Category Archives: ruang

Satu yang Tak Terpisahkan

NYK | 025

Bagaimana aku bisa mengetahui tujuan ini jika hanya engkau yang mengetahui jalan itu? Sebenarnya tidak ada sesuatu apapun di tempat ini, sekalipun engkau mengatakan banyak hal yang sebenarnya dapat diri ini lihat dan memberikan arah tujuan tersebut. Bahkan semua yang telah diketahui dan banyak dirasakan, dia tidak berada di suatu tempat yang mampu kita menuju kepadanya.

Kalau saja tujuan itu banyak diri ini ketahui telah tersimpan dalam hati, yang sesekali diri ini banyak bertemu dengannya di alam pikiran. Atau seringkali diri membelainya dengan tangan lembut ini atau banyak membicarakannya dengan mulut lamis ini, apakah “aku” dapat memastikan bahwa saya dapat menemukan dan menemukannya?

Sekalipun banyak kukoyak bagian itu satu-persatu dan menghancurkannya berkeping-keping, tidak ada satupun alasan yang cukup kuat untuk membuktikan sumber dari segala manifestasi rasa yang terwujud denganmu.  Bagaimana mungkin aku mampu mengetahui jika keadaan diri sendiri saja tidak pernah bisa dipastikan? Terlebih jika kita sendiri tidak mengetahui tentang binatang yang hidup dalam diri.

Lalu diri yang lain berkata bahwa ia berada di sisi yang lain atau di luar diri. Bagaimana bisa engkau memastikan? Apa engkau pernah menapaki ketidakterbatasan ini jengkal demi jengkal? Mungkin saja benar bahwa ia berada di dalam dan di luar diri, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Tidak ada tempat yang mampu menampungnya, sebab hanya Dia yang meliputi segalanya.

Perjalanan ini masih terasa pincang meski hal tersebut tak menjadikan alasan untuk berhenti melangkah. Mungkin saja, kehadiranmu mampu membuat sedikit lupa akan keterpincangan yang selama ini dialami. Itupun mungkin bukan karena inginmu, ataupun inginku, karena keinginan kita hanyalah sebagian kecil dari keinginan yang meliputi seluruhnya.

Kasih, jika datang sebuah tanya, “Tidakkah engkau serius?” Sesekali engkau bisa melihat kembali dan bertanya, adakah sesuatu yang tidak serius? Mungkin saja semua ini hanya bagian dari sebuah permainan yang penuh sandiwara, tapi engkau bisa menilai bahwa ada sesuatu yang serius di balik segala permainan ini. Sekalipun itu sangat lembut dan tersembunyi, dan mungkin saja kini engkau sedikit mulai mengenalinya setelah pertemuan ini.

Kalaupun ini semua adalah cinta, ia akan berada di depanmu, tinggal di sampingmu, bahkan terus mengikuti di belakangmu. Meski semua kata seolah jadi membatalkan niat ketulusannya, namun semua tak lebih hanya sebagian cara untuk memesrai kerinduan. Sebab, ia akan kembali lagi ke tempat asalnya, kecuali engkau memberanikan diri untuk memanggilnya.

Dan mungkin pula engkau mesti tahu, sekalipun diri ini menuliskan atau banyak menyatakan, sesungguhnya bukan diri ini yang melakukannya. Diri ini hanyalah anak panah yang tak akan pernah melesat tanpa busur dan sesuatu yang menariknya.  Oleh sebab itu pula, aku memilih mencintamu dalam diam karena tidak akan ada penolakan. Meskipun justru membuat diri seolah-olah nampak seperti pengecut.

Tapi akankah ada arti seorang pahlawan tanpa adanya pengecut? Adakah kejahatan di dunia ini yang tidak mengandung kebaikan? Adakah segala gelap yang engkau tawarkan tak kau isi dengan cahaya? Sedangkan, semua yang membuat perbedaan sesungguhnya berasal dari satu, bukan? Apakah mungkin itu semua dipisahkan?

Kasih, diri ini mungkin akan memilih sesuatu yang berlawanan dengan segala keinginanmu. Tidak akan mengintimidasi apa yang sudah menjadi harapanmu. Lakukanlah. Sekalipun berlawanan, namun diri ini mungkin tidak akan sanggup terlepas, hanya agar dirimu mampu tetap tegak dalam keseimbangan langkahmu.

Kasih, mungkin saja ini akhir, tapi tidakkah di saat yang sama “akhir” juga berarti sebuah pertanda akan sebuah awal?

Keajaiban Spiritual

Tadabbur Selasan | 191

Di tengah malam yang sunyi, di kediaman Mas Mizhar, Dusun Tanjung, Muntilan, pada malam yang bersemangat, tepat pada tanggal 1 Agustus 2023, terjalinlah sebuah perjumpaan spiritual yang begitu merasuk, sebuah tadabbur tersirat, membentuk panggung rasa yang mendalam. Wirid dan sholawat dalam “Selasan Maneges Qudroh” menjadi pelipur lara jiwa yang penuh makna, bahkan meskipun hanya beberapa di antara kita yang hadir.

Di bawah cahaya bulan yang berseri, hati-hati yang tulus berkumpul untuk mengeja dzikir kepada Sang Pencipta. Pada satu waktu, suasana seketika menjadi haru, setiap kata sholawat yang dilantunkan seolah menjadi seuntai permohonan dan penghormatan kepada Nabi yang menjadi penunjuk jalan bagi umat manusia. Mungkin hanya sedikit di antara kita yang hadir, tetapi energi spiritual yang dihasilkan terasa begitu kuat, seakan-akan memenuhi ruangan.

