Kebenaran yang Segera Layu

Awan semakin sering nampak mengenakan kerudung kelabunya. Meski masih bisa menahan derai air matanya untuk membasahi kehidupan yang sudah mengering. Pohon rambutan sudah banyak menyihir dengan bakal hijau segar buahnya. Namun, bunga kamboja yang indah itu, sebentar lagi akan layu. Jangan pernah paksa aku bicara ‘mengapa’ (layu)?

Akhir-akhir ini, mau tidak mau, suasana demonstrasi menjadi topik yang menjadi kewajiban untuk diperbincangkan. Dengan berbagai macam pandangan yang membawa aspirasi dengan etikat penuh kebaikan. Setidaknya, lebih bak khusnudzon daripada hanya diskusi tanpa disertai dengan tindakan aktualnya.

Kita tidak bisa mengindahkan sebuah pertentangan, namun kita masih bisa menghindari perdebatan. Walaupun, kita tidak pernah bisa melepaskan diri sepenuhnya dikarenakan pengaruh lingkungan ataupun media sosial yang terlanjur menjebak kita. Ada yang cemas, khawatir, bahagia, bahkan ada yang tidak peduli sama sekali terhadap apa yang terjadi. Terlepas dari apapun yang mereka rasakan, kita tidak pernah bisa memaksan seseorang untuk mengikuti jalan pemikiran yang lain. Sekalipun, kamu adalah seorang cendekiawan yang paling mendekati kebenaran di bagian akhirnya.

Tidak semua peristiwa demo ditunggangi, pun tidak semua demonstrasi juga bersih dari penumpang gelap alias provokator dengan berbagai kepentingannya. Tidak semua para demonstran memiliki adab yang baik. Begitupun sebaliknya, tidak semua pihak keamanan dapat menahan kesabaran jika terus mendapatkan provokasi oleh mereka yang jahil. Tapi, tuntutan media dan lingkungan selalu saja perlu suatu kejelasan, mana yang benar dan mana yang salah!

Apabila kita mencermati, undang-undang yang sedemikian rupa mengapa sangat lebih menggerakkan masa dibandingkan dengan mereka yang mengusung konsep keagamaan? Tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhinya, tapi apakah itu? Padahal sudah jelas kalau persoalan agama seharusnya lebih sensitif. Namun nyatanya, isu mengenai hukum manusia lebih banyak menggerakkan dan lebih viral.

Hanya saja, terdapat garis benang merah yang sangat jelas, yaitu kesamaan rasa. Rasa muak dengan sikap para wakil rakyat yang seperti itu (silahkan nilai sendiri). Antara wakil dan yang diwakilkan tidak terjalin sinergi yang bagus. Negara ataupun negeri sudah semakin tidak jelas. Kalau keadaan yang terpelihara seperti ini terus, secara pribadi saya sangat tidak setuju jika negara ini menjadi negara yang maju, terlebih secara ekonomi. Alangkah lebh baik menjadi negara yang prihatin terus, setidaknya untuk menjaga kedigdayaan dan kesombongan yang sudah sangat nampak. Intinya, negara ini belum siap menjadi kaya dengan mental yang sedemikian rupa.

Mereka yang teriak-teriak rezim, bla… bla… bla… yang seolah menunjukkan sikap tidak terimanya atas koloni pemerintahan yang nampak egois serta melindungi elit politiknya. Justru dialah calon kader kuat dari rezmi tersebut jika dia tidak berhahati-hati kelak, ketika ia diberi kekuasaan atau jabatan. Sikap tidak mau kalah dan egonya yang seolah merasa pikirannya-lah yang paling objektif (meskipun tidak merasa), bak buah simalakama di waktu yang akan datang.

 Kerakusan tidak bisa dibalas sebatas kelantangan. Kejahatan tidak akan selesai kalau melawan dengan pukulan. Kehilangan tak bisa dibalas hanya dengan tidur-enak di salah satu sudut penjara dengan fasilitas VIP. Bahkan, kerinduan tidak cukup terbalas hanya dengan sebuah perjumpaan. Dan mereka yang berdemo, sepertinya bukan sesuatu yang diharapkan oleh para pejabat untuk menjadi sesuatu yang dirindukan. Andai saja sikap mengayomi dan mengasuh rakyat itu memang ada, pertemuan di ruang terbuka dan disiarkan langsung oleh media massa bukan menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan.

Sepertinya kemesraan tidak (semoga belum) terjalin di antara mereka -Pejabat dan rakyat-. Lantas bagaimana mereka saling mengenal? Kecuali menganggap rakyat hanya sebagai bos yang mudah dikibuli, peliharaan yang menguntungkan. Hanya dengan amplop recehan, sanggup membawa seseorang ke puncak tangga kemunafikan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin tersisihkan. Bahkan yang sudah tersisih menjadi gelandanganpun masih diinjak dengan aturan hukum yang mereka buat. Konyol nan menggemaskan!

Jangan memaksa bicara kebenaran jika kenyamanan diri terlihat masih menjadi laku prioritas utama. Bunga yang indah akan segera layu, begitupun dengan kebenaran itu. Kita tidak akan bisa merubah kondisi semacam ini menjadi sebuah patokan, terlebih hukum buatan manusia. Memang asyik. Sangat mengasyikkan! Begitu banyak pembelajaran jika kita bisa menahan sikap. Jangan muluk-muluk dengan perubahan negara, jika bangun pagi saja masih susah, mencari pekerjaan juga masih pilih-pilih (terutama pria). Jika merubah diri sendiri masih sangat sulit, lantas perubahan negara seperti apa yang kau tawarkan?

Megelang, 30 September 2019

XV. –

Aku ingin berbisik

Tentang salah satu hari yang sepesial

Tentang sebuah kelahiran yang melahirkanku

Yang mengenalkanku pada dunia dan cinta

***

Aku ingin mengenalkanmu

Duduk bersama menceritakan semesta

Lalu meminta maaf kepadanya

Kalau ternyata sekarang aku lebih banyak merindukanmu

***

Sudah menjadi tugas angin membantu cahaya membuat kehidupan

Tapi hal itu urung membuat ia lupa

Untuk tetap menyampaikan rindu dalam semilirnya

Yang tersekat oleh senyap kehidupan

***

Tak pernah bisa aku menunjukkan arah

Karena itu bukan kusasku

Lantas, setidaknya masih bisa sedikit terus bercerita

Meski dalam seribu diam

***

9 Januari 2019

Dialektika Perubahan Masa Hingga Hak Atas Diri Sendiri

Tidak selamanya semua kata akan menjadi bermakna. Andaikata menjadi sebuah makna pun, tidak selamanya kita, bahkan aku sendiri mampu mengingat segala kata yang tersirat. Sekali lagi, pembenaran atas pemikiran pribadi selalu ditekankan kembali dengan memori-memori yang telah usang. Meski eksistensi selalu berada di balik topeng bertuliskan kebaikan.

