Category Archives: novel

Epilog 1 –  Jika Ada Harap

Biasanya setelah Tama pulang dari arah utara, dia akan mengambil jalan pulang yang melewati rumah Layla. Sekalipun itu menambah jarak alias muter, tapi itu bukan masalah.

Tama hanya suka, Tama hanya ingin, siapa tau Layla dirumah. Dengan begitu Tama akan berada di titik yang terdekat dengan diri Layla. Tak harus bertemu untuk saling tatap. Tak harus menunggu rindu untuk saling sapa. Tak harus mendengar untuk saling mengungkap kata. Seperti itulah Tama.

Kalau toh Layla sedang tidak berada dirumah, setidaknya ada sesuatu tentangnya yang tertinggal di rumah itu. Sebisa mungkin selama perjalanan, Tama selalu membekali dirinya dengan bacaan Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat Kursi aku lafadzkan khusus untuk Layla dan keluarganya. Setiap satu putaran selesai, Tama tiupkan ke kepalan tangan kirinya.

Ya, itu Tama lakukan secara berulang sampai ketika Tama lewat depan rumah Layla, lalu Tama taburkan dengan membuka kepalan tangan kirinya. Pernah sesekali, ketika Tama akan menaburkannya, ternyata rumahLayla sudah terlewat. Lalu Tama taburkan saja disaat dirinya ingat, toh Layla juga pasti akan melalui jalan itu.

Dan jangan salah sangka, Tama melakukan itu bukan supaya Layla membalas upaya dari Tama. Tama juga tidak ingin mendapat perhatiannya. Apalagi mengharap balas cintanya.Tama tidak lagi “mencintai” Layla. Tama hanya “mencinta” Layla. Dan semua itu salah satu bentuk cintan Tama kepada Layla.

Memang hal itu sama sekali tidak membuat Layla kenyang, apalagi bahagia. Namun setidaknya, semua itu Tama lakukan semata-mata hanya salah satu bentu ibadahnya atas rasa yang Tuhan titipkan kepada dirinya. Tapi Tama sadar, bahwa munafik juga kalau tidak ada harap yang terbesit dari itu semua. Jadi, jikalau ada harap, Tama hanya menghendaki keselamatan, keterjagaan, dan kebaikan Layla.

“Aku akan selalu dibelakangmu. Menjaga cahayamu tetap menyala.” Kata Tama dalam hati.

IX. Musuhku dan Musuhmu

Hujan itu mendadak turun tanpa isyarat mendung seperti biasa selepas kepulangan Layla. Tama hanya termenung memikirkan apa yang sedari tadi ia lakukan. Kecemasan seolah menghinggapinya karena rasa takut akan kata-kata tadi yang telah tersampaikan. Suara rintik hujan itu pun menjadi teman atas kesunyian yang pasti segera datang menyapanya.

“Apakah aku terlalu sanggup untuk menanggung cinta ini? Sehebat itukah hati yang Kau titipkan kepadaku?” gumam Tama sembari meniti cahaya yang mungkin terselip diantara rintik hujan.

Sedang Layla hanya terdiam mencoba mencerna kata-kata dari Tama sebelum Layla pamit untuk pulang.

(“Maaf, Laa. Jika kau tak siap dengan keindahan luka-luka yang mungkin membuat hatimu tersayat. Jangan datang lagi kepadaku, karena hanya itu kepastian yang bisa aku tawarkan jika kau bersamaku. Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk terdiam.”)

“Maksudnya apa sih?” tiba-tiba Layla berkata sendiri. Priska yang disebelahnya pun terheran, “kamu kenapa sih, La? Apa perlu kita putar balik lagi?” timpal Priska.

“Ah, engga apa-apa koq.”

“Kamu mau bilang apapun aku ngerti dan paham banget mana yang jujur mana yang bohong. Tapi tenang, Laa, kalaupun kamu butuh temen cerita…”

“Cerita apa?” Layla memotong.

“Tamaaa dong siapa lagi, hahaha…” sahut Priska.

***

Siang pun terus berlalu begitu saja ditemani malam-malam yang setia menyimpan berjuta pengharapan. Waktu dan waktu kembali dilalui dengan penuh penantian. Sebuah penantian yang menghasut berjuta tanya untuk memilih langkah antara setia atau ingkar. Tapi, bagaimana bisa Tama bisa memilih ingkar dengan dirinya? Selain menampakkan kemunafikan di hadapan bayang kata-kata tentang realitas asih-Nya. Yang bermanifestasi dalam wujud seorang Layla.

Rasa itu tumbuh di ladang penuh ketidakpastian. Di hamparan fana akan sapaan rona rupa kehadiran Sang Pemilik Cinta. Sebuah rasa justru semakin membesarkan asa, saat raga memilih lari dari tatap-tatap yang hanya menawarkan pertemuan dan perpisahan. Bagi seorang Tama, rasa bukanlah sesuatu yang sanggup dikendalikan oleh dirinya. Dan bukan dirinya pula yang membuat dirinya kuat mengemban amanat rasa yang dititipkan kepada dirinya.

Di antara waktu penantian yang banyak memberikan pelajaran tentang makna sebuah rasa, di antara pertemuan rasa yang lebih banyak mengenalkan keabadian daripada pertemuan raga yang hanya menawarkan kesementaraan. Di antara angan-angan yang banyak menitipkan harapan meski banyak orang-orang menganggapnya sebuah ilusi. Tama berkata kepada angan Layla yang duduk di sebelahnya, “kata-kata ini terlalu memuakkan!”

Apa maksudmu? Apa kehadiranku sudah memuakkan bagimu?” sahutnya.

“Aku muak kepada mereka yang terlalu mempermainkan kata. Sedangkan kata-kata ini hanya bayang-banyang akan realitas. Yang selalu mencoba menafsirkan ataupun mengenalkan tentang kesejatian. Tapi, mereka ingkar akan kata-katanya sendiri.” Resah Tama.

Apa kehadiranku sekarang kurang bisa memberikanmu kesabaran?” balas Layla.

“Mengapa engkau berfikir seperti itu?” jawab Tama sembari tersenyum seperti biasa. “Aku tidak butuh wujudmu yang berkeliaran entah kemana. Yang penting, jika aku mengingatmu, hal tersebut menjadi pertanda bahwa aku memohon keselamatanmu.” Imbuhnya.

Pernahkah kau menghitung waktu tentang seberapa banyak engkau banyak menyia-nyiakan harimu dengan membiarkanku berkeliaran kesana-kemari mencari pelarian diri. Akan ketidakjelasan rasa yang engkau berikan. Bagaimana ragaku bisa tahu bahwa engkau sedang mengingatku, Tam?” geram Layla kepada Tama. “Apa artinya keselamatanku jika ragaku kau biarkan dalam kebingungan? Masih kurangkah waktu itu?” resah Layla akan keadaan yang memaksa mereka berdua mengenal arti perpisahan beberapa waktu lalu sebelum dipertemukan kembali.

“…”

Di saat yang bersamaan, Layla merasakan sesuatu yang kembali setelah sekian lama coba ia sembunyikan. Ketepatan yang dipertemukan bukan sebatas persamaan ingatan rasa di waktu yang sama, namun ketepatan yang butuh presisi rasa dengan penantian skala waktu dari jam hingga hitungan bulan.

Tama mungkin menerima kehadiran dalam bentuk angan, namun hal tersebut tidak berlaku bagi Layla. Logikanya selalu menolak hal-hal absurd yang datang entah darimana. Terlebih, latar belakang ilmu pendidikan yang telah dipelajarinya mengarahkan cara pandangnya akan gejala-gejala psikis yang mungkin dialami oleh dirinya.

Beribu prasangka pasti telah muncul dalam pemikiranmu. Tentang manfaat atau tidaknya menerima kehadiranku, hingga akhirnya buah prasangka itu hanya akan semakin meninggikan batas keenggananmu terhadapku.

Layla hanya acuh tak acuh mendengar sesuatu yang datang dari angan-angannya.

Bukankah ketika engkau pergi, engkau meninggalkan pertanyaan tentang maksud dari keindahan luka?”

Kata tersebut sedikit membuat Layla terdiam.

Jangan jadikan musuhku dan musuhmu sebagai sahabatmu. Datanglah kapanpun, kamu tau aku selalu menantimu.”

 “Musuhku…?” pikir Layla.

Ya, siapapun yang sanggup menahan jiwa dan hasratnya, maka ia akan menyatu dalam tempat tinggal keabadian.”

Hanya Tersisa Kata “Maaf”

Hari semakin senja, Layla hanya termenung setelah dirinya menghampiri Tama. Kegilaan-kegilaan itu tak muncul selain dirinya sendiri yang tak telah kehilangan kendali. Layla lunglai mengingat apa yang telah terjadi. Ada apa dengan dirinya? Mengapa yang terjadi justru demikian?

Keberanian seolah tiada arti jika omong kosong yang tersampaikan dalam pertemuan. Kesempatan itu akhirnya terbuang sia-sia untuk menyatakan saling. Daun-daun kering  yang berserakan di halaman rumah Tama seolah tampak ingin tertawa menyaksikan kekonyolan itu.

Tama nampak terkejut tatkala itu, seperti melihat keajaiban telah bertemu dengan hati dimana ia biasa menyatu. Oleh rasa yang tak pernah ia sangka-sangkai akan tumbuh semerbak bak sekuntum bunga melati di tengah hamparan Gurun pasir. Mustahil, jika apa yang nampak di depan matanya setelah membuka pintu adalah si Layla.

Seperti biasa, seyum itu seperti prasmanan yang bisa tiap kali kita pilih untuk disantap di warung-warung tegalan. Namun, Tama lebih terlihat enggan untuk menyantapnya dan lebih memilih bersikap biasa saja. Terlebih Layla juga datang bersama Priska.

Dengan raut terkejut, Tama mempersilahkan Layla dan Priska untuk masuk ke dalam rumahnya..

“Mau minum apa? Sekalian mumpung berdiri, biar nanti bisa santai.” Tawar Tama.

“Engga usah, Tam. Kita Cuma bentar kok…” Jawab Layla.

“Ya gak boleh gitu, namanya tamu mesti diperlakukan seperti raja. Kalau gak mau milih tak buatin seadanya, soal diminum apa engga gapapa.”

“Aku jangan manis-manis ya, Tam.” Sela Priska sembari meringis.

“Sapp, gak lagi diet kan?” canda Tama.

Tama pun akhirnya berhasil melarikan diri sejenak. Membuatkan minum tak lebih dari sekedar alasan bagi Tama untuk membuang rasa gugup sekaligus bahagianya. Tama pun di dapur nampak kebingungan, tidak tahu akan berbasa-basi apa terhadap Layla yang tiba-tiba mendadak datang kerumahnya.

“Ini silahkan, minumannya… Ada perlu apa ni kok mendadak datang kesini? Tumben banget.”

“Emm, anu… “ Layla pun nampak kebingungan menjawabnya sembari matanya melirik ke arah Priska. “Tadi kan abis nganter ke tempat saudaranya, karena lewat jadi mampir deh kesini, gak ganggu kan?” lanjutnya.

“Engga, justru… Duhhhh!!!” kata Priska terpotong akibat cubitan dari Layla. Sebuah kode untuk jangan mengatakan alasan sesungguhnya. “iya, tadi habis dari tempat Budheku di kampung sebelah,”

“Oww, kirain ada yang mau ngasih undangan.”

Ngawur aja kamu, Tam!”

Layla yang datang ingin mempertanyakan maksud dari kata-kata yang dirangkai oleh Tama lewat pesan-pesan yang ditulisnya, tertahan karena ikutnya si Priska. Giliran Layla yang kini terlihat gelisah oleh keingintahuannya tersebut.

Gelagatnya pun terlihat sangat jelas. Tama yang mengetahuinya mencoba untuk tidak memberikan respon. Pasti ada sesuatu yang membuatnya datang kemari. Tama tidak ingin tahu jika Layla sendiri enggan untuk menyampaikan. Bagi Tama, dengan kedatangan ini pun sudah lebih dari cukup.

Tama sedikit mengingat kata-kata dari kawannya ketika pergi ke Gunung Kidul beberapa waktu lalu. Saat itu, Tama dan kawan-kawannya iseng membicarakan tentang cinta. Bagi gerombolan laki-laki membicarakan cinta mungkin terkesan lucu bahkan lebay, kecuali jika membicarakan cinta akan wjud atau bentuk tubuh dari manusia bernama wanita.

