Ketika Harap Menyisakan Satu

Sehebat apapun manusia, pada akhirnya akan lenyap. Bunga yang bermekaran pada akhirnya akan layu, membusuk, lalu berakhir gugur. Meskipun sempat menjadi sebuah pujaan siapapun mata memandang keindahannya saat bermekaran. “Tawan aku jika kau suka!” ucap sekuntum bunga matahari kepada perempuan yang merawatnya. “Untuk pa aku menawanmu, jika pada akhirnya aku hanya akan melihatmu layu. Memetikmu pun hanya akan melenyapkanmu.”

“Jangan pernah menggantungkan hidupmu pada manusia.” Kata-kata itu nampaknya hanya akan menimbulkan banyak kata-kata yang tidak semestinya keluar. Kebiasaan berkomentar, kebiasaan menyalahkan, kebiasaan untuk bersaing, kebiasaan untuk memuja, atau masih banyak yang lain. Meskipun sebagai makhluk sosial, kita dituntuk untuk selalu dapat belajar hidup bersama. Jika terbiasa menggantungkan, nanti kamu akan sulit membiasakan diri terutama terhadap diri sendiri. Akan banyak menimbulkan delusi keinginan yang semakin menghijabi jati diri.

Rasa takut luar biasa akan selalu menjadi rintangan yang mesti dihadapi. Sunyi akan selalu menjadi jalan yang mesti ditapaki tiap waktu. Angan akan menciptkan berbagai delusi tentang kenikmatan, sekaligus ilusi tentang setumpuk keresahan yang menghadang. Segala strategi kenabian coba kau rumuskan untuk menarik perhatian Hyang Tunggal. Itulah warna ketika mencoba menyusuri setapak jalan dimana hanya Dia-lah yang akan kau jadikan tempat bergantungnya kehidupan(mu).

Hidup-matimu bukan untuk seseorang yang kamu cintai, meski cenderung untuk selalu melindungi yang dicintai walau rela hidup -mati. Apalagi demi para penguasa yang mengatasnamakan dirinya wakil rakyat yang sepenuh hati mengabdi dan cinta kepada rakyat. Nyatanya, banayk sekali yang sudah bolos di hari pertama kerja, apa yang diharapkan? Masa depan? Masa depanmu atau dirinya sendiri? Kamu mencintai atau sebenarnya ingin dicintai? Terutama bagi yang menuntut menu “saling” dalam kata cinta.

Jika yang nyata dicintai pun masih ada tuntutan untuk “saling”, lantas bagaimana dengan yang tidak nyata? Yang tidak bisa kau raba? Tak bisa kau nikmati baik cantiknya, desahannya, atau cara memuaskannya? Ingatlah dengan tuntutan-tuntutanmu sendiri terhadap orang lain. Bagaimana kamu akan mampu menggantungkan hidup-mati, jika cara pandang cinta itu tak pernah bisa dinikmati? Kecuali hanya keresahan dan terlalu banyak mengeluh.

Semua perjalanan tentu tak bisa selaras. Setiap insan memiliki takdir perjalanan menyesuaikan jenis kendaraan yang ia pakai. Jika kamu pemalas, tidak mungkin kamu akan dihadapkan dengan situasi kerja 12 jam lebih sehari. Jika kamu harimau, tak mungkin kamu hanya dihidangkan dengan buah-buahan tanpa ada domba. Tapi hanya manusia yang mampu memutuskan dirinya sendiri dengan kemungkinan-kemungkinannya yang begitu luas tak terbatas dalam samudera nalar. Mentransformasikan diir dari manusia 2 tak menjadi manusia hybrida. Dari asfala safilin menjadi ahsanu taqwim. Itupun kalau mau berusaha dan terus berjuang. Karena pada akhirnya hanya ke-istiqomah-an dan ikhtiar-lah yang membedakan para manusia.

Jadi sebenarnya tidak tepat juga jika pakaian dijadikan alasan kita untuk bepergian. Sebelum pergi, bukankah kita seharusnya sudah mengetahui tujuan kita? Dalam satu hari kita sudah mengetahui tujuan kita pun serasa sudah cukup. Kalau biasa niteni tujuan pergi tiap hari, mungkin akan menemukan kalau ternyata tujuan pergi itu hanya untuk kembali pulang. Begitukah dengan hidup-mati? Hanya untuk menuntaskan rasa rindu untuk kembali pulang?   

Jika memang merindu kepada Yang Haqq, mengapa kita mesti saling tindas-menindas? Saling adu argumen dan hobi berdebat? Tidak akan pernah selesai segala perselisihan dan konflik yang muncul jika mereka hanya berebut kekuasaan yang bertopeng kebenaran. Masalah akan selalu mengintai dan bisa menyapa setiap waktu. Jangan pernah memberikan kebenaran kepada orang lain, kecuali ada yang bertanya langsung. Karena fakta hanya ada ketika sesuatu telah dilalui, bukankah begitu? Jadi jangan ragu untuk selalu menuntaskan rindu sekalipun beribu prasangka menghujam.

Jika kamu menjadi besar bukan karena keinginanmu, siapa lagi yang menuntutmu, kecuali Dia? Namun, berhati-hatilah sekalipun kamu tak mempunyai keinginan, karena disaat yang sama terbesit sebuah pemikiran tentang menjadi sesuatu “besar” tersebut.

Semestamu tidak akan asik lagi karena kamu hanya mendengar dari apa yang mereka tak dengar, kamu akan melihat apa yang tak sanggup mereka lihat. Sangat tidak tepat jika jalan ini ditempuh  dengan harap didengar ataupun dilihat. Bahkan, harapan itu sendiri mungkin hanya tersisa satu.