Tentu tidak ada yang salah jika hal tersebut merupakan sebuah penekanan kembali atas sebuah kebenaran yang pada beberapa waktu yang lalu belum mampu dipahami oleh banyak orang. Kebetulan, gerakan massa yang terjadi menjadi jalan untuk membuka pandangan dan suara yang telah lama terpendam. Suara semakin lantang. Keberanian pun semakin membara dengan bertemunya mereka di jalan yang sama. Lawan!

“Sedang liat apa kamu, Wol” tanya Gus Welly yang melihat Bewol sedang asik dengan kotak androidnya di beranda rumah.

“Ini lagi memantau keadaan, cek ombak. Ternyata hampir semua media sedang membicarakan demonstrasi.” Terang Bewol.

“Oww, lha kamu sebagai anak muda kenapa tidak ikut memperjuangkan suara rakyat! Malah duduk-duduk santai dirumah melihat keadaan lewat HP. Mana mentalmu?” Gus Welly menggoda.

Bewol hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Gus Welly. Dan lebih memilih untuk lebih berkonsentrasi kepada HP-nya. Seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi lebih memilih untuk menahan dan memilih untuk cukup memberikan senyuman.

Gus Welly mengerti dengan kebiasaan aneh karibnya ini. Seorang pemuda yang penuh dengan kehati-hatian dan perhitungan. Dengan umur yang dibilang muda tersebut, Gus Welly sangat menghormati cara Bewol menghargai ketepatan waktu. Bahkan, Gus Welly yang notabene mendapatkan gelar “Gus”-nya sebagai akibat dari bapak yang kebetulan seorang Kiai, sangat banyak belajar dan bertukar pikiran dengan Bewol. Padahal, ilmu Gus Welly sendiri sudah pasti lebih banyak dan mumpuni.

“Lha, kamu sendiri kenapa gak berangkat demo, Gus? Kamu merasa sudah tua po?” balik Bewol mengajukan pertanyaan.

“Duuh, gini ni yang terkadang bikin males aku nanya sama kamu, Wol! Jawab Gus Welly.

“Atau jangan-jangan kamu tanya sama aku hanya ingin membenarkan opinimu, dengan berharap kesamaan pemikiran atas jawabanku? Apa, kamu ingin aku berargumen apa biar kamu benar?” kata Welly sembari menepuk pundak Gus Welly.

Angel ngomong karo kowe, Lurr….”

“Hahahahaha…….”

Sepertinya Gus Welly tidak menyadari perkataan Bewol. Meskipun disindir, nampaknya Gus Welly belum menyadari bahwa sudah menjadi bahasan hampir di setiap hari mereka berdua selalu membicarakan tentang permasalahan negara. Yang selalu menjadi topik pembicaraan yang hangat di malam hari sembari menikmati kopi dan rokok masing-masing.

Tapi, mengapa peristiwa demonstrasi seperti ini menjadi suatu hal yang menarik perhatian? Disaat seharusnya peristiwa yang terjadi ini tidak membuat gumun terlepas dari topik perbincangan mereka berdua setiap malam.

“Gus, harusnya kamu bisa memetekan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi jika kamu menginginkan sebuah perubahan. Dan kamu harus siap dengan itu!”

“Tapi pergerakan ini sangat masif lho. Mereka akhirnya memiliki keberanian untuk menyampaikan yang benar-benar ada di benak rakyat. Kita belum pasti mampu!” sanggah Gus Welly.

“Dan perlu diingat, mereka tergerakkan atau digerakkan? Dengan dasar kebenaran atau memang tulus wujud cinta dan kepedulian? Karena hal yang terkesan sepele ini akan sangat berpengaruh terhadap perubahan itu. Dan aku sendiri belum mampu.” Bewol mengakui kebenaran tentang ketidakmampuan dirinya.

“Terus karena kita terlalu banyak berdiskusi akhirnya kita hanya akan jadi pemerhati dan pejuang di media sosial tanpa pernah sekalipun terlibat langsung di jalanan.” Gus Welly mengejar.

“Apa aku harus bilang kamu Gus kalau ingin terjun ke jalan? Nyari kawan yang mau diajak bareng? Kalau kamu merasa tergerak tinggal berangkat gak usah nunggu siapa-siapa kan? Kebiasaan kita memang mudah nyinyir tapi minim aktualisasi, setidaknya terhadap kehidupan diri sendiri.” Seolah-olah Bewol ingin menyampaikan tentang kebersamaan disaat dirinya sendiri sebenarnya sudah ikut terjun sendirian ke jalan tanpa ajakan siapapun.

Sistem sudah terlalu mengakar, hingga perubahan pun tidak semudah membalikkan tangan. Semua saling berbagi peran dalam sebuah perjuangan atas nama kebaikan. Bahkan, jika permintaan tersebut sudah diwujudkan oleh pemerintah. Jangan kaget jika ada gerakan-gerakan lain yang menyusul karena permaslahan ini hanya apa yang baru muncul di permukaan. Sedang permukaan itu berlapis-lapis untuk menuju ke akar permasalahan.

Memang ini, hanyalah secarik coretan dengan penuh ketidakjelasan alur dan tujuan dari corat-coret ini sendiri. Memang enak yang terlihat simpel dan praktis namun mudah dipahami. Karena niat membaca lebih sulit daripada sekedar menuliskan sesuatu. Memetakan sebuah permasalahan lebih sulit daripada ikut langsung bercerita menggoreskan tinta sejarah.

Lhah, ini kan video awal tahun sebelum teater perdikan Simbah tentang Sengkuni.” Terang Gus Welly menunjukkan video argumentasi Simbah mengenai permasalahan bangsa. Yang kebetulan pas dengan situasi yang terjadi sekarang.
Nah, bukankah memang sebenarnya kita sudah dibikin geram sejak lama? Tapi kita diajarkan untuk tidak terlalu begitu resah dengan keadaan yang semakin menyudutkan rakyat kecil, seperti aku.” Timpal Bewol. “Jangan sampai kehilangan kenikmatan untuk menikmati sesuatu, jangan sampai membenci orangnya, tapi bencilah sikapnya.” Lanjut Bewol menyampaikan kata-kata Simbah yang sangat ia pegang.

“Iya, kita sudah dilatih untuk bersedekah sekalipun negara tidak pernah memberi apapun terhadap kita.” Sahut Gus Welly.

“Kamu harus jelas hidup itu mengabdi kepada siapa? Biar tidak gampang goyah dan resah.”

“Sekalipun kamu bergerak atas dasar kemanusiaan, jangan ge-er kalau Tuhan terus akan membelamu.”

“Memangnya manusia memiliki hak?”

Nih baca! sembari menyodorkan kotak androidnya yang berisikan tulisan Simbah. Yang terkadang lupa untuk kita pegang. Dan untuk belajar niteni. Masalah utama tidak terletak pada bentrok terus-menerus yang terjadi, karena masalah utama kita terletak di dalam sendiri, pada pandangan terhadap nilai, moral dan cara berfikir kita yang banyak keliru sebagai bangsa.

28 September 2019

Jangan Khawatir Tidak Kebagian Berkah, Kita Sesama Manusia yang Berjuang!

