Category Archives: Perjalanan

Menembus Batas Tak Hanya Sebatas Kata

Semakin bertambahnya usia, kita saling menyadari bahwa masing-masing dari teman/kawan/sahabat pasti memiliki prioritas utamanya sendiri. Alhasil, ketika ada sebuah undangan dari salah seorang sahabat dekat, tentu saja keadaan ini akan menjadi sebuah momentum untuk berkumpul dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Ikatan yang kita sangka akan selalu kuat menerjang badai waktu yang terus berhembus, akan terkikis sedikit demi sedikit.

Beruntung malam setelah menghadiri pernikahan itu, kita berkumpul melingkar lalu menyepakati dan satu pemahaman akan sebuah pertemuan yang ditujukan tidak hanya sebahai sebuah ruang untuk mengobati rindu. Akan tetapi, kita mencoba bersama-sama membangun sebuah ruang yang dapat digunakan sebagai media sharing, saling bertukar pikiran, ataupun mencoba menjaring cahaya yang bisa saja dititipkan melalui kata-kata yang terlontar jika akhirnya tercipta ruang kebersamaan itu.

Aku sendiri sempat bingung, mengapa hal seperti itu tiba-tiba dapat terjadi disini? Apakah mungkin karena sedari pagi kita berjalan bersama hingga malam menyapa? Yang di dalamnya terukir kenikmatan-kenikmatan yang dirindukan selama ini dan tidak didapatinya di tempat lain? Apakah kalian merasa seperti pulang ke rumah? Hingga akhirnya kita juga menghendaki adanya sikap untuk saling terbuka disaat menyatakan segala resah dan perjuangan yang sedang ditapaki pada fase-fase krusial ini.

Kalau disuruh memberikan makna, banyak pengalaman yang telah memberikan satu pelajaran utamanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan banyak orang. Kita sama sekali tidak bisa mengupayakan, memastikan, ataupun mempertahankan kebersamaan. Mungkin jika diri sendiri mampu, yang lain belum pasti bisa melakukannya. Begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, kesadaran akan Maha Pencipta pun harus benar-benar dipegang teguh. Bukankah tiada daya dan kekuatan yang terjadi kecuali atas ijinnya? Dan jangan kira kita yang melempar, karena bukan kita yang sesungguhnya melempar. Adakah yang terjadi disini bukan karena apapun melainkan menjadi salah satu kehendakNya?

Setiap perjalanan pasti akan memberikan kesan dan pengalamannya sendiri. Setiap kerinduan pasti akan membisikkan luka-luka yang pernah dirasakannya. Setiap kebahagiaan pasti menyimpan kesunyian yang tertahan untuk lekas diungkapkannya. Pun dengan segala harapan yang mencuat, semua itu lahir karena ketakutan akan sesuatu yang mungkin saja segera mengenalkan tentang perpisahan.

Namun, kami percaya bahwa semua yang telah teruntai menjadi kenangan akan selalu menjadi obat tatkala hiruk-pikuk realita akan perjuangan kehidupan harus kita hadapi saat kami harus kembali ke tempatnya masing-masing. Kami juga yakin bahwa satu dengan yang lainnya telah memaksimalkan segala bentuk perhatiannya agar saling bisa mengisi kekurangan yang mungkin saja enggan untuk diungkapkan.

Perjalanan ini belum usai, kita masih berada pada sebuah pemberhentian untuk mengisi bahan bakar laju kendaraan kita. Yang kita tidak akan pernah tahu sampai mana ujung perjalanan ini akan berakhir. Hanya saja, sediakah kalian bersama-sama menembus batas itu dan melangkah bersama menuju keabadian? Tentu saja, kendaraan ini masih banyak tersisa bangku-bangku yang masih kosong. Yang nantinya bisa kalian isi dengan orang-orang terkasih yang akan menemani perjalanan panjang kita. dan jangan sampai ada yang tertinggal.

Terimakasih atas segala hal baik yang diberikan. Dan maaf apabila aku belum mampu banyak memenuhi harapan kita. Tapi satu hal yang harus kita pegang bersama bahwa percayalah jika kalian menghendaki kita duduk bersama seperti ini lagi, aku atau salah satu dari kita pasti akan segera berupaya untuk hadir dan menemani. Sekalipun hanya sebatas kata-kata.

Perjuangan Seorang Pecinta Menuju Puncak Asih

Kehidupan ini penuh dengan tantangan dan ujian, terutama ketika mencoba untuk mencapai kebahagiaan dan cinta sejati. Di tengah-tengah perjalanan ini, seseorang berani berjuang untuk mendapatkan hati kekasih pujaannya dengan tekad dan keteguhan yang luar biasa. Inilah kisah perjuangan seseorang yang berani memperjuangkan cintanya seorang diri.

Seseorang yang bisa dibilang memiliki semangat dan tekad yang kuat. Dia jatuh cinta bukan atas kehendak dirinya, kepada seorang kekasih yang membuat hatinya berdebar-debar setiap kali berada di dekatnya. Namun, dia tahu bahwa untuk mendapatkan cinta sejati sang kekasih, dia harus melewati ujian terberat, yakni mendapatkan persetujuan dan penerimaan dari yang memiliki kekasihnya.

Pertemuan dengan ’yang memiliki’ menjadi momen yang krusial dalam perjalanan cintanya. Yang memiliki kekasih merupakam sosok yang bijaksana dan tegas, kemudian dengan lugas menantang dirinya dengan pertanyaan tentang keseriusan hubungan mereka. Wajah sosok itu penuh keraguan, sekaligus harapan, ketika mempertanyakan kepada dirinya apakah ia mampu memberikan kebahagiaan yang pantas bagi tambatan hatinya.

Seorang pejuang itu pun merasa tegang, namun dia menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhannya. Dalam hati yang bergetar, dia mulai bercerita tentang perjalanan hidupnya. Dia menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang berani dan mandiri, yang telah menghadapi berbagai rintangan hidup tanpa bergantung pada siapapun.

Dia juga mengungkapkan bagaimana dia telah berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang baik, membangun karier yang sukses, dan mencapai impian-impian yang pernah dia rintis. Dia berbicara tentang nilai-nilai yang dia anut, seperti kejujuran, komitmen, dan pengorbanan yang dia siapkan untuk hubungan mereka.

Seorang pecinta ini kemudian menyoroti keberanian dan tekadnya untuk menghadapi dunia yang tidak selalu mudah bagi pasangan yang ingin menyempurnakan ibadahnya. Dia menceritakan bagaimana dia memperjuangkan hak-haknya, melawan ketidakadilan, dan membangun silaturahmi yang kuat dimanapun. Dia juga mengungkapkan betapa cinta yang dia miliki untuk kekasihnya adalah cinta yang murni dan tulus, yang membuatnya siap berjuang sejauh apapun.

‘Yang memiliki’ pun mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah sedikit demi sedikit. Dia bisa merasakan keberanian dan tekad dalam kata-kata yang disampaikan oleh seseorang yang mungkin belum dikenal. Dia melihat potensi dan dedikasi yang dimiliki ’anak kecil’ ini untuk mencintai dan menjaga anaknya dengan segenap hati.

Setelah orang itu selesai bercerita, terjadi keheningan yang terasa berat. ’Yang memiliki’ memandang sosok ‘yang ingin memiliki’ dengan tatapan tajam, lalu kemudian tiba-tiba tersenyum. Senyuman itu mengandung penerimaan dan penghargaan. Dia menyadari bahwa sosok ini adalah seorang pejuang yang tangguh, yang pantas untuk menjadi pasangan hidup bagi pujaan hatinya.

“Saya melihat keberanian dan ketulusan dalam kata-katamu, Nak!”, ucap Sang Bapak dengan suara penuh penghormatan. “Kalian berdua telah melewati ujian ini dengan penuh kekuatan dan tekad. Aku merasa lega bahwa anakku memiliki seseorang seperti kamu untuk mengasuh hatinya.”

Air mata bahagia pun meleleh di hati seorang pejalan sunyi, denga menahan diri jangan sampai menetes dari matanya. Dia berhasil melewati tantangan ini dan mendapatkan persetujuan dari ’yang memiliki’. Perjuangannya untuk mendapatkan cinta sejati dan penerimaan pun membuahkan hasil yang manis. Meskipun, keduanya tahu bahwa perjuangan ini hanya awal dari kisah cinta mereka yang abadi.

