space
Greet dreams, possess dreams, descend into the heart

The distance of reality is reluctant to stop you
Whisper softly about the niche of eternity
Hugging tightly between the shadows of solitude
Even if it’s real or imagined about you is not my power

My ego leads to dependence
Hoping for calm is always present in this hubbub
Give coolness in the stuffy social behavior
the arrival of your shadow as if to illuminate this dark road

Your absence of body is replaced by your beautiful light
Without greetings and hope to have
Your presence that I can never stop
Is a gift

On the brink of life and death
Through the steps of my sincere prayer of thanksgiving
I can only leave a slip of longing
Which unites our ihsan in the nature of Malakut.

Medium, 21 August 2019

Lalu, Siapa Gurumu?

Di setiap rentang waktu, manusia tak lebih hanya sekedar pejalan. Berpetualang mengarungi drama kehidupan dengan berbagai peran yang disandangnya. Dapatkah manusia memilih peran? Terkecuali mereka sekedar menjalankan perintah Sang Sutradara. Layaknya sebuah pertunjukan, semua mesti tersingkap rapi dan saling bersinergi agar pesan dan nilai dapat tersampaikan dengan baik.

Namun, segala drama kehidupan yang diprakarsai oleh Sang Sutradara tidak butuh penonton, tidak butuh untung atau rugi, tidak butuh apresiasi ataupun reward dalam bentuk apapun. Naskahnya telah tertulis dalam Lauh Mahfuz. Jadi, semua kehidupan hanyalah sebuah ruang pembelajaran bagi setiap pemeran yang mementaskan drama kehidupannya.

Semua sangkan sesungguhnya hampa, semua rasa pun tak lebih dari sekedar fatamorgana. Semua keadaan yang sering manusia sangka sebagai suatu masalah pun hanya sebuah rekayasa yang telah mendapat ijin untuk lekas ditayangkan ke permukaan. Perselisihan ataupun pertikaian yang terkadang mesti dibayar dengan nyawa pun demikian adanya. Semua akan mengalami proses yarjii’un, sebelum benar-benar bertemu dengan rojii’un.

Biarkan manusia yang sibuk bercumbu dengan nafsunya. Karana manusia yang lain tak akan pernah mengetahui yang tersingkap dalam hujatan-hujatan manusia alim yang sering menyatakan perkataannya sebagai sebuah kebenaran. Semua berguru kepada sanad-sanad pengetahuan dengan pondasi budi dan pekerti yang masih dibangun dengan materi. Dengan memforsir bahkan mengeliminasi cinta dirinya kepada sesama para hamba, begitu pun dengan semesta.

Padahal, semua itulah perwujudan ilmu dari Yang Maha Pengasih. Tapi, begitulah naluri manusia tercipta untuk bertempur bukan dengan sejarah, bukan dengan sistem pemerintahan, ataupun bukan dalam persaingan kekuasaan nan jaya. Namun, pertempuran itu adalah sebenar-benarnya melawan diri sendiri. Untuk selalu meluaskan cakrawala pandang, untuk lebih melebarkan muatan hati

Tapi, semua terlanjur tersingkap oleh hijab-hijab yang mengendap semakin menutupi mata pandang. Mata hati pun seolah telah buta untuk sesekali menerawang kesejatian yang bersembunyi di balik wujud, rupa, bahkan kata yang selalu kita hadapi setiap hari. Sehingga, keinginan untuk mencari pun terkubur oleh ketakutan-ketakutan bersifat eksistensial yang mencengkeram niat untuk bertanya kepada rindu yang tak pernah tuntas.

Manusia terlanjur berguru kepada sanad tanpa mau belajar terlebih dahulu mengenali cinta. Siapa bilang manusia makhluk sosial? Kecuali tatkala manusia itu mempunyai kepentingan terhadap manusia lain agar tercukupi kebutuhan atau keinginannya. Manusia berguru pada pengetahuan tanpa mengetahui cara menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Yang penting gelar di atas kertas didapatkan, lantas bisa digunakan sebagai prasyarat mendaftarkan diri sebagai pegawai. Tentu saja, mereka mencari kertas hanya sebatas agar dapat menentukan standarisasi gaji/upah yang akan didapatkan.

Terlebih, manusia berguru kepada para alim ‘ulama agar meningkatkan iman dan juga takwa. Aih, pada akhir zaman juga pada akhirnya manusia secara otomatis juga berbondong-bondong kembali memeluk agama, tapi agama itu datang dalam keadaan terasing, begitu pun saat kembali. Pertanyaannya, mengapa ketika mereka secara masif kembali percaya kepada Tuhan, namun keadaannya justru menjadi terasing?

Setiap manusia adalah tokoh utama yang berguru kepada Guru yang sejati. Untuk bersama-sama menyatu dalam kebahagiaan. Tapi, sanad mereka tidak mengajarkan kepada kebersamaan itu, sanad guru mereka tidak mengajarkan cinta. Hanya keuntungan-keuntungan dalam beribadah dan keimanan. Tidak mengajarkan kebahagiaan justru suka memberikan ketakutan bahkan kutukan jika tidak sejalan dengan pemikiran sanad gurunya.

Hati-hati, Jangan-jangan kamu memanfaatkan gurumu demi keamanan dan keuntungan diri sendiri. Lalu, siapa Gurumu itu?

Ketika Diam Kembali Menjadi Puncak Kerinduan

Waktu terus berlalu, menghabiskan memori kenangan yang terasa sayang untuk segera ditinggalkan. Sajaroh, cinta, pun buah di Negeri Tarhim ini pun menapaki fase puncak terik kemesraannya. Setiap agenda menjadi kebahagiaan, pun tertinggal rasa bahwa ini akan menjadi pijakan terakhir kami di Mandar. Namun tak mengapa, ibarat hidup yang suatu saat harus siap mati. Pertemuan pun mesti dipungkasi dengan perpisahan. Tak selamanya perjalanan bermakna kebahagiaan, sesekali perjalanan juga mesti dihiasi dengan kesedihan, Hanya cinta yang saling terikat yang selalu menghubungkan menuju keabadian.

Pagi ini, kami berencana untuk mandi di Sungai Mandar, agar tak ada julukan “Mandar Swasta” lagi di antara kita. Yang sudah menjadi “Mandar Negeri” biar lebih berasa jadi orang Mandarnya. Sekalipun beberapa dari kami sudah mandi sedari pagi, tapi sangat disayangkan jika tidak ikut ciblon pada kesempatan kali ini. Cuaca yang hampir mirip dengan daerah Pantura pun bukan menjadi masalah jika mesti lebih sering berurusan dengan air.