Ada satu hal yang menarik dan unik dari gelombang demonstrasi jilid ini dengan poster-poster yang unik. Akan tetapi, sangat jarang menjadi pembahasan bahkan headline di suat kabar media massa. Kecuali hanya foto-foto yang terpampang dengan judul berita yang menjual. Bahasan tentang RKUHP ataupun kerusuhan yang terjadi pasti akan lebih banyak menarik perhatian pembaca daripada apa yang saya perhatikan.

Kita semua pasti sangat mengetahui peran media sebagai penyebar suatu kabar atau informasi. Tentang baik atau buruknya sebuah konten bukan menjadi pertimbangan utama, karena mereka lebih memprioritaskan keuntungan dari banyaknya jumlah para pembaca dibandingkan dengan menyampaikan kebaikan. Menyebarkan keresahan lebih banyak menarik perhatian daripada menyebarkan kabar kebahagian. Dari situ pula mengapa infotainment akan hidup dan terus hidup, meski hanya mengabarkan sebuah gosip kehidupan seseorang yang terkenal.

Jika kita lebih memperhatikan tingkat kreativitas anak muda ini, dengan melihat apa yang tertulis dalam poster yang mereka bawa. Maka, kita akan melihat betapa mereka menyampaikan aspirasi mereka dengan cara yang membahagiakan dan bisa dibilang inovatif. Saya yakin ketika mereka menulis di poster-poster unik tersebut, pasti dengan semburat senyum atau mungkin tawa dari kawan-kawan seperjuangannya. Level kata-kata mereka bukan lagi sarkasme atau langsung blak-blakan seperti demo-demo pada umumnya. Tapi lebih memilih kata-kata satir atau mengibaratkan sesuatu. Sehingga tak sembarang orang yang mampu memahaminya. Jadi maklum saja, kalau ungkapan satir yang disampaikan para mahasiswa belum tentu mampu dipahami oleh para wakil rakyat jika tidak se-frekuensi.

 Keberanian itu muncul sebagai akibat dari persamaan rasa atas ketidakadilan kebijakan yang dibuat dengan mengatasnamakan nama wakil rakyat. Mewujud sebagai sebuah gerakan masa, menyatu atas nama perjuangan. Sepertinya mental supporter keluar atas kesamaan rasa. Tak mau timnya kalah dalam permainan ini. Meskipun, bukan skor yang diperebutkan dalam pertandingan kali ini, akan tetapi rasa kenyamanan atas nama logika pemikiran tentang sebuah aturan kebijakan. Ndilalah, kali ini banyak memiliki pembenaran perspektif yang sama. Hingga tidak perlu lagi merasa berjuang sendirian. Hingga segala ekspresi itu dapat dilantangkan keluar sebebas-bebasnya menjadi fenomena keunikan tersendiri dalam peristiwa (yang katanya bersejarah) ini.

Tentu saja tak semua kelantangan tersebut akan didengarkan. Terkadang justru mereka yang diam dan menepi akan lebih terdengar. Untuk melawan, satu hal yang perlu diketahui adalah kita harus benar-benar mengetahui siapa lawan sebenarnya. Selanjutnya kita menakar diri ataupun dengan massa yang kamu ajak apakah cukup? Dengan memviralkan segala konten perjuanganmu, pembelaanmu atau pembenaran atas segala pemikiranmu tersebut mampu merubah situasi? Atau justru apa yang kamu kira sanggup mengobati luka tersebut, justru menambah penyakit. Justru menambah kemudharatan dan ketidakbermanfaatan. Bahkan, ternyata lebih banyak merugikan. Setidaknya terlihat jelas di banyak fasilitas yang dirusak oleh kelompok yang sedang melakukan perjuangan.

Kita sama-sama manusia, dan pada akhirnya sekali lagi berhasil diadu-domba. Perubahan? Bodo amat! Terlalu banyak berdiskusi tanpa mufakat, dan minimnya tindakan aktual selanjutnya yang jelas. Selalu saja berakhir seperti siklus yang berputar-putar terus. Padahal, banyak ilmu untuk menumbuhkan kedewasaan yang tidak bisa langsung disadari. Hukum yang diributkan tersebut merupakan buah tangan siapa? Kalau saja mereka menyempitkan kebebasanku sebagai manusia dengan hukum yang mereka buat tanpa persetujuanku (lagian siapa ‘aku’)! Yaudah, mungkin aku anggap hal tersebut akan melatih keprihatinanku.

Jangan Berharap Keadilan Terhadap Manusia. Teruslah Berusaha!

Saya memang cenderung tak peduli dengan aksi masa, meskipun rasa penasaran mengarahkan saya menembus barikade keamanan dengan menggunakan sepeda motor. Santuy. Kecendurungan manusia adalah mencari kenyamanan dan kenikmatan. Perselisihan selalu terjadi sebagai akibat berebut kenyamanan yang memiliki standarisasi yang berbeda bagi setiap insan. Aku hanya perlu lebih giat belajar menyesuaikan diri di setiap lingkungan tersebut.

Namanya juga pemerintah, jika disesuaikan pemaknaannya dengan kata imbuhan menjadi pe-perintah-an alias tukang perintah. Sejak kapan mereka menjadi fasilitator negara? Disaat mereka juga mencari pendapatan laba dari institusi kelembagaan mereka. Rakyat memang aset komoditas utama bagi si tukang perintah. Makanya, merdekakanlah diri dari yang suka memerintah. Kecuali mereka berganti nama menjadi pengayom atau pengasuh.

Sudah terlanjur terlontar kata caci-maki dan saling benci. Level menahan kata-kata cacian pun semakin meruncing. Semoga saja kata-kata itu sedang tidak berlaku dan tidak melesat layaknya do’a. Misi’nya’ sementara ini terlihat sukses dengan menyulut perselisihan. Perspektif tentang benar dan salah akan menjadi jurang pemisah. Sekali lagi mereka akan saling menjatuhkan. Kemenangan adalah tujuan dari sebuah perselisihan, sekalipun masing-masing berangkat dengan niat kebaikan. Walanaa a’maluna walakum a’malukum, wanakhnu lahu mukhlishun. (Bagiku amalanku bagimu amalanmu, dan hanya kepadaNya kami tulus mengabdi.) Dan mencintai sesama para hamba sahaya adalah salah satu bentuk pengabdianku kepada yang memilikiku. Sekalipun kamu berusaha menindasku, merendahkanku, menikamku, bahkan membunuhku. Aku akan terus mencintamu!

Semua perjuangan ini dilakukan sebagi bentuk atas nama keadilan. Konflik dasar yang hampir berada di setiap generasi pada zamannya. Selalu ada yang merasa tertindas. Drama selalu tercatat dan terdokumentasi sebagai suatu pembelajaran sejarah. Atau bisa juga menjadi sesuatu yang manipulatif demi kepentingan jangka panjang pihak tertentu demi terjaganya kenikmatan.