Wirid dan sholawat menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan yang Maha Kuasa. Saat suara-suara yang penuh pengabdian mengalun, hati kita menjadi alat musik yang merespon getaran keagungan Ilahi. Kita menjadi saksi betapa cinta dan penghormatan kepada Rasulullah Saw adalah tali yang mengikat hati kita dengan keharmonisan semesta.

Pada malam itu, di antara bintang-bintang yang bersinar di langit, kita menemukan betapa kehadiran kita dalam tadabbur yang didapati masing-masing dari dulur yang datang, dan wirid yang terlantun adalah pengakuan akan keterhubungan kita dengan seluruh alam semesta. Seakan-akan langit dan bumi ikut bersholawat, menyambut kehadiran kita yang begitu rindu kepada Yang Maha Agung.

Dalam sepi malam yang menenangkan di dalah satu sudut dusun, wirid dan sholawat menjadi bahasa hati kita, bahasa yang tidak perlu diterjemahkan. Meskipun tidak banyak yang hadir, energi sukma yang mengalir adalah seperti sungai yang memenuhi dasar hati kita dengan ketenangan. Di sana, di bawah cahaya yang tulus, kita merasakan rahmat dan cinta-Nya yang tak terbatas.

Wirid dan sholawat Selasan Maneges Qudroh mengajarkan kita bahwa kebersamaan dalam kebaikan adalah sumber kekuatan yang luar biasa. Mungkin hanya sedikit yang hadir, tetapi semangat dan dedikasi kita melalui wirid dan sholawat mengingatkan kita bahwa Allah selalu mendengar doa dan tanda kasih kita kepada-Nya. Dan dalam pelukan dzikir, kita merasakan kehadiran Nabi sebagai teladan sempurna bagi kita, menginspirasi kita untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Malam itu, di kediaman Mas Mizhar, Dusun Tanjung, Muntilan, akan selalu menjadi bagian berharga dalam ingatan kita. Wirid dan sholawat menggambarkan betapa kita dapat bersatu, bahkan dalam jumlah yang terbatas, untuk mengingat Allah Swt dan menghormati Rasulullah Saw. Dengan tadabbur yang dalam, sesungguhnya kita mampu merasakan keajaiban spiritual, dan di dalamnya, kita menemukan makna yang sebenarnya dalam kehidupan kita.

***

Dusun Tanjung, 1 Agustus 2023

Ketiadaan dan Kemustahilan

NYK | 024

Adakah bangunan itu akan nampak begitu megah tanpa struktur pondasi yang kuat? Ataukah ada pohon itu dapat menjulang tinggi menggapai langit tanpa akar yang kokoh? Mayoritas dari kita meyakini dan menyepakati bahwa umumnya kita selalu dibuat kagum oleh hal-hal yang eksis, baik karena keindahannya, kemegahannya, atau hal lain yang seketika langsug memikat.

Dari sekian hal yang eksis tersebut, tidakkah kita juga semestinya berpikir, mengapa yang selalu diperdebatkan hanyalah hal-hal yang eksis? Bukankah hal yang tidak eksis pun memiliki pengharapan untuk muncul dalam semesta yang eksis? Karena kita tidak mungkin bisa menefikkannya, layaknya ketika kita membutuh bangunan yang megah dan indah, pasti ada kalanya kita akan mempelajari pondasi sekalipun pada akhirnya ia tak nampak.

Kalaupun keberadaan menampung ketiadaan, begitu pula sebaliknya dengan ketiadaan, akan terkandung pula keberadaan. Hal itu nampak seperti buah dari makna-makna yang banyak terpantik dati sebuah ketiadaan yang bermanifestasi menjadi kata-kata. Kita akan sulit mencari, menemukan, bahkan membuktikan, kecuali hanya sebatas meyakininya.

Tidak ada persaingan antara kedua belah pihak yang berseberangan, kecuali pada akhirnya hanya saling menguatkan. Karena semua itu bermuara pada satu ujung yang sama, atau dengan kata lain hanya bersumber dari satu pencipta. Tidak mungkin kita mengenal angka 2 tanpa adanya 1 sebelumnya. Dan apabila dari masing-masing memiliki pengharapan yang sama, haruskah rasa malu itu mencuat sebab pengabulannya memiliki arti peniadaan bagi yang lain?

Setiap orang mengaku berebut kebaikan, padahal kebanyakan dari mereka hanya mempertahankan kenyamanan diri mereka sendiri. Kebaikan hanya mengarahkan diri kepada pengagungan atas eksistensi perjuangannya. Sekalipun semua itu dilakukan tanpa terlihat oleh siapapun, tapi diri akan bergantung dan berharap kepada Yang Tunggal. Berharap perhatiannya, bahkan balasan kebaikan atas upaya yang telah dilakukannya.

Disaat diri sudah pasti mendapatkan cinta, mengapa sering meminta balasan lebih? Ketika rasa cinta itu merupakan pondasi bangunan ataupn akar dari pohon nan agung, mengapa diri mesti mempertanyakan keberadaan wujud? Sedangkan di atas permukaan selalu ada cahaya yang memberi petunjuk. Diri ini hanya mempersiapkan sesuatu yangkuat dan kokoh untuk menanggung beban apapun yang kelak akan ditempatkan di pundak diri masing-masing.