Jadi kesempatan ini pun tak kami sia-siakan untuk bermain air sepuasnya. Untung saja, sungai Mandar ini bisa dikatakan cukup bersih dan aman. Tak jauh dari kami pun nampak beberapa warga menambang pasir di bantaran sungai, bahkan di dekat kami ternyata ada ibu-ibu yang sedang mencuci pakaian. Sebenarnya lucu juga jika mesti melihat para bapak-bapak ini begitu bahagianya ciblon ning kali. Barangkali di Jawa, terlebih di kota-kota Besar, sangat jarang sekali melihat para remaja atau orang tua mandi di sungai.

Setelah bersih-bersih dan rehat sebentar, perjalanan kami berikutnya menuju ke salah satu tempat yang Mbah Nun memanggilnya Bunda. Ya, Bunda Cammana, namun sepantasnya kami memanggilnya Nenek. Ketika sudah berada di tempat nenek, kami telah disambut oleh rombongan adek-adek asuhan Nenek Cammana yang sering disebut Shohibu Baiti. Ya, persis dengan salah satu judul puisi Mbah Nun. Kami pun dikawal dengan musik rebana menuju tempat Nenek. Aihhss, tersentuh hati kami dengan kegembiraan ini.

Nenek ternyata juga sedang dalam keadaan kurang sehat, sama dengan keadaan Mbah Nun Jawa. Nenek berkata bahwa apabila Cak Nun kurang sehat, beliau pasti merasakan hal yang sama. Terpampang di dinding-dinding rumah, foto-foto kenangan dengan mbah Nun ketika masih muda. Inilah salah satu huma berhati itu?

Beberapa suguhan lagu shawalat dari anak asuh Nenek pun menghibur qalbu kami. Bahkan Nenek pun bersama para ibu-ibu lainnya juga ikut mendendangkan beberapa lagu shalawat. Shalawat ini memang khas dari Mandar dengan bahasa yang unik, beruntung ada Pak Hamza yang langsung mengartikannya. Di lagu pertama, pesannya adalah dunia hanya sebagai tempat singgah. Lagu kedua tentang tauhid, kita diminta untuk bersabar, tidak memandang remeh siapapun, bersatu dalam kebenaran, dan do’a keselamatan untuk kita semua.

 Baru pertama kali ini mendengarkan suara langsung Nenek Cammana. Kalau dalam istilah jawa mungkin nyempreng-nya keterlaluan, sangat-sangat mengesankan bahkan disaat usia Nenek sekarang ini yang tak lagi muda. “Jejakmu akan terekam di hati, cintamu akan teringat di hati.” Salah satu penggalan syair dari nenek seperti entah mengapa membuat saya tak kuat menahan haru hingga batin mengajak untuk menyepi sejenak di beranda rumah Nenek. Mungkin memang diri ini terlalu lemah jika mesti dihadapkan dengan cinta, hingga mesti berlari sembunyi dari cinta itu sendiri.

Pertemuan yang Sejati Berawal dari Perpisahan

Tatapan semakin mesra menanti cinta yang segera berpisah. Bagai cerita-cerita roman yang memiliki klimaks sad-ending. Sebelum cerita berujung pada kesedihan, pasti banyak cerita tentang kebahagiaan yang talah tertulis rapi dalam buku kenangan. Ya, Mbah Nun pernah memberikan pesan kepada kita untuk belajar niteni keadaan. Supaya kita siap dan tidak mudah larut oleh keadaan yang sumber sesungguhnya berawal dari diri sendiri.

Perjalanan ke Pantai Dato’ sepulang dari rumah Nenek Cammana pun kurang lebih demikian. Kami diajak menikmati segala panorama air pantai sembari menemani surya yang perlahan tenggelam. Tentu kami sangat bergembira, dengan cara yang masing-masing telah menentukannya sendiri. Hanya saja dengan ilmu niteni setidaknya kami mengetahui batas. Namun, batas yang jangan sampai batas yang dibuat menghilangkan nikmat untuk menikmati segala keadaan.

Menjelang Maghrib, kami diajak nongkrong ala anak-anak muda di sebuah cafe di Majene. Kebetulan, pemiliknya adalah Mas Arifin, salah satu anggota Teater Flamboyan juga. Kami juga berkesempatan bertemu dengan Mas Ra’uf, salah satu pemuda setempat yang memiliki visi memajukan pendidikan di daerah Sulawesi ini.Terakhir sekali, kembali kami ke pangkalan untuk packing sebelum acara pamitan di Rumah Pak Abu Bakar.

Semua dari kami diberi kesempatan untuk menyampaikan segala kesan, pesan, ataupun saran tentang perjalanan 3 hari di Mandar. Mayoritas menyampaikan cinta yang otentik atas pengalamannya, terlebih jamuan makan yang sangat spesial hingga membuat beberapa dari kami merasa bertambah berat badannya. Linangan peluh rindu yang akan ditapaki seusai pertemuan ini pun tak dapat dibendung.

“Kami memang seperti ini dalam menyambut saudara yang bertamu, kepada siapa saja. Bukan hanya karena Maiyah, atau Cak Nun.” kata Pak Amru.  Semoga ini menjadi awal dari perjumpaan-perjumpaan kami berikutnya di lain waktu. Banyak dari kami yang memiliki harapan suatu saat dapat kembali lagi diperjalankan ke Mandar membawa saudara-saudara baru yang lain.

Sebuah pelukan terasa seperti dekapan erat yang telah menyatu. Banyak hal tentang cinta yang mesti dimaknai dalam Rihlah Mutahabbina Fillah ini. Jangan bergantung pada sejarah, terlebih keberkahan akan sesuatu. Mandirilah dan teruslah berjuang. Cinta bukan sekedar saling menatap atau saling menyapa dalam kata. Cinta adalah tentang bagaimana ia tetap menyatu sekalipun tanpa tatap ataupun saling sapa dalam kata. Lalu, tertinggal diam yang menjadi puncak kerinduan.

Terima Kasih, Mandar! Cinna Ate!

Buah dari Negeri Tarhim

Hujan deras menyapa kami pada jum’at pagi ini, hari kedua kami berada di Tinambung. Anak-anak sekolah nampak berlarian dengan riangnya menikmati hujan yang mengantarkan mereka ke sekolahnya. Seragam coklat mereka menua, berarti kuyub sudah pakaian mereka. Mereka mampu bergembira sekalipun pakaian mereka basah, sementara kami yang semakin menua ini, justru semakin manja.Sepertinya, kami masih perlu belajar tentang kegirangan anak-anak Sekolah Dasar tersebut yang mampu menikmati hujan untuk pergi menuntut ilmu.

Agenda untuk mandi di sungai yang menjadi tempat Mbah Nun dulu membersihkan diri pun mesti ditunda. Konon ceritanya, orang yang sudah minum air di Mandar, berarti dia orang Mandar. Namun, legitimasi tersebut rasanya akan lebih terasa jika dibersamai dengan mandi di Sungai Mandar. Sembari napak tilas perjalanan Mbah Nun. Namun, agenda pagi ini tersebut mesti tertunda sebagai akibat dari cuaca yang kurang mendukung.