Namun, saat itu pembicaraan sedang tidak mengarah kesitu. Akan tetapi, untuk lebih dalam berbicara tentang kendala untuk merajut cinta. Terutama bagi yang belum memiliki istri. Kebetulan saat itu dari mereka, terdapat 3 orang yang sudah menikah. Jadi bisa memberikan sedikit cerita-cerita berbau nasihat tentang percintaan dari pengalaman yang telah dilalui.

Ketika giliran Tama berbicara tentang pengalaman rasa yang telah dilaluinya. Bagaimana ia selalu didatangi oleh angan sekalipun ia telah memohon Tuhan untuk segera menghilangkannya. Atau bagaimana Tama pada akhirnya menyerah dan lebih memilih untuk menerima kedatangan angan itu sekalipun tak pernah ia meminta kedatangan raganya. Lantas, bagaimana pertemuan itu hanya tersambung oleh doa-doa yang selalu coba Tama titipkan lewat semesta ataupun lewat kata-kata yang tak sengaja tertulis.

Angga, salah satu kawan Tama pada waktu itu hanya tersenyum sembari berkata,”kalau itu memang cinta sejati, kamu harus hati-hati Tam. Biasanya yang sejati itu malah jarang ada yang bersatu. Cinta itu tak butuh sejumlah pertemuan atau balasan sapa. Namun, cinta itu akan selalu tumbuh dengan sendirinya.”

“Apakah mungkin aku telah lulus mencintanya?” Tama saat itu menanggapi.

Dan pada kenyataannya, saat ini angan itu tepat berada di depannya, menyapanya, menghampirinya. Layla, angan yang selalu menjadi wujud manifestasi rasa cinta seorang Tama kepada Tuannya.

“Tam tam…” sayu si Layla sembari mencoba menepuk kaki si Tama yang terlihat melamun. Wajah Tama pun seketika memerah, seolah tersadar bahwa Dia sekarang ada di depannya. Bahkan tangan dengan jari-jemari yang mungil itu telah menggetarkan kekosongannya. Angan itu seakan menerobos batas-batas realitas yang mungkin selama ini Tama bangun sendiri.

Dengan sedikit kebingungan, Tama pun mencoba mencari pelarian,”Oh iya, ada apa kamu kemari?”

“Bukannya tadi aku sudah jawab ya, Tam. Kamu gak percaya sama aku?” Layla pun mencoba menggertak, meyakinkan Tama agar niat sebenarnya tidak diketahui. “Kok malah terlihat bingung sih?” lanjutnya.

“Eh, maaf… Aku lagi mikir rasanya koq uda lama kita gak bertemu, padahal belum lama ini kita sempet ketemu ya di Gunung. Waktu itu kamu sama si Rendi.” Balas Tama.

“Waw, iya po Tam? Tumben-tumben kamu Laa mau keluar sama si Rendi. Biasanya aja sok jual mahal.” Sahut Priska.

“Apa sih kamu, Pris! Oh iya, gimana kabar Antok, dimana dia sekarang?” sambung Layla.

Mereka pun akhirnya saling berhasil menyembunyikan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan dengan membicaakan pertemuan waktu itu. Mereka saling membalas senyuman dan tatapan. Meskipun ada Priska, tetapi mereka tetap asyik berdua. Priska, sahabat lama Layla itu pun memahami keadaan Layla. Dan mencoba untuk memberi waktu serta ruang bagi mereka agar dapat menikmati perjumpaan yang bisa membuat sahabatnya sebegitu senangnya.

Selama pembicaraan itu, Tama hanya menerka dalam hati, “Akankah Engkau berikan jawaban ini?” Begitu pun dengan Layla yang mencoba untuk mencari celah untuk mengajukan sebuah tanya,”Adakah sesuatu yang kamu ingin sampaikan kepadaku langsung, Tam? Tentang makna dari semua yang telah kau tuliskan kepadaku.” Tapi, baik Tama maupun lama tak ada yang berhasil mengutarakan apa yang ada di benak masing-masing.

***

Setelah pertemuan itu, Layla sangat berharap sekali agar Tama berani menyapanya. Sekalipun itu hanya sebuah pesan singkat. Apapun. Layla menunggu agar Tama memberanikan diri atau setidaknya membalas kunjungannya waktu itu. Namun, apa yang Tama tunjukkan sama sekali tak sesuai dengan apa yang diinginkan Layla. Tama sama sekali tak acuh terhadap Layla.

Manusia seperti Tama memang sangat dimengerti. Banyak yang mencoba memberikan perhatian kepadanya, tapi sama sekali Tama enggan untuk menanggapi perhatian-perhatian yang datang kepadanya. Setelah pertemuan itu, Tama merasa perasaannya semakin tak tertahankan.

“Tuhan, adakah cara agar aku bisa memberikan pelukan kepadanya? Tanpa memberikan luka.” Tama memohon di dalam doanya. “Bagaimana mungkin kau menumbuhkan rasa seperti ini kepada Layla, jika Engkau sama sekali tak memberikan cara untuk mencintanya dengan tepat.” Lanjutnya mencoba untuk menawar perasaannya.

Ya, Tama memang bukan seorang yang mudah untuk bermain-main kepada perasaannya. Sekalipun ia seorang yang pandai dan handal dalam merangkai bualan-bualan yang diejawantahkannya dalam kata-kata. Namun, sekali-kali ia tak pernah mempermainkan hubungannya kepada hamba Tuhan yang lain, terlebih kepada Layla.

Gadis mungil yang selalu memberikan kekuatan kepadanya dalam mengarungi jalan keindahan hidupnya selama ini dengan sakit-sakit yang entah kalau bukan karenanya, akankah Tama akan merasa diselamatkan.

“Maaf, Laa. Jika kau tak siap dengan keindahan luka-luka yang mungkin membuat hatimu tersayat. Jangan datang lagi kepadaku, karena hanya itu kepastian yang bisa aku tawarkan jika kau bersamaku. Oleh karena itu, aku lebih memilih untuk terdiam.” Sapa Tama kepada angannya yang datang memberikan kabar tentang kecemasan seorang Layla yang menanti kedatangannya.

Hanya tersisa kata maaf yang selalu Tama pesankan kepada semilir angin yang menyapanya. Hanya tersisa kata maaf karena dirinya enggan untuk memahami keinginannya dan justru memilih menjadi jahat. Sekalipun, apa yang Tama lakukan sebenarnya dilakukan demi waktu yang sudah siap menebaskan pedangnya jika Layla menuju kepadanya. “Maaf Laa, aku hanya tidak ingin kehilangan tawamu.”

VII. Isyarat Keberanian dalam Sebuah Pesan

“Entah apa yang merasukimu?” pikir Tama terheran melihat layar komunikasi virtualnya mengeluarkan notifikasi sebuah pesan dari Layla. Berapa lama waktu yang telah berlalu. Mengarungi keheningan rindu yang telah latah dengan sendirinya. Namun badan yang setengah sadar setelah beberapa hari tak henti menyandarkan raga, menyebarkan cintanya, hanya sekejap merespon keheranannya. Rajutan makna yang sedang ia tulis pun Tama letakkan sejenak.

Tidak ada ketertarikan, semua berlangsung biasa saja dan singkat, meskipun itu dari Layla.

Tidak ada harapan bahkan memberikan ruang sedikitpun bagi nafsu yang nantinya membutakan atau menggelapkan ketulusannya kepada Layla.

Sembari memejamkan mata, Tama mesti berperang dengan semua kehendak dan keinginan. “Bukankah aku sudah terbiasa dengan keadaan tanpa sapa, tanpa kata, pun tanpa tatap?” Apa yang sebelumnya membuat heran mendadak menjadi biasa saja. “Lagipula kalaupun itu Layla juga sudah terlalu sering menyapaku, kan?” lanjutnya.

Sebelumnya, Layla pun juga telah mempersiapkan sesuatu agar bisa memastikan kegilaan Tama. Agar memiliki alasan untuk menghubungi Tama. Dan untuk kali pertama juga, Layla menjadi wanita yang normal karena harus mencari alasan untuk menghubungi seorang lawan jenisnya.

Tidak usah terlalu mendramatisir, karena cerita berkesinambungan ini pun bukan cerita bergenre drama atau romansa yang penuh percintaan. Hanya sebuah representatif dari seorang Layla, yang fana dan penuh makna.

 ***

Malam harinya, Tama berkumpul dengan teman-temannya. Disana, mereka saling menceritakan kisahnya masing-masing setelah tak bertemu sekian lama. Sebagian kecil dari temannya telah berkeluarga, sehingga apa yang menjadi topik pembahasan adalah perihal perjalanannya membangun sebuah keluarga.

Tentang bagaimana kebahagiaan yang datang selalu berimbang dengan kegelisahan yang juga datang. Tama dan teman-temannya yang belum memiliki pasangan pun memperhatikan obrolan itu dengan seksama. Agar bisa dijadikan sebuah pembelajaran.

Hingga temannya lantas bertanya, “Lha, kalian kapan akan segera menyusul? Terutama kamu, Tam! Cari pasangan dulu sana!” Semacam sebuah motivasi atau celaan mengingat usia mereka yang sudah melewati masa mudanya.

“Aku? Melihat kalian bahagia dan masih bisa berkumpul seperti ini pun sangat cukup. Kalau maksudmu jodoh, tinggal menunggu waktu dipertemukan. Bukannya semua sudah diciptakan berpasang-pasangan?” jawab Tama dengan santai.

 “Tapi sepertinya kamu tidak ada usahanya untuk mendekati siapa gitu?”

“Jangan bilang kamu masih belum move on!”

“Tapi, si dia (Layla) bukannya sekarang dekat sama Rendi yaa?”

Teman-temannya ini sepertinya berusaha memojokkan Tama untuk bercerita sesuatu.

“Kalian tidak tahu ‘kan bagaimana si Tama ketika gak sengaja ketemu Layla di Gunung Andong?” sahut Antok yang pada waktu menemani Tama dan tidak sengaja bertemu dengan Layla.

“Sial…! Emang aku kenapa?”

Antok pun menceritakan ketidaksengajaan itu kepada teman-temannya. Memang sudah menjadi hal yang biasa kami untuk saling berbagi cerita karena kedekatan yang sudah terjalin begitu lama antara Tama dan teman-temannya. Bagaimana Tama dan Layla saling canggung, bahkan ketika mereka bertatapan pun diceritakan dengan detail oleh si Antok.

“Kalau masih ada rasa gapapa, Tam. Hanya saja jangan sampai perasaan itu menutup pintumu buat yang lain.”

Tama pun hanya tertawa sambil berkata, “Hahaha… padahal aku membiarkan rasa ini tumbuh dan berkelana dengan sendirinya. Aku tak pernah mengekangnya, apalagi mencoba untuk mengendalikannya.”

Dalam perjalanan pulang, Tama memikirkan tentang Layla menurut apa yang menjadi penilaian teman-temannya. Mereka hanya melihat pada apa yang nampak. Sebuah ikatan cinta menurut pemahaman teman-temannya adalah bagaimana sebuah hubungan itu menjadi satu. Namun, makna cinta yang menjadi dasar sebuah hubungan bagi Tama lebih dari sekedar itu. Yaitu tentang bagaimana seseorang akan terus mencinta tanpa sepatah balasan kata pun dari orang yang dicintainya.

Absurd memang! Jika mencintai sebatas wujud ataupun menjadi satu, hal itu hanya akan memberikan pelajaran tentang kehilangan. Dan pengalaman seringkali seperti itu sudah sering dialami oleh Tama. Seolah Tuhan tidak ingin diduakan jika cinta seorang hamba-Nya melebihi cinta kepada-Nya. Dan seakan-akan hanya Dialah Sang Maha Pencemburu dan hanya Dialah kesejatian yang layak untuk mendapatkan cinta.

Wajar saja jika rindu itu selalu menguak. Membakar gua persembunyian yang memaksa keluar untuk berjalan menemukan manifestasi cinta-cinta yang begitu banyak berserakan di jalanan dan ingin untuk disapa. Membentuk sebuah angan rupa seorang hamba yang selalu menghampiri tanpa pernah mengetahui kenapa Tuhan memberikan wujud rupa itu.

