Angan di Antara Angan-Angan

Selaksa tingkah menggetarkan qalbu. Di setiap temaram yang telah lalu. Tak peduli jika Layla mulai berkabut dengan keinginan-keinginannya. Sebenarnya tak ada masalah sama sekali, karena masalah itu menjadi akibat dari keresahan diri. Yang lebih banyak datang dari keinginan-keinginan. Dan pada akhirnya, cinta yang menjadi semakin kalut. Layla seperti tidak peduli dengan suatu angan yang menghampirinya. Dia seolah tahu bahwa angan itu tak lebih dari sebuah khayalan. Kosong.

Layla kemudian teringat tentang buku yang pernah diberikan oleh Tama saat bertemu di Pasar Beringharjo waktu itu. Karena kesibukan semasa masih di tempat perantauan, Layla sampai lupa atas pemberian tersebut. Karena penasaran, Layla pun bergegas menuju kamar mencari kotak kardusnya yang sudah usang tersudut di lompetan kamar karena hanya berisi barang-barang yang sudah tak terpakai.

“Ah, kamu!” sapa Layla kepada kaktus yang terdapat di tepi jendela sebelum masuk gudang kamarnya,sembari tersenyum mengingat kaktus berwarna merah yang dulunya mungil kini terlihat gagah. “Kamu kangen tuanmu gak? Aku kemarin barusan ketemu lhoo.. Sebelumnya kamu yang terlihat aneh, tapi sekarang justru tuanmu yang nampak lebih aneh.” Lanjut Layla sembari membayangkan pertemuannya di lereng berkabut itu.

Karena keanehan tersebut Layla nampak semakin penasaran dengan apa yang dicarinya. Tapi, kotak kardus yang dicarinya tidak ada pada tempatnya. Ibu Layla nampaknya tadi pagi telah membantu membersihkan kamar Layla. Karena Ibunya memahami, jika Layla tidak suka merapikan barang-barangnya.

“Buuu,,, Ibuu,,, kotak kardus Layla yang dari Jogja ibu taruh mana yaa? Koq disini gak ada?” tanya Layla dari dalam kamarnya.

Ibunya yang kebetulan sedang memasak di dapur menjawab, “Oiya, tadi pagi ibu pindahin beberapa kotak ke bawah, Nduk. Coba cari disini.”

Layla pun segera turun dan menghampiri ibunya, “mana, Bu?”

“Itu di bawah tangga… ada yang penting po? Tumbenan kamu nyari barang-barang yang sudah dimasukin kardus. Biasanya juga udah gak diperhatiin.”

Sembari mencari Layla menjawab, “Kepooo deh ibu… “

“Hahaha, gimana kamu sama Rendi? Udah ada niatan mau serius? Atau ada yang lain? Jangan-jangan kamu gak inget sama usiamu, atau malah gak pingin niat bikin ibu seneng, kalo ibu punya cucu?”

“Hmmm, kannnn… kannnn.. mulai deeehh, ngikut ibu aja yang paling suka yang mana, hehehe…”

“Lhoh, kamu ini gimana to?”

“Naaaahhh, ketemuuuu…!!!” Layla girang menemukan buku pemberian Tama.

“Owalaah, dari Tama pasti yaa…??”

Layla mendadak terkejut, “Kok ibu tauuu? Ibu uda buka yaa?”

Ibunya dengan santai menjawab, “Siapa lagi kalau bukan Tama yang suka dengan buku. Jangan-jangan kamu hilang ingatan yaa?” Nada ibu bercanda memberikan kode bahwa dulu hampir Tama terus yang dibicarakan dengan ibunya.

Layla pura-pura bodoh, “iyaaaa, mungkin bu.” Dan memutuskan untuk membantu ibunya terlebih dahulu di dapur. Sembari melakukan kebiasaan para wanita di dapur, ngrumpi. Tapi hal tersebut justru terlihat aneh di mata ibunya.

“Tumben, Nak?”

Layla pun hanya tersenyum manis membalas pertanyaan ibunya.

***

Sebuah ingatan 8 tahun yang lalu tentang Layla tersebut sangat berkesan bagi Tama.  Bagi Tama, ingatan tersebut kini menjadi sesuatu yang menggembirakan untuk diingat kembali. Sekaligus pertanyaan, meski dengan cinta seperti apa kamu hendak memilih? Sebuah pertanyaan sederhana yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda menyingkap rasa memiliki.

Malam-malam merupakan waktu yang dinanti oleh Tama. Memanggil dia tanpa suara paksa. Menghadirkannya tanpa secerca rasa ingin menatap pesonanya. Menemani Tama dengan harap akan memberi terang akan kegelapan. Atau jangan-jangan, Tama hanya sedang tidak sadar bahwa disanalah Layla selalu tinggal.

Benar saja, seketika itu angan (Layla) itu datang.