Tak lama setelah hujan mereda, Pak Aslam langsung menghampiri kami untuk mengajak ke tempat Bapak Nurdin sebelum berziarah dan shalat jum’at di Masjid Imam Lapeo. Bapak Nurdin ini merupakan salah satu sesepuh Teater Flamboyan yang dulu adalah seorang Guru dari Ali Sjahbhana.

Rumah beliau berada tepat di tepi Jalan Raya, sedangkan suara Bapak Nurdin sangatlah lirih. Tentu saja, hal tersebut tidak menjadi sebuah penghalang dari kami untuk dapat mencari ilmu dari beliau. Menurut Bapak Nurdin, Cak Nun itu Abstrak, “kadang berbudaya, kadang religius”. Tentu beliau mengungkapkan hal tersebut bukan tanpa alasan. Beliau sering mengikuti Mbah Nun melalui media elektronik. Ketika salah satu dari kami menanyakan apa yang menarik dari Mbah Nun, beliau menjawab cepat dengan menyatakan, “yang menarik adalah caranya.” Tentang bagaimana sorang Mbah Nun mampu menjaga keseimbangan, istiqomah merangkul dan menemani masyarakat hampir setiap malam.

Lalu, ketika Bapak Nurdin juga ditanya mengenai radikalisme, beliau secara panjang lebar menjabarkan tentang sejarah Islam. Setelah selesai, beliau balik bertanya kepada kami, jika sejarahnya seperti itu, bagaimana mungkin kita tidak mengenal islam? “Maka dari itu iqra’, bacalah!” nasihat Pak Nurdin. Beliau mengakui bahwa beliau sangatlah radikal, karena jika kita tidak mampu berfikir radikal, nanti kita akan mudah terombang-ambing. Dengan kata lain, radikal menurut beliau adalah kedaulatan berfikir agar tidak mudah terbawa arus oleh isu-isu yang menjauhkan diri dari cinta dan kebersamaan.

Sekitar pukul 11.00 WITA, kami melanjutkan agenda menuju Masjid Nurut Taubah K.H Muhammad Thahir atau yang sering dikenal dengan Imam Lapeo. Selepas menunaikan ibadah shalat Jum’at, rombongan kami pun langsung menuju makam Imam Lapeo yang berada tepat di ujung sebelah kanan kanan serambi masjid.

Selanjutnya, kami diajak ke salah satu tempat keturunan dari Imam Lapeo yang lokasinya tidak jauh dari Masjid. Rumah yang begitu tampak sejuk karena dibangun hampir 90% menggunakan kayu ulin dari Kalimantan. Ternyata, disana kami sudah dinanti oleh banyak orang. Bahkan, Imam yang tadi mengimami shalat Jum’at sudah berada di rumah tersebut. Sedikit cerita yang sanggup tercatat dari salah satu cicit Imam Lapeo adalah tentang perjalanan Imam Lapeo yang dulunya merupakan murid dari Syaikhona Kholil, Bangkalan. Imam Lapeo sendiri baru menginjakkan kaki di Tanah Mandar pada usia sekitar 80 tahunan.

Maka dari itu, keturunan Imam Lapeo disini tidak kaget apabila ada yang mengaku-aku sebagai keturunan Imam Lapeo di luar wilayah Mandar. Imam Lapeo sendiri menikah sebanyak 4 kali ketika berada di Mandar. Dan menariknya, pernikahan pertama beliau dengan istri pertamanya di tanah Mandar ini terjadi ketika Imam Lapeo sudah menginjak usia 89 tahun. Jika melihat suasana yang berada di tanah Mandar sekarang, tentu hal tersebut merupakan berkah karomah atas laku beliau, Imam Lapeo.

Kami pun diajak singgah di Mushola pertama Imam Lapeo di daerah Puppole. Di sana, kami serombongan secara khusus mengirimkan 99 Al-Fatihah kepada Imam Lapeo sesuai dhawuh yang dititipkan Mbah nun kepada Mas Fahmi.

Waktu memaksa kami untuk kembali ke basecamp alias rumah Bu Hijrah. Dalam perjalanan pulang, kami mampir ke satu-satunya cucu Imam Lapeo yang masih hidup. Ibu Mukhromah, yang tempat tinggalnya persis berada di seberang panggung. Kondisi kesehatan beliau nampak rapuh sejalan dengan usia beliau yang semakin renta. Dari tempat tersebut, kami mendapat stampel khas Imam Lapeo dalam bentuk cetakan di beberapa lembar kertas.

Hari masih terlalu terang untuk tidak memanfaatkan waktu dengan maksimal. Beberapa dari kami ada yang terus menggali sejarah, sebagian lainnya memutuskan beristirahat, sebagian lagi memutuskan untuk napak tilas ke sungai Mandar di dekat kediaman Ali Sjahbhana, tempat yang dulunya menjadi keseharian Mbah Nun untuk membersihkan diri. Seolah kami benar-benar merasakan menjadi orang Mandar setelah sejenak mandi dan berendam di bantaran Sungai Mandar.

Guyonan pun datang ketika sebagian dari kami yang merasa sudah nyemplung di kali Mandar sedikit umuk ke temen-temen yang lain. Terlebih, bagi kakak beradik seniman asal Wonosobo, Mas Akbar dan Mas Wakijo. Saling ejek diantara mereka mungkin sudah biasa bagi mereka, akan tetapi bagi kami, hal tersebut merupakan hiburan kemesraan tersendiri. Terlebih ketika salah satu ada yang nyeletuk, “Lha, kalau belum nyemplung kali berarti iseh Mandar Swasta.” Sontak saja semua yang ada di ruangan ikut tertawa. “Sudah tenang saja, besok pagi kita agendakan ke sungai.”

Kita tentu tidak mau bingung dengan tendensi agenda kegiatan yang cukup padat. Jika diperlukan serius, kita bisa serius. Jika dirasa butuh guyonan, tinggal guyon saja untuk mencairkan suasana. Karena hampir di setiap tempat bahkan waktu, selalu ada nilai yang seharusnya sanggup untuk didokumentasikan ke dalam tulisan. Bahkan, Mas Yasin dari Surabaya pun sempat mengatakan, andai saja perjalanan ini meski terekam dalam dokumentasi tulisan, bisa saja perjalanan ini mampu mewujud menjadi sebuah buku. Anggap saja ini merupakan sebuah liburan, dan jika banyak terhampar nilai disitu. Anggaplah itu sebagai bonus atas perjalanan tersebut.

Ba’da isya’ hari kedua kami di Mandar, kami diajak bersilaturrahmi ke rumah Bapak Lattapa. Rumah beliau tidak jauh dari kediaman Bu Hijrah, jadi beberapa dari kami memutuskan untuk jalan kaki. Keluarga Bapak Lattapa sudah siap menyambut kami begitu tiba. Hidangan sudah tersusun rapi hanya tinggal menunggu kami duduk lalu dipersilahkan langsung makan. Acara makan bersama pun tentu dibersamai oleh beberapa anggota Teater Flamboyan yang lain, seperti Abah Tamalele, Pak Aslam, dan Pak Amru.