***

Sebuah pesan dari Layla, seketika berubah menjadi rindu. Namun pesan sudah tak lagi bisa diperpanjang. Tidak ada cerita, karena hanya akan menambah ketidakjelasan alur dan arah pembicaraan. Hanya sebuah kesepakatan angka untuk bertemu yang akan menjadi akhir.

Detik demi detik menambah gelisah Tama. Mungkin Tama sudah terbiasa bertemu, akan tetapi kali ini menjadi sesuatu yang tidak biasa. Layla yang biasa datang mewujud angan, kini berani menyapa meski membawa alasan.

“Eh, beneran ini yaa?”

“Paling juga sebentar.”

“1 menit, 10 menit, 1 jam, selamanya?”

“Terus apa yang mau diobrolin?”

“Apakah bisa bertemu lagi?”

“Menunggu, Candu!”

Berbagai macam pemikiran mulai berbicara di dalam benak Tama. Keheranan yang justru baru dirasa sekarang daripada ketika waktu setengah sadar menerima pesan tersebut. Sepertinya kegilaan yang tersembunyi atau bahkan memang tak tersalurkan. Sudah mengendap, lalu kembali digali.

Tama telah banyak sekali memelihara rasa lewat tulisan-tulisan yang kini menjadi sesuatu yang disukainya. Bahkan dari kebiasaan menulis tersebut, Tama mulai bertemu banyak orang yang tidak disangka-sangka dan banyak memberikan pelajaran kepadanya.

Ada satu buah kata Tama yang diberi judul ‘Jika Aku Mendekat, Larilah’ merupakan sebuah pengungkapan akan ketakutannya. Ketidakpantasannya. Atau seperti hubungan-hubungan yang sempat disinggung oleh teman-temannya yang pada akhirnya hanya kan memberikan sebuah pelajaran tentang bagaimana luka, rasa sakit, bahkan kehilangan.

Oleh karena itu, Tama lebih memilih bersembunyi ke dalam gua. Mengasingkan diri dari segala zaman yang menuntut segala kemajuan, namun justru kemunduran. Bertapa dari segala kesenangan-kesenangan sementara, dan memilih berada dalam kesederhanaan-kesederhanaan yang membuka pandangan tentang keabadian. Dan memilih setia kepada rasa, yang tak pernah tahu siapa yang memupuknya dan menyiraminya.

Karena cara menumbuhkannya bukan dilakukan pada umumnya yang mesti terbiasa untuk bertemu, ada kesepakatan rasa terutama cinta untuk saling menjaga. Sedang apa yang dilakukan Tama dilalui dengan cara yang berbeda. Tidak ada pertemuan dan sama sekali tidak ada kesepakatan rasa. Namun, justru hal itu tumbuh dengan subur karena menemukan siapa yang paling berhak menciptakan dan menumbuhkan rasa.

(-)

Keberanian itu nampaknya tidak diambil begitu saja oleh Layla. Priska yang beberapa waktu sebelumnya menghampiri Layla ikut ambil bagian dalam untuk memastikan kegilaan seorang Tama. Priska yang tak sengaja membuka buku yang tergeletak di meja Layla pun memancing Layla untuk sedikit bercerita tentang rasa.

“Kamu gimana sama Rendi, Laa?” tanya Priska.

“Apasih kamu, Pris. Tiba-tiba pertanyaanmu aneh.” Jawab Layla sembari merapikan buku-buku yang berserakan diatas meja.

“Ya, aku penasaran aja. Siapa tau kamu sudah bosan dengan kesendirian dan mulai menemukan kepercayaan atau rasa penasaran kepada seseorang. Dan yang laki-laki yang paling dekat denganmu kan hanya si Rendi.” Gurau Priska.

“Haha, belum… tenang aja, nanti aku pasti cerita deh kalau misal aku butuh saran-saran tentang percintaan.”

“Ahhh… Mustahil kamu cerita, Laa. Kayak aku baru kenal sama kamu aja.” Priska seperti menyerah. “Atau jangan-jangan ada yang lain nih yang mungkin aku belum kenal?” lanjutnya. Priska pun berpikir tidak mungkin kalau buku yan ia tak sengaja barusan dari Rendi.

“Apa to Pris? Sudah ah, bahas yang lain saja.”

“Terus ngapain kamu nyuruh aku kesini? Itu tadi buku yang kamu beresin dari siapa?”

“Aaaaaaaakkkkkk, aku lupaaaaa…… Kamu baca apa? Sampai mana?”

“Kamu tuh gak berbakat nyembunyiin sesuatu dari aku, Laa. Tenang aku cuma baca selembar puisi aja, aku tau diri dan pingin denger dari kamu langsung aja.”

“Yang dulu pernah aku ceritain ke kamu itu lho, terus loss kontak!”

“Dari beberapa laki-laki yang pernah kamu ceritain, sudah pasti itu si Tama, iya kan?”

Layla pun mengangguk-ngangguk tersipu malu. Dan mulai menceritakan kepada Priska tentang kegilaan makna yang ia tulis di dalam bagian buku itu.

“Seolah selama ini dia selalu menyatakan cinta, menyapa dalam kesunyian, mengisyaratkan rasa setiap hari. Aku hanya bingung mesti.”

Priska pun hanya tersenyum melihat kerinduan yang seolah sudah terbayar di dalam raut wajah sahabatnya. Sangat jarang bahkan tidak pernah ada kegelisahan semacam ini sekalipun sahabatnya, Layla, telah melakukan penolakan terhadap beribu pria. Namun, hari ini Priska melihat sesuatu yang berbeda.

“Emang Tama gak pernah ngajak ketemu?”

“Pernah, sesekali, tapi mesti pas aku gak bisa karena ada acara. Tapi, ternyata dia pun setengah mati ingin menyapaku karena begitu memahami kebiasaanku.”

“Kapan kamu terakhir kali menyapanya?”

“Gak pernah.”

“Gimana sih kamu, Laa. Coba sekali-kali kamu yang ngajak. Sesibuk apapun dia pasti akan menyempatkan, pun jika ada sudah ada agenda lain, Tama pasti merelakan waktunya demi kamu. Tidak seperti kamu!”

Layla pun hanya terdiam, memperhatikan , dan menimbang saran sahabatnya ini.

“Aku akan menanti, apa ini hanya rasa bersalahmu atas Tama, atau memang penantianmu, atau sekedar permainanmu seperti biasa, hahaha….”

***

“Mau kemana, Laa? Sendirian?” tanya ibunya melihat Layla sudah nampak feminim.

“Keluar sebentar, bu. Mau ngasih titipannya temen kemarin. Ada yang lupa tidak kebawa.”

“Temen, apa temen? Goda Sang Ibu.

“Priska, iboooooo….” Jawab Layla yang mesti sedikit tidak jujur kepada ibunya.

Ternyata Layla hanya butuh keberanian. Selama ini dia hanya menyalahkan dirinya sendiri, namun itu berubah setelah Tama mengisyaratkan sesuatu kepada Layla lewat kata yang telah tersampaikan. Meski sudah terasa sangat canggung. Selama itu pula Layla merasa seolah hatinya berkata iya, namun kesadarannya selalu saja membantah.

Baik Tama maupun Layla telah mencurahkan keberaniannya masing-masing. Meski membutuhkan rentang waktu yang berbeda. Namun apa artinya rentang waktu tersebut, jika hal itu dapat terlipat dengan pertemuan. Meskipun harus dengan dibayar dengan ongkos rindu yang meski terpendam oleh keberanian yang lebih dahulu dinyatakan.

(klek… klek… klek… suara kunci terbuka)

Apakah pertemuan nanti akan berarti seperti kelahiran kembali? Ataukah hanya sekedar silaturrahmi? Pada akhirnya, sebuah mantra terbalaskan oleh sebuah pesan virtual yang mempertemukan. Semesta pun mengabulkan pertemuan tanpa melibatkan keinginan. Lantas alasan apa yang memberanikan Layla untuk melihat kegilaan Tama?

(Bersambung)

Angan di Antara Angan-Angan

Selaksa tingkah menggetarkan qalbu. Di setiap temaram yang telah lalu. Tak peduli jika Layla mulai berkabut dengan keinginan-keinginannya. Sebenarnya tak ada masalah sama sekali, karena masalah itu menjadi akibat dari keresahan diri. Yang lebih banyak datang dari keinginan-keinginan. Dan pada akhirnya, cinta yang menjadi semakin kalut. Layla seperti tidak peduli dengan suatu angan yang menghampirinya. Dia seolah tahu bahwa angan itu tak lebih dari sebuah khayalan. Kosong.

Layla kemudian teringat tentang buku yang pernah diberikan oleh Tama saat bertemu di Pasar Beringharjo waktu itu. Karena kesibukan semasa masih di tempat perantauan, Layla sampai lupa atas pemberian tersebut. Karena penasaran, Layla pun bergegas menuju kamar mencari kotak kardusnya yang sudah usang tersudut di lompetan kamar karena hanya berisi barang-barang yang sudah tak terpakai.

“Ah, kamu!” sapa Layla kepada kaktus yang terdapat di tepi jendela sebelum masuk gudang kamarnya,sembari tersenyum mengingat kaktus berwarna merah yang dulunya mungil kini terlihat gagah. “Kamu kangen tuanmu gak? Aku kemarin barusan ketemu lhoo.. Sebelumnya kamu yang terlihat aneh, tapi sekarang justru tuanmu yang nampak lebih aneh.” Lanjut Layla sembari membayangkan pertemuannya di lereng berkabut itu.

Karena keanehan tersebut Layla nampak semakin penasaran dengan apa yang dicarinya. Tapi, kotak kardus yang dicarinya tidak ada pada tempatnya. Ibu Layla nampaknya tadi pagi telah membantu membersihkan kamar Layla. Karena Ibunya memahami, jika Layla tidak suka merapikan barang-barangnya.

“Buuu,,, Ibuu,,, kotak kardus Layla yang dari Jogja ibu taruh mana yaa? Koq disini gak ada?” tanya Layla dari dalam kamarnya.

Ibunya yang kebetulan sedang memasak di dapur menjawab, “Oiya, tadi pagi ibu pindahin beberapa kotak ke bawah, Nduk. Coba cari disini.”

Layla pun segera turun dan menghampiri ibunya, “mana, Bu?”

“Itu di bawah tangga… ada yang penting po? Tumbenan kamu nyari barang-barang yang sudah dimasukin kardus. Biasanya juga udah gak diperhatiin.”

Sembari mencari Layla menjawab, “Kepooo deh ibu… “

“Hahaha, gimana kamu sama Rendi? Udah ada niatan mau serius? Atau ada yang lain? Jangan-jangan kamu gak inget sama usiamu, atau malah gak pingin niat bikin ibu seneng, kalo ibu punya cucu?”

“Hmmm, kannnn… kannnn.. mulai deeehh, ngikut ibu aja yang paling suka yang mana, hehehe…”

“Lhoh, kamu ini gimana to?”

“Naaaahhh, ketemuuuu…!!!” Layla girang menemukan buku pemberian Tama.

“Owalaah, dari Tama pasti yaa…??”

Layla mendadak terkejut, “Kok ibu tauuu? Ibu uda buka yaa?”

Ibunya dengan santai menjawab, “Siapa lagi kalau bukan Tama yang suka dengan buku. Jangan-jangan kamu hilang ingatan yaa?” Nada ibu bercanda memberikan kode bahwa dulu hampir Tama terus yang dibicarakan dengan ibunya.

Layla pura-pura bodoh, “iyaaaa, mungkin bu.” Dan memutuskan untuk membantu ibunya terlebih dahulu di dapur. Sembari melakukan kebiasaan para wanita di dapur, ngrumpi. Tapi hal tersebut justru terlihat aneh di mata ibunya.

“Tumben, Nak?”

Layla pun hanya tersenyum manis membalas pertanyaan ibunya.

***

Sebuah ingatan 8 tahun yang lalu tentang Layla tersebut sangat berkesan bagi Tama.  Bagi Tama, ingatan tersebut kini menjadi sesuatu yang menggembirakan untuk diingat kembali. Sekaligus pertanyaan, meski dengan cinta seperti apa kamu hendak memilih? Sebuah pertanyaan sederhana yang sampai sekarang belum menunjukkan tanda-tanda menyingkap rasa memiliki.