Kasih, engkau tidak perlu mengetahui bagaimana akar harus menembus bebatuan untuk mencari setetes air. Berapa banyak waktu yang dibutuhkan agar pondasi beton ini mampu menjadi inti dari bangunan pencakar langit. Ketiadaan cinta itu tak usah engkau resahkan ataupun engkau khawatirkan. Sebab, ia menjelma atas keinginannya sendiri dalam kesunyian dan tumbuh dalam keheningan.

Kasih, sekalipun engkau mencoba menarik cinta ini kepadamu. Akan sangat mustahil bagiku untuk menyesuaikan diri di sana, dan sangat sukar pula bagimu untuk dapat sampai ke tempat ini. Sekalipun bisa, akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Betul apabila mustahil untuk melakukan sesuatu yang mustahil, tapi tidak mustahil untuk melakukan sesuatu yang sukar, bukan?

Jangan harap kebahagiaan itu akan selalu menyelimutimu, sekalipun dengan cinta. Sebab engkau masih hidup di dunia ini, hal tersebut menjadi suatu keniscayaan. Kecuali engkau siap dengan kekecewaan dan keputusasaan. Lalu akankah engkau masih memiliki sisa-sisa keberanian?

Oleh sebab itu pula, mungkin diri tidak akan mendekat karena pengalaman yang banyak telah memberi pelajaran. Biarlah rasa ini merindumu seperti adanya. Sekalipun ada harap engkau akan merasakannya, namun harapan itu tak lebih dari kebaikan yang semoga akan lebih engkau dapatkan. Apabila cinta kesejatian itu mengandung 2 bagian antara derita yang mendera dan bahagia yang memuaskan, tidakkah engkau mengetahui bagian mana yang akan diri persembahkan padamu?

Ketekunan dan Kesabaran

Tadabbur Selasan | 190

Sanggar Soko Papat (25/7) di Dusun Pasuruhan, Mertoyudan, momen mingguan kegiatan wirid dan sholawat Selasan Maneges Qudroh telah menapaki putaran mingguan ke-190. Acara yang menjadi wadah spiritual yang membangkitkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, sekaligus menjadi ajang silaturahmi dan memperkuat ikatan di antara jama’ah. Dalam kerendahan hati, dulur-dulur berkumpul dan bersatu dalam wirid sholawat Munajat Maiyah, meneladani kebersamaan dan kesatuan yang tercermin dalam kegiatan ini.

Dalam setiap langkah zikir yang dilantunkan, suasana menjadi semakin khusyuk. Wirid yang dilakukan secara rutin ini mengingatkan akan pentingnya berdzikir kepada Allah dan mengingat-Nya dalam setiap aspek kehidupan. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak keras suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.(7:205)

Ayat tersebut senantiasa mengingatkan diri kita akan pentingnya merenungi dan mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang rendah dan penuh rasa takut kepada-Nya. Begitupun dengan yang nampak pada kegiatan wirid Selasan malam ini, dulur-dulur menunjukkan kerendahan hati dalam berdzikir, serasa menghadirkan rasa cinta dan taqwa kepada Allah.

Sholawat yang diteladani dari Nabi Muhammad Saw menjadi bagian tak terpisahkan dari acara ini. Dalam riwayat hadits yang shahih, Nabi Muhammad Saw bersabda:

Barangsiapa yang bersholawat kepadaku satu kali, Allah akan bersholawat kepadanya sepuluh kali.(HR. Muslim)

Hadits ini selalu menjadi pengingat kita (dulur-dulur Selasan) tentang keutamaan berdoa dan bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam acara Selasan, setiap sholawat yang diucapkan merupakan amal kecil yang penuh pahala, mengingat janji Allah untuk membalas dengan berlipat ganda. Meskipun di dalam Maiyah kita diajarkan untuk tidak menagih, kecuali hanya ketulusan dan keikhlasan megabdi kepada Allah Swt.

Putaran ke-190 dari kegiatan ini menjadi bukti keteguhan dan keikhlasan dulur-dulur dalam merajut hubungan dengan Allah dan sesama. Momen pada malam ke-190 ini menegaskan bahwa ketekunan dan kesabaran adalah kunci untuk tetap berpegang teguh pada kebaikan dan keberkahan dalam setiap langkah.

Maka, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.(94:5-6)

Tadabbur atas kegiatan wirid dan sholawat “Selasan Maneges Qudroh” ini juga melibatkan berbagi cerita dan pengalaman dari Mas Munir yang baru saja melaksanakan silaturahmi dengan dulur-dulur Simpul Maiyah Lampung. Dalam berbagi cerita, kebersamaan jama’ah semakin diperkuat, dan semangat untuk berbuat baik terus bergelora.

Alhamdulillah, kegiatan wirid dan sholawat “Selasan Maneges Qudroh” di Sanggar Soko Papat, Dusun Pasuruhan, Mertoyudan, telah bergulir hingga ke-190. Dalam setiap langkahnya, terdapat tadabbur tentang kerendahan hati dalam berdzikir dan keutamaan berdoa serta bersholawat kepada Nabi Muhammad Saw. Momen seperti ini menjadi pengingat bagi dulur-dulur tentang pentingnya ketekunan dan kesabaran dalam menggapai keberkahan Allah. Semoga wirid dan sholawat ini terus menjadi sarana untuk memperkuat iman dan silaturahmi di antara mereka, serta menjadi ladang amal yang terus mengalir berkah.