Pada malam hari itu, giliran kami untuk sedikit berbincang melingkar dengan Pak Amru. Pak Amru sedikit bercerita masa lalu ketika Mbah Nun berada di Mandar. Mayoritas dari kami (anggota Teater Flamboyan), dulunya merupakan preman. Serba tidak jelas baik penghidupan ataupun kehidupannya. Pada awalnya tidak ada yang mengenal sosok Emha, kecuali sebatas teman dari Bang Ali Sjahbhana, yang katanya seorang ahli budaya, dan lihai dalam membaca puisi.

Anggota Flamboyan merasa seperti mendapatkan semangat tersendiri, ketika Mbah Nun bersedia menemani dan berproses melingkar bersama. Pak Amru menyampaikan bahwasanya pada waktu itu Emha menerima kami apa adanya. Dan para anggota Teater Flamboyan pun tidak menerima kebesaran nama Emha pada waktu itu, kecuali hanya sebatas bisa menulis puisi.

Benar saja, pada salah satu pertunjukan puisi di sebuah Gedung. Mbah Nun waktu itu berkesempatan membacakan puisinya yang sanggup membuat suasana haru dan sendu bagi seluruh hadirin yang hadir. “Tidak ada yang istimewa, akan tetapi . . . . “ Pak Amru tetiba berhenti berkata atas kesan yang ingin beliau sampaikan perihal sosok Mbah Nun sembari mengusap-usap dadanya dengan mata yang mulai mengkristal. Hari kedua pun dipungkasi dengan ngumpul di kediaman Pak Abu. Sembari bernyanyi dan berbagi bahagia bersama.

Pertemuan hanyalah sebuah pertemuan. Berkesan atau tidak sebuah pertemuan, bukan tergantung kepada apa yang nampak, tapi itu semua tergantung pada bagaimana diri kita memaknainya. Yang spesial dari Tanah Mandar yang belum pernah saya temukan dimanapun selama ini di Jawa adalah Budaya Tarhiman. Hampir di setiap masjid di semua waktu sholat, sebelum  adzan berkumandang, sudah pasti bacaan tarhim dilantangkan. Seperti hidup di negeri Tarhim yang benar-benar terpisah dari segala hiruk pikuk kadunyan.

Beberapa kali Mbah Nun berpesan dalam sinau bareng, bahwa tarhiman itu penting. Saya hanya memaknai, dari sholawat tarhim yang selalu terdengar itu, terpancar kemuliaan yang menaungi tanah Mandar. Terlebih jika sholawat itu selalu meraung, sudah pasti seraya semesta agung ini akan bercengkerama memberikan energi yang positif juga. Dan akhirnya, budaya tarhim ini setidaknya menjadi salah satu keindahan selama tinggal di Tinambung. Semua kemesraan dan cinta yang dirasakan seolah merupakan buah dari tarhim itu sendiri. Wallhu’alam.

Wa ilal muntahaa rufi’ta kariiman

Wa sami’ta nidaa-an ‘alaikas salaam

Shallallaahu ‘alaika

Spiritual, Akar Kehidupan

Beberapa dari penggiat kami berdiskusi via grup di salah satu media komunikasi, karena keterbatasan waktu yang dipatok. Ketika forum diskusi dibuka dengan langkah awal memilih daur beserta alasannya, sangatsedikit yang merespon meski tajuk pilihan daur tersebut merupakan Daur Simbah.Dari jumlahpenggiat yang ada, hanya 1/3 yang ikut menyerukan pendapatnya meski yang tidak ikut bersuara juga telah membaca diskusi yang telah berlangsung.

Dari 1/3 tersebut, hasilnya berimbang. Setengah memilih daur 2, dan setengahnya lagi memilih daur 3. Kesepakatan untuk menyatukan suara mustahil dilakukan karena hanya berbicang lewat media virtual. Jadi, tidak ada benar atau salah. Semua pilihan baik bagi yang menurutnya tepat dengan pemikiran akan sebuah permasalahan yang sedang terjadi.

Karena ini berkaitan dengan revolusi, pertama-tama tolak ukur apa yang dipakai dalam revolusi tersebut? Perbedaan haruslah ada demi keluasan cara berfikir dan melatih kemandirian cara pandang.

Melihat situasi seperti sekarang ini. Manusia sudah terlalu memunafikkan dirinya yang menyembunyikan ego dalam selimut spiritual. Bahkan lebih menyedihkannya lagi, maiyah hanya dijadikan penguat kebenaran atas pemikiran kebenaran masing-masing manusia berkepentingan.

Masyarakat Maiyah terlalu jamak dan luas jika mesti dijadikan pelaku utama perubahan/revolusi. Masih terlalu banyak bias dimensi ruang jika mesti menjadi subjek hijrah yang khoir. Masih terlalu malas dan tidak peka jika harus melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan dirinya, terlebih yang menguras tenaganya.

Jadi, biarkan semua berjalan ala kadarnya. Biarkan mereka yang dapat mengambil ikhtiar maiyah yang berdiam diri, bertapa, bahkan terasing dari peradaban maiyah itu sendiri. Tidak semua pelaku ini mampu melakukan ataupun menggerakkan. Hanya saja, salah satu dari mereka yang mampu memetik ikhtiar maiyah ini, pasti ada di setiap daerah.

Pada akhirnya, mereka hanyalah orang yang tak berkepentingan, bahkan tidak berani untuk melakukan hal yang begitu besar, kecuali tanpa seruan amr-Nya.

Mereka pasti ada di setiap daerah, biarkan mereka menjadi tonggak ataupun saka yang terus berjuang mengamalkan ataupun menjaga nilai-nilaimaiyah. Baik atau buruk, benar atau salah, khoir ataupun sayyi’, sejahtera ataupun serba berbatas, dianggap ataupun hilang, hasil ataupun proses. Itu tidak begitu menjadi masalah apabila revolusi spiritual ini mampu dijalankan. Apapun yang terjadi kedepan tak lain hanya merupakan bagian dari rencana cinta-Nya. Demi sebuah pertemuan.

Pertanyaannya apakah kita –atau diri sendiri- membutuhkan revolusi? Jika semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang ditujukan demi sebuah pembelajaran. Apa kita masih membutuhkan kemenangan jika semua hanyalah tentang hilangnya rasa cinta kepada segala qada’ dan qadar-Nya?