“Sudah terlalu banyak yang kau miliki, bahkan lebih banyak lagi yang ingin memiliki seutuhnya dirimu. Sebelum kamu menemukan penjagamu, kekhawatiran ini hanya akan terus membakar. Dan kamu tidak perlu mengetahui. Aku sendiri juga tidak peduli dengan yang membakarku karena yang terbakar tidak akan pernah padam hanya untuk menjadi abu.” Tanpa basa-basi tapa mengatakan apa yang selalu ada di dalam benaknya. Setelah pertemuan-pertemuan yang tidak pernah disengaja. Karena janji kata hanya selalu menguap, entah kemana.

“Disaat kamu selalu datang mengajakku berbicara dalam kesunyian. Sementara aku tak punya kuasa untuk memanggilmu dalam keriuhan. Entah itu kamu ataupun sekedar aku yang mempertemukan. Sekali lagi aku sudah tak peduli.”

(Angan Layla mendengarkan dengan raut wajah datar)  

“Atau sudah banyak yang harus kamu jaga, sehingga kamu sendiri lupa?” Tama melanjutkan apa yang ia rasakan.

“Apakah kamu tahu mengapa kita berada di tempat seperti ini? Penuh dengan delusi ataupun ilusi? Berada di ruang yang tak akan bisa dimengerti oleh siapapun, kecuali hanya kita. Bagai angan di antara angan-angan kehangatan yang lain.  Tidak hanya menjadi angan yang selalu kau nantikan, meski sesekali kau coba usir dan acuhkan kehadiranku. ” Angan Layla menjawab.

“Hmmm, kita? Aku disini membawa ragaku, sementara kehadiranmu kau maknai sebagai apa? Disaat hanya yang nampak hanya aku dengan kegilaanku yang lain.”

“Lantas mengapa engkau bertahan, Tam? Kalau kamu mengetahui ruang ini hanya menyulitkanmu.”

“Benar, ini hanya akan menjadi sesuatu yang sulit bagi yang tidak benar-benar melihatnya (Layla). Ketika ia berusaha mencintai dirinya sendiri. Sekalipun angannya, selalu hadir menwarkan perhatian dan kehangatan kepadaku.”

Malam pun berjalan dengan tidak sewajarnya. Perputaran detik demi detik itu seolah telah menipu dengan kewajaran percepatan tiap denting detiknya selarut ini. Ketika mereka sedang bersama, tidak berlaku segala waktu. Meski bagi Tama, semua itu hanyalah bagian dari kemesraan atas nama rindu. Dalam senyap.

***

Tama menjadi teringat akan sebuah masa dimana ia begitu mencintai dirinya dan terus berusaha menebarkan asumsi tentang belajar mencintai dirinya. Akan tetapi, ada suatu kejadian yang bertabrakan dengan perasaan tersebut. Cinta yang datang lebih besar, yang sanggup meniadakan yang ada ataupun menghidupkan yang seolah telah mati.

Ya, rasa mencintai diri seolah buntu setelah bertemu dengan banyak kehilangan cinta yang selama ini memenuhi diri Tama. Antara buntu atau berevolusi menemukan bahkan menyelaraskan sesuatu yang lebih tepat. Rasa mencintai diri itu tumbuh selama proses mengenali diri. Karena ada sesuatu yang megah, yang agung yang berada dalam diri manusia.

Buat apa kita mencintai diri kalau pada akhirnya apa yang dicintai bakal mati, hilang, lenyap? Bukankah kamu mencintai diri hanya untuk memberikan kenyamanan pada dirimu sendiri, mencari keselamatan dari segala kemungkinan ketidaknyamanan, bahkan menemukan kenikmatan di segala ketidaknikmatan yang berserakan di pikiran. Sekalipun semua yang mati, hilang, dan lenyap pada akhirnya hanya sebatas prasangka.

Setelah rasa kehilangan yang datang bertubi-tubi tersebut, yang tentunya menyayat bahkan menusuk hati hingga tak terperih rasa yang berdarah tanpa darah, berteriak tanpa suara, bahkan menangis tanpa air mata. Tama jatuh, tanpa seorangpun yang mengetahui karena Tama nampak baik-baik saja dengan senyum yang selalu merekah. Semua menyangka, Tama adalah seseorang yang tegar setelah mengalami peristiwa-peristiwa na’as yang menyapanya.

Akan tetapi dari lubang-lubang yang menganga akibat luka itu, Tama seolah semakin menemukan apa yang ia cari di dalam dirinya. Ketidaknyamanan, ketidaknimatan, bahkan kematian menjadi sesuatu yang telah Tama rasakan. Tama menjadi tersadar, jika selama ini ia mencintai hanya untuk menghindari kejadian-kejadian tersebut. Tapi, hal tersebut tak akan mampu kita hindari sebaik apapun kita merencanakan hidup. Akan selalu ada luka yang menghujam ke hati yang pasti akan dirasakan setiap insan yang mengalami kehidupan. Seolah, itulah cara Tuhan memberikan pelajaran tentang kebijaksanaan dan kearifan.