Pesona Kabut yang Menyelimuti Keindahan Kaki Gunung

Suasana pagi yang dingin dan berkabut menyambut kedatangan kami di destinasi tujuan, di bawah kaki gunung yang tercinta. Meski suhu membekukan dan jarak pandang terbatas oleh kabut tebal, keindahan yang tersaji di hadapan kami mampu memberikan kesan yang tak terlupakan.

Kami memulai petualangan kami dengan semangat dan antusiasme. Di saat langkah-langkah kami meninggalkan jalan setapak, kabut mulai menyelinap di antara pepohonan dan memenuhi udara dengan kesan misteri. Udara dingin menusuk tulang, tetapi kami saling memeluk untuk menghangatkan diri dan membangun semangat bersama.

Kabut yang pekat seperti tabir tipis yang menutupi segala sesuatu di sekitar kami. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menjadi siluet samar di balik selubung putih yang lembut. Setiap langkah yang kami ambil terasa seperti berjalan di dalam mimpi, dengan langit yang tersembunyi dan suara alam yang teredam.

Meskipun jarak pandang terbatas, keindahan yang tersaji begitu memukau. Bunga liar yang mekar dengan gemilang di antara rerumputan, bercahaya di bawah sinar kabut yang samar-samar. Hamparan padang rumput hijau terlihat seperti dunia lain yang tersembunyi dari pandangan orang-orang biasa. Itu memberikan kesan keindahan tersendiri, seakan-akan dunia ini diciptakan khusus untuk kami.

Kabut yang menyelimuti sekitar memberikan aura mistis dan misteri. Pepohonan menjulang tinggi menjadi penjaga alam yang megah di tengah kabut yang menyatu dengan langit. Dedap-dedap yang timbul dari tanah memberikan kesan sejuk yang membelai wajah kami. Setiap napas yang kami hirup terasa segar, seolah-olah alam sendiri sedang berbicara dengan kami.

Hamparan pohon-pohon dan tanaman yang terbungkus kabut menciptakan pemandangan yang seperti lukisan. Warna-warna lembut kabut yang berganti-ganti memberikan nuansa damai dan tenang. Beberapa bunga liar yang mampu bertahan di cuaca dingin ini menambah sentuhan keindahan, memberikan warna-warni yang memecah kesan monoton kabut.

Kami terus menjelajahi destinasi ini, berjalan di antara jalur setapak yang menghilang ke dalam keabadian kabut. Kami merasakan keheningan dan ketenangan yang hanya bisa ditemukan di tengah alam semesta ini. Suara desisan langkah kami bergema di udara, menciptakan harmoni dengan sekeliling yang sunyi.

Saat matahari mulai menembus kabut dan sinarnya perlahan-lahan menerobos, keajaiban terjadi. Cahaya matahari yang menyinari butiran kabut menciptakan kilauan yang menakjubkan. Setiap tetes embun tampak bercahaya, seolah-olah bintang-bintang turun dari langit untuk menyapa kami.

Meskipun suhu tetap dingin, kami merasakan kehangatan dalam hati kami. Keindahan yang tersaji di bawah kaki gunung ini memberikan kesan yang mendalam dalam memori kami. Meskipun kabut menyelimuti destinasi ini, ia tidak mampu menyamarkan pesona dan keindahan yang mampu kami saksikan dan rasakan dengan penuh penghayatan.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan beraneka ragam bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu.” (30:22)

Ayat ini mengingatkan kita akan kebesaran Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta beserta keindahannya yang beragam. Keajaiban alam yang kita saksikan di bawah kaki gunung merupakan salah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Seiring perjalanan kami berakhir, kami meninggalkan destinasi ini dengan hati yang penuh syukur. Keindahan yang kami temui di dalam suasana dingin dan berkabut ini telah mengisi jiwa kami dengan kedamaian dan mengingatkan kami akan betapa indahnya alam ini. Kami membawa pulang kenangan yang tak terlupakan dan rasa terhubung dengan keajaiban alam yang tak ternilai harganya.

Jangan Sampai Hati Segara Kita, Penuh dengan “Uwuh dan Tahi” yang Berbau Busuk

Suasana daerah Tamanagung Muntilan nampak tidak seperti biasanya. Poster-poster sudah terpasang di beberapa titik wilayah sebagai penanda jalan menuju acara yang terselenggara malam ini, tepatnya di Gelora Dias Damahom, Dusun Ketaron. Panitia yang mayoritas pemuda lokal sudah Nampak necis dengan dresscode birunya mendekati venue acara. Para penduduk setempat seolah ikut menyambut kedatangan kami di depan rumahnya ketika dulur-dulur yang akan siau bareng berjalan melalui gang-gang sempit Dusun Ketaron.

Ketika membayangkan nama tempat yang memakai kata ”Gelora” sempat terbayang bahwa venue acara sinau bareng kali ini merupakan tempat yang luas. Namun, nampaknya itu hanyalah ekspektasi saja atas pengetahuan yang masih terbatas. Di tempat kali ini, Gelora Dias Damahom sendiri merupakan tanah lapang di tengah Dusun Ketaron yang sering digunakan sebagai orang-orang sekitar Dusun berkumpul, baik untuk olahraga, pengajian, ataupun yang lainnya.

Semakin menuju lokasi acara, sempat terbesit pertanyaan, ”mengapa panitia ber-dresscode biru-biru tadi semakin tidak kelihatan?” Kecuali hanya jajaran para pedagang serba-serbi jajanan yang nampak. ”Ah, kepo!” batin saya menjawab sendiri. Toh, ini acara maiyahan, bukan acara-acara hiburan lain yang mesti membutuhkan tim keamanan khusus. Apalagi sebagai jamaah, yang perlu disyukuri adalah rasa nikmat dan hikmat bisa berkumpul kembali bersama dulur-dulur di acara maiyahan bersama Mbah Nun, dalam rangka Milad Maneges Qudroh (Simpul Maiyah Magelang) yang ke-12 ini.

Sesampainya di lokasi, sepertinya acara sudah berlangsung cukup lama. Beberapa kelompok telah terbagi dan diberikan 3 pertanyaan. Seperti halnya tagline sinau bareng, format-format seperti ini yang membedakan maiyah dengan forum-forum kajian ilmu lainnya. Tidak hanya kepada kelompok yang di depan, jamaah pun ikut terangsang untuk kemudian ikut berpikir tentang jawaban akan pertanyaan yang diajukan Mbah Nun.

Tiga pertanyaan tersebut diantaranya, pertama, Keresahan paling besar apa yang dialami oleh diri / yang dirasa paling merisaukan? Kedua, andaikan islam ini adalah solusi dan jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan, apa yang akan dilakukan? Ketiga, Ngopo to ndadak melu maiyah (mengapa memilih untuk mengikuti maiyah)? Saat banyak pilihan forum-forum lain di luar sana.

Sementara menanti ketiga kelompok tersebut berdiskusi, Mbah Nun mulai mbabar tentang tema yang diusung pada rutinan ke-135 malam ini (4/2), yakni “Nyegoro”. Nyegara yang dimaksud disini sudah dijelaskan dalam mukadimah rutinan, bahwasanya nyegara itu merupakan kekayaan hati, kekayaan batin, dengan membesarkan sikap toleran, mudah memaafkan, dan mampu berperan untuk menjadikan orang lain,  yang  kesemuanya itu menjadikan hidup kita menjadi luas (nyegara).

Namun berbeda dengan respon dari Mbah Nun, “ini kan kata nyegoro bisa kita kepung. Nek ono segara berarti ono kali, kalén, danau, selat, waduk, pecerén (kalau ada lautan, berarti ada sungai, parit, danau, selat, waduk, atau got).”

“Misalnya ada orang yang hatinya nyegara, berarti ada lainnya tidak yang berperan menjadi danau, sungai, bahkan pecerén (got)? Nek segara, tapi isine uwuh ro tai, seneng ra? Kiro-kiro akeh tai, batang, barang mambu, kui pie (kalau lautan, tapi isinya sampah dan tahi, seneng tidak? Sekiranya banyak tahi, bangkai, barang bau, itu bagaimana)?” tanya Mbah Nun kepada para jamaah. Pertanyaan yang sekiranya bakal men-direct stigma tentang arti kata nyegara itu sendiri.