Jika memang mesti ada perubahan hingga membutuhkan revolusi, mungkin revolusi spiritual diri akan lebih tepat, karena hal ini akan berimbas kepada cara diri memandang permasalahan, cara diri memahami kompleksitas kultural bangsa. Karena hanya spirituallah yang akan menjadi pegangan untuk memperteguh keistiqomahan menyusuri perjalanan menuju keabadian. Spiritual adalah landasan keseimbangan agar tidak mudah terjatuh atau sakit. Spiritual adalah akar yang menentukan tinggi sebuah pohon kultural ataupun kehidupansosial. Agar tidak mudah terombang-ambing oleh angin kehidupan.

Jadi, sudahkah kita memahami atau setidaknya mengenal spiritual diri? Jangan-jangan itu hanya sebuah pembelaan kebenaran anganmu karena kamu terlalu takut akan kegelapan “salah”. Bukankah cahaya hanya akan bermakna jika ada kegelapan?

XXIII. –

Kasih,

Aku merasa selalu gagal menjual diri

Melontarkan gagasan ketiadaan

Di harap mereka tentang keberadaan

Kesalahpahaman menjadi makananku

Kesinisan selalu menerkaku

Hah, sudahlah…

Ada Diam yang selalu menawarkan belaiannya

Andai saja mereka tau kalau aku hanya ingin menyatakan cinta

16 Februari 2019

Sajaroh dan Cinta Saudara Tua

Di waktu sepertiga malam terakhir kami tiba, sapaan hangat menyambut kami dengan begitu ramahnya. Meski baru pertama kali berjumpa, suasana kekeluargaan terasa sangat menenangkan qalbu. Ya, seperti kata Mas Akbar yang sempat mengungkapkan bahwa, perjalanan ke Mandar ini serasa pulang ke rumah.
Meski perjalanan seharusnya mengakibatkan kelelahan. Akan tetapi, energi seperti dilipatgandakan karena begitu sampai, justru kita melingkar menuntaskan rindu dengan berbincang-bincang sejenak di beranda rumah Bu Hijrah. Sebagian dari kami bertahan hingga fajar menjulang, sebagian lagi memutuskan rebahan mengistirahatkan tubuh.

Sekitar pukul 08.00 waktu, tempat kami sudah didatangi oleh Pak Aslam dan Pak Tamalele. Beliau adalah salah satu rekan Mbah Nun yang berada di Mandar. Khusus Abah Tamalele, beliau sampai mendapat julukan tentara langitnya Mbah Nun. Banyak sekali cerita yang kami dapat tentang perjuangan, kenikmatan, laku hidup, bahkan sampai pencekalan.

Sembari menikmati makan pagi yang telah disediakan, tentu kami tidak menyia-nyiakan waktu begitu saja untuk sebisa mungkin dapat mengambil nilai dari beliau-beliau. Salah satu pertanyaan terbesit dari Cak Sutar, adalah tentang bagaimana untuk belajar tenang dalam kehidupan dan bagaimana caranya menghayati kehidupan itu sendiri. Abah Tamalele memberikan jawaban agar kita belajar terlebih dahulu mengenali dan menghargai 4 unsur alam yang membentuk manusia. Karena menurut Abah, manusia jarang menyadari bahwa keempat unsur tersebut juga memiliki ruh yang setidaknya juga mesti kita kirim Al-Fatihah kepadanya.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa kita mesti belajar dari kehidupan ikan, terutama ikan laut. Ikan itu sendiri ketika mereka mencari makan atau penghidupan mesti melawan arus, kecuali mati. Manusia apakah sanggup untuk melawan arus seperti yang ada di zaman sekarang ini? Kecuali mereka yang sanggup dengan resiko keterasingan. Sementara ikan laut, mereka sanggup hidup di lautan yang asin, makanan mereka juga didapat dari tempat yang asin. Akan tetapi, apakah ikan laut pasti dirinya asin? Tentu tidak, disaat seharusnya ikan laut tersebut juga ikut asin.

Kita mesti banyak belajar memahami akal, seperti ikan-ikan tadi yang melayang di samudera nalar. Abah mengingatkan kita untuk terus berfikir. Setidaknya sampai tatafakkarun. “Akal tidak mempunyai pemukiman, berbeda dengan otak dan hati.” Kata Abah Tamalele. Dan ini sangat berhubungan dengan kesehatan tubuh. Jangan sampai jasmani menguasai rohani, kita akan mudah sakit. Tapi kalau rohani menguasai jasmani, anda ‘sehat’.

Pertanyaan-pertanyaan pun terus mengalir, antara penasaran atau proses pendekatan atas sebuah cinta yang telah terjalin mesra. Rasa ingin tahu terus menggelitik segala perjalanan yang pernah terjadi. Beruntung, Abah memberi jawaban kepada kami sangat penuh dengan kasih sayang layaknya seorang bapak dan anak.

Abah Tamalele ini orang yang sangat spesial. Beliau mengaku tidak memiliki pekerjaan, tetapi sering mendapat undangan pada acara-acara besar, baik itu yang berhubungan dengan agenda acara pendidikan maupun pemerintahan. Salah satu dari kami pun bertanya, “tapi Abah mampu menyekolahkan anak bahkan sampai kuliah, itu bagaimana?” Abah pun dengan sahaja dan sederhana hanya menyampaikan, jika manusia yang paling kaya di muka bumi adalah orang yang ikhlas.

Tentu pemikiran-pemikiran seperti ini sudah hilang di generasi milenial. Bagaimana mereka hidup seperti terkekang oleh masa depan yang selalu menghantui. Bahkan, mereka mengimani Tuhan tapi tidak percaya akan jaminan masa depan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan. Peradaban serasa begitu sangat rumit jika kita tidak sadar telah menomorduakan Sang Hayyu. Padahal, segala peradaban di muka bumi itu sendiri menurut Abah sajaroh-nya ada/tercipta, hanya sebatas sebagai akibat dari interaksi antara Adam dan sebuah Pohon.

“Kemerdekaan yang hakiki itu tidak mengambil hak orang.” Lanjut Abah. Sekiranya ini merupakan indikasi bahwa segala sesuatu itu telah memiliki takarannya masing-masing tergantung usahanya. Manusia itu kan makhluk genetika, sementara genetika itu sendiri memiliki 2 jenis. Biologis dan ilahiah. Genetika ilahiah disini yang dimaksud adalah 4 unsur alam yang telah disebutkan tadi. Jadi, pesan Abah adalah jangan menganggap 4 unsur itu LAWAN.

Perjalanan Hari Pertama

Sekitar pukul 09.00 WITA, Bapak Camat pun datang menyambangi kami. Beliau adalah Pak Hamza, salah satu tokoh yang dulu juga setia menemani perjalanan Mbah Nun di Mandar. Bahkan, Pak Hamza ini menjadi Camat seperti telah mendapatkan do’a karena dahulu Simbah pernah menuturkan pesan bahwa beliau akan menjadi seorang Camat.

