Destinasi Kebodohan

Semalam kita pergi bersama dalam dimensi yang berbeda. Aku senang, setidaknya aku berada di dekatmu. Walaupun makna dari “dekat” itu sendiri bukan berarti sama seperti pada umumnya. Aku ingin mengajakmu, tapi itu serasa tidak mungkin karena kekhawatiranku tatkala engkau menolaknya.

Hanya saja, niatku tidak lain hanya ingin menunjukkan kacamata yang pas denganmu yang sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan sudah saatnya pemikiran itu diasah lebih ke dalam, bukan untuk kembali ke permukaan. melainkan untuk jauh menyelami hakikat. Daripada memikirkan gejolak-gejolak yang selalu menerka syariat, yang pada akhirnya hanya menjadi suatu kebingungan yang berulang.

Kalau engkau mencermati sanad-sanad asal muasal suatu ilmu, belajar tentang riwayat perawi-perawi hadits, pasti terdapat titik dimana engkau hanya berkata, “ohh”. Dan semua ilmu itu ada hikmahnya, hanya kita perlu siaga dan waspada. Asalkan outputnya menambah cinta kepada segala bentuk ciptaanNya, dan sudah sewajarnya kita lebih menghormati kepada alam yang sejatinya diciptakan lebih dulu dari kita. Jangan sampai ada ilmu yang membatasi kasih sayang kita sekalipun kepada hal yang dianggap membahayakan sekalipun.

Aku ini manusia yang selalu gagal dalam menyembunyikan islamku. Sampai mengemis, aku meminta-minta hal itu. Celakanya, mereka yang hanya belajar melalui literasi dan terjemahan kadang suka vulgar terhadap sedikit ilmu yang didapatinya. Parahnya lagi, banyak yang masih buta terhadap hal-hal yang memerlukan ilmu sastra.

Salah satu contoh saja, masalah penulisan insyaAllah dan inshaAllah saja udah pada geger. Padahal itu kan hanya masalah transliterasi. Lalu dalam surat kelapangan, banyak yang salah memahami jika setelah kesulitan terdapat kemudahan. Padahal disana tulisannya ma’al, bukan ba’dal. Jadi setiap kesulitan itu datang, bersamaan dengan itu kemudahan juga datang. Maka dari itu kita mesti mentadabburi setiap informasi yang kita dapat.

Tapi apalah daya sekarang kita terjerembab dalam liang bisnis. Sing payu ya sing bermerk. Yang laku itu yang pasti jelas branding-nya, gelarnya apa, lulusan mana. Itulah mengapa aku sering sekali menulis hati-hati terhadap ilmu.

Selama ini kita hanya saling sapa lewat tulisan, dan pesanku jangan tertipu sama aku. Meskipun banyak yang ingin aku ceritakan kepada dirimu. Selain itu, aku hanya membayangkan betapa riuhnya jika kita sama-sama mendengar keluh kesahnya Sang Alam. Merapikan rumput-rumput yang terinjak semena-mena oleh kaki-kaki kehidupan. Melihat wajah Sang Waktu yang sangat bijaksana walaupun telah dihujam oleh berjuta-juta prasangka manusia pelarian.

Aku tawarkan sebuah tiket dengan destinasi kebodohan. Agar kita tawadhu kepada siapa saja, sekalipun ia pendusta, perampok, pembunuh, bahkan pemfitnah. Supaya kita siap untuk diinjak-injak oleh dusta-dusta yang akan kita temui. Agar kita siap kepada air mata ini yang mungkin akan bercucuran darah melihat ketidakadilan dan keserakahan “si raga yang asing kepada dirinya”. Agar kita menuju manusia ruang. Karena hanya kebodohan inilah yang hanya bisa menopang manusia-manusia yang merasa pintar.

Akan banyak hal yang menarik yang kau bisa maknai sendiri. Sebuah metode pengkajian yang sangat disenangi para pemikir, diiringi dengan shalawat-shalawat yang mengudara dalam jengkal detak tertentu. Menciptakan frekuensi kebersamaan, tak peduli identitas, karena kita semua saudara. Merasakan sedikit keajaiban dari dulur-dulur yang ikut sinau bareng pada hari itu. Di sini tidak ada sekat antara yang muda dan tua, pria atau wanita, semua campur aduk. Pluralisme, kalau ingin merasakan sensasi  “Indonesia adalah bagian dari desa saya.”

Maaf, jika jemari ini sangat ingin bercerita tentang suatu keajaiban kepadamu. Nafas ini hanya berhembus mengudara mengikuti angin. Terimakasih atas kebahagiaan ini. Aku sedikit takut sapaan ini terurai waktu demi waktu. Dan itu diluar kuasaku untuk mengendalikannya. Kalaupun itu terjadi, satu hal yang dapat kupastikan adalah ruh ini telah mengenalmu.

Rabu, 17 Oktober 2018