***

Sanggar Soko Papat, 25 Juli 2023

Tidak Menyesali Kesempatan

NYK | 023

Mengapa sering kita menyalahkan hujan untuk pembenaran diri? Padahal ketika kita memberanikan diri untuk keluar, hampir sudah dapat dipastikan kita akan menemui keajaiban-keajaiban yang tak nampak dalam suasana terang. Bukankah hujan ada bukan untuk kita hindari? Bukankah dia juga butuh teman, yang mana engkau rela bermain dan bermesraan dengannya. Tidak hanya menonton dengan bualan kopi dan hangatnya selimutmu.

Jika demikian, apa bedanya hujan dengan perasaan-perasaan yang selalu saja engkau upayakan untuk menghindar, bahkan lari darinya. Seperti kesedihan, kebencian, keputus-asaan, dan rasa-rasa yang sefrekuensi lainnya. Akan tetapi, kita tak sadar suka menonton bahkan menggunjingnya jika ada orang lain yang mengalaminya. Dan tak sadar pula kita justru menyediakan ruang dan menanam benih-benih penyakit itu di dalam hati kita.

Tapi, seperti itulah wajarnya manusia. Yang katanya penuh dengan cinta dan tidak bisa hidup tanpanya. Cinta yang sudah pasti satu paket berisi rasa suka segaligus rasa benci, kebahagiaan sekaligus kesedihan. Tidak bisa kita hanya berdiam di satu sisi, sementara sisi yang lain dibiarkan kosong. Alhasil jika ada ketimpangan seperti itu, maka skita juga harus bersiap-siap untuk terjatuh. Dan spada waktu itu pula kita sedang diberikan kesempatan merasakan sakit.

Kasihan Si Hujan yang sering dijadkan alasan atas sakit-sakit yang sebenarnya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Begitu sabarnya hujan merelakan dirinya menjadi cacian dan hujatan oleh orang-orang yang mengaku dirinya cerdas. Tidak bisa dibayangkan apabila sekali waktu saja hujan meminta tuannya untuk marah dan membalas hujatan-hujatan itu. Tidak bisa dibayangkan jika rasa-rasa keputusasaan itu ikut berdemo menuntut hak keeksistensiannya.

Padahal sudah jelas dan terbukti, setelah hujan ada kemungkinan terang. Meskipun ada kemungkinan hujan lagi setelahnya, tapi bisa diyakini pula bahwa akan ada terang lagi setelahnya, dan seterusnya. Lalu, mengapa kita mesti takut? Meskipun sebenarnya kita hanya perlu bersiap-siap untuk segala kemungkinan. Dan apapun kesiapan yang telah diupayakan itu bukan sebuah jaminan kepastian, melainkan hanya sebatas ikhtiar dengan niat kebaikan.

Lalu, bagaimana dengan cinta yang selalu mengandung dua sisi yang berlawanan? Sebab, tanpa perlawanan takkan pernah terjadi proses penguatan. Secanggih apapun kecerdasan manusia memformulasikan rumusan cinta, ia tidak akan mampu menerjemahkan ataupun memastikan apapun tentang cinta. Kecuali hanya sebatas gejala-gejala pada jiwa manusia.

Begitu pula yang terjadi pada rasa yang mungkin sedang dititipkan pada diri. Tidak semuanya memilih terang dengan harap akan memberikan kenyamanan. Adakalnya, sedikit orang akan memilih untuk membersamai hujan agar tetap dapat menikmati cinta dalam sunyi yang terkandung dalam riuhnya hujan. Tidak semuanya ingin menyatakannya secara lugas, kecuali memilih untuk menyatakannya melalui perilakunya kepada semesta. Sebab, yang nampak pada segala yang tertangkap dalam pandangannya hanyalah manifestasi akan wujudmu.

Keadaan ini tidak berlaku pada ilmu-ilmu apapun, kecuali cahaya yang mengantarkan dirinya pada perasaan cinta tersebut. Untuk apa ia menanggung mata, jika yang menjadi nikmat adalah rasa. Orang yang mencinta tidak menyesali waktu saat mencinta, akan tetapi apabila terlewatnya waktu atau kesempatan ketika perasaan cinta tersebut membuatnya hidup.

Kasih, kata-kata ini tidak meminta untuk dipahami terlebih untuk dimengerti. Sebab, ada kesempatan untuk berbagi itu sudah lebih dari cukup meski kita tidak sedang berada di dunia yang sama. Adakalanya esok engkau akan mengetahui, meski waktu sudah tidak lagi ada.

Keajaiban nan Harmonis

Tadabbur Selasan | 189

Pada malam yang bercahaya, tepatnya pada tanggal 18 Juli 2023, di kediaman Panti Asuhan Daarus Sundus, Dusun Bogowanti, Borobudur, suasana begitu istimewa dan penuh makna. Kegiatan wirid dan sholawat Selasan Maneges Qudroh menjadi momen berharga yang menghantarkan kehangatan dalam merajut kembali hubungan yang sempat merenggang. Dalam kesederhanaan acara ini, terkandung tadabbur yang dalam tentang arti kebersamaan, pengampunan, dan harmoni dalam hidup.

