Ketika Angin Berbisik Lirih

Suara itu berbisik lirih di kedalaman hati meski tak nampak darimana ia berasal. Seperti angin, jika menyejukkan kita tak pernah menganggapnya ada. Namun, sekali ia membawa keributan, kita lantas berburuk sangka terhadapnya. Karena begutu mengganggu kenyamanan, ketentraman, dan seketika kedatangannya membawa segudang ancaman.

Kenapa sedikit sekali orang yang membaca tanda-tanda? Kenapa mereka sangat enggan mendengarkan lantunan semesta yang begitu lantang? Atau kenapa mereka terdiam melihat cahaya itu memancarkan pesonanya? Dan lebih memilih sibuk dengan keasyikannya sendiri?

Bunga-bunga itu tidak akan mekar di musim gugur. Bahkan ranting kering itu tak akan tumbuh hanya dengan air. Ia membutuhkan angin yang akan menambahkan debu-debu untuk menumbuhkannya. Kita tidak akan bisa keluar dari belenggu kedholiman, tanpa mengalami benturan-benturan yang menyakitkan. Semata-mata, itu hanya untuk kita tumbuh dan merdeka.

Percayalah, segala pengetahuan, pembicaraan, dan segala lakumu itu hanyalah sesuatu yang sia-sia jika kita tidak pintar dalam menempatkan posisi diri. Bisa saja dirimu akan sangat berperan, meski hanya akan menjadi sampah peradaban. Tapi disisi lain, tetap ada kemungkinan bahwa engkaulah pada akhirnya yang akan membangun sebuah peradaban yang baru. Sesuatu hanya akan menjadi sampah jika kita melihat ia sudah tidak berguna. Namun, apabila kita sanggup menempatkan sampah pada posisi yang lebih tepat. Tentu saja, banyak kemungkinan sampah bisa didaur ulang dan memberi kebermanfaatan.

Pengetahuan selalu mengajarkan sesuatu yang praktis, sedangkan pengalaman akan memberi kita sesuatu yang pragmatis. Kita hidup di tengah lautan ilmu, menjadikan tantangan kehidupan tidak semenarik dulu. Pengalaman hidup menjadi monoton karena kemajuan ilmu dan pengetahuan men-direct kita untuk menjalani kehidupan yang praktis. Bahkan, tak sedikit menjadikan manusia sekarang mudah apatis.

Angin itu tak pernah menceritakan apapun yang ia perbuat terlebih kalau hanya untuk kebahagiannya. Angin itu selalu enggan bersuara sekalipun ia menyejukkan apapun yang dilaluinya. Dan tahukah kemana angin itu bergerak? Kecuali sebatas dari suhu yang rendah menuju suhu yang tinggi. Dari sesuatu yang dingin menuju sesuatu yang panas. Dari sesuatu yang beku menuju sesuatu yang panas. Agar kedatangannya menyejukkan, meredamkan. Sekalipun kemanapun ia menuju, ia selalu mendatangi sebuah masalah.

Namun, sepertinya yang ditemui hanya orang-orang yang sedang tertidur atau mereka yang sedang mengalami ekstase terhadap ilmu pengetahuan yang sedang dimilikinya. Sehingga, bukan kenikmatan yang didapatinya, melainkan hilang kesadaran dirinya dan memabukkan. Sehingga hasrat dan egonya tidak terkendali dan merasa benar. Sekalipun, ia tak pernah sadar dalam melakukan hal-hal tersebut.

Suara-suara itu kembali berbisik lirih. Mengapa engkau bersusah payah menemani sesuatu yang tiada pernah menganggap keberadaanmu? Seketika, angin itu hanya menjawab, “apa perlu aku jelaskan kepadaMu, jika sebenar-benarnya semua ini kulakukan semata-mata hanya untuk beribadat kepada-Mu? Aku tidak peduli terhadap keberadaan atau eksistensiku dalam kehidupan ini, kecuali hanya demi mendapat perhatian dan sapaan-Mu. Sekalipun hanya luka prasangka yang selalu kudapati.”

Maka tatkala sudah jelas sesuatunya, angin akan segera melepaskan diri. Tumbuh atau tidaknya sesuatu yang dihampirinya, lepas dari dirinya. Karena ia tak mendatangi sesuatu karana suatu kepentingan apapun, melainkan hanya sebuah perjalanan yang mempertemukan. Hingga, engkau akan mengetahui mengapa Allah menegaskan bahwa, “sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang lembut hatinya lagi penyantun,” (9:114)

Apakah kamu juga mendengar suara itu merasuki dadamu? Yang bersembunyi jauh di balik selimut nafsumu. Sesekali perhatikan, dengarkan, lalu turutilah!