Apa asyiknya dunia tanpa sebuah kejahatan? Tidak ada batasan untuk melakukan perjuangan atas nama keadilan dan kebaikan. Hanya saja jangan terlalu berharap keadlilan terhadap manusia, agar tidak menimbulkan kekecewaan jika tuntutan tidak terpenuhi. Pada akhirnya semua akan berjuang dalam medan juangnya masing-masing melawan kejahatan. Lahaa maa kasabat, walakum maa kasabtum walaa tus-aluuna ‘ammaa kaanuu ya’maluuna. (Bagimu apa yang kamu usahakan, baginya apa yang mereka usahakan, dan kamu tidak dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka kerjakan.) Teruslah berusaha meskipun keadaan terlihat baik-baik saja.

Ingat, kita sama-sama manusia yang sengaja dilibatkan dalam medan permainan. Segala peristiwa seharusnya menjadi ruang pembelajaran. Kebenaran akan sulit didapat jika kita mengharap keadilan kepada sesama manusia. Semua memiliki perannya masing-masing. Semua manusia mendapatkan hidayah dan rahmah. Ini adalah bagian dari sebuah proses transformasi khoirun anfa’uhum lin-nas menuju lil’alamiin. Dunia adalah tempatnya ketidakadilan dengan berbagai macam rona cakrawala cara pandangnya. Jika tuntutan keadilan yang kamu inginkan, salah satu kepastian keadilan bagi yang hidup adalah kematian. Bukan begitu?

Magelang, 27 September 2019

V. Bersembunyi di Balik Sukma

Entah mengapa kabut itu menghilang setelah perjumpaan tanpa sebuah kata sepakat. Digantikan oleh keelokan Sang Fajar yang meyapa, menyirami rona semesta sebuah pengembaraan di pagi hari itu. Meskipun lisan tak pernah sanggup untuk mengungkapkan, setidaknya sebuah isyarat sudah cukup bagi alam raya untuk merestui sebuah tatapan antara Layla maupun Tama untuk saling melepas lega.  

Bagi Tama, raganya seolah selalu enggan untuk segera menuntaskan rasa rindunya. Menepikan segala peluh kehadiran angan yang selalu memekarkan hasrat untuk dicintai sebagai seorang manusia. Tak ada manusia yang sanggup hidup tanpa cinta. Akan tetapi, makna akan cinta sendiri bagi Tama seolah telah tereduksi oleh berbagai macam tendensi untuk memuaskan hasrat pribadi, bukan karena benar-benar tulus mencintai.

“Tam, jangan CLBK lho..” cela Antok menanggapi ekspresi Tama kepada Layla. Sedang Tama hanya menanggapi dengan senyumannya.Sebuah senyuman tersebut bagi Tama sendiri merupakan cinta yang selalu hadir setiap hari, meskipun dalam wujud yang tak hanya bisa dilihat dengan pantulan cahaya wadag. Tapi, oleh sahabatnya dimaknai sebgai sebuah cinta lama yang mungkin bisa jadi adalah cerita usang bagi karibnya. Padahal bagi Tama, rasa tersebut menyapa tidak hanya setiap hari, namun di sepanjang waktu pengembaraannya setelah awal perjumpaannya dengan Layla. Hanya satu kata yang terucap diantara senyumannya menanggapi candaan Antok, “ngawuuur….”

***

Rendi sedikit merasa aneh terhadap ekspresi Layla dalam pertemuan dengan teman-temannya tadi. Membuat ruang kegelisahan sendiri dalam benak pikiran Rendi. Terlebih, melihat tatapan Layla kepada Tama yang tak pernah satupun ia dapati selama beberapa tahun ini berada di dekat Layla. Rendi menyangka bahwa Layla masih menaruh perhatian atau bahkan rasa yang tidak didapat Rendi dari Layla. Rendi sendiri sangat menyayangkan jika Layla masih menaruh perhatian tersebut dari seseorang yang dahulu telah menyakiti hati Layla.

“Heh, Ren. Lagi mikir apa to?” tanya Layla melihat Rendi yang terlihat gusar.

“Emmm… sepertinya ada yang membuatmu bahagia hari ini, Laa. Jangan-jangan….”

“Apa sih kamu, Ren! Ngawurr lho..” potong Layla.

“Kaaan, kita kan udah berteman lama, jadi ekspresimu itu gak bisa berbohong. Terlebih tatapanmu saat melihat si Tama.”

“Mulaiiii… Terus aja terus! Dipersilahkan lhoo bagi Tuan Rendi, Sang Kritikus, untuk memberikan penilaian atas dasar prasangkanya. Eh maaf, keilmuannya.”

“Terima kasih atas waktunya, Baginda Ratu Idealis, yang selalu saja banyak membuat orang-orang terkagum.”

Tak bisa dihindari jika pertemuan tersebut memang meninggalkan jejak tersendiri di fikiran Layla. Pertemuan dengan kata sepakat selalu dihindari. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana untuk mempertemukan meski tanpa kata sepakat. Hal ini tentu saja sangat mengganggu bagi Layla, terlebih dengan pemikiran idealismenya tentang cinta. Selepas rasa bersalahnya atas Tama pada waktu itu. Hingga rasa itu, kini seolah mulai tumbuh dan membentengi diri Layla sendiri.  

***

Sudah menjadi kebiasaan bagi Tama untuk mendokumentasikan segala nusansa perjalanan ke dalam sebuah goresan tinta. Dengan presisi kelokannya yang mampu membentuk idiom bahwa itu adalah huruf. Hingga goresan huruf itu mampu berjajar rapi membentuk sebuah kata. Kata-kata itu akan bersengkongkol menjadi sebuah kalimat demi terciptanya sebuah makna. Dan bagi Rendi, dunia ini sendiri belum seberapa jika mesti dibandingkan dengan dunia makna. Dunia ini hanya butuh pantulan cahaya materi untuk dapat dipahami, tapi di dunia makna dibutuhkan bantuan cahaya illahi supaya mudah dimengerti oleh akal. Cahaya materi mampu menafsirkannya, namun pada akhirnya akan sering menimbulkan perselisihan dan kesalahpahaman.

Bukankah ada cahaya di atas cahaya? Semesta selalu mempunyai cara untuk memberikan pelajaran, terutama mengintervensi pengembaran Tama yang sering dinamai sebagai perjalanan kehidupan. Membentur-benturkan batinnya seolah menjadi ujian praktek langsung ketika mendapatkan pelajaran ilmu yang baru. Baik oleh gurunya maupun teks literasi yang Tama baca. Tuhan seolah ingin membentuk Tama menjadi seorang yang tangguh dan bijaksana. Dengan cipratan cinta-Nya.

Ketika menuju perjalanan pulang setelah mengantarkan Antok di rumahnya, rasa rindu itu mneyeruak. Bahkan di sekujur rasa rindu itu sendiri serasa bergetar atas hasrat yang selalu terpendam. Pulang menjadi sebuah perjalanan yang panjang dengan angan yang selalu mendekap. Seolah rumah kosong itu menjadi tempat peraduannya.

