Debu dan Angin

MYH | 031

Duduk termangu dalam temaram berteman suara deru hujan merupakan sebuah kesempatan untuk banyak menyimpan ingatan tentang apa yang sedang aku pikirkan pada saat itu juga. Suatu saat, ketika situasi ini tercipta kembali dengan posisi dan nuansa yang sama, dengan mudahnya aku dapat membuka kembali ingatan tersebut sembari berhitung tentang kebaikan apa yang diperoleh atas hasil pikiran pada waktu yang telah berlalu.

Aku pun mulai banyak berhitung tentang apa yang telah aku pikirkan dan pelihara dalam waktu yang cukup lama. Selalu kukejar apa yang aku pikirkan sebelum menjadi kata-kata. Dengan kata lain, selalu aku utamakan makna atas apa yang ada di alam pikiran/dunia ruh sebelum aku meliterasikannya ke dalam kata-kata/ dunia tubuh. Termasuk sebuah rasa, yang begitu melekat, meskipun telah banyak aku coba untuk membuangnya.

Biasanya sesuatu akan tumbuh selama ia terpelihara, sedangkan apa yang ada di dalam pikiran semua itu tak berlaku. Semakin kita mencoba untuk membuang atau menghilangkannya, justru yang terjadi pikiran dan rasa itu semakin melekat. Akan tetapi, ada beberapa hal di dunia pikiran yang tak segalanya mesti diungkapkan. Yang nantinya akan banyak melatih diri akan kesabaran, keikhlasan, hingga jauh melebur dalam ketulusan.

Benar jika seluruh kehidupan ini merupakan permainan yang seringkali melenakan. Dunia ini merupakan panggung bagi yang suka bersandiwara, bahkan dengan pikiran atau rasanya sendiri. Semua pasti akan mengalami, memperjuangkan, bahkan rela meniadakan dirinya untuk masuk dalam pertunjukan tersebut. Akan tetapi, itu tak lantas mendewasakannya jika yang engkau tuju adalah kebahagian dan demi keberadaan diri kita sendiri.

Karena kedewasaan itu terutama pikiran sangat mungkin untuk ditandai. Tapi bagaimana mungkin kita bisa menandainya, jika melalui wujud yang nampak pun kita sering terkecoh. Bagaimana kita akan mungkin menelusuri jauh ke dalam? Kamu sendiri pun masih mengutamakan kebahagiaan dan bersenang-senang, padahal kedewasaan nalar itu tertandai ketika dia sudah tidak bermain-main lagi sekalipun dalam ruang permainan.

Keseriusan itu bukan untuk ditunjukkan kepada yang lain melalui kata-kata indah, karena engkau akan merasa malu dengan pertunjukan tersebut sehingga nantinya engkau akan lebih memilih merahasiakannya daripada ikut berlomba menunjukkannya. Uniknya, orang-orang pintar zaman sekarang justru memilih menunjukkannya melalui status, story, atau bahkan fleet. Sekalipun mengatasnamakan untuk menyebarkan kebaikan, namun tujuan utama dari kebiasaan itu adalah eksistensi. Lalu, mulutmu berkata bahwa engkau masih menomorsatukan Dia, benarkah?

Menurut Rumi, Ilmu ataupun pengetahuan yang engkau, aku, dan kita dapati yang mewujud ke dalam segala laku dan kata yang sia-sia akan seperti angin. Sedangkan, kita sebagai manusia layaknya debu yang siap diterpa angin tersebut. Ketika angin dan debu tercampur, maka ia akan melukai mata manusia kemana pun ia pergi. Lalu, masih bisakah kita bilang demi kebaikan? Menurutmu lebih banyak yang tercerahkan atau terlukai? Kecuali yang nampak hanya semakin bertambahnya kekacauan dan keluhan.

Nantinya, ketika kita benar-benar membawa kesadaran sebagai debu, engkau akan lebih memperhatikan kata-kata yang terdengar dan lebih bersungguh-sungguh terhadap laku yang dijalaninya. Hingga engkau tak sadar telah menguraikan air mata.

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi’ (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad SAW).” (5:83)

Namun, yang terjadi akan sebaliknya jika angin atau bahkan air itu mengalir di atas debu. Dia akan menjadi sesuatu yang menumbuhkan dan menciptakan kelahiran-kelahiran baru ketika dia mengaliri buah-buahan, segala jenis tanaman,  dan bunga-bunganya. Ya, permainan ini pun ternyata masih panjang dan belum usai. Masih banyak kelokan dan tikungan yang menyebabkan penderitaan sebelum mencapai tujuan.

Oleh sebab itu, kepada hujan aku hanya termenung. Meratapi engkau yang telah lama menetap di dalam pikiran. Bahwa suatu saat nanti jika semua ini akan menjadi kata-kata yang nampak begitu jelas olehmu, aku enggan akan menghadirkan luka atas tidak kuasanya aku menahan diri. Sebenarnya aku sudah mengumpulkan banyak modal alasan untuk berkelit dan melakukan pembelaan diri atas kemungkinan itu.

Namun sekali lagi, aku hanya memilih menahan diri, dalam batas dan kapasitas yang telah ditentukan. Dan aku mengetahui konsekuensinya sekalipun  perhatianku hanya tertuju padamu tanpa ada laku yang menyertainya. Lalu, bagaimana mungkin aku mencari perkara yang amat rendah, apabila yang amat menakjubkan telah ada?

3 Desember 2020