Cerita lebih dalam tentang Pak Hamza mungkin bisa didapat temen-temen dari kami dalam tulisan yang lain, karena hampir semua yang ada disini merupakan penulis-penulis handal yang mewakili simpulnya masing-masing. Terus pantau update tentang cerita perjalanan ini dalam hastag #RihlahMandar.

Pak Aslam kemudian memberi aba-aba kepada kami untuk segera bersiap mengikuti acara maulidan di salah satu daerah Ali Sjahbhana, seseorang kawan yang mendatangkan Mbah Nun pertama kali ke tanah Mandar. Dimana pertemuan beliau pertama kali dengan Mbah Nun ketika Pak Ali sedang menjadi seorang pelajar di Yogyakarta.

Kami pun agak kaget ketika mendapat sambutan yang amat teramat hangat oleh warga sekitar. Acara sedang berlangsung ketika kami sampai di Masjid. Kesederhanaan acara menjadi kesan pertama, terutama bagi saya. Namun, ketika selesai, acara seketika berubah menjadi meriah. Ibu-ibu langsung melakukan tugasnya untuk menyediakan kami berbagai hidangan yang sangat istimewa. Kami pun diberi salah satu bentuk berkah yang terwujud dalam tongkat kayu yang dihias sedemikian rupa dengan telur matang digantungkan di ujungnya.

Mbah Nun yang nandur, kami beruntung, sangat beruntung mendapatkan pengalaman mendapatkan bagian dari keberkahannya. Kata-kata yang tertulis pun tentu hanya sedikit mewakilkan keberkahan tersebut. Terlebih, saya yakin jika semua yang disini memiliki kenangannya sendiri hingga mampu selalu menumbuhkan cinta.

Setelah rehat sebentar, kami di ajak lagi oleh Pak Aslam untuk mengunjungi kediaman Pak Abu Bakar. Yang tempatnya hanya di samping kediaman Bu Hijrah, tempat kami singgah di Mandar. Sampai di tempat Pak Abu pun, kami langsung disuruh makan siang. Gilaaa…! Setiap tempat kerabat yang kami singgahi selalu terhidang makanan berat. Sama seperti ketika mengunjungi kerabat di Jawa, kalau belum makan, belum boleh pulang. Jadi, sinergi kekerabatan pun otomatis tertanam dalam embrio kami dalam sebuah ikatan cinta.

Salah satu cerita yang saya dapat dari Pak Abu ini adalah ketika Pak Abu berada di Makassar dan dikejar oleh anggota keamanan, dan ketika hampir dipukuli oleh anggota tersebut. Pak Abu sontak hanya berteriak “Toloong Cak Nun!!!” Dan ajaibnya, Pak Abu entah bagaimana sanggup terbebas dari kepungan anggota dan mampu berlari yang tak masuk akal jika dihitung dengan jarak dan waktu.

Banyak cerita yang kami dapat, tapi waktu menuntun kami kembali ke tempat Bu Hijrah sebelum melanjutkan perjalanan ke makam Syaikh Abdul Mannan. Tapi, kami dipaksa untuk makan lagi karena hidangan telah disediakan di tempat Bu Hijrah. Jadi agenda hari itu serasa hanya makan terus. Tapi, tak mengapa. Mungkin sekarang kami membuktikan apa yang telah diweling oleh Mas Fahmi agar menyiapkan lambung yang cukup.

Sore itu pun kami berziarah ke makam, setelah itu berkesempatan menikmati sunset di tepi pantai. Ah, perjalanan cinta ini serasa lengkap sudah dengan senja di pantai Mandar. Setelah mandi sore, kami diajak makan ke Sop Saudara. Mantab bener, sampai berasa mabuk lambungnya.
Agenda terakhir hari pertama adalah yasinan di tempat Pak Abu, berkesempatan bertemu dengan sesepuh-sesepuh Teater Flamboyan. Salah satunya Pak Amru, mungkin dalam kesempatan selanjutnya ada cerita lain lagi khusus dari apa yang didapat dari sesepuh-sesepuh yang telah disebut namanya. Dan nilai yang saya ambil malam hari ini adalah tentang salah satu sesepuh (Pak Munuk) tentang salah seorang wali yang bermimpi bertemu Rasulullah dan ditanya, tahukah tentang kewaliannya? Wali itu menjawab “tidak”. Lalu Kanjeng Nabi menyampaikan ada 3 hal yang menjadikanmu seorang wali, kecintaan dan pengabdian kepada orang soleh, rasa cinta kepada saudara dan pengabdian kepada sahabat-sahabat.

Perjalanan Menuntaskan Rindu di Tanah Mandar

Perjalanan ini semata-mata bukan sebatas pergi berlibur atau sekedar silaturrahmi biasa. Terlebih karena mandat yang disampaikan olah Mbah Nun bulan Oktober kemarin di rutinan Mocopat Syafaat. Langsung saja, tertulis agenda di bulan November untuk melaksanakan dhawuh Simbah pergi ke tanah Mandar.

Di tempat tersebut, Simbah menyebut orang-orang disini sebagai saudara tua. Mengapa? Banyak tulisan-tulisan resmi di caknun.com telah banyak menyampaikan informasi sejarah. Meskipun, tak semua tulisan belum mampu mewakilkan ilmu yang didapat ketika berkunjung ke Mandar. Layaknya coretan ketidakjelasan ini, hanya akan bercerita sebagaimana jari-jemari menari sebagaimana mestinya.

Akhirnya undangan resmi telah diinfokan mengajak saudara-saudara Simpul Maiyah untuk ikut dalam perjalanan ini 2 minggu sebelum waktu keberangkatan. Terkumpul lah sekitar 16 orang yang bersedia untuk berangkat, atau lebih tepatnya merasa terpanggil oleh ajakan perjalanan rindu dan cinta, Rihlah Mutahabbina Fillah.

Tanggal 20 pun kami berangkat dan menyetujui untuk berkumpul di bandara Hasanuddin, Makassar. Kareana wilayah asal yang berbeda-beda, begitupun jadwal penerbangan juga tidak bisa disamakan. Kebersamaan ini pun nampak ketika yang paling datang awal bersedia menunggu berjam-jam di bandara menanti kehadiran saudara mereka yang terakhir datang. Dan, kebetulan yang datang terakhir saya sendiri. Meski dengan konsekuensi tidak ikut foto bersama. Meng-ghuraba-kan diri sendiri pada akhirnya menjadi senjata untuk membela diri melawan diri.

4 saudara dari Tinambung (Ridwan, Madi, Abul dan Aceng) sudah menunggu di bandara, bahkan mereka rela meluangkan waktunya menunggu kedatangan kami. Terima kasih banyak atas kesediaannya menghiasi perjalanan kami. Pemberhentian kami pertama adalah di salah satu rest area. Uniknya, di tempat ini seluruh orang yang mampir mendapatkan hidangan roti maros yang khas dengan teh manis gratis. Andai saja, tempat seperti ini ada di Jawa, khususnya daerah padat mahasiswa. Lumayan bisa menghemat biaya sekali makan kalau keadaan kepepet.