Malam itu, ribuan pujian tertuju pada Sang Khalik, dengan doa-doa yang dipanjatkan dari hati yang tulus. Dalam setiap dzikir yang diucapkan, seakan energi kebersamaan mengalir di antara dulur-dulur yang hadir. Wirid, sebagai pengingat untuk senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap langkah, menjadikan ruang acara penuh dengan ketenangan dan keikhlasan. Sebuah ayat dari Al-Qur’an menjelma menjadi pedoman yang menguatkan keyakinan dalam berdzikir:

Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.(13: 28)

Dalam kesederhanaan dan kebersahajaan sholawat Selasan Maneges Qudroh, ada keajaiban keharmonisan. Betapa lantunan sholawat yang indah mampu menyatukan hati yang sebelumnya terbelah. Seakan seribu kata tak perlu diucapkan, karena lantunan sholawat telah menyambungkan hati yang terpaut oleh rasa cinta kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam kehangatan suasana tersebut, terkandung pesan dari hadits yang mendukung rasa saling cinta dan kasih sayang di antara umat:

Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tidak beriman di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.(HR. Bukhari dan Muslim)

Acara ini mengajarkan tentang pentingnya saling mencintai, menghargai, dan saling memaafkan di antara sesama manusia. Kehadiran dalam acara wirid dan sholawat ini menjadi momentum yang memperkuat keimanan dan menyuburkan rasa kasih sayang. Melalui perenungan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits, hati kembali disentuh oleh makna sejati dari ukhuwah Islamiyah.

Tadabbur dalam kegiatan Selasan Maneges Qudroh di Panti Asuhan Daarus Sundus juga mengingatkan kita tentang kekuatan doa dan pengampunan. Melalui doa yang tulus, kita mengharapkan kebaikan dan berkah untuk semua yang ada dalam acara ini, termasuk anak-anak panti asuhan yang menjadi penerima manfaat dan berkah atas acara ini. Sebuah ayat Al-Qur’an memberikan keyakinan akan kekuatan doa:

Dan Rabbmu berfirman: ‘Berdoalah kepadaku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.’(40: 60)

Dengan doa dan usaha yang tulus, segala hambatan dan permasalahan yang sempat merenggangkan hubungan, perlahan-lahan mencair dan digantikan oleh kesadaran akan pentingnya saling memaafkan dan mencintai. Wirid dan sholawat Selasan Maneges Qudroh telah menjadi sarana yang membuka pintu maaf dan rekonsiliasi di antara mereka yang hadir.

Kegiatan wirid dan sholawat “Selasan Maneges Qudroh” di Panti Asuhan Daarus Sundus, Dusun Bogowanti, Borobudur, telah membawa berkah dan makna mendalam. Dalam suasana yang begitu istimewa, kesatuan hati terjalin kembali, berkat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Perenungan atas ayat Al-Qur’an dan hadits yang mendukung acara ini mengajarkan tentang arti kebersamaan, pengampunan, dan keharmonisan dalam hidup. Semoga acara ini menjadi tonggak awal untuk mempererat tali silaturahmi dan menjaga hubungan yang penuh cinta dan kasih sayang, serta menghadirkan rahmat Allah yang tiada terhingga.

***

Daarus Sundus, 18 Juli 2023

Tujuan Kerinduan yang Sama

NYK | 022

Bagaimana mungkin rasa rindu padamu membiarkan diri ini pergi? Meskipun rasa itu mengikat seperti belenggu, namun karenanya semua terwujud menjadi syukur. Sebab, hanya kebaikan yang akhirnya didapatkan, sekalipun segala letih dan ketakutan tak pernah bisa pergi selama perjalanan sebelum mencapai keindahan itu. Tidakkah engkau melihat, bagaimana sekuntum mawar nan cantik itu sanggup memikat di antara duri yang begitu tajam?

Mungkin saja kita hanya ikan-ikan yang sibuk mencari makan di samudera kehidupan yang luas, namun suatu waktu memakan makanan yang telah dipasangi kail. Awalnya diri merasa tertipu hingga berusaha untuk lepas dari jeratan itu. Kail yang merobek mulut menyebabkan darah terkucur. Diri bergerak mengerahkan segala kemampuan untuk terlepas. Hingga secara berangsur tak terasa diri mulai lemas, dan Si Pemancing mulai menarik secara perlahan.

Akan tetapi, bagaimana kalau jerat itu merupakan kail cinta yang sengaja diperuntukkan untuk hamba-hambaNya yang akan dinaikkan ke dalam dekapan perahu asih-Nya? Tidakkah perasaan tertipu itu akan sekejap berubah menjadi sebuah kepercayaan? Tapi semua itu hanya akan terjadi setelah pengorbanan dan perjuangan telah banyak dilalui. Bahkan mesti merasakan kekalahan diri atas segala keyakinan yang sebelumnya mati-matian dipertahankan.

Kita harus kembali mencermati bagaimana kail itu ditarik secara perlahan dan bertahap. Kita seolah sengaja dibuat lelah hingga terluka akibat perbuatan kita sendiri.

Dalam salah satu kitab, keadaan seperti ini digambarkan dengan sebuah pernyataan seseorang kepada Kanjeng Nabi, “Ya Muhammad, cabutlah agamaku, karena aku tidak menemukan kedamaian.” Kemudian Sang Rasul menjawab, “Bagaimana mungkin agama ini membiarkan seseorang lepas sebelum membawanya ke tujuan?”

Semua ini bukan berarti sebuah ajakan untuk mendapatkan segala penderitaan ataupun rasa sakit yang sama. Masing-masing memiliki batasan dan juga limitasi cara bertahan yang berbeda. Terlebih jika mesti berhadapan dengan senyuman itu, tidak mungkin diri memberkian balasan suatu kejujuran dengan diri yang meronta-ronta penuh luka ataupun peluh, kecuali rona kebahagiaan yang hampir sama.