Segara itu sendiri menurut Mbah Nun masih merupakan bagian dari bumi. Bisa jadi lautan itu menggambarkan sifat-sifat seperti lembah manah arif, ataupun bisa menampung banyak hal. Tapi pemahaman itu baru satu sisi, sedangkan kalau yang dinilai dari keluasannya, masih ada yang lebih luas dari lautan menurut Mbah Nun, yakni ruang.

Tidak akan pernah ada ilmuwan yang mampu menghitung luasnya ruang dengan berbagai galaksi dan jagad yang terkandung di dalamnya. Jadi, manusia itu sebenar-benarnya bodoh, masih banyak yang belum diketahui. Meskipun tidak bisa dipungkiri, jika zaman yang semakin maju justru memproduksi orang-orang yang sering merasa benar dengan sedikit pengetahuan yang dimiliki. Padahal, bagi Mbah Nun, puncak pengetahuan dari manusia adalah rasa tidak tahu.

Kemudian Mbah Nun mengajak para jamaah untuk menelaah arti hidup atau yang sering disebut hayat dalam bahasa arab. Mbah Nun memberikan amsal sebuah pohon bisa dikatakan hidup itu karena apa. Daunnya? Batangnya? Tingginya? Apakah tanda dari hidup itu bisa dilihat? “Yang namanya hayat itu adalah tukulé (tumbuhnya). Hayat itu tidak hanya hidup, namun juga tumbuhnya sesuatu,” kata Mbah Nun.

Mbah Nun mengajak para jamaah yang hadir untuk bersikap waspada, yakni jangan sampai pemikiran kita dikira mampu untuk memberikan penilaian terhadap Allah, sebab logika kita tidak akan sampai. Maka dari itu, dengan segala keterbatasan kita sebagai seorang hamba, jalan yang bisa dilalui agar setidaknya mampu lebih dekat dengan Allah adalah takwa, tawakkal, dan cinta.

“Jangan Merasa Punya Pemahaman (Kebenaran) Sendiri”

Setelah dirasa cukup panjang dan banyak ilmu dari Mbah Nun yang perlu di-menep-i, selingan satu nomor hiburan “Ora Cetho” dari Jodhokemil disajikan untuk kembali mencairkan suasana. Mbah Tanto pun tururt hadir untuk mangayubagyo dalam acara milad ini. Menghadirkan pula musikalisasi puisi dari WS Rendra dengan judul “Barangkali karena Bulan” yang ditampilkan oleh Rama dan Ryan Irta.

Sementara para orangtua yang membawa anaknya sibuk untuk berteduh, dan yang lainya masih hikmat mendengarkan puisi tersebut. Namun, bukan jamaah maiyah jika tidak menemukan solusinya sendiri atas rahmat hujan malam ini. Setelah pembacaan puisi usai, Mbah Nun segera mengatakan kepada para jamaah bahwa setiap tetes hujan adalah rahmat, dan memberikan anjuran untuk melafadzkan Ar-Rahman Ar-Rahim. Maka jamaah mengamininya sebagai doa baik untuk semuanya.

Dalam sinau bareng seperti ini, Mbah Nun menekankan kepada jamaah untuk tidak harus paham kepada semuanya. Tapi dengan adanya forum bersama seperti ini, kita bisa menawarkan banyak warna untuk membangun pemahamannya masing-masing. “Anda jangan sok punya pemahaman, terutama atas kehendak Allah atas kehidupan ini. Sehingga dalam keadaan apapun, tetaplah untuk nyegara.” nasihat dari Mbah Nun.

“Negesi” Kehendak Allah

Pembahasan kembali dilanjutkan dan mengundang ketiga kelompok untuk memaparkan diskusinya kepada jamaah semua. Satu persatu kelompok memparkan tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kelompok pertama menyebutkan bahwa keresahan diri yang diamali kelompok pertama adalah keresahan tentang kematian. Bahwa memikirkan tentang kematian saja begitu menakutkan. Memikirkan seperti apa kehidupan setelah mati. Bahwa ternyata hidup lalu mati itu menakutkan.

Kelompok kedua mengaikatkan keresahan pribadinya dengan politik dan pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan adalah dasar untuk manusia berilmu. Namun, pendidikan saat ini menjadi barang yang mahal untuk kaum menengah ke bawah. Terakhir kelompok ketiga, mengungkap bahwa keresahan diri adalah ketika mengingat tentang kematian. Untuk pertanyaan kedua, dari ketiga kelompok sepakat bahwa islam adalah kunci dari permasalahan pertanyaan yang pertama. Jadi apapun permasalahan yang didapat dari pertanyaan nomor satu jawabanya adalah nomor dua, yakni dengan berkeyakinan bahwa islam adalah kunci jawabannya.

Kesimpulan dari pertanyaan nomor 3, dari ketiga kelompok juga hampir sama, mengapa ikut miayah? Jawabannya adalah dalam  maiyah lalu mengikuti sinau bareng membuat diri tidak memikirkan masalah duniawi, tidak ada orang yang sok keminter dan minteri. Di maiyah, kita semua tidak diajak untuk mendengar saja, namun jamaah juga diajak untuk berdaulat dengan setiap langkah yang diambil. Pandangan dari kelompok yang di depan terhadap maiyah sendiri juga merasa kagum dengan kebersihan hati orang-orang maiyah. Maiyah dirasa mampu meningkatkan kepercayaan diri, kepekaan diri, dan meningkatkan muhasabah diri. Maiyah juga dirasa menjadi salah satu ruang yang dapat menampung aspirasi kaum muda jaman sekarang.

Malam semakin larut, hampir mendekati pergantian hari, dini hari Mbah Nun mengakhiri Sinau Bareng dengan mengajak jamaah untuk berdoa, “Robbi Anzilnii Munzalan Mubaarokan Wa Anta Khoirul Munzilin (Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat).” (Surat Al-Muminun : 29)

Mbah Nun berpesan untuk para jamaah khususnya MQ yang sedang milad, seperti namanya Qudroh bahwa semua harus meyakini kasih sayang Allah kepada manusia itu luas. “Negesi” bahwa Allah pasti memberikan kasih dan jalan keluar kepada umatnya. Jika ada orang yang hatinya seluas segara (red, Lautan), mungkin juga ada orang yang hatinya seluas Danau, atau bisa dipersempit seluas parit? Dan kalian memilih untuk seperti apa? Kalau segara namun isinya hal-hal yang berbau busuk, itu juga bagaimana? Untuk selalu sabar seperti lautan yang luas berkaitan dengan tema milad kali ini yaitu “Nyegoro”, Sabar, luas seperti Lautan.

***

Dusun Ketaron, 4 Februari 2023

Pengalaman Sebagai Pelari “Virgin” di Tilik Candi Borobudur Marathon 2022

“Jika hidup itu ibarat lari marathon, maka aku tidak boleh menyerah.” Setidaknya kata-kata itulah yang menjadi penyemangat diri ketika pertama kali mengikuti lomba marathon “Tilik Candi 2022” yang diadakan di Borobudur. Dengan pola hidup yang bisa dibilang buruk menurut kesehatan, tapi saya berupaya untuk menuntaskannya.

Meski hanya half-marathon, dengan jarak lari sekitar 21 km yang saya ikuti, merupakan tantangan tersendiri bagi saya utamanya yang tidak memiliki pola makan dan istirahat secara teratur. Begadang dan merokok merupkan kebiasaan yang hampir tiap malam dilakukan. Olahraga mungkin hanya futsal atau sepakbola seminggu sekali. Bayangkan? Sekalipun pernah ada pengalaman jalan kaki 50 km, tapi itu tidak lantas membuat saya sendiri berbesar hati.

Meskipun tidak menjadi yang tercepat, tapi apa yang menjadi target ikut perlombaan telah terpenuhi, yakni mencapai garis finish. Hasil itu tercapai tentu bukan tanpa persiapan. Dalam rentang seminggu sebelum lomba, setidaknya ada dua kali latihan lari, dengan jarak 4 km dan 14 km. Anehnya, saya melakukan latihan tersebut tetap dengan kebiasaan bergadang alias belum tidur semalaman.

Di latihan kedua, saya sadar setidaknya untuk tidur dulu sebelum mengikuti lomba. Tapi pada kenyataannya, malam sebelum lomba ada agenda rutin yang tidak bisa ditinggalkan sampai tengah malam. Setelah sampai rumah dan niat untuk istirahat, ternyata ada pertandingan sepakbola dan yang main adalah tim kesayangan. Godaan macam apa ini!