Disaat itu pula Tama menemukan bahwa mencintai diri bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari, karena mencintai diri sendiri sudah menjadi naluri dan terpatri secara otomatis untuk sebaik mungkin menyelamatkan jiwa. Bahkan mencintai diri akan melaju selaras ketika diri membaur dalam keharmonisan dengan semesta raya. Bahwa aku bukanlah bagian dari semesta, namun semesta-lah yang merupakan bagian dari diriku. Yang harus Tama bagi cintanya dengan semesta yang dimilikinya. Yang tak memperdulikan lagi kendaraan yang Tama tunggangi, yang sering dimaknai sebagai jasad.

“Namun menyelamatkan bukan berarti kamu akan mendapat kenikmatan seperti makna nikmat itu sendiri pada umumnya, terutama ketika masih menjalani kehidupan dunia.” Ungkap Mbah Khadir, seorang ulama besar yang tidak pernah mau disebut sebagai Kiai ataupun Ustadz.

Kemudian ada salah satu jamaahnya yang bertanya,” Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa itu kenikmatan Mbah?

“Nikmat tidak hanya terkandung dalam hal-hal yang menurut kita baik. Di dalam hal yang buruk pun terkandung kenikmatan. Ketika kita masih memiliki hasrat, kita cenderung terjebak dalam idiom benar salah, baik buruk. Dan selama proses pembelajaran yang ada, nikmat hanya dibatasi pada apa yang terkandung dalam hal-hal yang baik dan menyenangkan.”

Tama yang pada saat itu berada di pinggiran pendopo, tempat diadakannya proses pembelajaran bersama itu pun serasa ditemukan dengan sebuah nilai yang menjadi penawar bahkan mungkin penegasan jawaban yang ia temukan atas situasi yang menimpanya. Sebuah perkenalan dengan lingkungan baru yang sangat berdampak pada perubahan cara pandang Tama mengenai kehidupan.

***

Ketika membaca tulisan yang diberikan oleh Tama, yang pertama terbesit dalam pikiran adalah sebuah  benturan alias ketidaksamaan cara pandang. Layla merasa gregetan ketika begitu banyak Tama lebih mementingkan apa yang diluar dirinya daripada dirinya sendiri. Layla menganggap bahwa Tama terlalu banyak mengorbankan dirinya hingga lupa bersenag-senang.

“Bodo amat, mengapa aku malah memikirkannya!”

Sekalipun Layla mengatakan tidak akan memperdulikan apa yang telah dibaca, namun ia tetap penasaran dengan apa yang tertuang di halaman-halaman berikutnya. Perempuan memang cenderung lebih suka diperhatikan daripada memberikan perhatian, apalagi reaktif terhadap situasi.

“Apa yang aku lewatkan?” gerutu Layla atas pemaknaannya yang tidak dapat menstimulasi makna asih. Kecuali ketidakjelasan kata yang semakin absurd. “Tidak segila ini kan kamu, Tam!”

Seketika itu pula Layla ingin menyapa, untuk memastikan kegilaan pandangan yang tertulis dalam buku yang diberikan.

Sedangkan di saat yang bersamaan, Tama sedang menuliskan makna apa yang telah ia dapat. Di tengah kegiatannya, Tama tetiba teringat buku itu juga ketika memandang kaktus yang hampir sama yang pernah diberikannya dulu kepada Layla. semua itu adalah segala sesuatu yang menemaninya tanpa kata, ataupun sapa. Dia hanya mencoba setia akan rasa, yang tercipta entah darimana. Disaat Layla merupakan salah satu serpihan yang menghilang, namun terus menyapa angan yang tak pernah dinantikan oleh Tama.

“Engkau tak lebih dari angan di antara angan-angan yang selalu datang silih berganti. Sudah tiada ingin bahkan harap akan dirimu. Hanya saja, kata-kata yang telah kubatalkan, yang mungkin sudah terbaca olehmu semoga akan menuntunmu ke kebahagiaan. Walau sudah pasti kau akan anggap aku gila!”

Tama memang sudah tak memperdulikan siapa, hanya rasa. Rasa yang datang dan begitu saja tercipta terasa nampak lebih setia daripada wujud nyata yang termanifestasi dalam ruang pertemuan langsung dengannya beberapa saat lalu.

Tapi Layla, Sang Angan di antara Angan-Angan telah redup tak segemerlap dahulu dengan cahaya-cahaya yang menyinari kisarannya.

kriiiinggg.. kring… kriiiing (Tiba-tiba suara HP berdering)

Tama pun terkejut ketika 1 pesan baru dari Layla telah masuk. Kira-kira setelah sekian lama, pesan singkat apa yang dikirimkan oleh Layla kepada Tama?