Namun, akankah itu akan menjadi sebab atas datangnya suatu hukuman atas kelalaian dan kedholiman diri? Layaknya awan yang menaungi Suku Madyan kala itu, nan keteduhan dan kesejukannya dikira akan mendatangkan hujan, nyatanya hanya akan menjadi tambahan azab dengan gelombang panasnya. Akankah kerinduan itu begitu saja akan melepaskan diri kita sebelum sampai ke tujuan?

Kasih, diri telah mendapat peringatan untuk tidak pernah memaksakan sesuatu yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan kekecewaan. Sebab jiwa atau diri kita ini hanya menjadi rumah bagi harapan dan juga segala ketakutan. Maka, seharusnya diri atau mungkin seluruh manusia hanya diperintahkan untuk meletakkan anak panah pada busurnya. Bukan, lantas menarik anak penuh tersebut sesuai kehendaknya. Sekalipun target bidikan kita adalah kebaikan, namun jangan sekali-kali kita biarkan kehendak diri menguasai, kalau tidak ingin suatu saat keputusasaan datang menyapa.

Tapi, bukan manusia kalau tidak berputus-asa. Bagaimana mungkin kita tidak berputus-asa ketika diri banyak dikecam oleh segala bentuk kehendak? Lalu, adakah kabar dengan kedamaian? Yang hampir terlupakan karena sapaannya yang terasa seperti kilat di antara gemuruh mendung keputusasaan.

Kasih, baik segala kejadian saat ini ataupun kelak yang masih belum kita ketahui, pada akhirnya akan membawa kita pada tujuan yang sama. Hanya saja, perjalanan ini takkan pernah terselesaikan tanpa adanya perjuangan yang banyak mendatangkan penderitaan bagimu. Maka terimalah, dan bersiaplah! Kalau tidak ingin semua itu menjadi sia-sia.

Tenanglah, diri ini tidak akan membiarkan kabut mendung kegelisahan itu mengaburkan cahaya senyummu. Menuju keabadian bersama.

Menyatukan Langkah dan Cinta di Rumah Maiyah

Tadabbur Selasan | 188

Di bawah cahaya rembulan yang gemilang, langkah-langkah hati yang bergetar menyusuri jalan cinta dulur-dulur Selasan Maneges Qudroh menuju Rumah Maiyah di Yogyakarta, dalam langkahnya pada putaran ke-188 ini. Di malam yang penuh kerinduan, sebuah acara tawashshulan dipercayakan menjadi bentuk perwujudan cinta kepada Sang Guru yang sedang sakit. Meski jarak tak dekat antara Magelang dan Yogyakarta, rombongan kami dengan hati yang penuh rela menyelaraskan langkah, bersatu dalam tekad untuk bergabung dalam acara mulia itu.

Dalam riuh rendahnya gemuruh doa yang mengiringi langkah, semerbak harum kesetiaan menyergap hati. Seperti bunga-bunga yang menari dengan angin, keikhlasan dan cinta bersemayam di setiap sudut perjalanan. Di antara pergulatan waktu dan jarak, tak terasa, cinta telah menyatukan langkah yang beribu-ribu kali terjauhkan.

Dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa.” (HR. Bukhari)

Ayat penuh makna ini menyiratkan sebuah janji dari Sang Pencipta yang begitu luhur. Saat hati bersatu dalam perwujudan cinta kepada Guru, janji-Nya datang bagai cahaya yang membelah gelapnya malam. Dalam setiap langkah menuju Rumah Maiyah, janji-Nya semakin nyata dan mengalun dalam kehadiran doa-doa yang khusyuk.

Di antara langkah-langkah kaki, tadabbur hadir dalam setiap hela nafas. Tawashshul yang diwujudkan menjadi panggilan jiwa untuk menyemai biji cinta, menaburkan kasih sayang kepada Sang Guru yang mencinta dan mendidik. Seperti padi yang bergoyang membelai angin, tawashshul membawa kehidupan baru di tengah-tengah hati yang dipenuhi semangat persaudaraan.

Dan peganglah erat-eratlah dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.(3:103)

Tali agama yang menyatukan, seperti untaian permata yang membentang. Dalam tawashshul ini, kami merasa dirangkul oleh ikatan tak tergoyahkan. Karena kecintaan kepada Sang Guru, kami menemukan kemanjaan dalam bersama. Di bawah bendera kasih, kami bersatu dalam langkah dan hati, membawa hikmah dan ilmu sebagai cahaya yang menerangi gelapnya dunia.

Di Rumah Maiyah, jalinan cinta dan pengabdian tergambar begitu indah. Seperti lukisan kisah cinta yang abadi, hati-hati terikat dalam kasih sayang, takdir dan ikhtiar. Mengutip dari bait-bait puisi tersembunyi, doa-doa suci mengisi setiap dinding ruangan, menerangi hati-hati yang berjuang mengecap kehadiran Illahi.

Sebuah perjalanan cinta, bukan hanya menghubungkan dua titik dalam ruang dan waktu. Lebih dari itu, ia adalah perjalanan roh yang mencari Tuhan dalam bentuk sang Guru. Dalam tawashshul ini, kami menemukan diri, menjadi utuh dalam ikatan kasih yang mendalam. Seperti lukisan senja yang mempesona, rona kebersamaan menjadi sejuk dalam gerak langkah yang selaras.

Di tengah kebersamaan itu, kesucian hadir sebagai sungai yang mengalir. Doa-doa yang tercermin dalam senyuman tulus, menghadirkan kesembuhan di setiap hela napas. Seperti daun-daun jati yang rimbun, hati-hati kami rindu untuk terus bertumbuh di bawah naungan cahaya Ilahi.