Setelah sempat tertidur sebentar dan melihat hasil akhir skor pertandingan, akhirnya saya mendapatkan motivasi tambahan untuk mengikuti perlombaan marathon, yakni pelampiasan kekecewaan karena tim kesayangan yang mainnya buruk dan selalu kalah di beberapa pertandingan terakhir. Setidaknya, lari marathon kemarin menjadi pelampiasan amarah ke arah yang positif dan menyehatkan.

Ba’da shubuh kami berangkat menuju garis start di lapangan Lumbini. Animo para runners dari segala penjuru negeri meningkatkan antusiasme bagi diri saya sendiri. Predikat bagi mereka yang rela membayar mahal hanya untuk capek lari puluhan kilo, nyatanya kurang tepat. Sebab kalau sudah hobi itu tidak bisa dibanding-bandingkan.

Saya yang pada kesempatan ini merupakan salah satu pelari “virgin” atau pertama kali mengikuti marathon begitu terkesan dengan apa yang disuguhkan para pecinta “runners” baik dari personal ataupun dari berbagai komunitas. Ada sedikit rasa kekecewaan, mengingat dulu hobi jogging semasa kuliah di Graha Sbha Pramana atau Embung Tambakboyo tidak saya lanjutkan. Tapi, ya sudahlah!

***

Jam 5 tepat lomba dimulai, sepanjang jalan para pelari banyak disemangati oleh suguhan budaya lokal yang hampir tersedia di setiap kilometer. Belum lagi, warga sekitar Borobudur yang menonton cukup ramai. Water station yang banyak tersedia cukup membantu, tapi animo masyarakat dan hiburan budaya lokal menjadi booster tersendiri bagi para pelari. Apalagi senyum anak-anak yang juga selalu ingin menjulurkan tangas “toss” kepada para pelari. Seolah-olah ada energi tambahan yang tersalurkan dari tangan-tangan mereka.

Pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan juga cukup eksotis, dengan rute-rute jalan pedesaan. Dengan background persawahan dan Candi Borobudurnya, adalah kenikmatan pesona alam tersendiri bagi para pelari. Yang tidak hanya sejuk udaranya, tapi juga menyejukkan sosial budayanya. Mahar yang dikeluarkan pun terasa sangat sebanding dengan apa yang telah tersaji sepanjang perjalanan.

Jika hidup itu merupakan ibarat lari marathon,sebenarnya kita hanya butuh untuk mengalihkan fokus pada kenikmatan dan kebahagiaan yang sebenarnya banyak telah disuguhkan. Akan tetapi, biasanya kita hanya memilih untuk segera menuntaskan keletihan diri.

Di kilometer 4, sebenarnya tubuh ini pun sudah sengkil dan engkel kaki terasa seperti kambuh. Dan jika dibayangkan jarak yang harus ditempuh masih 4x jarak yang telah dilalui. Pikiran untuk DNF pun seolah menjadi racun tersendiri, toh tidak ada punishment atau kerugian lainnya kalau gagal finish. Tapi, apa menariknya hidup jika saya menyerah? Stronger to Victory!

Desa Karanganyar: Desa Wisata Ramah Berkendara di Wilayah Borobudur yang “Sakral”

Suasana mendung masih menyelimuti wilayah Borobudur, Magelang. Namun, hal tersebut tidak mengurangi ketakjuban kami dalam menikmati keindahan landscape dan panorama sepanjang perjalanan menuju suatu Desa, yang banyak mendapat julukan sebagai pusatnya kerajinan gerabah tradisional, yakni Desa Karanganyar.

Tidak hanya gerabah, Desa yang letaknya berjarak sekitar 3 km dari Candi Borobudur ini juga menjadi Desa Wisata yang banyak menawarkan pilihan wisata, mulai dari wisata alam, wisata edukasi, dan masih banyak lagi.

Banyak para wisatawan berlalu-lalang di kawasan ini dengan memanfaatkan VW Tour, yang tentunya akan membawa kita seperti flashback ke suasana klasik tempo dulu, Sebab di kawasan ini, pesona alam pedesaan, hamparan sawahnya, dan juga backgroud perbukitannya masih asri dan sangat terjaga dari pembangunan modernitas zaman.

Mungkin saja, kawasan ini sangat jauh dari hingar bingar modernitas, tapi akses jalan menuju Desa yang akan kami kunjungi ini sudah sangat bagus meskipun berada di wilayah pedesaan. Hal ini selaras dengan acara yang akan diselenggarakan di Balkondes Desa Karanganyar, yakni prosesi peresmian landmark ramah berkendara di Desa Karanganyar.

Sesampainya di Balkondes, orang-orang berbaju kuning mendominasi warna di lokasi tersebut. Tentu saja karena acara Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara ini merupakan salah satu program Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) yang didukung oleh Adira Finance untuk memulihkan ekonomi Indonesia, dengan tajuk Festival Pasar Rakyat dan Festival Kreatif Lokal 2022.

Tidak hanya para pekerja dari Adira Finance, namun acara ini juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat dan komunitas-komunitas riders. Khusus para riders, sebelumnya rombongan ini telah melakukan perjalanan touring sedari Yogyakarta bersama jajaran direksi dari Adira Finance.

Acara dibuka dengan tarian Kubro Siswo oleh grup masyarakat lokal “Ponco Siswo”. Tari ini berlatar belakang penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dan perjuangan melawan penjajahan.

Kubro artinya besar dan Siswo artinya murid, sehingga tarian ini pada dasarnya mengandung arti murid-murid yang memiliki pengabdian besar terhadap Tuhan. Dalam perkembangannya, tarian ini juga sering ditampilkan sebagai wujud pengabdian kepada bangsa dan semangat nasionalisme.

Perpaduan pesona alam dan kesenian budaya menjadi terasa sangat kental dalam acara siang hari ini. Desa Karanganyar seperti menjelma menjadi suatu tempat dengan ekosistem pariwisata yang sangat recommended. Kesejukan alam dan keramahan warganya akan semakin membuat kita tambah nyaman untuk berlama-lama di tempat ini.

Bapak Suyanto sebagai Kepala Desa sedikit menceritakan tentang sejarah Desa Karanganyar yang merupakan peninggalan kolonial masa penjajahan Belanda, terutama saat era Pangeran Diponegoro.

Menurut Bapak Suyanto, dulunya Desa yang berada di kaki Bukit Menoreh ini merupakan tempat Kerajaan Medang Kamolan yang erat kaitannya dengan sejarah Kerajaan Mataram Kuno. Bukti-bukti sejarah tentang cerita tersebut banyak ditemukan di wilayah area Borobudur.

Pak Suyanto juga sedikit bercerita tentang komoditas utama Desa Karanganyar, yakni Gerabah, yang pada mulanya dibawa oleh para saudagar India sekitar 1 abad yang lalu. Desa Karanganyar ini juga menjadi salah satu binaan langsung dari UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan mendapati peringkat nomor 3 dalam kategori Desa Berkembang.

Di akhir pidatonya, Pak Yanto menyampaikan bahwa akan sangat sayang jika para hadirin tidak bermalam di Desa Karanganyar ini, sebab siapapun yang bermalam disini, ketika memiliki inspirasi apapun biasanya terkabul di kemudian hari. “Desa ini sakral, namun bukan berarti takhayul,” pungkasnya..

Setelah menyimak beberapa sambutan dari tokoh-tokoh masyarakat dan jajaran Direksi dari Adira Finance, akhirnya tiba di acara puncak seremoni peresmian landmark Desa Wisata Ramah Berkendara. Perlu diketahui, untuk menjadi Desa Wisata Ramah Berkendara setidaknya ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya:

  1. INFRASTRUKTUR
    • Memiliki jalan minimal 2 jalur
    • Kualitas jalan akses masuk ke desa sudah hotmix
    • Terdapat lampu lalu lintas dan penerangan yang baik
    • Kualitas marka jalan yang baik
    • Terdapat SPBU atau minimal stasiun pengisian bahan bakar mini (pertamini)
    • Terdapat bengkel (resmi/tidak resmi) dalam radius maksimal 5-10 km dari pusat desa
  2. HUMAN RESOURCE
    • Pelaku ekonomi kreatif
    • Pengelola paket wisata
    • Tour guide
  3. EKOSISTEM PARIWISATA
    • Daya tarik wisata
    • Aktivitas wisata
    • Accessibility
    • Akomodasi
    • Amenities

***

Ini merupakan tahun ketiga Adira Finance memberikan support kepada program Kementrian Ekonomi dan Pariwisata. Dan pada tahun ke-32 Adira Finance hadir di Indonesia, kalau diberi kesempatan akan terus berkomitmen untuk melanjutkan kerjasama di Desa-Desa Wisata seperti ini sesuai dengan arahan Kemenparekraf.