Malam-malam merupakan waktu yang dinanti oleh Tama. Memanggil dia tanpa suara paksa. Menghadirkannya tanpa secerca rasa ingin menatap pesonanya. Menemani Tama dengan harap akan memberi terang akan kegelapan. Atau jangan-jangan, Tama hanya sedang tidak sadar bahwa disanalah Layla selalu tinggal.

Benar saja, seketika itu angan (Layla) itu datang.

“Sudah terlalu banyak yang kau miliki, bahkan lebih banyak lagi yang ingin memiliki seutuhnya dirimu. Sebelum kamu menemukan penjagamu, kekhawatiran ini hanya akan terus membakar. Dan kamu tidak perlu mengetahui. Aku sendiri juga tidak peduli dengan yang membakarku karena yang terbakar tidak akan pernah padam hanya untuk menjadi abu.” Tanpa basa-basi tapa mengatakan apa yang selalu ada di dalam benaknya. Setelah pertemuan-pertemuan yang tidak pernah disengaja. Karena janji kata hanya selalu menguap, entah kemana.

“Disaat kamu selalu datang mengajakku berbicara dalam kesunyian. Sementara aku tak punya kuasa untuk memanggilmu dalam keriuhan. Entah itu kamu ataupun sekedar aku yang mempertemukan. Sekali lagi aku sudah tak peduli.”

(Angan Layla mendengarkan dengan raut wajah datar)  

“Atau sudah banyak yang harus kamu jaga, sehingga kamu sendiri lupa?” Tama melanjutkan apa yang ia rasakan.

“Apakah kamu tahu mengapa kita berada di tempat seperti ini? Penuh dengan delusi ataupun ilusi? Berada di ruang yang tak akan bisa dimengerti oleh siapapun, kecuali hanya kita. Bagai angan di antara angan-angan kehangatan yang lain.  Tidak hanya menjadi angan yang selalu kau nantikan, meski sesekali kau coba usir dan acuhkan kehadiranku. ” Angan Layla menjawab.

“Hmmm, kita? Aku disini membawa ragaku, sementara kehadiranmu kau maknai sebagai apa? Disaat hanya yang nampak hanya aku dengan kegilaanku yang lain.”

“Lantas mengapa engkau bertahan, Tam? Kalau kamu mengetahui ruang ini hanya menyulitkanmu.”

“Benar, ini hanya akan menjadi sesuatu yang sulit bagi yang tidak benar-benar melihatnya (Layla). Ketika ia berusaha mencintai dirinya sendiri. Sekalipun angannya, selalu hadir menwarkan perhatian dan kehangatan kepadaku.”

Malam pun berjalan dengan tidak sewajarnya. Perputaran detik demi detik itu seolah telah menipu dengan kewajaran percepatan tiap denting detiknya selarut ini. Ketika mereka sedang bersama, tidak berlaku segala waktu. Meski bagi Tama, semua itu hanyalah bagian dari kemesraan atas nama rindu. Dalam senyap.

***

Tama menjadi teringat akan sebuah masa dimana ia begitu mencintai dirinya dan terus berusaha menebarkan asumsi tentang belajar mencintai dirinya. Akan tetapi, ada suatu kejadian yang bertabrakan dengan perasaan tersebut. Cinta yang datang lebih besar, yang sanggup meniadakan yang ada ataupun menghidupkan yang seolah telah mati.

Ya, rasa mencintai diri seolah buntu setelah bertemu dengan banyak kehilangan cinta yang selama ini memenuhi diri Tama. Antara buntu atau berevolusi menemukan bahkan menyelaraskan sesuatu yang lebih tepat. Rasa mencintai diri itu tumbuh selama proses mengenali diri. Karena ada sesuatu yang megah, yang agung yang berada dalam diri manusia.

Buat apa kita mencintai diri kalau pada akhirnya apa yang dicintai bakal mati, hilang, lenyap? Bukankah kamu mencintai diri hanya untuk memberikan kenyamanan pada dirimu sendiri, mencari keselamatan dari segala kemungkinan ketidaknyamanan, bahkan menemukan kenikmatan di segala ketidaknikmatan yang berserakan di pikiran. Sekalipun semua yang mati, hilang, dan lenyap pada akhirnya hanya sebatas prasangka.

Setelah rasa kehilangan yang datang bertubi-tubi tersebut, yang tentunya menyayat bahkan menusuk hati hingga tak terperih rasa yang berdarah tanpa darah, berteriak tanpa suara, bahkan menangis tanpa air mata. Tama jatuh, tanpa seorangpun yang mengetahui karena Tama nampak baik-baik saja dengan senyum yang selalu merekah. Semua menyangka, Tama adalah seseorang yang tegar setelah mengalami peristiwa-peristiwa na’as yang menyapanya.

Akan tetapi dari lubang-lubang yang menganga akibat luka itu, Tama seolah semakin menemukan apa yang ia cari di dalam dirinya. Ketidaknyamanan, ketidaknimatan, bahkan kematian menjadi sesuatu yang telah Tama rasakan. Tama menjadi tersadar, jika selama ini ia mencintai hanya untuk menghindari kejadian-kejadian tersebut. Tapi, hal tersebut tak akan mampu kita hindari sebaik apapun kita merencanakan hidup. Akan selalu ada luka yang menghujam ke hati yang pasti akan dirasakan setiap insan yang mengalami kehidupan. Seolah, itulah cara Tuhan memberikan pelajaran tentang kebijaksanaan dan kearifan.

Disaat itu pula Tama menemukan bahwa mencintai diri bukanlah sesuatu yang perlu dipelajari, karena mencintai diri sendiri sudah menjadi naluri dan terpatri secara otomatis untuk sebaik mungkin menyelamatkan jiwa. Bahkan mencintai diri akan melaju selaras ketika diri membaur dalam keharmonisan dengan semesta raya. Bahwa aku bukanlah bagian dari semesta, namun semesta-lah yang merupakan bagian dari diriku. Yang harus Tama bagi cintanya dengan semesta yang dimilikinya. Yang tak memperdulikan lagi kendaraan yang Tama tunggangi, yang sering dimaknai sebagai jasad.

“Namun menyelamatkan bukan berarti kamu akan mendapat kenikmatan seperti makna nikmat itu sendiri pada umumnya, terutama ketika masih menjalani kehidupan dunia.” Ungkap Mbah Khadir, seorang ulama besar yang tidak pernah mau disebut sebagai Kiai ataupun Ustadz.

Kemudian ada salah satu jamaahnya yang bertanya,” Lalu bagaimana kita mengetahui bahwa itu kenikmatan Mbah?

“Nikmat tidak hanya terkandung dalam hal-hal yang menurut kita baik. Di dalam hal yang buruk pun terkandung kenikmatan. Ketika kita masih memiliki hasrat, kita cenderung terjebak dalam idiom benar salah, baik buruk. Dan selama proses pembelajaran yang ada, nikmat hanya dibatasi pada apa yang terkandung dalam hal-hal yang baik dan menyenangkan.”

Tama yang pada saat itu berada di pinggiran pendopo, tempat diadakannya proses pembelajaran bersama itu pun serasa ditemukan dengan sebuah nilai yang menjadi penawar bahkan mungkin penegasan jawaban yang ia temukan atas situasi yang menimpanya. Sebuah perkenalan dengan lingkungan baru yang sangat berdampak pada perubahan cara pandang Tama mengenai kehidupan.

***

Ketika membaca tulisan yang diberikan oleh Tama, yang pertama terbesit dalam pikiran adalah sebuah  benturan alias ketidaksamaan cara pandang. Layla merasa gregetan ketika begitu banyak Tama lebih mementingkan apa yang diluar dirinya daripada dirinya sendiri. Layla menganggap bahwa Tama terlalu banyak mengorbankan dirinya hingga lupa bersenag-senang.

“Bodo amat, mengapa aku malah memikirkannya!”

Sekalipun Layla mengatakan tidak akan memperdulikan apa yang telah dibaca, namun ia tetap penasaran dengan apa yang tertuang di halaman-halaman berikutnya. Perempuan memang cenderung lebih suka diperhatikan daripada memberikan perhatian, apalagi reaktif terhadap situasi.

“Apa yang aku lewatkan?” gerutu Layla atas pemaknaannya yang tidak dapat menstimulasi makna asih. Kecuali ketidakjelasan kata yang semakin absurd. “Tidak segila ini kan kamu, Tam!”

Seketika itu pula Layla ingin menyapa, untuk memastikan kegilaan pandangan yang tertulis dalam buku yang diberikan.

Sedangkan di saat yang bersamaan, Tama sedang menuliskan makna apa yang telah ia dapat. Di tengah kegiatannya, Tama tetiba teringat buku itu juga ketika memandang kaktus yang hampir sama yang pernah diberikannya dulu kepada Layla. semua itu adalah segala sesuatu yang menemaninya tanpa kata, ataupun sapa. Dia hanya mencoba setia akan rasa, yang tercipta entah darimana. Disaat Layla merupakan salah satu serpihan yang menghilang, namun terus menyapa angan yang tak pernah dinantikan oleh Tama.

“Engkau tak lebih dari angan di antara angan-angan yang selalu datang silih berganti. Sudah tiada ingin bahkan harap akan dirimu. Hanya saja, kata-kata yang telah kubatalkan, yang mungkin sudah terbaca olehmu semoga akan menuntunmu ke kebahagiaan. Walau sudah pasti kau akan anggap aku gila!”

Tama memang sudah tak memperdulikan siapa, hanya rasa. Rasa yang datang dan begitu saja tercipta terasa nampak lebih setia daripada wujud nyata yang termanifestasi dalam ruang pertemuan langsung dengannya beberapa saat lalu.

Tapi Layla, Sang Angan di antara Angan-Angan telah redup tak segemerlap dahulu dengan cahaya-cahaya yang menyinari kisarannya.

kriiiinggg.. kring… kriiiing (Tiba-tiba suara HP berdering)

Tama pun terkejut ketika 1 pesan baru dari Layla telah masuk. Kira-kira setelah sekian lama, pesan singkat apa yang dikirimkan oleh Layla kepada Tama?

V. Bersembunyi di Balik Sukma

Entah mengapa kabut itu menghilang setelah perjumpaan tanpa sebuah kata sepakat. Digantikan oleh keelokan Sang Fajar yang meyapa, menyirami rona semesta sebuah pengembaraan di pagi hari itu. Meskipun lisan tak pernah sanggup untuk mengungkapkan, setidaknya sebuah isyarat sudah cukup bagi alam raya untuk merestui sebuah tatapan antara Layla maupun Tama untuk saling melepas lega.  

Bagi Tama, raganya seolah selalu enggan untuk segera menuntaskan rasa rindunya. Menepikan segala peluh kehadiran angan yang selalu memekarkan hasrat untuk dicintai sebagai seorang manusia. Tak ada manusia yang sanggup hidup tanpa cinta. Akan tetapi, makna akan cinta sendiri bagi Tama seolah telah tereduksi oleh berbagai macam tendensi untuk memuaskan hasrat pribadi, bukan karena benar-benar tulus mencintai.

“Tam, jangan CLBK lho..” cela Antok menanggapi ekspresi Tama kepada Layla. Sedang Tama hanya menanggapi dengan senyumannya.Sebuah senyuman tersebut bagi Tama sendiri merupakan cinta yang selalu hadir setiap hari, meskipun dalam wujud yang tak hanya bisa dilihat dengan pantulan cahaya wadag. Tapi, oleh sahabatnya dimaknai sebgai sebuah cinta lama yang mungkin bisa jadi adalah cerita usang bagi karibnya. Padahal bagi Tama, rasa tersebut menyapa tidak hanya setiap hari, namun di sepanjang waktu pengembaraannya setelah awal perjumpaannya dengan Layla. Hanya satu kata yang terucap diantara senyumannya menanggapi candaan Antok, “ngawuuur….”

***

Rendi sedikit merasa aneh terhadap ekspresi Layla dalam pertemuan dengan teman-temannya tadi. Membuat ruang kegelisahan sendiri dalam benak pikiran Rendi. Terlebih, melihat tatapan Layla kepada Tama yang tak pernah satupun ia dapati selama beberapa tahun ini berada di dekat Layla. Rendi menyangka bahwa Layla masih menaruh perhatian atau bahkan rasa yang tidak didapat Rendi dari Layla. Rendi sendiri sangat menyayangkan jika Layla masih menaruh perhatian tersebut dari seseorang yang dahulu telah menyakiti hati Layla.

“Heh, Ren. Lagi mikir apa to?” tanya Layla melihat Rendi yang terlihat gusar.