Dalam acara tawashshulan itu, tumbuh rasa syukur yang tiada terkira. Seperti bintang-bintang yang bersinar di langit, kesyukuran memenuhi hati-hati kami yang beriringan. Tawashshul mengajarkan kami untuk selalu bersyukur atas ilmu dan kebaikan yang diberikan oleh Sang Guru.

Sungguh, tawashshul adalah ladang keberkahan, tempat pohon-pohon cinta tumbuh dan akar-akar keikhlasan menyuburkan. Ia adalah jejak-jejak cinta yang tak pernah pudar, melintasi waktu dan ruang. Di setiap hela nafas, tadabbur hadir untuk menyirami hati-hati yang haus akan kebenaran. Menjalin tali cinta antara Guru dan murid. Di Rumah Maiyah, cinta menjadi bendera yang berkibar, menyatukan langkah dan mengalun dalam ayunan doa. Sungguh, tawashshul adalah perjumpaan yang tak terlupakan, dalam rangkaian cinta yang tak pernah usai.

***

Kadipiro, 11 Juli 2023

Cahaya (Guru) di Kegelapan

Guratan cahaya berkilauan pada punggung malam yang kelam, mengiringi langkah seorang Guru yang setia berjalan tanpa henti. Ia bukan sekadar pendidik biasa, melainkan seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang terus menerus menemani masyarakat yang terasing oleh negaranya sendiri. Tanpa pandang bulu, malam demi malam, ia menjalani perjalanan panjang untuk menebarkan kasih sayang dan pencerahan pada jiwa-jiwa yang diliputi kegelapan.

Tugas seorang guru tak sebatas mengajar ilmu pengetahuan semata, melainkan juga membuka pintu hati dan membangun kesadaran akan hak-hak asasi manusia bagi mereka yang hidup di tepi masyarakat. Guru bangsa ini, dengan sabar dan tanpa pamrih, memberikan waktu dan perhatian yang tak terbatas bagi siapa pun yang membutuhkannya.

Namun di balik senyuman dan dedikasinya, tersembunyi kenyataan pahit yang menggelayuti hati Sang Guru. Cinta yang ia simpan begitu mendalam, namun tak mampu mengubah realitas yang ada. Ia menyaksikan secara dekat bagaimana negaranya memperlakukan saudara-saudaranya dengan sikap yang tidak manusiawi. Meski hatinya teriris-iris, ia tetap tegar dan tidak memperlihatkan beban yang dipikulnya.

Bagi sorang Guru ini, mungkin keabadian raganya bukanlah harapan utama. Ia tak pernah memperdulikan waktu yang terus melahap usianya. Yang ia dambakan adalah aktualisasi doa penuh harapan bagi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang pernah dilupakan oleh negara. Mengajarkan kita untuk berdoa agar langit memberikan rahmat dan kasih sayang untuk saudara-saudaranya yang tertindas, agar takdirnya mendapatkan jalan yang lebih bercahaya.

Di balik senyapnya cinta, Sang Guru tahu bahwa amal perbuatan yang telah dilakukannya takkan pernah berakhir. Cahaya yang ia nyalakan di hati mereka akan tetap membakar di labirin-labirin kegelapan yang terasing dalam riuhnya gejolak pembangunan, dan pesan-pesan kebijaksanaan yang telah ia sampaikan akan terus terdengar, menggetarkan jiwa-jiwa yang pernah menemui kehampaan.

Sebagai masyarakat, kita perlu belajar dari teladan Sang Guru ini. Di tengah kesunyian cintanya, ia terus menerus bergerak untuk membawa perubahan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkannya. Kita semua punya peran untuk membantu mereka yang terpinggirkan dan terlupakan oleh negara, demi mewujudkan keadilan dan kemanusiaan yang sejati.

Mungkin cinta Sang Guru tak terucap, namun tindakannya yang tak henti mengajak kita untuk merenung, menggugah kesadaran kita untuk berbuat lebih banyak bagi sesama. Mari bersama-sama menerangi kegelapan dengan cahaya kasih sayang dan menghormati perjuangan para guru yang hadir sebagai pencerah di tengah kehampaan.

Dalam setiap jalan yang ditempuh sang guru, terbersit tekad untuk mengajarkan kita arti sejati dari jiwa ksatria. Sebagai ksatria sejati, bukan hanya fisik yang harus dikuatkan, tetapi juga jiwa-jiwa kita. Guru ini mengingatkan kita akan pesan, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (49:13)

Seperti ksatria yang berani melindungi rakyatnya, kita pun harus berani berdiri untuk melindungi dan membela mereka yang tertindas. Seperti ksatria yang gigih menjaga kehormatan dan keadilan, kita pun harus gigih menegakkan kebenaran dan keadilan untuk semua. Dan seperti ksatria yang bijaksana dan sabar menghadapi tantangan, kita pun harus bijaksana dan sabar dalam menghadapi perjuangan dalam mewujudkan keadilan dan kemanusiaan.

Melatih jiwa-jiwa ksatria bukanlah perkara mudah, tetapi Sang Guru percaya, ketika kita bersama-sama menuntut kebenaran dan menyuarakan keadilan, cahaya kasih sayang dan kebijaksanaan akan menerangi setiap jalan yang kita tempuh. Dalam hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.(HR. Muslim). Dalam perjalanan menjadi jiwa ksatria yang menerangi kegelapan, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan akan menjadi tongkat dan pedoman kita.