Dampak yang sudah dapat terlihat selama 3 tahun ini salah satunya adalah kita terus berupaya untuk menstimulasi informasi-informasi seperti ini, bahwa di wilayah Jawa Tengah, terdapat Desa Karanganyar.

Dengan adanya informasi, tentu hal tersebut akan menarik orang-orang untuk mendatangi spot-spot yang menarik di kawasan Desa Karanganyar ini. Mestinya dengan berjalannya program seperti ini akan membantu wisata lokal akan jauh berkembang di Indonesia.

Setelah melihat Desa Wisata, Bapak Jin Yoshida dari Jepang, yang baru pertama kali datang ke wilayah ini memberikan kesan bahwa suasananya sangat bagus, sawahnya indah dan damai. Makanannya pun menurutnya sangat enak. Salah satu jajaran MUFG ini bahkan mengakui bahwa pariwisata Indonesia sangat berkembang.

Pak Niko Kurniawan, selaku jajaran direksi dari Adira Finance berpesan supaya seluruh elemen yang bersinergi dengan tujuan yang baik seperti ini kalau bisa supaya jangan hanya fokus berjualan, tetapi juga mengupayakan untuk mentransfer kebudayaan lokal yang ada disini para wisatawan yang hadir ke lokasi Desa Karanganyar.

Adanya Desa-Desa Wisata seperti ini, setidaknya menjadi tambahan pilihan destinasi wisata yang tak kalah menarik dibandingkan dengan harus bepergian ke luar negeri. Bagaimana ekonomi bangsa akan maju? Ketika kita justru memilih untuk lebih mengapresiasi budaya dan wisata asing daripada yang ada di negeri sendiri.

Hujan Berkah dalam Festival Pasar Rakyat di Pasar Borobudur

Ketika hujan menyapa, banyak kita dapati kata-kata dengan ungkapan “cuaca yang tidak mendukung”. Apa salahnya cuaca? Sehingga musti mendapatkan justifikasi seolah-olah cuaca berada di dalam wilayah pilihan untuk mendukung atau tidaknya suatu acara.

Sabtu pagi (15/10) di Pasar Borobudur, nampak para pedagang berjualan seperti biasa meskipun hujan gerimis menyelimuti wilayah tersebut sedari dini hari. Seperti sudah menjadi kebiasaan, aktivitas jual-beli tetap berlangsung sebagaimana adanya. Artinya, cuaca seharusnya bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk terus semangat dan bergeliat, syukur-syukur berbagi manfaat ataupun kebahagiaan terhadap lingkungan sekitarnya.

Semangat seperti itulah yang pagi ini begitu terasa di Pasar Borobudur. Terutama atas kehadiran Festival Pasar Rakyat 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia (Kemenparekraf RI) bekerja sama dengan Adira Finance, dan didukung oleh Zurich, MUFG, Adira Finance, Bank Danamon, serta disponsori oleh RCTI+.

Festival Pasar Rakyat ini merupakan sebuah kampanye gerakan sosial untuk menarik simpati masyarakat untuk menjadikan pasar rakyat di Desa Wisata menjadi ruang publik kreatif melalui rangkaian kegiatan pemberdayaan, edukasi, kesenian, dan budaya.

Pasar Borobudur sendiri setidaknya menjadi lokasi ke-4 dari 5 lokasi acara diadakannya Festival Pasar Rakyat 2022. Sebelumnya, acara yang sama juga telah terselenggara di Pasar Legi Kotagede (Kota Yogyakarta), Pasar Turen (Kabupaten Malang), Pasar Adat Carangsari (Kabupaten Badung, Bali), dan satu tempat terakhir nantinya akan diselenggarakan di Kabupaten Garut.

Hujan gerimis pagi itu seolah disulap menjadi berkah, terlihat dari animo para pedagang ataupun pengunjung yang berada di Pasar Borobudur. Sajian musik rakyat lokal dan juga penampilan kesenian tarian daerah Topeng Ireng menjadi sebuah hiburan yang menggembirakan.

Selain itu, games ataupun kuis juga turut memeriahkan acara dengan hadiah uang tunai yang disediakan oleh panitia penyelenggara.

Gelak canda dan tawa yang tercipta dalam acara setidaknya menjadi suatu apresiasi yang pantas masyarakat terima. Apresiasi yang kadang terlupakan, teruntuk bapak-ibu “lokal pride” yang selama ini telah menjadi pilar ekonomi bangsa yang luar biasa.

Sejalan dengan suasana kegembiraan ini, Bapak Bashirul Hakim selaku kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Magelang, menyampaikan bahwa para pelaku usaha mikro selama ini telah menjadi pilar ekonomi yang luar biasa. Para pedagang mampu bertahan selama periode waktu pandemi dan saat ini telah menunjukkan progres yang baik.

Semoga kedepannya mampu menuju perekonomian yang lebih maju dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur. “Pokoknya jangan lupa untuk senantiasa berdoa, ikhtiar, dan tawakkal dimanapun kita melakukan aktivitas usaha,” pungkas beliau.

Festival Pasar Rakyat ini termasuk dalam rangkaian program Festival Kreatif Lokal 2022, yang menjadi salah satu program untuk memulihkan ekonomi Indonesia. Selain itu, masih ada 2 kegiatan lainnya yang juga terselenggara pada hari ini di Desa Karanganyar, yakni Desa Wisata Kreatif dan Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara.

Sebelumnya, di waktu yang bersamaan, Adira Finance juga mengajak komunitas motor, yang pada kesempatan kali ini diikuti oleh komunitas Nmax Riders Semarang dan Modern Vespa Semarang, untuk melakukan jelajah atau touring bersama dari kota Yogyakarta menuju Desa Karanganyar.

Rombongan yang juga diikuti oleh jajaran Direksi Adira Finance ini tiba di Pasar Borobudur sekitar pukul 11.00 dan disambut dengan kemeriahan tarian Topeng Ireng.

Sedikit bercerita tentang kesenian tradisional Topeng Ireng yang mengandung filosofi dalam khasanah Jawa yaitu Toto Lempeng Iromo Kenceng. Toto artinya menata, lempeng berarti lurus, irama berarti nada, dan kenceng berarti keras. Oleh karena itu, dalam pertunjukan Topeng Ireng para penari pada umumnya berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras dan penuh semangat.

Setelah sejenak beristirahat sembari menikmati hiburan yang tersaji, jajaran direksi dari Adira Finance turut memberikan support dan atensinya terhadap seluruh elemen Pasar Borobudur, utamanya bagi para pedagang. Di antaranya, bahwa melalui upaya gerakan sosial untuk ekonomi kreatif ini semoga dapat turut berkontribusi aktif agar Indonesia segera bangkit lagi.

Para pengunjung harus diberikan kesan supaya hatinya senang ketika berbelanja dengan pelayanan dengan penuh senyum oleh para pedagang. Sehingga, besar kemungkinan para wisatawan akan kembali lagi untuk menjadikan Borobudur sebagai destinasi wisata favorit.

Seperti yang disampaikan oleh salah satu jajaran Direksi Adira Finance, Bapak Niko Kurniawan kepada para pedagang Pasar Borobudur, “Tolong layani dengan baik, jangan aji mumpung. InsyaAllah semuanya bakal berjalan dengan baik dan banyak berkahnya untuk semua yg disini.”

Selama perjalanan dari Yogyakarta menuju Magelang, akses jalan raya yang sudah baik dan tidak banyak yang rusak menjadi wujud nyata dari pemerintah yang telah menjalankan tugasnya dengan baik dan menunjukkan kapasitas Magelang pada umumnya bahwa wilayah ini siap menerima kedatangan wisatawan baik lokal maupun asing dengan nyaman sepanjang perjalan menuju lokasi ini.