Rest Area dab Bertemu Roti Maros
Ikan Bakar Baronan

Lanjuuttt, gaasss… Pemberhentian kita berikutnya setelah sekitar 1 jam perjalanan adalah di daerah Barru. Disana kita mengisi bahan bakar diri yang mulai melilit. Membahagiakan cacing-cacing yang sudah mulai mengadakan aksi protes. Ikan bakar baronan menjadi menu santap kali ini. Bentuknya seperti ikan Nila, rasanya pun hampir sama.

Saya sempat membuka aplikasi Maps, perjalanan masih harus menempuh perjalanan sekitar 200km dengan waktu tempuh sekitar 6 jam. Namun, sepertinya kami dikemudikan oleh pengemudi-pengemudi handal. Bahkan, Mba Sita menjuluki cara menyetir mereka layaknya supir Sumber Kencono. Siapa yang tidak kenal bus legendaris tersebut? Kecepatan rata-rata 120km/jam dengan kondisi jalan Sulawesi yang masih minim penerangan. “Cara mengemudinya tegel tapi halus” tutur Cak Sutar, salah satu wakil dari Paseban Majapahit.

Perjalanan pun dapat dipangkas dengan memaksimalkan kecepatan, rombongan kami pun tiba di rumah Bu Hijrah, Tinambung, sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Sambutan hangat tentu menjadi awal perjumpaan yang mengenang. Alhamdulillah, #RihlahMandar sudah terwujud dan menuntaskan perjalanan yang penuh rindu dan cinta, dalam Rihlah Mutahabbina Fillah.

Tiba di Rumah Bu Hijrah

Dan perjalanan untuk sampai kesini merupakan hadiah yang istimewa di hari yang spesial ini, Matursuwun, Mbah!

Mandar, 21 November 2019

Adakah Derita itu dalam Maiyah? (Teko Loossss…) #2

Menjelang tengah malam, Pakdhe-Pakdhe Kiai Kanjeng bersama sesepuh yang lain mulai naik ke panggung. Kiai Kanjeng membuka dengan bacaan tawassul dan wirid-wirid khusus untuk kesehatan Mbah Nun yang dipimpin oleh Mas Islamiyanto. Sekali lagi, jamaah hanyut dalam rapalan mantra-mantra yang melangit. Memanifestasikan cinta yang menyatu dalam kekhusyukan do’a demi kerinduan yang masih banyak berbatas.

Pertama-tama, Pak Muzzamil diminta untuk menanggapi apa yang sudah menjadi topik pembahasan sedari tadi. Jika berbicara mengenai derita, beliau langsung mengingat kata-kata Mas Sabrang tentang limitasi. Seseorang menderita karena tidak mengetahui batasan-batasan kemampuan tentang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam tempat yang lebih kecil, tentu akan menimbulkan masalah. Wutah, kecer-kecer, ting pecotot, dan istilah jawa lainnya. Karena pemikiran tentang masalah tersebut yang akhirnya akan berefek pada deritanya diri.

Dan yang menjadi masalah itu sendiri biasanya dikarenakan oleh target-target yang tidak tercapai atau terpenuhi. Bahkan, pendidikan kita sendiri sejak dari kecil sudah terdidik untuk bercita-cita menjadi sesuatu, dimana tolak ukur pencapaian target tersebut hanya diukur dengan takaran materi. Pilot, dokter, polisi, adalah contoh profesi yang menurut para orang tua adalah pekerjaan yang layak demi penghidupan di masa depan. Hingga proses pembelajaran pun sudah pasti sangat diusahakan oleh orang tua demi tercapainya impian tersebut.

Menanggapi fenomena tersebut, Pak Muzzamil memberikan respons kalau hidup itu kalau bisa tidak usah punya target. Lossss… Sekalipun target terkadang menjadi motivasi tersendiri, akan tetapi, kita tidak akan pernah mengetahui bahkan apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Jadi, jalani saja yang terbaik saat ini, sekarang. Bahkan istilah dholim pun disematkan oleh Kiai Muzzamil atas penderitaan yang menimpa.

Lhoh, koq bisa? Sudah menderita, dibilang dholim pula. Hal ini sangat berkaitan dengan penjelasan Mas Sabrang terkait dengan 4 jenis layer pada diri manusia, yaitu badan, pikiran, hati, dan kehidupan sosial. Mas Sabrang menjelaskan sebuah garis lurus yang di tengah-tengahnya 0,nol (ukuran keseimbangan), jika ke kiri yaitu minus (negatif) dan jika ke kanan baik (positif). Orang yang mengalami puncak penderitaan jika keempat layer berada di sebelah kiri semua. Secara tidak langsung, kita dilatih untuk mengidentifikasi atau menakar posisi diri sendiri oleh Mas Sabrang.

Dalam 3 layer (badan, pikiran, dan hati) manusia memiliki kendali penuh atas putusan-putusan yang mencondongkan dirinya ke nilai negatif atau positif. Akan tetapi, khusus di layer 4 (kehidupan sosial) menurut Mas Sabrang, itu diluar kontrol pribadi manusia. Karena dalam layer sosial pasti ada yang bernama kompetisi. Sebuah persaingan yang sialnya mayoritas berbentuk materi.

Oleh karena itu, kata dholim pada yang merasakan penderitaan bermaksud agar manusia mampu memahami takarannya masing-masing. Sehingga mampu untuk berusaha menata kembali posisi-posisi cara berfikir ataupun cara pandang yang menyebabkan self-error.

Ketika giliran Pak Ilyas, salah satu dosen di perguruan tinggi di Semarang, ikut menyampaikan gagasannya tentang penderitaan yang sangat frontal, bagaimana tidak? Menurut Pak Ilyas, mahasiswa yang tidak nyontek itu tidak ada. Bahkan, untuk harus lulus seharusnya sangatlah susah. Guyonan-guyonan Pak Dosen ini sangat cocok bagi para mahasiswa atau pemuda/i yang mayoritas hadir pada malam hari ini.

Semuanya larut melalui bahasa-bahasa frontal, lugas, tapi benar. Salah satu contohnya, ketika beliau melontarkan pertanyaan ngapain kamu kuliah? Ngapain kamu kuliah kalau gak pernah bolos? Ketidaktertiban dosen juga disinggung, misalnya dalam 1 SKS terdapat 15 pertemuan, misalnya, dalam kelas itu dibagi menjadi 14 kelompok. Lalu, tiap minggu gantian maju presentasi masing-masing kelompok, sembari latihan berdebat. “sedangkan dosennya mung mainan HP, kadang ya ono sing golek selingkuhan!“ Hampir semuanya bahagia layaknya suara mereka terwakilkan.