Mari kita ikuti teladan sang guru bangsa ini, untuk melatih jiwa-jiwa ksatria dalam diri kita. Bersama-sama kita berjalan, berjuang, dan menyebarkan cinta kasih di tengah kegelapan. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, kita akan menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Jadilah ksatria yang tak hanya berdiam diri, tetapi penuh dengan tindakan nyata. Dengan berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kasih sayang, kita akan menjadi pencerah bagi jiwa-jiwa yang tenggelam dalam kehampaan.

Dalam hati yang mendalam, tertanam banyak ingatan pesan Sang Guru, yang membara bagai nyala api di dalam malam. Mari kita membangun etos jiwa ksatria, dan bersama-sama kita bergerak menuju cahaya kemenangan ”hayya ’alal falaah” untuk keadilan dan kebaikan bagi semua. Semoga perjuangan kita menjadi ladang berkah dan keselamatan, serta menggapai ridha-Nya. Amiin.

Kosong

NYK | 021

Yang dianggap buruk, biarlah buruk. Asal kita tidak terpengaruh oleh itu. Jika keburukan itu mempengaruhi, kenapa diri-diri yang merasa baik tidak berusaha memperluas pengaruhnya? Kenapa tidak meminta langsung kepada Tuhan agar dunia dan seisinya hanya kebaikan yang terjadi?

Kita hanyalah seonggok daging yang diberikan kemungkinan untuk condong ke arah kebaikan atau sebaliknya. Tidak mungkin akan pernah terjadi kebaikan jika tidak terjadi godaan yang mengarah ke keburukan. Apabila dunia ini hanya diisi oleh siang, akankah hidup hewan-hewan yang beraktivitas di malam hari? Baik siang ataupun malam, dalam keduanya terkandung kebaikan pun keburukan. Begitu juga manusia.

Kita tidak akan pernah selesai dengan dualitas di dalam kehidupan yang penuh dengan cobaan. Dan di alam cobaan itu sendiri pasti melibatkan ujian, kesulitan, dan juga banyak marabahaya untuk segera bisa diatasi dan dilalui. Sebab oleh karena keadaan tersebut, manusia tumbuh menjadi dewasa, bijaksana, dan mungkin menuju kemuliaan.

Apakah mungkin kita menetapkan kemuliaan, tanpa melihat sesuatu yang hina. Kita hanya sebuah wadah yang diisi oleh banyak interpetasi yang mengandung banyak tendensi. Maka, penyesalan tidaklah menyapa tatkala kematian menyapa. Tetapi ketika kita sadar, bahwa telah banyak kita bergantung pada bayangan sia-sia saat hidup.

Tidak tengah segala keluh kesah ataupun penyesalan, masih lebih beruntung mereka masih diberi kesempatan untuk dipelihara dalam rahmat Tuhan, daripada mereka yang terbuang dan dibiarkan dalam ketersesatan. Hal itu bisa nampak bagaimana cara Tuhan tidak menodai ingatan mereka yang sedang dirundung banyak kegelisahan, dengan selalu mengingat kebaikan Tuhan. Bagaimana kebaikan itu akan terjaga, jika kepercayaan mulai memudar?

Sementara diri ini sejatinya adalah kosong. Dan akan kembali pada keadaan kosong pula. Bagaimana yang isi akan menyatu dengan isi yang lain? Bagaimana mungkin Yang Maha Tunggal akan tergantikan dengan eksistensi tunggal-tunggal yang lain?

Dualitas mungkin sebuah perbedaan, namun mungkin pula merupakan suatu pasangan. Keduanya hidup saling berdampingan, dan juga saling bergantian. Di satu sisi menghasilkan suatu dinamika dan getaran, sementara di sisi lain akan menjaga suatu keharmonisan. Itu semua hanyalah gambaran yang tercitrakan dari berbagai bentuk perjalanan dan hikmah. Yang tidak akan menjadikan diri sebagai “apa-apa”, sebab diri tetap bukanlah “apa-apa”, apalagi “siapa-siapa”.

Untuk apa pula kita mesti berkecamuk dengan pergelutan dunia yang begitu saja. Ataupun polemik pergaulan dan keintiman yang itu-itu saja. Untuk apa pula kita hidup berdampingan jika pada akhirnya hanya akan melatih kemunafikan antar sesama. Sekalipun diri telah banyak dihiasi dengan ilmu hitung, ilmu pandang, sekalipun keluasan cinta. Sedang diri masih memasang tarif harga yang tinggi di depan khalayak.

Tiada satu pun bagian dari tubuh ini, sekalipun itu kecantikan ataupun ketampanan yang tidak berasal dari ketiadaan/kekosongan. Pun dengan segala dualitas yang menyebabkan perbedaan, padahal tak lebih dari sebuah manifestasi penyatuan dengan wujud keindahannya. Bisa melalu berbagai wujud “keadaan” atau “kata” yang sudah pasti banyak ditemui setiap hari.

Kasih, apabila engkau bagian dari rusukku? Akankah engkau akan menjadi bagian dari penyatuan dalam kehampaan atau kekosongan itu? Atau akan tetap memilih untuk berserakan dalam segala ketidakjelasan yang tidak akan mungkin bisa dijelaskan, terlebih untuk dipastikan.

Sungguh, tidak ada harapan sama sekali untuk memilikimu. Kecuali, hanya untuk sedikit berbagi kebaikan ataupun kehinaan. Bersama menuju kekosongan itu, sediakah engkau?