Bapak Jin Yoshida, yang baru pertama kali datang ke wilayah ini juga memberikan kesan yang luar biasa dan kagum dengan suguhan pesona alam yang disajikan sepanjang perjalanan. Bapak Jin Yoshida yang berdomisili dari Negara Jepang bahkan berjanji untuk merekomendasikan tempat ini kepada teman-temannya yang berada di Negeri Sakura. 

Di Festival Pasar Rakyat juga diadakan edukasi keuangan (financial literacy), yang mana melalui edukasi ini pedagang pasar dan UMKM mendapatkan pengetahuan tentang manajemen keuangan pada usaha maupun rumah tangga mereka dengan cara penerapan yang efektif dan mudah sehingga perekonomian mereka pun turut meningkat.

Ba’da waktu dhuhur, segenap rombongan dan juga panitia segera berpindah ke lokasi Desa Karanganyar untuk bersama-sama memberikan predikat Desa Karanganyar sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara  yang nantinya akan dilakukan secara simbolis melalui peresmian landmark desa. Informasi mengenai Desa Wisata Karanganyar ini bisa dikunjungi dalam tautan http://adira.id/e/fkl2022-blogger10.

Hujan yang cukup intens menyelimuti Pasar Borobudur seakan benar-benar telah menjadi berkah atas kebersamaan yang tercipta dalam acara Festival Pasar Rakyat 2022 dan Festival Kreatif Lokal 2022.

Berbagai sinergi dan kolaborasi dari berbagai kalangan masyarakat yang berkumpul dalam rangkaian acara ini, semoga benar-benar mampu menjadi langkah awal dalam menumbuhkan perekonomian, dan meningkatkan semangat kebermanfaatan, untuk bangsa yang lebih maju kedepannya.

Kilas Jawab

Semasa sekolah, mendapati tugas pertanyaan dari seorang guru merupakan pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Dahulu, mungkin saja hal itu dikerjakan untuk mengejar sebuah nilai. Akan tetapi seiring bertambahnya waktu dan terlepas dari kultur pendidikan formal, mencari jawaban atas sebuah tanya yang diberikan merupakan sebuah tanggung jawab dari seorang murid.

Bukan berarti kita mesti berhenti belajar ketika lepas dari lingkungan pendidikan formal. Keadaan lepas tersebut bukan berarti kita berhenti untuk menjadi seorang pelajar. Justru dalam luasnya kehidupan ini, seharusnya semakin banyak ditemukan guru-guru yang kita temui yang bisa kita dapati pada diri siapapun dan dimanapun. Kala itu setidaknya ada 3 pertanyaan yang saya dapati dalam gambar tulisan ini untuk dicari kemungkinan-kemungkinan jawabannya:

1.

Setiap jawaban hanyalah subjektivitas cara pandang manusia yang bisa jadi baik, tetapi justru buruk di mata Tuhan. Ataupun sebaliknya. Dalam realita seperti itu, yang bisa jadi landasan hanyalah ketulusan agar jangan sampai diri ini kehilangan cinta terhadap segala sesuatunya. Sebab, kemanapun kita menghadap, disitulah wajah dari Allah Swt.

Ada sedikit pergeseran lawan kata dalam kontradiksi yang tertuang dalam pertanyaan tentang sebuah bangsa. Yakni, jika yang buruk digambarkan sebagai keadaan mundur dan hancur, maka seharusnya gambaran keadaan sebaliknya adalah maju dan kokoh/jaya. Akan tetapi, diksi yang dipakai untuk gambaran keadaan yang baik adalah selamat dan sejahtera.

Pertanyaan pertama mengandung substansi akan sebuah hubungan dan aktualisasinya. Dalam proses tersebut yang harus menjadi kerangka sebuah bangunan yang selamat dan sejahtera adalah bukan yang berasal dari luar bangunan diri (bangsa) kita, melainkan dari dalam diri (bangsa) kita sendiri.

Faktor eksternal akan begitu saja selesai jika kita sikapi dengan cinta. Hanya saja kita dituntut untuk merespon keadaan. Terlebih jika kita menyadari bahwa ada Tuhan Yang Maha Esa, maka faktor utama yang dibutuhkan adalah iman dan takwa. Mau bagaimanapun keadaan, apabila kita telah kuat iman dan takwanya, kita tidak akan mudah kehilangan rasa syukur atas berbagai nikmat yang telah diberikan. Lantas, kita akan berprasangka baik kepada Tuhan karena telah ditempatkan di sebaik-baiknya tempat.

Lalu, faktor berikutnya yang penting adalah menumbuhkan sifat ataupun karakter seperti Rasulullah Saw, yakni shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Tidak mungkin kita mengaku cinta, kalau pada kenyataannya kita justru menjauh dari 4 sifat tersebut. Ada sebuah klausul, jika kita mencintai kekasihNya, maka Tuhan pun akan mencintai kita.

Dan yang paling penting adalah selamat dan sejahtera di mata kita, belum tentu sama di mata Tuhan. dan ketentuan Tuhan tidak bisa kita monopoli. Maka dari itu, keselamatan dan kesejahteraan yang dialami satu orang dengan orang yang lain sangat mungkin berbeda. Terlebih dalam lingkup yang lebih luas layaknya sebuah bangsa atau negara.

Bisa jadi apa yang kita anggap menyelamatkan dan menyejahterakan, justru bisa memantik kemunduran dan kehancuran. Menjadikan Tuhan seolah-olah selalu berada di pihak kita, Ketika kita kehilangan kesadaran bahwa Tuhan-lah subjek tunggal atas segala sesuatunya, sehingga membuat diri lalai bahkan dholim. Tidak lagi shidiq, tidak amanah, tabligh, dan sudah tidak fathonah. Seringkali akal justru menjadi alat untuk menipu (munafik) terhadap dirinya sendiri.

Sifat ini ibarat bahan-bahan yang akan dipakai untuk mendirikan sebuah bangunan. Mau dengan desain ataupun sistem metode pembangunan, apabila bahan-bahan bangunannya bagus, maka setidaknya kita tidak ragu akan ketahanan dan kualitas bangunannya. Sekalipun dengan desain atau sistem apapun, kita sudah berprasangka bahwa dengan bahan yang baik, maka bangunan tidak akan mudah roboh dan hancur.

***

2.

Pada umumnya, orang-orang itu berkumpul karena ada hal yang sama dan mengikat. Ikatan itu akhirnya membentuk tali persaudaraan. Tali persaudaraan itu tidak hanya kelompok religius, kelompok atau geng motor pun memiliki ikatan yang sama. Bahkan, kelompok-kelompok jalanan biasanya memiliki rasa solidaritas yang lebih kuat.

Namun di Maiyah ada keistimewaan sendiri, orang-orang berkumpul dan dipertemukan di jalan cinta yang sama. Berangkat dari hal tersebut, gerakan dan eksistensi Maiyah yang telah berlangsung tidak menunjukkan rasa pamrih sama sekali. Kepada Negara, berapa besar jumlah anggaran yang bisa dipangkas dengan kultur dan kebiasaan di Maiyah yang selalu menyedekahkan diri untuk urun mikir dan dandani bangsa ini, atau setidaknya lingkungan terdekat di banyak titik SImpul Maiyah yang telah berlangsung.

Maiyah kuat mencintai meski tanpa mendapatkan balasan cinta yang sama. Maiyah memiliki kedalaman rasa yang sangat tulus di dalam setiap tindakan yang dilakukan. Maiyah selalu memikirkan keseimbangan baik dari segi cara, jarak, bahkan sudut pandang. Maiyah bekerja mengendarai waktu, memiliki kemerdekaan baik di waktu siang ataupun malam.

Jika di dalam kolektivitas Maiyah dibuat seperti visi dan misi, mungkin tidak akan terlihat faktor negatifnya. Hanya saja, secara person individu yang terlibat di dalam Maiyah. Akan selalu ada dinamika ataupun gejolak yang bergetar karena berasal pada sesuatu yang negatif. Biasanya hal yang negatf itu muncul karena ada suatu hal yang berlebihan di banyak wilayah. Mungkin hal itu akan menimbulkan suatu masalah atau konflik, tapi di dalam Maiyah hal seperti itu menjadi sebuah pertanda bahwa Maiyah itu sendiri mengalami pertumbuhan.

***

3.