“Mengapa kita mesti bertemu?” seolah pertanyaan itu terus terulang di dalam pikiran Tama.

“Bukankah kau merinduku?” terdengar angan itu menjawab lirih.

“Kalau memang begitu, mengapa dulu engkau mencampakkanku? Masihkah belum cukup, anganmu kubiarkan datang sesukanya seperti ini?”

(Angan Layla hanya tersenyum seperti biasa)

“Bahkan, senyuman itu, tidak berubah sama sekali… “ sembari mengingat senyum Layla di pertemuan tadi pagi.

Elok sang fajar menyapaku menyirami semesta
menepikan peluh hadirmu selalu menyatukan insan
antara raga dan sukma yang terurai

***

(8 tahun yang lalu)

Tama merupakan orang terdekat bagi Layla. Hampir setiap hari, bahkan setiap waktu mereka selalu menjalin komunikasi satu sama lain. Membahas apa saja di hari-hari yang mereka lalui. Tiada hari tanpa Tama bagi Layla, pun sebaliknya.

Berbagi masalah pribadi sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada tabir sama sekali di antara mereka. Khusus bagi Tama, Layla merupakan pendengar terbaik disaat keluhan tentang perjalanan kehidupan selalu menyapa Tama yang justru datang dari lingkunagan yang seharusnya menjadi sebuah pelindung. Bisa dianggap Layla merupakan rumah kedua bagi Tama.

“Laa, kamu dimana?” tulis Tama dalam sebuah pesan ingin menagih janji untuk saling bertemu. Namun, Layla tak kunjung membalas pesan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang Tama menanti balasan pesan singkat dari seorang perempuan yang begitu aktif di sekolahnya. Sebegitu pentingnya kehadiran Layla bagi teman-teman sekolahnya. Kebahagiaan seolah tercurah ketika siapapun berada di dekat Layla. Pada umumnya, mayoritas orang akan berkata bahwa Layla memiliki inner beauty yang sungguh indah.

(Suara notifikasi HP berdering)

Tama pun bergegas membukanya berharap itu merupakan pesan balasan dari Layla. Namun ternyata pesan permintaan tolong dari seorang kawan-lah yang masuk. Di saat bingung untuk mengonfirmasi kesanggupan, nampak sebuah amplop berwarna kuning sekali lagi nampak terdapat tanda bintang merah, yang merupakan pertanda terdapat sebuah pesan baru lagi. “Di hatimu.” Balas Layla singkat.

Setidaknya frasa kata tersebut sedikit membuat detak jantung Tama semakin cepat. Meskipun, dalam kedekatan yang sudah terjalin ini pun mustahil jika rasa hanya tumbuh sebatas kawan atau sahabat. Ketidakpantasan selalu menjadi alasan Tama untuk menahan perasaannya sendiri. Kenyamanan yang sudah tercipta enggan Tama ucapkan jika pada akhirnya hanya akan membuat canggung jika terselip kata cinta.

Namun, balasan singkat itu seperti mengukuhkan niat Tama, setidaknya untuk mengungkapkan apa yang telah dirasakannya. Toh, umur mereka juga kian beranjak dewasa. Ya, sebagai seorang lelaki, pernyataan ini mungkin bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban atas rasa yang tak pernah bisa dicipta atau dipaksakan.

Di suatu pagi yang cerah, Tama dan Layla sedang menikmati es kelapa muda. Menikmati belaian angin yang berangsur mengusap keringat mereka berdua. Bercanda dan tertawa menafsirkan semesta yang memberikan keteduhan itu.

“Laa, salahkah kalau aku memiliki rasa yang sering mereka sebut cinta?” tiba-tiba Tama menyela.

………………………………………. .

***

(Di rumah Layla)

Sesampainya di rumah, Layla pun tak bisa begitu saja menghilangkan makna dari pertemuannya kembali dengan tama. Bahkan, malam demi malam yang telah dilalui justru semakin menambah rasa penyesalan atas sikap yang telah dilakukannya kepada Tama waktu itu. Pertemuan yang membukakan pintu kenangan yang telah lama Layla tutup rapat-rapat.

Layla merasa hal tersebut hanyalah rasa bersalahnya yang berubah menjadi rasa iba. Atau mungkin kedekatannya waktu itu tak lebih hanya sebatas rasa ibanya kepada Tama atas perjuangannya yan telah dilakukan. Dan sebuah kekaguman atas pengalaman yang oleh Tama selalu dijadikan ruang pembelajarannya untuk berani mendobrak!

“Tak ada yang salah dengan keputusanku!”

“Pertemuan tadi pun hanya kebetulan.”

Kedewasaan serta kemandirian menjadikan Layla semakin pintar melakukan pembenaran atas tindakannya. Meskipun, sekarang pintu itu telah terbuka kembali. Tama seolah selalu berbisik luruh menuntun, disaat Layla dengan kedewasaannya seolah tak mendengar pesan-pesan itu. Terkadang, Tama menyalakan cahaya remang Layla. Tapi, Layla meredupkannya dengan keinginan yang lain.

“Sebegitu cintakah engkau kepadaku?” kata Layla kepada kelapa muda yang sedang ia nikmati untuk menuntaskan dahaganya. “Aku sedang berusaha mencintai diriku, apakah kamu menjadi bagianku?” lanjut Layla.


ia bersembunyi di balik relung sukmamu

tapi malah semakin engkau sembunyikan
ia sangat dekat denganmu
tapi engkau mengira jauh dengan ilmumu
bagaimana engkau mau mengenalnya, jika kamu sendiri enggan untuk menganggapnya?

(Bersambung)

Rakaat Panjang Generasi Pejuang!


Mungkin, ini merupakan salah satu daya dan upaya para masyarakat yang masih peduli dengan keadaan negeri ini. Terima kasih kepada segala elemen masyarakat yang telah menyedekahkan waktu dan tenaganya untuk turun ke jalan demi perubahan apapun menuju keadaan yang lebih baik.

Sebenarnya, masalah ini agak klise dan menggemaskan. Bagaimana tidak? Mereka hanya mempermasalahkan produk kerja anggota dewan perwakilan rakyat (yang seharusnya mewakili aspirasi rakyat), dimana rakyat sendiri merasa tidak terwakili aspirasinya dalam hasil kerja tersebut (khususnya RUU KPK dan RKUHP). Seharusnya jelas batal, tidak perlu sekelas  Presiden menunda-nunda keputusan kalau hanya akan memperpanjang drama. Terlebih, mayoritas ini adalah gerakan aksi mahasiswa yang tidak hanya melibatkan segelintir universitas di satu kota. Namun, gejolak telah merambah di berbagai daerah lain.

Saya sendiri yang melibatkan diri menjadi saksi, melihat betapa tulusnya perjuangan para adik-adik mahasiswa ini. Meskipun prasangka-prasangka ditunggangi kepentingan sana-sini, mereka seolah tetap tak mempermasalahkannya. Hal lain yang perlu menjadi pokok pertimbangan dalam perjuangan masif ini adalah mereka mayoritas masih tidak memiliki kepentingan politik sama sekali. Mereka mayoritas masih fitrah dari nafsu-nafsu kekuasaan. Mereka tergerak karena -para wakil rakyat- melakukan kesewenangan sepihak yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat dan terkesan melindungi kepentingan-kepentingan para elit politik.