“Emmm… sepertinya ada yang membuatmu bahagia hari ini, Laa. Jangan-jangan….”

“Apa sih kamu, Ren! Ngawurr lho..” potong Layla.

“Kaaan, kita kan udah berteman lama, jadi ekspresimu itu gak bisa berbohong. Terlebih tatapanmu saat melihat si Tama.”

“Mulaiiii… Terus aja terus! Dipersilahkan lhoo bagi Tuan Rendi, Sang Kritikus, untuk memberikan penilaian atas dasar prasangkanya. Eh maaf, keilmuannya.”

“Terima kasih atas waktunya, Baginda Ratu Idealis, yang selalu saja banyak membuat orang-orang terkagum.”

Tak bisa dihindari jika pertemuan tersebut memang meninggalkan jejak tersendiri di fikiran Layla. Pertemuan dengan kata sepakat selalu dihindari. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana untuk mempertemukan meski tanpa kata sepakat. Hal ini tentu saja sangat mengganggu bagi Layla, terlebih dengan pemikiran idealismenya tentang cinta. Selepas rasa bersalahnya atas Tama pada waktu itu. Hingga rasa itu, kini seolah mulai tumbuh dan membentengi diri Layla sendiri.  

***

Sudah menjadi kebiasaan bagi Tama untuk mendokumentasikan segala nusansa perjalanan ke dalam sebuah goresan tinta. Dengan presisi kelokannya yang mampu membentuk idiom bahwa itu adalah huruf. Hingga goresan huruf itu mampu berjajar rapi membentuk sebuah kata. Kata-kata itu akan bersengkongkol menjadi sebuah kalimat demi terciptanya sebuah makna. Dan bagi Rendi, dunia ini sendiri belum seberapa jika mesti dibandingkan dengan dunia makna. Dunia ini hanya butuh pantulan cahaya materi untuk dapat dipahami, tapi di dunia makna dibutuhkan bantuan cahaya illahi supaya mudah dimengerti oleh akal. Cahaya materi mampu menafsirkannya, namun pada akhirnya akan sering menimbulkan perselisihan dan kesalahpahaman.

Bukankah ada cahaya di atas cahaya? Semesta selalu mempunyai cara untuk memberikan pelajaran, terutama mengintervensi pengembaran Tama yang sering dinamai sebagai perjalanan kehidupan. Membentur-benturkan batinnya seolah menjadi ujian praktek langsung ketika mendapatkan pelajaran ilmu yang baru. Baik oleh gurunya maupun teks literasi yang Tama baca. Tuhan seolah ingin membentuk Tama menjadi seorang yang tangguh dan bijaksana. Dengan cipratan cinta-Nya.

Ketika menuju perjalanan pulang setelah mengantarkan Antok di rumahnya, rasa rindu itu mneyeruak. Bahkan di sekujur rasa rindu itu sendiri serasa bergetar atas hasrat yang selalu terpendam. Pulang menjadi sebuah perjalanan yang panjang dengan angan yang selalu mendekap. Seolah rumah kosong itu menjadi tempat peraduannya.

“Mengapa kita mesti bertemu?” seolah pertanyaan itu terus terulang di dalam pikiran Tama.

“Bukankah kau merinduku?” terdengar angan itu menjawab lirih.

“Kalau memang begitu, mengapa dulu engkau mencampakkanku? Masihkah belum cukup, anganmu kubiarkan datang sesukanya seperti ini?”

(Angan Layla hanya tersenyum seperti biasa)

“Bahkan, senyuman itu, tidak berubah sama sekali… “ sembari mengingat senyum Layla di pertemuan tadi pagi.

Elok sang fajar menyapaku menyirami semesta
menepikan peluh hadirmu selalu menyatukan insan
antara raga dan sukma yang terurai

***

(8 tahun yang lalu)

Tama merupakan orang terdekat bagi Layla. Hampir setiap hari, bahkan setiap waktu mereka selalu menjalin komunikasi satu sama lain. Membahas apa saja di hari-hari yang mereka lalui. Tiada hari tanpa Tama bagi Layla, pun sebaliknya.

Berbagi masalah pribadi sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada tabir sama sekali di antara mereka. Khusus bagi Tama, Layla merupakan pendengar terbaik disaat keluhan tentang perjalanan kehidupan selalu menyapa Tama yang justru datang dari lingkunagan yang seharusnya menjadi sebuah pelindung. Bisa dianggap Layla merupakan rumah kedua bagi Tama.

“Laa, kamu dimana?” tulis Tama dalam sebuah pesan ingin menagih janji untuk saling bertemu. Namun, Layla tak kunjung membalas pesan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang Tama menanti balasan pesan singkat dari seorang perempuan yang begitu aktif di sekolahnya. Sebegitu pentingnya kehadiran Layla bagi teman-teman sekolahnya. Kebahagiaan seolah tercurah ketika siapapun berada di dekat Layla. Pada umumnya, mayoritas orang akan berkata bahwa Layla memiliki inner beauty yang sungguh indah.

(Suara notifikasi HP berdering)

Tama pun bergegas membukanya berharap itu merupakan pesan balasan dari Layla. Namun ternyata pesan permintaan tolong dari seorang kawan-lah yang masuk. Di saat bingung untuk mengonfirmasi kesanggupan, nampak sebuah amplop berwarna kuning sekali lagi nampak terdapat tanda bintang merah, yang merupakan pertanda terdapat sebuah pesan baru lagi. “Di hatimu.” Balas Layla singkat.

Setidaknya frasa kata tersebut sedikit membuat detak jantung Tama semakin cepat. Meskipun, dalam kedekatan yang sudah terjalin ini pun mustahil jika rasa hanya tumbuh sebatas kawan atau sahabat. Ketidakpantasan selalu menjadi alasan Tama untuk menahan perasaannya sendiri. Kenyamanan yang sudah tercipta enggan Tama ucapkan jika pada akhirnya hanya akan membuat canggung jika terselip kata cinta.

Namun, balasan singkat itu seperti mengukuhkan niat Tama, setidaknya untuk mengungkapkan apa yang telah dirasakannya. Toh, umur mereka juga kian beranjak dewasa. Ya, sebagai seorang lelaki, pernyataan ini mungkin bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban atas rasa yang tak pernah bisa dicipta atau dipaksakan.

Di suatu pagi yang cerah, Tama dan Layla sedang menikmati es kelapa muda. Menikmati belaian angin yang berangsur mengusap keringat mereka berdua. Bercanda dan tertawa menafsirkan semesta yang memberikan keteduhan itu.

“Laa, salahkah kalau aku memiliki rasa yang sering mereka sebut cinta?” tiba-tiba Tama menyela.

………………………………………. .

***

(Di rumah Layla)

Sesampainya di rumah, Layla pun tak bisa begitu saja menghilangkan makna dari pertemuannya kembali dengan tama. Bahkan, malam demi malam yang telah dilalui justru semakin menambah rasa penyesalan atas sikap yang telah dilakukannya kepada Tama waktu itu. Pertemuan yang membukakan pintu kenangan yang telah lama Layla tutup rapat-rapat.

Layla merasa hal tersebut hanyalah rasa bersalahnya yang berubah menjadi rasa iba. Atau mungkin kedekatannya waktu itu tak lebih hanya sebatas rasa ibanya kepada Tama atas perjuangannya yan telah dilakukan. Dan sebuah kekaguman atas pengalaman yang oleh Tama selalu dijadikan ruang pembelajarannya untuk berani mendobrak!

“Tak ada yang salah dengan keputusanku!”

“Pertemuan tadi pun hanya kebetulan.”

Kedewasaan serta kemandirian menjadikan Layla semakin pintar melakukan pembenaran atas tindakannya. Meskipun, sekarang pintu itu telah terbuka kembali. Tama seolah selalu berbisik luruh menuntun, disaat Layla dengan kedewasaannya seolah tak mendengar pesan-pesan itu. Terkadang, Tama menyalakan cahaya remang Layla. Tapi, Layla meredupkannya dengan keinginan yang lain.

“Sebegitu cintakah engkau kepadaku?” kata Layla kepada kelapa muda yang sedang ia nikmati untuk menuntaskan dahaganya. “Aku sedang berusaha mencintai diriku, apakah kamu menjadi bagianku?” lanjut Layla.


ia bersembunyi di balik relung sukmamu

tapi malah semakin engkau sembunyikan
ia sangat dekat denganmu
tapi engkau mengira jauh dengan ilmumu
bagaimana engkau mau mengenalnya, jika kamu sendiri enggan untuk menganggapnya?

(Bersambung)

IV. Pertemuan Tanpa Kata Sepakat

Cinta, mengapa engkau tinggal terlalu dalam. Terasa mustahil kosong ini mencampakkanmu dalam seribu bahkan berjuta diam sekalipun. Sisa-sisa angan kini telah berserak dan kukembalikan padamu. Mengerak. Sekaligus tersusun menjadi ruang dimana aku bersandar.” Terdengar lirih suara Tama sembari memegang kelopak bunga mungil yang belum sepenuhnya mekar.

Menanti keindahan bunga merekah memang membosankan. Terlebih dengan kabut yang menyelimuti, menepis cahaya untuk menampakkan keajaiban semestanyanya. Membutuhkan sebuah pengorbanan kalau memang ingin menikmatinya. Tapi, rasa membosankan ataupun pengorbanan sepertinya tak berlaku bagi seorang Tama. Dia selalu punya cara untuk menikmati apapun, sekalipun kosong.

Bunga itu mengingatkan akan sebuah keindahan angan yang tumbuh subur dalam benaknya. Kecantikannya selalu menghadirkan kebahagiaan meski perjalanan terasa begitu melelahkan. Semerbak keharumannnya seolah menawarkan kehangatan dan berkata, “akulah rasa yang nyata!”

Lantas Tama menjawabnya, “jika kamu memang nyata, haruskah aku setia kepada rasa yang kau tawarkan?

Pikirmu siapa yang punya kuasa atas rasa yang selalu dicurahkan ke dalam hatimu? Alih-alih mengenalnya, justru kamu lari berpaling mengikuti hasratmu!

“Ayo Tam! Kamu lho malah ngapain duduk disitu…” ajak Antok untuk segera melanjutkan perjalanan turun.

***

Sementara dalam perjalanan menuju sebuah perbukitan, Layla masih mengingat tentang kesalahannya pada masa lalu yang diingatnya tadi pagi. Yang sebenarnya sudah jauh Layla buang atau hilangkan kenangan yang sangat menjadi pelajaran baginya. Namun, apa yang Layla rasa sudah dihilangkan, justru jika dirasa malah bertambah melekat. Yang hilang seolah terlahir kembali dengan pertemuannya di pasar waktu itu.

“Laa, nanti kita cari tempat ngopi dulu, yuk!.” Kata Rendi.

Namun Layla tak lantas menjawabnya karena pikirannya yang sedang melayang kembali ke masa lalu.

“Laa, Laa..” sapa Rendi sambil menepuk pundak Layla.

Sontak Layla terkejut,“Ah iyaa… Ada, Ren?”

”kamu mikir apa sih sampe bengong gitu?” lanjut Rendi.

“Gak mikirin apa-apa koq, agak ngantuk aja sih.”

“Yaudah, habis ini kita cari tempat ngopi dulu yaa.”

“Oke deh, manut.”

Rendi selain memiliki hobi yang sama dengan Layla, merupakan salah seorang seorang seniman muda di kotanya. Hingga nama Rendi pun cukup dikenal di kalangan para seniman kotanya. Rendi dan Layla sendiri sudah berteman cukup lama, bahkan bisa dibilang seorang sahabat. Mungkin bagi Layla sendiri, hanya Rendi yang dianggap mampu memahami kebiasaannya. Setelah beberapa tahun kebelakang, banyak perjalanan yang dilalui bersama.

Pertemuan pertama mereka terjadi pada saat ada keluarga baru yang baru pindah dari luar kota menempati rumah baru di dekat rumah Layla. Bapaknya Rendi telah pensiun dari perkejaannya dan memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya untuk menikmati masa tuanya. Layla, yang sedang menuju warung untuk membeli makanan, berpapasan dengan Rendi pertama kali ketika Rendi sedang duduk di trotoar sembari menyanyi dengan gitarnya.