Subjektif penilaian saya, 80% lebih pendayagunaan uang rakyat digunakan untuk hal-hal yang negatif. Bangsa yang dulunya terasa bagai surga, lama-kelamaan malah diubah menjadi seperti neraka, kecemasan dan keresahan yang semakin merebak, atau bahkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahannya sendiri. Tapi kembali lagi ke topik awal, apa yang kita lihat buruk, bisa jadi justru baik di mata Allah. Kita hanya bisa berprasangka baik pada segala kehendakNya dan terus berupaya untuk berdaulat dengan diri sendiri.

“Healing” Menuju Sinau Bareng dari Dusun Lekong Hingga Dieng

Sebelum perjalanan dimulai, salah seorang kawan bercerita bahwa badannya belum terlalu fit untuk ikut dalam perjalanan menuju Banjarnegara. Tapi, dia juga menyampaikan bahwasanya dirinya seperti mengalami keanehan secara fisik kalau diajak healing. Healing yang akhir-akhir ini menjadi bahasa gaul para generasi milineal untuk pergi berwisata, atau juga sebagai salah satu bentuk upaya menghilangkan kepenatan atas rutinitas yang dilakukan sehari-hari.

Namun, healing yang akan dilakukan kali ini berbeda. Jika pada umumnya orang-orang akan menuju ke suatu tempat yang memiliki panorama yang indah dan juga menyejukkan, akan tetapi healing yang dimaksud kawan saya adalah pergi ke tempat sinau bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Kebetulan pada weekend kali ini, acara sinau bareng akan dilaksanakan di 2 tempat yang berbeda di Banjarnegara. Hari Sabtu di Dusun Lekong dan hari Minggunya di penutupan acara Dieng Culture Festival XIII.

Benar adanya, Sabtu menjelang waktu Maghrib, kawan yang sedang menghindari makanan berminyak tersebut menghubungi saya jika dirinya akan ikut berangkat ke Banjarnegara. Ya,  kami memutuskan untuk berangkat naik sepeda motor, utamanya untuk mengantisipasi kemacetan ketika di kawasan wisata Dieng. Tanpa basa-basi, kami segera menentukan koordinat titik  kumpul untuk menuju bersama ke Banjarnegara, bergabung dengan dulur-dulur lain. Selain dari Magelang, ada pula dulur dari Klaten yang juga ikut bergabung bersama rombongan.

Seratusan kilometer kami tempuh selama 2 jam. Sekitar pukul 21.00, kami tiba di Dusun Lekong. Di sana, acara diadakan di dalam kawasan Dusun karena acara ini diselenggarakan dalam rangka peresmian sebuah Aula. Alhasil, gang-gang di Dusun Lengkong penuh dengan para jamaah. Panitia pun sudah mengantisipasi kepadatan tersebut dengan menyediakan beberapa layar di titik-titik tertentu. Animo para warga sekitar sudah cukup membuat hati trenyuh untuk ikut ngaji bersama.

Karena cukup lelah, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di balik layar yang berada di titil paling jauh dari panggung. Di teras salah seorang warga kami sedikit rasan-rasan karena merasa kagum. Bagaimana tidak? Di hadapan layar ini, ratusan warga duduk dengan tenang menonton acara tanpa suara. Meskipun ada sound yang tersedia, akan tetapi suara tidak keluar sebagaimana mestinya. Tapi mayoritas ibu-ibu dan bapak-bapak tetap hikmat menatap layar, sekalipun orang-orang bersliweran tak henti-hentinya.

Setelah dirasa cukup beristirahat, kami memutuskan untuk lebih mendekat dengan harapan setidaknya agar mampu mendengarkan suara dari acara sinau bareng. Namun, jalan yang selebar 5 meter pun dipenuhi dengan jamaah, dan jalan kaki pun dibuat macet ketika tepat sampai di titik layar berikutnya. Disini suara sudah nampak jelas, akan tetapi tidak ada tempat bahkan untuk duduk. Namun, tiba-tiba salah seorang warga membuka pagar sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Kami menjadi merasa ge-er, karena seolah-olah telah dijamu sebagai tamu yang datang dari tempat yang jauh.

Akhirnya, kami bisa healing di tempat yang sempurna. Antusiasme kami mendatangi acara sinau bareng seperti ini bukan untuk berada di dekat panggung untuk melihat secara langsung ataupun bersalaman dengan Mbah Nun. Tapi, cukup menikmati suasana sinau bareng bersama jamaah lain. Kalau ada jamaah lain yang ingin lebih dekat atau berbagi tempat, kami akan mempersilahkan dengan sukarela.

Berada di satu tempat yang sama sudah cukup untuk mengobati rasa rindu kami. Sekalipun tidak ada kesempatan bagi kami untuk menatap Mbah Nun secara langsung, ijinkanlah doa-doa kami menyapa beliau. Dan sekalipun tidak mampu bersalaman secara langsung, seperti pesan beliau, semoga hati kami selalu saling bersalaman dengan beliau, insyaAllah.

***

Setelah acara, rombongan kami bertambah 3 motor. Yakni 2 motor orang Banjarnegara dan 1 motor dulur kami dari Magelang juga yang sudah legend berjualan kopi saat acara-acara sinau bareng. Kami sama-sama akan menuju Dieng setelah acara, akan tetapi kami dipersilahkan untuk istirahat sejenak di rumah saudara salah satu rombongan kami di daerah Kalibening, Banjarnegara.

Saat menuju Kalibening, karena fisik kami dirasa juga butuh bahan bakar, kami transit di sebuah emperan nasi goreng sekitar Wanadadi. Disana kami pun mendapati keberuntungan karena ditraktir oleh dulur dari Banjarnegara. Meskipun beberapa di antara kami baru pertama kali bertemu, namun di Maiyah rasa persaudaraan itu mewujud begitu saja atas dasar satu kesamaan cinta yang sama. Dan rasa paseduluran seperti ini, hampir selalu ditemui di setiap kami bermaiyahan di mana saja.

Rombongan ngemper di sekitar Pasar Wanadadi sekitar pukul 01.00 WIB

Sembari menikmati sajian nasi goreng, rombongan Cak Nun dan Kiai Kanjeng beserta krunya ternyata melewati jalan yang sama. Akan tetapi, perjalanan kami agak sedikit keluar dari jalur ke Dieng untuk mampir di Kalibening karena tempatnya sudah disiapkan. Setidaknya butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di Kalibening dari Dusun Lekong. Dengan jalan yang cukup ekstrim karena faktor topografi kawasan Kalibening yang termasuk berada di daerah dataran tinggi.

Sesampainya di Kalibening, kami pun masih ada waktu untuk recharge tubuh kita masing-masing beserta segala gawai elektronik yang dibawa. Di pagi harinya seusai kami bangun, sarapan sudah disediakan oleh Bu Lek, si empunya rumah. Baru sekitar pukul 10.00, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Lapangan Pandhawa, Dieng, yang menjadi venue dari acara Kongkow Budaya bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

Sepanjang perjalanan menuju Dieng, kami disuguhi oleh panorama alam yang menakjubkan. Julukan “Negeri di Atas Awan” memang sudah sepantasnya terlekat, terlebih ketika menimbang keadaan sosio-kultural yang kami dapati sepanjang perjalanan. Karena banyaknya motor dari rombongan kami menjadikan perjalanan kami tempuh selama 2 jam menuju Dieng. Di samping ada salah satu kendaraan yang sedikit penuh perjuangan ketika mengarungi medan yang didominasi oleh jalur-jalur tanjakan.

Ketika mendekati area kawasan wisata Dieng, lalu lintas sudah semakin padat. Benar adanya, jika di lokasi sekitar acara tampak begitu ramai dan macet. Terlebih bagi yang memakai kendaraan roda empat. Suara-suara alunan sholawat dari kelompok Ahbabul Mustofa menjadi tanda akan lokasi acara, sekalipun kami agak kesulitan untuk mencari tempat parkir karena jalan dibuat satu arah menuju lapangan. Sesampainya di lokasi, es dawet khas Banjarnegara dirasa sangat cocok untuk melepaskan kegerahan kami selama perjalanan.