“Orang cerdas itu adalah mereka yang tahu meletakkan sesuatu pada tempatnya.” Lanjut beliau. Di tengah-tengah acara Kiai Kanjeng juga mepersembahkan beberapa puisi yang di wakili oleh Pak Irfan dan Pak Nevi khusus bagi pujangga Mocopat Syafaat yang kebetulan berulang tahun pada malam itu.

Semua bebas untuk berekspresi sepanjang malam. Semua bebas ngopi ataupun ngrokok sembari menikmati hiburan berkelas dari Kiai Kanjeng. Ngantuk? Tidur pun gak masalah, gak ada yang marahin.

Acara pun mesti dipungkasi dengan puisi Mbah Mustofa Hasyim. Umumnya jam 3 dini hari mendengarkan puisi ‘rusak-rusakan’ dan tidak menderita alias tertawa, tentu sudah punya kadar kebahagiaan yang cukup, menandakan tidak stressed. Kalau situasinya seperti ini, adakah derita itu dalam maiyah?

Teko Looosssss…. #1

Suara-suara empati simpang siur silih berganti seiring dengan gelombang kedatangan jamaah malam ini. Saling menanyakan kondisi seorang guru, bapak, ataupun mbah yang telah begitu banyak mencurahkan ilmu dan kasih sayangnya kepada para pejalan maiyah. Rona rasa rindu yang biasanya timbul untuk sekedar menatap atau mendengarkan, seolah malam ini telah berubah menjadi keinginan untuk merapalkan do’a bersama.

Ya, setidak-tidaknya bagi para pejalan maiyah, hanya ini satu-satunya aktualisasi mengungkapkan rasa rindu pada temaram itu. Keikhlasan untuk tetep hadir mencari ilmu meskipun mengetahui ketidakhadiran Mbah Nun, menjadi bukti cinta yang nampak begitu merekah di dalam Huma, Mocopat Syafaat. Dan, ketika melihat banyaknya keikhlasan rindu yang menyapa, serasa sangat cukup untuk menyingkirkan kepalsuan-kepalsuan rindu yang lain.

Saya rasa, nominal pun kurang tepat jika diharuskan menjadi tolak ukur rindu yang tak nampak. Mungkin, jika kita bisa dapat melihat kejujuran rasa, satu ketulusan rasa rindu terasa cukup dibandingkan beribu rasa rindu yang tak lebih dari sebatas lisan. Atau semacam kepalsuan.

Ruang bergumam mengikuti suara tadarus ayat suci yang dibacakan oleh Mas Ramli. Terhitung wajah-wajah yang serius mengikuti, tak seperti biasanya. Seperti ada curahan yang ingin sekali diungkapkan, entah itu derita atau bahagia? Karena sangat mungkin sebuah derita bersembunyi dalam tawa dan bahagia justru tercurah melalui tetesan air mata.

Mas Angga, Mas Aji, Mas Fauzi, dan Mas Heri (kiri-kanan) - dok. Mocopat Syafaat
Mas Angga, Mas Aji, Mas Fauzi, dan Mas Heri (kiri-kanan) – dok. Mocopat Syafaat

Setelah selesai tadarus, acara dibuka oleh para beberapa penggiat diantaranya ada Mas Fauzi, Mas Heri, Mas Angga, dan Mas Aji. Prolog pun disajikan dengan mencoba lebih mendalami tentang 2 tajuk yang belum lama ini ditulis oleh Mbah Nun, yaitu “Menderita karena Maiyah” dan “Siaga Kapak dan Tongkat”.

Ketika pembacaan tajuk telah selesai, pertanyaan yang muncul adalah “Awake dewe iki tenanan arep dadi maiyah ora? (diri kita ini beneran mau jadi maiyah tidak?)” ungkap Mas Fauzi. Banyak sekali resiko yang telah dipaparkan dalam tajuk pertama. Yang pasti resiko utama adalah menjadi kaum ghuraba/terasing baik itu dari masyarakatnya, sahabatnya, bahkan keluarganya. Kehilangan pekerjaan ataupun yang terlempar dari perjalanan karirnya. Dan lagi menjadi sangat terbatas kesejahteraan dan kehilangan nikmat dunianya.

Oleh karena itu, pada kalimat terlakhir tajuk pertama ini, Mbah Nun menulis bahwa berhentilah ber-Maiyah kalau itu membuatmu sengsara dan kesepian! Kalimat ini adalah penawaran, bukan perintah.  Seperti lontaran pertanyaan yang disampaikan oleh Mas Fauzi, karena semua pejalan maiyah hampir mayoritas pasti dihadapkan dengan situasi keterasingan.Jika memang dirasa telah siap, kita mesti “Siaga Kapak dan Tongkat”.

Lalu, “sakjane sing dikapaki atau ditongkati iku opo?” kembali moderator mencoba mengajak jamaah yang hadir untuk berfikir kembali. Kapak pada zaman Nabi Ibrahim dipakai untuk menebas berhala-berhala yang disembah oleh Namrud. Tapi, kapak pada zaman ini lebih disiapkan untuk menghancurkan berhala globalisasi (menikmati arus hubbud dunya) kapan saja Allah menurunkan amr-Nya, tanpa harus menggulingkan Namrud.

Kemudian menunggu perintah idhrib bi’ashokal bahr. “Pukullah laut dengan tongkatmu!” Tapi lautan itu sekarang nampak seperti apa di zaman ini? Kejujuran atau kemunafikan? Khoir atau sayyi’? Haq atau bathil? Kehinaan atau kemuliaan? Karena semua itu telah tercampur-aduk. Kita mesti menyiapkan tongkat untuk memisahkan hal-hal yang mulai samar sekarang ini.

Mas Aji (Dok. @WisnuHerjuna)
Mas Aji (Dok. @WisnuHerjuna)

Setelah beberapa waktu mendalami materi, beberapa jamaah dipersilahkan untuk berbagi cerita tentang penderitaan yang mungkin telah mereka alami, terutama setelah mengalami maiyah. Ada seorang koki dari Cilacap yang telah bekerja di Jogja dari tahun 2011 bercerita, gara-gara kenal maiyah, ia menjadi tidak bisa mengambil banyak makanan seperti sebelum mengenal maiyah. Ada pula seorang santri yang seperti merasa diasingkan, namun menemukan kerinduannya dengan berusaha menjadi hafidz Qur’an, dan masih banyak lagi.

Salah satu jamaah yang naik panggung bercerita justru bisa menafsirkan bahwa menderita merupakan sebuah keputusasaan. Terlebih menderita ini dalam konteks berhubungan dengan yang bukan muhrim. “Teko Looosssss….” menjadi teriakan-teriakan suporter dari jamaah yang terdengar seperti sebuah sulap. Mengubah derita menjadi bahagia, yang merenung menjadi tertawa. “Iya Mbah, ‘saya bahagia Loosss ketika berada di Maiyah’.” (Bersambung)