Dalam situasi seperti ini, negeri ini memerlukan kebijaksanaan kepala rumah tangga untuk meluruskan persengketaan ini. Kita memerlukan sosok untuk menengarai, menjembatani, mewadahi. Tidak hanya sebatas simbol atas tonggak kepemimpinan, akan tetapi berani untuk keluar dari agenda jadwal disaat kondisi rumah tangganya sedang krisis. Apalagi bersedia menyapa langsung para agen perubahan. Pertanyaannya, siapakah kepala rumah tangga tersebut?

Kita butuh suasana keterbukaan, bukan saling mensiasati. Kita ikhlas berpanas-panasan agar suara kami terdengar. Tuntutan kami tidak banyak, tidak membutuhkan anggaran sebanyak satu kali rapat para wakil kami merumuskan kebijaksanaan yang (maaf) ambigu. Apa suara kami masih terdengar sumbang hinga perlu kami lantangkan terus dan terus?

Sepertinya akan lebih baik jika kursi-kursi perwakilan DPR itu diisi oleh para pemuda-pemuda yang peduli terhadap bangsanya. Yang rela meninggalkan kelas-kelas mata kuliahnya -meskipun rektor mereka tetap menginstruksikan para dosennya untuk tidak meliburkan kelas- demi nasib bangsanya yang hukumnya dipermainkan oleh segelintir pihak yang tak bertanggung jawab.

Bayangkan, para pemuda ini tidak perlu gaji ataupun fasilitas-fasilitas mewah. Untuk sekali rapat hanya butuh akomodasi serta konsumsi. Suasana rapat pasti sangat produktif dengan segala argumentasi dan cakrawala pandangan para pemuda bangsa. Dan yang pasti, tidak ada kepentingan politik sama sekali dan tulus menyalurkan aspirasi rakyat. Tidak ada oposisi ataupun koalisi, bahkan walked out. Ataupun tidur saat ada sidang.

Sangat bisa segala keruwetan politik itu diudar demi kemudahan dan keterbukaan. Segala ke-njlimet-an ini telah terbentuk berlapis-lapis, disaat tiap lapisan itu selalu kelaparan dan menuntut bagiannya. Haruskah kita mengkaji bersama, duduk melingkar atau ngopi bareng para pejabat? Memaksimalkan bagian-bagian yang lebih bisa dipadatkan. Dan jika itu berdampak pada kuantitas ASN, selesaikan solusinya bersama.

Bukan menjadi sebuah hal yang tabu bagi para mahasiswa, dimana jika ada proyek dosen untuk melakukan penelitian dan sebagian dari mereka diminta untuk ikut membantu, mereka pasti sangat senang . Terlebih, dari sudut pandang dosen, mahasiswa-mahasiswa ini merupakan tenaga kerja yang sangat bisa dimaksimalkan. Bayangkan jika para mahasiswa itu yang menduduki gedung DPR! Karena saya juga sangat yakin, banyak rakyat yang diluar sana yang tulus dan rela memikirkan keadaan negara setiap malam.

Pemerintah seharusnya memperhatikan hal tersebut dan menyediakan wadah bagi hasil-hasil aspirasi yang muncul setiap harinya. Memfasilatasi ruang diskusi publik. Tanpa memandang latar belakang pendidikan atau identitas-identitas lainnya. Kita sama-sama membangun moral, saling jujur, terbuka dan menciptakan ruang kegembiraan bersama.

Agar tak hanya sekedar menjadi sebuah wacana, namun dapat diciptakan bersama. Ini adalah rakaat perjuangan yang panjang, dan meskipun dimulai dari sekarang Perubahan tidak se-instan yang dibayangkan. Tapi setidaknya, yang sadar telah berjuang semaksimal mungkin demi generasi penerus berikutnya. Estafet tonggak perjuangan antar generasi harus terus dilakukan.

Kita tidak akan pernah bisa menghindari sebuah masalah, perselisihan, pertikaian, atau segala hal negatif lainnya. Karena, pada akhirnya kita akan belajar dan memahami. Bahwa segalanya adalah tentang pendewasaan dan kebijaksanaan. Semoga saya masih bisa menikmati para pemuda-pemuda ini menjadi pemimpin bangsa ini. Standing applause dan BIG RESPECT buat para pejuang muda! 

Mari kita saling menjaga dan hindari ujaran-ujarang yang mengakibatkan kebencian antara yang satu dengan yang lain. Mahasiswa dengan daya intelektualitasnya mesti bisa kooperatif dengan pihak keamanan. Sebaliknya, pihak keamanan dengan kebijaksanaannya juga mesti sanggup ngemong serta mengawal keamanan anak-anak muda ini dalam menyuarakan aspirasinya. Segala percikan-percikan kecil jangan langsung dimaknai secara substansial agar tidak banyak terjadi kesalahpahaman. Karena tidak semua pihak keamanan itu buruk dan tidak pula semua bagian perjuangan memiliki adab yang baik. 

Semoga, para pejuang ini benar-benar membawa nilai-nilai kebaikan. Generasi yang dijanjikan untuk saling mencintai dan dicintai, oleh Yang Maha!

Menemukan Kejujuran dan Kebijaksanaan “Pejuang Akhir Zaman”

Rona rupa remaja malam itu sedikit mencitrakan kesiapan mental mereka untuk menapaki jenjang kehidupan berikutnya. Setidaknya, hal tersebut yang saya maknai ketika melihat wajah para pemuda-pemudi murid dari SMA N 4 Yogyakarta. Meskipun seharian otak pikiran mereka mesti bekerja untuk memakan ilmu mata pelajaran, namun tak nampak sedikitpun mimik kelelahan teraut di wajah mereka. Justru, kegembiraan dan antusias yang terpancar, menyambut para pejalan maiyah yang berdatangan silih berganti dari luar lingkungan sekolah.

Mbah Nun bersama jajaran kepengurusan sekolah dan tamu undangan yang lain mulai menaiki panggung sekitar pukul 20.00. Acara yang diselenggarakan oleh Rohis sekolah tersebut ini memiliki tema yang menurut Mbah Nun sangat bagus, yaitu “Pejuang Akhir Zaman”. Sangat berani bagi jiwa pemuda untuk menyadari sebuah perjuangan di era yang serba tidak jelas. Jika zaman dahulu, musuh nampak nyata. Berbeda dengan zaman sekarang, musuh banyak menyelinap sebagai orang-orang munafik, sehingga sangat sulit untuk membedakan, antara kawan atau lawan.

DI awal pembukaan, Mbah Nun sedikit menyinggung tentang gundul-gundul pacul. Bagi, mereka para pejalan maiyah pasti sudah tidak asing lagi terhadap idiom gundul-gundul pacul beserta maknanya karena sudah sering menjadi tema pembahasan. Lantas, Mbah Nun mengajak menjadikan gundul-gundul pacul sebagai term untuk merangkai pertanyaan-pertanyaan.