Layla yang melihat Rendi pertama kali hanya berprasangka bahwa anak baru alias Rendi ini terlihat ramah tapi sedikit sok keren. Senyum ramah yang dilontarkan ketika Layla melewatinya menjadi dasar penilaian saat itu. Dan selang beberapa saat kemudian, mereka bertemu kembali di sekolah. Ternyata Rendi menjadi kakak kelas baru di sekolahnya. Dengan keramahannya tak butuh waktu lama bagi Rendi untuk menjadi idola para wanita di sekolahnya.

Namun, bagi Rendi, perhatiannya tetap tertuju kepada Layla remaja. Perempuan jelita dengan keindahannya. Berbagai pertemuan terlebih sebagai seorang tetangga telah banyak mempertemukan Rendi dan Layla. Bahkan, orang tua Layla pun begitu mempercayakan Layla kepada Rendi sebagai teman bermainnya sejak remaja.

Secangkir kopi di pagi hari itu pun membangkitkan kenangan Rendi. Sembari menatap seorang perempuan yang begitu memikatnya. Tapi, bahagia itu masih berbatas. Dunia seakan enggan menapakkan kakinya selangkah lagi, ‘tuk sekedar mengungkapkan rasa yang mungkin sudah lama dipendam oleh Rendi.

“Lereng itu masih berkabut, masih mau jalan?” tanya Rendi kepada Layla.

 “Jalan aja aja yuk, gapapa kan?” jawab Layla sembari memainkan HP-nya. Ternyata secangkir itu mengingatkan janji yang pernah diucapnya kepada Tama beberapa waktu lalu ketika bertemu di Pasar.

“Siaaap, gapapa lah. Yang penting ndoro bisa menikmati.” Hibur Rendi yang melihat Layla sedikit gelisah. Dan niat Layla untuk menghubungi Tama pun tertunda dan segera memasukkan kembali HP-nya ke kantong.

Mereka berdua pun mulai berjalan menapaki jalanan desa sembari sesekali mengambil foto keindahan yang menyapa. Cahaya mentari yang tertutup kabut menjadi tantangan tersendiri bagi para fotografer muda ini untuk dapat memaksimalkan gambar yang didapat tanpa mengurangi kealamiannya.

***

“Tam, itu bukannya Layla yaa?” kata Antok dengan nafas yang terengah-engah setelah berlari turun dari atas.

“Hah, Layla? Masa sih!” jawab Tama sedikit tak percaya jika Layla berada di kaki Gunung ini.

Jangan Kau coba menghiburku, setelah Kau mengingatkan akan rindu lewat sekuntum bunga tadi.” Gumam Tama dalam hati.

“Laaaaa…..” teriak Antok dari lereng bukit.

Layla dan Rendi pun segera menengadah ke atas. “Bukankah itu Antok, sepertinya habis muncak dia.” Kata Rendi melihat si Antok yang terlihat heboh dengan lambaian tangannya. “Eh tunggu, siapa itu yang dibelakangnya. Tama?” lanjut Rendi.

Hah, Tama! Kenapa tiba-tiba mesti bertemu dengannya? Disini? Apakah karena ingatanku tadi yang memanggilmu? Tapi, aku kan belum menyapamu.” Kata Layla dengan mati gaya dalam hati.

“Haaaaaaa, Antooookkk…” sontak Layla berteriak untuk menghilangkan kegugupannya.

Baik Tama maupun Layla saling berjalan, mendekat dan terus mendekat. Tiap jengkal adalah ketidakpercayaan akan sebuah pertemuan yang tak disangka.

“Kenapa mesti bertemu disini?”

“Aku mesti beralasan apa atas janji waktu itu.”

“Apakah ini jawaban atas sapaanku kepadamu? Meski tak sedikitpun sapaan itu mampu kau dengar.”

“Kenapa aku jadi gugup?”

“Bahkan langkah kaki ini pun melaju mendekatimu, meski sebenarnya aku masih menanti pertemuan dengan secangkir kopi itu.”

“Aaaaaarrggghh, jangan sekarang. Aku belum siap.”

Sebuah kegelisahan begitu mengusik pikiran mereka, baik Layla maupun Tama. Tapi, teriakan tadi sudah menjadi janji diantara kita untuk melangkah saling menatap lebih dekat. Sorot cahaya pun mulai menembus celah-celah kabut. Seolah semesta mengisyaratkan sebuah salam atas rasa yang dititipkan ke masing-masing insan.

Pertemuan adalah janji. Tapi pertemuan itu sendiri terlalu banyak tendensi untuk menghapuskan kebutuhan akan rasa untuk merindu. Demi rasa bahagia dirinya. Meski terlalu banyak kata yang mengatasnamakan dia. Seolah hanya dia yang membawa bahagia, disaat sesungguhnya dirinyalah yang sedang membahagiakan dirinya sendiri. Terutama dengan sapaan-sapaan atau rayuan yang langsung tertuju kepada yang dianggap membawa bahagia.

Lain halnya dengan Tama, pertemuan bukan berarti isyarat kebahagiaan. Pertemuan adalah konsistensi rasa yang sama. Sapaan-sapaan tak langsung tertuju kepada yang membawa bahagia. Bahkan, ia biarkan sapaan itu melayang bersama angin. Atau lenyap tertelan gelapnya malam. Namun, siapa yang tidak memiliki harapan sama sekali untuk bertemu yang terkasih? Dan yang terpenting bagi seorang Tama, jika sebuah pertemuan itu adalah ruang dipertemukannya apapun yang pasti ada alasan atas pertemuan yang terjadi. Setidaknya untuk dinikmati dan dimaknai. Termasuk pertemuan kali ini, tiada janji kecuali rindu yang meraung dalam kalbu.

Mereka pun saling berbincang satu sama lain. Antok dengan sifat kegirangannya terlihat sangat vokal. Rendi tak kalah menuangkan ide-ide inspiratifnya layaknya seorang seniman. Tama hanya sesekali nyambung dengan bahasa-bahasa sindirannya. Sedangkan Layla, cukup dengan senyumannya mampu melengkapi dan menghiasi pertemuan diantara mereka.

Andai saja ini nyata, tapi mengapa aku lebih merasa bahwa pertemuan itu tidak nyata?” kata Tama sembari menengadahkan kepalanya ke sumber cahaya yang terselip di antara ranting-ranting pepohonan itu. Sementara Layla, sesekali main mata melihat Tama yang nampak tersenyum sendiri ketika menengadahkan kepalanya. “Apakah kamu masih mengharapkanku, Tam?” Layla mencoba bertanya kepada hatinya, lirih.

Rendi yang melihat Layla pun mulai sadar lamunan atau kegelisahan yang dialami Layla, “Masihkah kamu menaruh perhatian kepadanya setelah apa yang dulu kamu alami?” Dan mereka pun hanyut dalam prasangkanya masing-masing. Saling menafsirkan tatapan yang seolah penuh dengan sebuah isyarat. Dalam keterbatasan ucap yang mesti tertahan tanpa pernah sekalipun dapat terucap tentang kesungguhan rasa.

Pulang perlahan sedari tadi menapaki fajar. Sembari menanti tanda fajar menyeruak dari balik kabut. “haruskah aku duduk dan berbicara denganmu?”. Membisikkan kasih yang dirasa tak pernah mampu dicipta oleh Tama. Hingga menimbulkan hasrat akan cinta yang akan Layla beri esok. Meski sunyi. “Haruskah aku menjemputmu?”. Disaaat telah Tama sampaikan berkali-kali sapaan rindu kepada Layla, meski sebatas dititipkan kepada semesta.

Mungkin bayang yang selalu hadir ke dalam angan serasa cukup bagi Tama. Hingga nyata berbalik arah menjadi hampa, karena ia datang tanpa rasa. “Cukup cahaya ini sebagai penghias qalbuku, dengan rasa yang selalu datang memelukku.Tanpa kata, tanpa sapa, tanpa cerita.” Dan sebuah pertemuan ini bagi Tama, hanya sebatas sandaran letihnya dalam angan sejenak, sembari menanti ikhlas di kehampaan.

III. Rindu Yang Tersirat


Sesampainya di rumah, pertemuan dengan Layla sedikit mengganggu ketenangan batin Tama. Sebuah pertemuan yang selalu didambakan oleh Tama, namun selalu ia seka dan tahan pertemuan-pertemuan yang diniatkan oleh dirinya. Bahkan, sebuah sapaan pun enggan ia ungkapkan demi kerinduan yang terpendam. Kata-kata hanya tersimpan rapi dalam laci tanpa pernah ia utarakan. Suara-suara pun hanya mampu ia titipkan kepada angin yang tak sengaja berlalu.

“Alangkah indahnya jika aku mampu menjadi Qais, sekalipin ia dianggap gila, ia sudah memiliki kepastian dalam hatinya bahwa Layla mencintainya.” Kata Tama dalam hati. Perkataan-perkataan kiasan seperti itu sering muncul dalam angannya, tapi tak ada kata penyesalan bagi seorang Tama. Hingga tak terasa malam selalu habis untuk sekedar berbincang dengan ketidakpastian. Hanya saja, makna sebuah rasa itu sendiri bagi Tama tak bisa dianggap sebagai suatu nuansa. Dia memiliki kesadaran akan rasa yang menyapanya yang datang entah darimana.

Kiasan-kiasan yang bertebaran dalam angan itu selalu Tama rangkai dalam kata. Mencoba mencari makna ataupun hikmah dalam segala angan yang sedikitpun tak ada kuasa bagi Tama untuk menciptanya. Bermula dari sebuah pena, kertas, serta kitab yang berada dalam tas semplangnya, Tama mencoba untuk mendokumentasikan angan itu apa adanya ketika menyapa.

Kebiasaan itu bertahan cukup lama, hingga ketika menemukan sebuah kesamaan makna. Sebuah masalah muncul akibat segala coretannya hanya tertuang dalam selembar kertas. Lusuh karena terlalu lama terlipat, hilang, ataupun tulisan yang tidak mulai memudar akibat kadar kelembaban atau terkena hujan menjadi keadaan yang mesti segera dicarikan solusi. Hanya untuk mempermudah mencari dan mengingat apa yang telah disampaikan lewat kiasan-kiasan angan dalam perjalanan hidupnya.

“Ternyata, ini semua juga berkatmu, Laa.” Gumam Tama sembari merapikan sisa-sisa kertas bertuliskan coretan-coretannya yang sudah mulai usang. Senyum kecil mulai tergambar pada wajah Tama, bukan karena sebuah pertemuan siang tadi. Melainkan angan yang kembali dan selalu datang menghampirinya. Memberikan senyumannya sekalipun dalam temaram kesunyian. Memberikan pelukannya melekapaskan dekapan akan keresahan-keresahan yang lalu-lalang bergantian menghampiri laju hidup seorang Tama.

Sembari duduk di halaman rumahnya, Tama hanya memikirkan tentang manakah yang terasa nyata? Sebuah pertemuan raga, ataukah angan yang banyak orang anggap sebuah keniscayaan? Kalau hanya sebuah pertemuan, sangat mudah hal tersebut dapat direncanakan. Tapi, bagaimana dengan angan yang selalu muncul tiba-tiba? Apakah itu cinta sejati atau sebatas obsesi? Jangan-jangan itu adalah kesetiaan, atau justru sebuah kebodohan?

***

Suatu hari ketika awan mendung mulai tak sanggup lagi menahan tetesannya, Layla hanya termangu duduk di depan rintihannya. Memandang tetesan-tetesan hujan yang deras, seolah mewakili perasaannya kala itu. Seseorang yang ia cintai telah pergi bersama yang lain. Kebersamaan yang dijaga akhirnya mesti terpisahkan dengan keadaan tersebut. Sedangkan orang tersebut tak pernah merasa bersalah sama sekali atas apa yang telah ia tunjukkan kepada Layla.

Dalam derai hujan kulihat langkah itu tertatih

Detakan langkah itu serasa lantang di tengah guyuran hujan

Memekik rindu di sekujur relung hati

DI tengah kekuyupan pilu, aku menantimu kembali, cinta.

“Maaf, memang ini semua salahku atas apa yang telah aku lakukan kepadamu. Hingga kau pun pergi meninggalkanku. Atas ketidakpekaanku hingga kau tega mengacuhkan aku.” Kata Layla kepada hujan kala itu. Sembari merasakan kebimbangan antara ikut merasakan kebahagiaan dengan menanggalkan rasa. Atau diam, dan mencoba setia kepada rasa.