Tapi sekali lagi, sekalipun diadakan di lapangan terbuka dan depan panggung masih terlihat renggang, kami memilih untuk duduk menikmati di sudut pojok jauh dari arah panggung menghadap. Cukup menikmati suasana dan kebersamaan ini dirasa sudah cukup bagi kami. Sembari menikmati beberapa jajanan yang dijual oleh para pedagang keliling lokal. Atau membeli rokok dari mba-mba SPG yang sayang jika terlewatkan begitu saja. Pun dengan teriakan-teriakan anak kecil yang berlarian kesana-kemari dengan riang gembiranya, menambah harmonis suasana sinau bareng di Dieng Cultural Festival XIII kali ini.

Bahkan saat acara sinau bareng sudah berlangsung, beberapa di antara kami berbaring tidur begitu saja di lapangan, mungkin bukan karena lelah, tapi bisa jadi karena terlalu syahdu suasananya ketika tujuan perjalanan ini telah dituntaskan keduanya. PR kami selanjutnya tinggal pulang menuju kediaman kami masing-masing.

Rombongan kami memtuskan pulang melewati jalur perkebunan teh Tambi tembus Ngadirejo, lalu Temanggung. Meskipun saat perjalanan pulang, beberapa kendaraan dari rombongan mengalami rem blong, karena kini jalanan yang mayoritas ekstrim turunan terjal. Saat kejadian rem blong, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah masjid dengan view alam yang menakjubkan di daerah sekitar Jlumprit.

Istirahat sejenak di daerah Jlumprit

Mungkin perjalanan ini adalah touring singkat, tapi bagi kami kegiatan seperti ini merupakan healing, seperti yang sudah disampaikan kawan kami dari awal. Kami sadar bahwa healing juga dibutuhkan tidak hanya untuk wilayah jasadiah, melainkan juga di wilayah rohaniah. Apapun bentuk pemaparan ilmu ataupun wejangan yang disampaikan dalam rangkaian acara sinau bareng Mbah Nun pada dua kesempatan ini, biarlah menjadi kemerdekaan bagi kami untuk memilih buah mana yang pas akan kebutuhan diri kami masing-masing.

Selagi masih sehat dan juga sempat, semoga kami akan dipertemukan dan diperjalankan lagi di lain kesempatan. Untuk mengarungi perjalanan bersama, untuk sekedar menikmati keharmonisan suasana acara, dan yang paling penting adalah untuk mensyukuri kebahagiaan bersama atas satu kesamaan jalan cinta yang sama, insyaAllah.

Sesrawungan di Mantyasih

Malam minggu kali ini (2/7), agenda untuk belajar bersama menuntun menuju sebuah tempat historis di wilayah Magelang Kota, tepatnya berlokasi di Prasasti Mantyasih, Dusun Mantyasih, Botton. Sebuah tempat yang cocok digunakan sebagai tempat berkumpul bersama di tengah-tengah pemukiman penduduk.

Agenda belajar bersama ini diprakasai oleh para civitas akademisi Universitas Tidar yang membuat komunitas bergenre “sosial-masyarakat”, yang bernama Komunitas Sesrawungan. Dengan mengangkat tema “Mantyasih” (Beriman dalam Cinta), Komunitas Sesrawungan turut menghadirkan 3 tokoh masyarakat Magelang, yaitu Mbilung Sarawita, Bambang Eka Prasetya, dan juga Amron Awaluddin, yang kesemuanya akan menjadi narasumber utama pada acara tersebut.

Sebuah pementasan dari grup hadroh menjadi pertanda awal bahwa rangkaian acara pada malam ini telah dimulai.  Para warga sekitar juga mulai nampak berdatangan untuk ikut serta nyengkuyungi acara yang diadakan di sekitar wilayah tempat tinggalnya. Kebersamaan di antara beberapa komunitas lain, seperti Dewan Kesenian Magelang, Maneges Qudroh, Sanggar Teater Gubug Kebon, dll,  juga menjadi wujud dari nama komunitas itu sendiri, yakni Sesrawungan.

Satu kalimat yang disampaikan oleh pembawa acara dalam pembukaannya, bahwa dalam pertemuan seperti ini kita hanya bisa mengupayakan untuk meneteskan kebahagiaan bersama, dengan bekal cahaya-cahaya yang kita bawa di Mantyasih ini.

Pak Mbilung mendapati kesempatan pertama untuk merespon tema yang diusung teman-teman dar Komunitas Srawung. Sebagai seorang budayawan, beliau menjelaskan banyak sekali asal-usul dari kata Mantyasih, serta sejarah ataupun cerita yang berkaitan dengan Prasasti Mantyasih.

Kemudian Pak Mbilung mengambil narasi dari buku Ki Ageng Mantyasih, yang isi dari buku tersebut merupakan suatu perjalanan spiritual, utamanya tentang kasih vertikal manusia dengan Tuhannya. Yang mesti dilalui melalui perenungan dan penyadaran diri terkait eksistensi dunia batin, nilai, makna, keseimbangan, harmoni, karya, hingga dalam suatu peradaban. Lalu buah dari perenungan dan kesadaran itu akan membuat diri bebas dari rasa malu, sedih, takut, bahkan ketergantungan.

Mantyasih ini kemudian menjadi Meteseh. Di Solo, ada Matesih. Ada kata tyas atau tyes, yang artinya bagian tengah yang keras, dan juga bisa berarti hati. Sehingga Mantyasih diartikan Pak Mbilung mempunyai dan mengamalkan hati yang penuh cinta kasih. “Di dalam cinta kasih, kau akan menemukan iman. Di dalam iman, kau akan menemukan cinta kasih.” tegas Pak Mbilung.

Pak Bambang dari Dewan Kesenian Magelang, menjelaskan Mantyasih dari kacamata “kirata basa”. Dalam zaman kitab Sutapitaka, mulanya belum ada kata iman ataupun cinta. Yang ada adalah kata darma dan karuna, yang memiliki arti cinta dan welas asih. Kata iman sendiri pertama kali ada dalam sebuah kitab orang Yahudi. Iman yang berarti aman.

Pak Bambang juga banyak menceritakan tentang candi Borobudur, bahkan beliau sendiri membuka sekolah relief. Kehidupan menurut Pak Bambang adalah duka. Sebab manusia memiliki 3 penyakit pokok, yakni serakah, memelihara benci, dan keliru. “Loba, dosa, dan moha. Oleh karena itu kita mesti aloba, adosa, amoha. Ikhlas, mawas, dan juga welas.” Jelas Pak Bambang. Dengan begitu, perasaan duka benar-benar bisa ditinggalkan.

Hiburan dari tema-teman Teater Fajar dan juga puisi dari Pak Ida menjadi hiburan di tengah-tengah padatnya sinau bareng. Moderator juga memberikan kesempatan bagi para hadirin untuk bertanya agar acara lebih komunikatif.

Berbeda lagi dengan Pak Amron, yang menjelaskan dari perspektif keagamaan. Dari banyaknya sumber yang didapat dari kedua narasumber sebelumnya, lalu apa yang akan dilakukan? Ketika membicarakan cinta kasih, kita tidak bisa terlepas dari nafsu, maka Pak Amron mengajak hadirin untuk mengenal istilah shodr, yang energinya adalah nafsu.

Bagaimana kalau orang tidak mempunyai nafsu? Sedangkan nafsu sendiri menjadi salah satu kekuatan yang menggerakkan manusia. Tanpa nafsu, maka dunia ini akan kacau. Yang perlu dikenali dari nafsu adalah sifatnya yang cenderung merusak dirinya sendiri, yang selalu mengarah kepada kebiasaan atau laku yang buruk. Disitu kita akan

Ketika shadr merupakan kulitnya, maka dagingnya adalah qalbu, yang telah banyak kita ketahui. Dan bagian intinya adalah fuad, Pak Amron mengibaratkannya ibarat modem, sebagai penguat sinyal untuk terus connect dengan Allah. Ketika kita mengenali bagian-bagian tersebut, kita bisa melihat bahwa kebiasaan nakal seseorang tidak lagi sesuatu yang buruk, justru dari kenakalan bisa memantik potensi kecerdasan seseorang.

Pak Amron mengajak hadirin untuk jangan berpikir agama hanya membangun kedamaian, melainkan hanya ketenangan diri. Dan dengan ketenangan tersebut kita bisa melalui berbagai perbedaan yang pasti kita akan hadapi. Berbeda bukanlah sebuah masalah, asalkan yang pasti kita tidak menaruh dendam dan benci kepada sesama.

Mantyasih, 2 Juli 2022