“Harus lebih pinter bertanya daripada pinter untuk memberi jawaban.” Kata Mbah Nun sembari menjelaskan kalau sekolah hanya melatih para muridnya untuk memberikan jawaban. Bahkan, hanya dibatasi oleh rumusan benar dan salah. Saya sedikit teringat oleh pesan Mas Sabrang di Mocopat Syafaat kemarin bahwasanya tidak ada pengetahuan yang sama sekali tidak ada gunanya. Karena hal ini, mungkin saja akan sangat berpengaruh kepada mentalitas para muda-mudi di masa depan mereka yang akan menjadi arena perjuangan.

Untuk menjelajahi kehidupan ini, mengapa Mbah Nun menyampaikan pesan untuk lebih sering menemukan pertanyaan-pertanyaan mengenai kehidupan sangat bisa dikaitkan dengan kejujuran, menurut subjektivitas saya. Terlebih dalam lingkungan formal tentang “benar dan salah”. Nilai akademik hanya memacu pada jawaban yang benar, tanpa memperdulikan bagaimana proses mendapatkan jawaban yang benar tersebut. Ketakutan akan nilai akademik melatih siswa untuk mendapatkan jawaban yang benar terlepas dari baik atau buruknya proses mendapatkannya.

Baik hasil atau proses sama-sama pentingnya. Jika menentukan mana yang lebih baik pasti akan menimbulkan banyak perdebatan dikarenakan perbedaan pengalaman satu dengan yang lain. “Apakah jika benar itu pasti baik? Jangan hanya mengandalkan kebenaran dan harus ada akurasi, syukur bisa menemukan kebijaksanaan.” pesan Mbah Nun. Terlebih di zaman yang semakin pintar ditandai dengan semakin bertambah banyaknya jumlah lulusan sarjana, mengapa moral yang terbentuk mesti demikian?

Satu dua nomor lagu oleh Kiai Kanjeng masuk diantara sela-sela pembahasan untuk menambah kekhidmatan sinau bareng malam ini. Memohon kepada Sang Pemilik Pengetahuan untuk lebih mencurahkan cakrawala pengetahuan-Nya kepada hamba-hamba yang masih fakir akan pengetahuan ini. Berharap lantunan lagu-lagu yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng selain  membawa kegembiraan, pun menawarkan secerca asa bagi para pejalan maiyah yang tertunduk tulus mendengarkan setiap gelombang suara yang mengetuk qalbu, berharap akan sebuah pertemuan atas rasa rindu yang sudah sedemikan lama terpendam. Dalam hening dan segala manifestasi keterbatasan ruang yang ‘aku’.

Workshop kali ini agak sedikit berbeda, daripada membentuk kelompok dan memberi bahan diskusi. Mbah Nun lebih meminta beberapa siswa/i dari SMA N 4 Yogyakarta untuk belajar menjadi notulen. Berlatih mencatat segala apapun yang berlansung dalam acara sinau bareng malam ini. Hadits itu sebuah pernyataan dari Rasulullah, Akan tetapi, segala buah pernyataan yang tertulis akan sangat bergantung kepada pemikiran yang mendengarkan. Mbah Nun mempunyai maksud agar semuanya belajar untuk lebih cerdas menggambarkan lingkungan informasi yang tersampaikan.

Zaman Rasulullah dahulu sudah akhir zaman, sekarang pun demikian. “Akhir zaman itu maunya kapan? Anda ini sebagai pejuang, anda pejuang di Indonesia, di dunia, di keluargamu, atau dimana? Harus jelas!” Mbah Nun menegaskan untuk lebih mengetahui posisinya masing-masing. Agar lebih mengenal otentisitas dirinya terlebih dahulu, syukur-syukur mengenali fadhilahnya untuk melakukan perjuangan sesuai takarannya. Kita mesti pintar menakar diri, dan mengetahui empan papan.

Ada seorang pemuda mengajukan pertanyaan kepada simbah mengenai sikap generasi millenial. Kebanyakan mengetahui permasalahan atau konflik yang terjadi, namun lebih memilih sikap untuk diam. Mbah Nun kemudian bertanya kepada pemuda tersebut, “Menurutmu, berapa presentase perbandingan antara yang lebih memilih masuk gua dengan yang memilih untuk mengambil tindakan?” Mbah Nun kemudian mengibaratkan tentang orang-orang yang memperdebatkan jumlah ashabul kahfi yang terkurung di dalam gua. Sama halnya dengan pemuda yang bertanya itu yang masih terikat dengan jumlah akan yang mengetahui kebaikan. Tentang sikap yang diambil, biarkan masing-masing meniti jalan kebaikannya.

Manusia hanya bisa menerka-nerka akan kebenaran sebelum memulai sebuah perjuangan. Di akhir acara Mbah Nun hanya berpesan agar kita belajar Al-Qur’an dan hadits sebanyak-banyaknya dan bebaslah dari ikatan mahdzhab, lalu jadi dirimu sendiri. Karena manusia terlalu sibuk berebut kebenaran golongan/mahdzhabnya masing-masing. Berhenti kepada hal “benar dan salah”. Lupa akan pentingnya sebuah proses dengan kejujuran meskipun hasilnya tak begitu memuaskan bahkan bisa salah. Akan tetapi lebih memilih mengutamakan hasil ‘benar’ dengan mengesampingkan kejujuran sebuah proses pencapaiannya.

Pejuang akhir zaman mesti jujur terhadap dirinya sendiri. Kita tak bisa mengandalkan sekolah untuk belajar ilmu kebijaksanaan ataupun kejujuran. Maka dari itu, salah satu kewajiban orang tua adaah membantu anak-anak mengenali dirinya.

Hari ternyata telah berganti lewat larut tengah malam, acara pun mesti dipungkasi dengan beberapa lagu shalawat oleh Kiai Kanjeng. Semua jamaah saling bersalaman dengan kanan kirinya atas instruksi dari SImbah, dan untuk saling ikhlas satu sama lain. Berjuanglah!

Selamat Berjuang “Gejayan Memanggil”!

Fenomena akhir-akhir ini memang sedikit membuat geram tak sedikit dari masyarakat Indonesia tentang wacana RUU KUHP ataupun pelemahan KPK. Ada yang menggambarkan hal tersebut hanya sebatas candaan dengan para koleganya, ada yang tersulut buta hingga keluar cacian-cacian kepada pihak yang bersangkutan. Dan ada pula yang akan melakukan aksi nyata dengan turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi terhadap rancangan undang-undang tersebut.

Saya pribadi sangat salut akan kepedulian para muda-mudi terhadap tindakan kesewenangan para anggota DPR -yang mereka plesetkan menjadi Dewan Penipu Rakyat- dalam membuat kebijakan yang seolah mereka buat demi melindungi kepetingan-kepentingan pihak tertentu. Tanpa pernah memihak atau mengutamakan kepentingan rakyat. Yang notabene rakyat adalah atasan mereka, yang harus mereka layani karena memberikan gaji yang tidak sedikit untuk kinerja dan segala fasilitas yang mereka dapatkan.