Kini, Layla sudah beranjak dewasa. Lebih dewasa dari yang sebelumnya. Di teras yang sama dengan cahaya Sang Fajar seolah mendekap hangat beranda rumahnya, mengusir hawa dingin pagi hari di tengah musim kemarau ini.

Meskipun telah ribuan kali Sang Fajar telah membawa dekapannya, diiringi kicauan semesta yang terdengar riang gembira. Tetap saja, tak mampu menghangatkan hatinya yang terlanjur beku oleh luka kala itu. Hari-hari selalu Layla hias dengan tawa,dimana kegembiraan itu begitu mudah menular ke lingkungannya. Tanpa ada yang mengerti tentang rasa yang ia jaga.

“Laa….! Itu lho Rendi sudah daritadi nunggu di depan.” panggil ibunya.

Layla lekas bangun dari lamunannya kemudian menatap jam di HP-nya. Layla lupa jika pagi ini Rendi ingin mengajaknya keliling pedesaan. Lupa memang sudah menjadi kebiasaan yang cukup buruk bagi Layla. Disamping terlalu banyak orang yang menginginkan kehadirannya. Dengan dandan apa adanya, Layla pun lekas menyapa Rendi.

“Maaf, Ren. Aku lupa kalau itu hari ini.”

“Santai aja, udah biasa juga kamu seperti itu.” jawab Rendi riang. “Gimana, udah siap? Jangan lupa senjata utamanya.” Lanjutnya.

“Sudah siap, Bos. Ayok!”

***

Sementara di sisi lain, Tama sedang menikmati pemandangan bersama karibnya, Antok, di lereng Gunung Andong. Memang perjalanan yang tak terencana setelah pendakian ini baru direncanakan pada saat nongkrong tadi malam di kafe dengan yang lainnya. Akan tetapi, di antara banyak kawan-kawannya yang lain, hanya Tama dan Antok saja yang berani untuk berangkat.

Di antara teman-temannya di kota, memang hanya mereka berdua yang nampak berbeda dengan teman yang lain yang lebih suka untuk memanjakan diri. Disamping tentu banyak faktor yang membentuk karakter masing-masing personal. Karena sudah pasti, semua sedag mengalami proses kebenarannya masing-masing.

“Kamu baru pertama kali ini ya, Tok, naik gunung terus nanti siang langsung turun lagi?”

“Iya, makanya aku mau kalau hanya Andong, soalnya tidak terlalu tinggi.” Kata Antok.

“Aku tahu, diantara yang lain mungkin hanya kamu yang suka menikmati alam meskipun dalam keadaan capek sekalipun. Tapi, tak terlalu banyak mengeluh karena mengerti cara bermesraan dengan alam.” Kata Tama dengan gaya sok bijak dan memuji Antok.

“Harusnya kamu bilang gitu sama perempuan, Tam. Bukannya ke aku! Kalau sama cewek mungkin kamu bakal dipeluk atau setidaknya dipukul mesra. Kalau sama aku, ya, edyaaaan!”

“Eh tapi liat, perasaan daritadi memang hanya kita yang aneh.” Lanjut Antok sembari mengamati puncak gunung yang begitu ramai dengan kelompoknya.

Mereka lekas memesan kopi dan memang hanya di puncak Andong terdapat warung sederhana seperti ini dengan harga yang masih normal. Tapi kopi itu hanya mengingatkan Tama akan sebuah janji dengan Layla. Tapi sudah menjadi itikad bagi Tama untuk memaksakan sebuah pertemuan.

Pergi bukan berarti meninggalkan, dan sunyi yang lekas datang menyapa bukan berarti sendiri. Perjumpaan bukan hanya masalah sebuah tatapan. Bahkan rindu pun tidak selalu mesti terucap dan tersurat. Sesekali ajaklah rindu memaknai segala rasa yang tersirat.

“Semesta, tidakkah engkau muak? Ataukah ini yang hendak kau nikmati dari aku? “Menari diatas dikotomi kebenaran-kebenaran Sang Angan. Apa ini pengakuan, atau sebatas eksistensi dar rasa itu sendiri yang selalu ingin kau tujukan kepadanya? Sedang para pertapa itu selalu merindumu. Sengaja membodohkan dirinya di depan keramaian.”

“Hey, Tam! Malah ngelamun lho!” getak Antok.

Tama hanya melemparkan senyumannya yang memang sedang sangat menikmati suasana ini. Seakan keramain ini tak mengganggunya sama sekali. Bahkan terik matahari yang semakin meninggi tak membuatnya berlari mencari keteduhan.

“Cinta, mengapa engkau tinggal terlalu dalam. Terasa mustahil kosong ini mencampakkanmu dalam seribu bahkan berjuta diam sekalipun. Sisa-sisa angan kini telah berserak dan kukembalikan padamu. Mengerak. Sekaligus tersusun menjadi ruang dimana aku bersandar.” Terdengar lirih suara Tama sembari memegang kelopak bunga mungil yang belum sepenuhnya mekar.

“Ngomong apa sih kamu, Tam! Udah ayo turun aja.” Ajak Antok yang nampak sudah mulai bosan.

Namun, ketika perjalanan pulang, tiba-tiba… .

(Bersambung)

II. Buah Dari Lara

Entah apa yang ada di pikiran Tama saat Layla mengajukan pertanyaan seperti itu. Tiba-tiba suasana menjadi sangat aneh bagi Layla melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tama. Kegembiraan pertemuan itu seketika lenyap. Tertelan kenangan yang mendadak menyeruak. Nampaknya Tama sekarang telah berubah dengan senyum kecilnya.

“Apa yang aku harapkan? Apa harus aku menginginkan sesuatu dari kamu disaat semua ini terasa cukup?” pikir Tama sembari mencoba menemukan secerca harapan yang mungkin bisa didapat.

“Tam! Malah bengong lho…”

“Haruskah ada ‘harapan’ itu? Lantas buat apa aku mesti berharap kalau pada akhirnya harapan-harapan itu hanya untuk menyenangkankan egoku. Apalagi jika kamu menanyakan padaku tentang harapanku kepada apa yang aku berikan. Tiba-tiba saja aku merasa bodoh, Laa.”

***

Semasa kecil, dikala rumah di tepian sawah itu menjadi saksi sebuah perjalanan. Antara cinta maupun luka. Meskipun halamannya nampak sangat sejuk dengan pepohonan yang rindang dengan buahnya yang bergiliran menyapa di tiap musimnya. Dan ketika angin itu berhembus lirih, suaranya yang membelai pohon-pohon bambu hingga menyerukan melodinya sendiri. Kemesraan di kisaran rumah itu tak lekas mempengaruhi rumah itu.

Pada suatu malam, suara kegaduhan membangunkan Tama kecil. Menangislah ia tanpa seorang pun yang memperdulikan. Untung saja tangisan anak kecil adalah suatu tanda jika tangisan tersebut adalah tanda akan butuhnya suatu perhatian. Tangisan Tama kecil sendiri terlalu lirih jika mesti dibandingkan dengan kegaduhan itu.

Sadar akan tidak kunjung datang perhatian tersebut, akhirnya ia lelah dan mendadak terhenti tangisannya. “Dimana sih ibu! Aku takut dengan suara-suara itu.” pikir Tama kecil.

Waktu menunjukkan hampir tengah malam, Tama pun akhirnya memberanikan diri untuk keluar mencari Sang Ibu. Baru satu langkah keluar dari kamarnya, rasa nyeri pun mendadak dirasakan pada telapak kaki kanannya. Darah pun ternyata mengucur setelah kakinya menginjak pecahan sebuah kaca. Namun Tama kecil nampaknya tidak takut dengan darah itu, justru ia merasa heran lantas ia duduk mencoba memperhatikan lukanya.

Sembari merasa terheran, dilihatlah suasana di depan kamarnya yang menambah semakin menambah rasa keheranannya. Baru sekali ini mungkin panorama rumah dengan tatanan seperti ini. Bagaimana tidak? Sebuah almari besar dengan segala hiasannya rubuh, segala barang pecah belah pun hampir habis tak tersisa setelah puing-puningnya berserakan hampir di setiap sudut rumah. Kursi-kursi bergeser tidak pada tempatnya.

Setelah darahnya tidak lagi mengucur, Tama mencoba mencari ibunya. Peluh air mata pun sudah disiapkan demi mendapatkan kembali perhatian ibunya. Meskipun perhatiannya pun harus terbelah antara mempersiapkan tangisan manja atau berhati-hati terhadap langkahnya untuk menghindari beling-beling yang berserakan.

“Sial, ibu dimana sih!”

(suara ringkikan terdengar dari sudut ruang makan yang terlihat remang)

Ruang makan yang memang terletak di depan dapur ujung belakang rumahnya nampak jauh dari kamar Tama yang berada di bagian depan rumah.

“Mungkin itu ibu, akhirnya!” peluh air mata pun yang sudah dipersiapkan mulai meniti keluar dengan raut muka manjanya.

Tiba-tiba Tama menghentikan langkahnya! Hatinya berdetak kencang setelah mendengar suara ringkihan itu. Dan ternyata suara ibu yang sedang merintih lirih di pangkuan Neneknya. Tama kecil terdiam, tak seperti umumnya anak kecil yang gemar berteriak-teriak, namun beda halnya dengan Tama kecil. Rasanya tidak tega untuk mendengar suara itu apalagi mesti melihat air mata ibunya yang menetes dari raut mukanya.

Suara Tama pun sama sekali tidak terdengar oleh ibu atau neneknya. Dan lebih lirih daripada suara rintihan ibunya. Bahkan, dengan cerdiknya langkah Tama yang sedari tadi berjalan menghindari puing-puing itu sama sekali langkah kaki mungilnya tidak terdengar oleh ibu maupun neneknya. Hingga akhirnya Tama memutuskan untuk kembali lagi ke kamarnya.

Tak selang berapa lama, ibunya datang menghampiri Tama. Daripada menuntut ibunya untuk membagi asih maupun perhatiannya, Tama memilih untu pura-pura tidur. Atau rasa takut yang mendadak dirasakan Tama apabila melihat raut wajah ibunya.

Ada apa denganku? Haruskah aku menghiburmu, Bu? Bolehkah aku ikut merintih bersamamu? Atau haruskah aku ikut marah?” pertanyaan-pertanyaan itu terus menggema dalam pikiran Tama.

Disaat ibu menangis, sadarkah ibu kalau disini masih ada anakmu yang tidak bisa sedikitpun menghilangkan rasa sayangnya? Meski aku sendiri terlalu banyak merengek dan mengeluh kepadamu.” Ketika angan terus menyeruak akan harapan.

***

 “Dasar Lebay! Jangan terlalu banyak mikir gitu lah” Sahut Layla.

“Haa… haaa… haa… Iya ya, tapi kata ‘harapan’ itu sendiri mengingatkanku akan sesuatu.” Kata Tama sembari memancing Layla untuk menanyakan tentang harapan itu.

“Yauda deh, maaf yaa.” Jawab Layla sambil tersenyum.

“&^^(*&)(*)^&%(*&, ternyata kurang pekanya masih belum ilang. Atau pura-pura tidak peka pun juga bukan suatu masalah.” Pikir Tama.

“Laaaaaa !!!” (tetiba suara perempuan itu menembus barikade kegaduhan pasar)

“Wooo, daritadi kita nyariin kamu muter-muter ternyata disini, tho!” kata Prisca yang datang bersama teman-temannya.

“Sorii pris, daritadi HP-ku tak taruh di tas, tak silent juga.” Jawab layla sembari membuka tasnya yang unik.

“Siapa Masnya itu Laa?” bisik si Rendi lirih.

“Temen dulu waktu sekolah.”

“Temen apa temeeeen?” goda si Akbar ketika melihat rona mukanya Layla yang tiba-tiba berubah memerah.

***

Layla pun meski segera pulang bersama rekan-rekannya. Ia lantas berpamitan kepada Tama dan berkata akan segera menemuinya lagi. Layla kembali dengan senyum yang masih sama. Waktu pun seolah enggan untuk melenyapkan kehangatan itu. Atau justru Layla yang terlalu pintar mengelabuhi waktu. Tak semudah itu menerka Layla meski kebahagiaannya selalu merekah.

Semilir angin seolah mengajak waktu ‘tuk segera berlalu. Pertemuan yang terjadi tanpa sebuah rencana pun seakan memadu rindu. Membuka tabir yang selama ini sengaja dipendam, agar tak ada satupun yang terluka. Lihat saja derai para manusia itu yang terlihat lunglai mencari makna. Seolah berjuang demi cinta, namun justru akhirnya mereka sendiri terjerat luka. Kalau sudah begitu, salah siapa engkau mencinta?

Kita selalu saja terbuai akan sesuatu bentuk ataupun rupa yang menawan. Padahal seketika itu juga kita telah menjadi tawanan akan sesuatu itu. Segala upaya akan dilakukan untuk memilikinya, salah satunya yang sering kita sebut cinta. Akan tetapi, apakah benar itu cinta? Lantas, bagaimana kalau upayamu untuk mendapatkan bentuk atau rupa itu tak menghasilkan apa-apa? Masihkah kita melangkah untuk terus mengejarnya? Belum lagi jika bentuk atau rupa itu tak sedikitpun menatapmu, bahkan menyapamu, bahkan wujud yang kau ingin dapatkan telah mempunyai puannya. Sekiranya sediakah engkau tetap mencinta?

Bukan sepotong roti atau segelas anggur yang terus membuatmu hidup, melainkan sehelai rindu. Meski ia tak pernah ingkar untuk memberikan lara. Bukankah semesta telah memperlihatkan itu semua? Dimana siang mesti bergantian dengan malam, disaat terang engkau akan terlihat menyala menapaki tujuanmu dan saat gelap engkau mesti tersesat tak tentu tujuan. Seketika itu pula cahaya kecil itu terkuak dalam luka karena tersesat atau menabrak sesuatu yang sering kita sebut batas. Tapi bukankah karena itu pula kamu akan menjadi hebat? Karena luka yang selalu terajut rapi dalam indahnya rindu?

Mereka semua selalu meminta kepada bentuk untuk bisa menatap. Mereka menagih waktu untuk segera memberikan sedikit ruang untuk menampunnya. Bahkan, tak sedikit mereka selalu menawar kepada Tuhan untuk segera dipertemukan kepada sebingkai rupa atas nama rindu yang sudah tidak tertahankan. Kita minta kepada Sang Maha Cinta akan cinta yang salah dimaknai. Bagaimana tidak? Para pecinta yang mencintai itu ternyata tak lebih hanya untuk memuakan hasrat agar dirinya mersa senang dan tenang. Dan dunia sekarang banyak yang suka mempermainkan cinta karena ego untuk menyenangkan diri mereka sendiri.

Berbeda dengan mereka, Tama sedikit memiliki cara yang berbeda dengan yang lain. Dia sering menantang lara disaat semua berburu nikmat. Dia memilih jatuh, disaat semua selalu berusaha merangkak naik. Melawan arus bukan berarti menentang kehendak semesta menurutnya. Sembari berjalan menuju kerumah, bukan rindu yang membuatnya tersenyum bahagia. Melainkan sebuah pertemuan yang tak pernah ia pinta. Perkataan Layla hanya mengucap jika nanti kita akan bertemu lagi. Meski tak tahu kapan dan berbatas apa jika bergelut dengan waktu. Arungi saja.

Tidak butuh ketepatan atau kepastian. Apalagi sebuah rencana dengan mengandai-andaikan seluruh prasangka. Jikalau ada rencana, itu hanya berlaku untuk hari ini. Karena esok pasti memiliki pengalaman yang berbeda. Lelap menjadi pemisah antara sadar dan tidak sadar. Tama sangat menyukai tidur menanggalkan raga, karena disana segala nafsunya terjerat. Bahkan sesekali ia merasakan kebahagiaan tanpa merasa terjerat seperti ketika raga itu mulai sadar. Akan tetapi, ketika monster (raga) itu mesti dibangunkan, sebuah pengembaraan siap untuk ditaklukan tanpa sebuah bejana maupun kencana. Karena lara akan selalu siap datang menerka dan menempa. Tertanam, terpupuk, hingga lara pun tumbuh.

Tama suka menikmati buah lara yang tumbuh dengan segala rasanya yang berbeda. Tapi, ada satu rasa yang sangat ia suka.

.

.

.

Cinta

.

.

.

(bersambung)

I. Antara Justifikasi dan Notifikasi

Sayup temaram malam itu tak menyimpan berjuta makna bagi Tama. Ditemani hujan gerimis membuat penantiannya semakin sendu. Antara berharap dan tidak. Sekarang atau tidak sama sekali. Penantian itu berawal dari sebuah rasa yang telah ia pendam selama ini. Hanya diam termenung, menumpuk asa. Ketika angan tentang Layla-seorang yang dicintainya- selalu menyapa. Menjadi ruang dalam pikirannya yang selalu menari diantara kebahagiaan ataupun kesedihan.


“Ini bukan awal maupun akhir
Walau rindu ini memekikku aku takkan berlari
Hanya oleh prasangka yang tek menentu
Aku akan terus mencinta perangaimu
Meski hanya sunyi yang menjadi teman raga ini.”


Tama merupakan sebuah pemuda yang kesehariannya memiliki pekerjaan sebagai penulis. Ia memiliki kebiasaan untuk mengungkapkan segala suasana yang berada di lingkungannya menjadi sebuah tulisan. Di zaman yang serba modern dan instan ini, memang menjadi sebuah penulis tidaklah mudah. Apalagi Tama merupakan orang yang selalu menyembunyikan namanya bahkan dirinya dari keramaian. Disaat setiap orang berlomba menuju ketenaran dengan berbagai macam karya dan prestasinya. Tama menjadi salah seorang yang paling menghindari kebiasaan tersebut.


Tama seorang penyendiri, ia pun tinggal di sendirian di rumah beberapa tahun ini. Ia tidak akan bepergian kemana-mana jika tidak ada teman yang mengajaknya. Penyendiri ini bukan berarti Tama tak pandai bersosialisai, akan tetapi ia memandang segala sesuatu telah dipenuhi prasangka. Baik itu benar ataupun tidak benar. terlalu banyak yang menyepelekan kehidupan. Bahkan, Tuhan pun mereka jual-belikan demi keeksitensian ormas-ormas agama tertentu. “Jangan sekali-kali membicarakan kalau kamu islam, tapi tunjukkanlah kalau segala lakumu itu menunjukkan agamamu.” Pesan seorang Syaikh yang dianggap Guru oleh Tama ini menjadi suatu pegangan baginya.


**********
(suara HP berbunyi)


“Jangan lupa nanti kita pukul 08.00 harus standby di depan kantor. Kita hunting foto ke Pasar Beringharjo.” Isi pesan grup Layla dan teman-temannya. Layla, seorang gadis tomboy yang hidup ke perantauan untuk melanjutkan petualangannya. Perangainya yang tomboy tak dapat membohongi kecantikannya yang terbalut dalam kulit cokelatnya yang eksotis. Senyum manisnya membuat para pria banyak yang memperhatikan. Tapi dari banyak pria tersebut, tak satupun dari mereka yang berhasil mendapatkan hati Layla.


Layla seorang gadis yang tak pernah ribet dengan penampilannya. Bisa dibilang make-up yang terpampang di meja riasnya sangat awet. Jika teman-temannya sudah beli 5 kali, mungkin Layla baru habis sekali pemakaian. Hanya di meja tersebut, ada satu pohon kaktus kecil berwarna merah pemberian dari seseorang yang sangat perhatian dengan Layla. Semenjak Layla masuk Sekolah Menengah sampai lulus sebagai seorang sarjana sekitar 5 tahun yang lalu. Kaktus itu adalah hadiah wisudanya. Disaat sahabat-sahabat Layla memberikan sebuah bunga, kaktus itu menjadi pembeda pada waktu itu. Bahkan bisa dibilang terlihat aneh.


“Selamat yaa Laa, akhirnya kamu bebas sekarang. Ini tak kasih temen yang mungkin akan bermanfaat saat kamu merasa sepi. Jangan pernah merasa kalau kamu sendirian dengan kebebasanmu” Ungkap seorang lelaki yang selalu terngiang di pikiran Layla.
Gelagat ingin memberikan sebuah pelukan ditunjukkan Layla pada waktu itu. tapi karena keadaan yang ramai membuat suasana menjadi sedikit canggung diantara mereka. “Semoga tuanmu juga tidak kesepian.” Balas Layla kepada kaktus mungil itu lirih, sembari menyandarkan kepalanya di meja dan terus menatapnya.


(Daaarrr …Daaarrr…Daaarrr)


“Laa, ayo berangkat! Temen-temen uda pada nunggu di depan lho.”seru Prisca dari luar kamar kos dengan tangannya yang usil menggedor-gedor jendela, salah seorang sahabat Layla di perantauan yang cukup humble dan easy going ini memang menjadi sahabat yang pas buat kepribadian Layla yang pendiam.


Sesampainya di Pasar Beringharjo, Layla dan teman-temannya saling berpencar mencoba berburu suasana gambar terbaik pada hari itu. Selain Priska, ada 3 rekan lain yang satu tim dengan Layla. Akbar, Diko, dan Rendi. Tim yang terbentuk 4 tahun yang lalu ini merupakan sebuah tim yang sering mendapatkan peringatan dari atasannya karena terlalu sering melewati batas peraturan. Meski sering dianggap mata oleh tim yang lain, tapi tim ini selalu berhasil menikmati segala kegelisahan dalam kebersamaan.
Ketika Layla menyusuri para pedagang sayur di pasar itu, tiba-tiba ia bertemu dengan Tama yang kebetulan sedang mencari sayuran. Baik Layla maupun Tama sama sekali tidak terlihat terkejut atau heboh. Mereka hanya saling melempar senyum seolah mereka sering berpapasan meski perjumpaan ini adalah yang pertama setelah terakhir kali bertemu 5 tahun yang lalu. Dengan sedikit canggung, Tama mengajak Layla untuk menikmati bakso di luar pasar.


“Hidup bersama raga sudah bukan menjadi keinginanku karena hati ini sudah dianugerahi angan. Dan sekarang mungkin sudah waktunya kamu mengetahuinya, Laa.” Ucap Tama.


Tampak awan pun seolah ikut hanyut merona dengan ucapan Tama kepada Layla. Menghembuskan angin yang membuat irama alam tampak merdu. Mengiringi jalinan kasih yang terpisahkan selama ini. Mempertemukan dua insan yang selama ini memendam rindu.


Layla hanya bisa terdiam mendengar ucapan Tama.


“Gimana maksudnya, Mas? Setelah sekian lama kita gak ketemu, tanpa pernah ada sapa terucap. Kenapa mesti kata-kata itu yang terungkap?” pikir Layla dalam hati.


“Maaf, kamu mungkin menganggap aku aneh atau gak jelas tiba-tiba ngelantur. Begitupun aku. Ini mungkin bisa sedikit menjelaskan semuanya.”kata Tama sambil memberikan 2 buah notebook kepada Layla yang selalu dibawa kemanapun Tama pergi.


“Apa ini?”


“Memang selama ini aku jarang menyapamu, bahkan tidak pernah sama sekali. Tapi ketika anganmu selalu datang menyapaku. Aku hanya bisa membalas sapaan itu lewat kata-kata di buku ini. Walaupun daripada yang tertulis, lebih banyak sapaanku yang akhirnya menguap di udara.”


“Kenapa tidak langsung sampaikan saja kepadaku sih, Tam?”tanya Layla.


Ingin Tama untuk menjawab panjang kisah cinta yang dialaminya. Betapa rindu ini seakan selalu tersesat di tengah padang gurun pasir. Begitu terik ketika siang, dan begitu dingin ketika malam Gersang. Atau tenggelam dalam lautan yang gelap tanpa pernah mendapat cahayanya. Bagaimana hanya siulan angin atau mengharap pada bulir-bulir air yang menguap merupakan tempat dimana satu-satunya cara bagi Tama menitipkan salam.


Pertemuan itu seperti suatu pemberitahuan bagi Tama akan angan yang selalu menyapanya. Atau malah Tama hanya melakukan tindakan pembenaran yang menurutnya baik dengan segala laku senyapnya selama ini dalam menunjukkan perasaannya. Meskipun demi kebahagiaan Layla.


“Makasih, Mas. Isinya apa nih? Lalu, adakah yang Mas harapin kalau aku sudah selesai membaca ini?” kata Layla yang cukup gembira dengan pemberian Tama.


(bersambung……………………)