Hukum seolah-olah hanya menjadi barang mainan bagi para pemain politik. Yang mewakili rakyat pun hanya mereka-mereka yang lebih mementingkan nama baik partai dan kerabatnya daripada harus mengutamakan kepentingan rakyat. Atau mungkin, KPK yang merupakan lembaga independen menjadi ancaman serius bagi dunia perpolitikan yang sangat bau busuk dengan segala praktek korupsi dan kolusinya. Akhirnya, KPK pun mesti dilemahkan. Karena bukan tidak mungkin jika terus dibiarkan, segala kedok akan terungkap dan segala topeng kemunafikan akan terbongkar satu demi satu.

Kenapa harus ada DPR yang mengatasnamakan wakil rakyat? Yang terpilih dengan cara-cara yang sudah bukan merupakan tabir lagi bagi yang ingin terpilih. Kenapa mesti ada segala pemilihan dengan anggaran yang sangat banyak hanya demi membuat kebijakan yang memercikkan segala bentuk aksi demo?

Sudah lama, kami selalu menahan segala kesewenangan ini. Mungkin hal tersebut dapat meningkatkan kesabaran para rakyat yang selalu ngopeni orang-orang di sekelilingnya. Bahkan statement “jangan pernah bergantung kepada pemerintah” seperti menjadi buah kuldi di surga bumi pertiwi. Tidak pernah ada permusyawaratan. Rapat-rapat penting di Gedung Penipu Rakyat selalu banyak kursi yang kosong, atau bahkan hanya menjadi tempat tidur sementara bagi yang merasa ngantuk saat rapat.

Kami seakan dipaksa memakan buah kuldi. Mau gak mau kami seolah mesti merasa murtad terhadap negara yang katanya sangat menjunjung tinggi demokrasi. Karena demokrasi telah dikebiri, demokrasi itu sendiri telah dipermainkan. Bahkan, demokrasi telah dikorupsi! Negara ini telah diselubungi kemunafikan. Kejujuran ataupun keterbukaan menjadi hal yang langka.

Tapi ingat, perjuangan ini mesti selalu dilakukan dengan penuh kegembiraan. Setidaknya segala yang berjuang mesti diawali dengan kejujuran terhadap dirinya sendiri. Tidak boleh ada kecurangan di dalam perjuangan demi sebuah perubahan yang semoga apapun hasilnya tidak begitu penting. Karena kita telah melakukan perjuangan yang penuh kegembiraan dan jujur.

Meskipun tidak menutup kemungkinan, akan ada banyak penumpang-penumpang yang ingin mengintervensi aksi ataupun merusak perjuangan yang akan dilakukan dengan jujur dan gembira tersebut. Tunjukkan kalau pemuda-pemudi sekarang merupakan kerumunan yang tangguh. Generasi yang mentransformasikan kasih Tuhannya kepada negara ini, sehingga Tuhan pun enggan untuk menolak kasih para hamba-Nya. Hingga selalu dalam lindungan-Nya.

Yang pasti, usaha kita untuk mengobati yang sakit jangan sampai menambah luka. Yang merasa sakit, jangan disakit-sakitkan. Yang merasa sehat, jangan disehat-sehatkan. Mengutip pernyataan Pak Edhie kemarin, “Mencaci tanpa saling membenci, memuja tanpa butuh dipuja.” Semoga segala perselisihian akan semakin mempercepat laju pendewasaan dan tentunya kebijaksanaan. Selamat memenuhi panggilan, selamat berjuang!

Magelang, 23 September 2019

XIV. –

Hujan di kala senja

Menemani langkah awal perjalanan

Membelai semesta yang layu ataupun merindu

Mengikis keresahan akan kekalutan ego para sahaya

***

Menatap engkau berkelana

Menyusuri jengkal keraguan

Bayangmu berkeliaran dalam anganku

Sedang namamu selalu terucap dalam lisanku

***

Yaa… hu

Yaa… Hu

Yaa… Hu

***

Menarilah dalam kemesraan sunyi

Meniti malakut yang senantiasa abadi

Matilah sebelum mati

Lalu, mencintalah

***

1 Januari 2019

Sebuah Jawaban “Jangan Lupa Berbahagia”

Waktu dan Rindu?

Dikala pikiranmu terasa penuh sesak. Atau hati yang sedang merapuh seperti kaca. Pun jika semua orang disekelilingmu memakai topeng yang menyeramkan. Kenapa mesti takut? Justru itu malah baik buat Intan sendiri karena bisa memaknai hal-hal seperti itu. Kalau aku melihat justru itu menjadi kelebihan kekuatan tersendiri. Terlebih mampu membingkainya dalam kata.

Waktu memang bagai pedang disaat kita tidak mengenalinya. Tapi, apabila kita dapat lebih mencoba mengenali watu, saat itu pula kita berasa hidup dalam keabadian. Nanti kita tak akan terjebak lagi dalam dualisme rasa nyaman atau sakit, senang atau sedih. Bahkan, hidup dan mati seolah menjadi sesuatu yang tak penting lagi. Bukankah kita bisa merasakan bahagia karena pernah tau bagaimana rasanya sakit?

Kalau lebih niteni tentang hidup, tidak bisa kita selamanya senang nyaman. Ada saat kita akan jatuh dan merasakan sakit kembali. Hanya saja kita disuruh agar puasa, supaya ketika senang tidak terlalu terbuai dan ketika sakit tidak begitu merasakan lara.

Tapi kalau masalah rindu, memang itulah bekal kita menjalani hidup yang muter-muter bagai sandiwara ini. Bahkan apa kamu tahu darimana asal ‘rasa rindu’ itu datang? Layaknya sebuah cerita dari Nabi Musa, beliau berkata, “Bagaimana lagi aku mesti bersyukur kepadaMu, jika rasa syukur itu sendiri berasal dariMu?”

Tentang Aku?

Sekarang kenapa banyak orang memakai topeng, salah satunya adalah karena merasa mampu mengenali diri sendiri dan tidak pede dengan diri yang dikenalinya.

Mereka sangka aku adalah aku. Padahal akunya hanya sebatas prasangkanya. Mereka enggan melawan nafsu yang selalu menghijabinya. Padahal jihad terbesar bukanlah sok membela agama, melainkan melawan nafsu dirinya sendiri, bukan?

Yang pasti apapun itu, mereka memiliki ruh. Pada akhirnya mereka akan bertemu dan berkumpul dengan ruh yang memiliki frekuensi yang sama. Jadi, jika keindahannya membuat semestamu bersinar, maka buatlah semestamu nyaman baginya. Dan jika memang sinarmu ingin menerangi dunianya, maka jadilah cahaya yang memenuhi ruangannya yang tak terbatas fajar maupun senja.

Salam Hangat,

Jangan lupa cara bahagia. 🙂

24 April 2019