Pintu Imajinasi

MYH | 30

Aku berjalan dalam ketidakpastian sembari bertanya-tanya kepada diriku, “kemana aku tertuju? Atas dasar apa aku rela untuk melangkahkan kaki menuju sesuatu yang tidak dapat aku pastikan?” Aku pun sebenarnya tidak mengetahui persis keberangkatan niat seperti apa yang aku pegang, kecuali satu kepastian dan kepercayaan atas cinta.

Ketika diriku banyak berangan-angan tentangmu, itu hanya sekedar membaca karena tak pernah aku ungkapkan angan-angan itu kepadamu. Jika ada sesuatu yang membuatku terus-menerus menarik perhatian kepadamu, hal itu tak lantas membuatku ingin memilikimu. Jika diriku bersedia menahan segala keberadaanku di depanmu, itu pun tak seketika membuatmu mampu untuk menelanku.

Rahmat seperti apa yang akan aku dapatkan? Atau semua itu merupakan hukuman atas kesalahan yang pernah terjadi? Tapi apakah rahmat terikat pada kebaikan atau kesalahan? Karena jika sesuatu yang baik itu menimpa kepadaku, bisa jadi itu merupakan suatu istidraj. Lantas hati ini pun sangat sering bertanya, “lalu, untuk apa aku diciptakan jika segala sesuatunya sangat mudah untuk diputarbalikkan? Untuk apa aku menuju ke suatu tempat, jika pada akhirnya engkau singgahkan aku di tempat yang lain?”

Dan jangan pernah membayangankan bahwa tidak akan ada yang menyengsarakanmu, atau bahkan akan membunuhmu, kecuali tanpa rahmat Allah. Selama ini kita secara tidak sadar banyak mempersempit makna akan rahmat yang datang hanya kepada hal yang baik. Padahal baik dan buruk itu pun hanya kesepakatan tentang cara pandang yang terbatas sekalipun disepakati oleh orang-orang terpilih nan cerdas. Karena kita hanyalah keterbatasan.

Namun, dengan keterbatasan itu, kita diberi kesempatan untuk memiliki imajinasi. Percayakah bahwa segala sesuatu yang berbentuk berawal dari sebuah imajinasi? Segala rumah yang terbentuk itu merupakan buah pemikiran para arsitek atau para perencana pembangunan. Sedangkan dunia tempat tinggal kita sekarang ini merupakan sebuah bentuk yang pada akhirnya keadaan wujud dunia sekarang merupakan cerminan dari para penghuninya.

Sebelum kita menentukan gerakan awal sebelum menuju kemanapun, imajinasi kita telah memberikan mapping tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dilalui. Dan dari imajinasi itu, secara intuisi dan naluri kita akan memberikan penilaian terhadap gambaran tersebut yang pada akhirnya kita sebut sebagai prasangka. Jangankan dunia, “Tuhan pun sesuai dengan prasangka para hamba-Nya terhadap-Nya.”

Pada umumya orang banyak mengira bahwa menanam kebaikan merupakan diwujudkan melalui sebuah laku nyata. Akan tetapi, sebenarnya konsep menanam itu semestinya berawal dari imajinasi yang kita bentuk ke dalam prasangka yang baik. Inilah yang pada akhirnya juga menjadi awal dari terbentuknya niat. “Segala sesuatu akan sampai pada tujuannya sesuai dengan niat.” Sepertinya hadits tersebut sudah menjadi sebuah rumusan fakta, bahwa dari imajinasi pada akhirnya bisa menjadi pintu awal menuju sesuatu yang nyata.

Bagaimana imaji bisa menjadi kenyataan? Banyak orang memaknai hal tersebut sebagai mimpi, yang bisa membawa seseorang ke dalam sikap obsesi yang menjadikannya berpikir idealis. Akan tetapi segala bentuk imajinasi tetap membutuhkan pondasi yang kuat agar yang muncul adalah aktualisasi kebijaksanaan, bukan kesembronoan.

Mungkin, karena itu pula aku lebih banyak berburu angan daripada kata. Aku lebih banyak menggali makna, daripada mencoba mendapati sesuatu yang nyata. Dan diantara banyak angan yang kutemui, ada sesuatu yang datang dan pergi tanpa sekalipun aku memiliki kehendak terhadapnya. Engkau seolah menjelma menjadi sebuah manifestasi atas cinta yang selalu ada dan hadir.

Dunia ini mungkin saja merupakan sementara, tapi kita kuga tidak sanggup membuktikan kalau nantinya dunia akan selalu ada. Sama halnya dengan semua imaji yang tercipta, yang datang untuk mengahadirkan rupa. Tak peduli baik atau tidak baik kemasan(kondisi)nya, karena semua cinta yang datang sudah pasti tak pernah lupa membawa keranjang rahmat.

Betul. Cinta. Ribuan bentuk ataupun perubahan atas imajinasi mampu digerakkan olehnya. Jika aku berkata cinta itu sekarang bermanifestasi menjadi dirimu, salahkah jika aku ingin memilikimu?

30 November 2020

Mengalir atau Hanyut?

Semilir angin berhembus cukup berisik pada malam itu. Dendang tabuh rebana mengiringi suara riuh kodok yang saling sahut di tepian sawah menjadi hiasan tersendiri kala hujan enggan menyapa. Saat itu pula, beberapa pemuda asyik berkumpul menghabiskan malam, menggandrungi nasib percintaan antar sesama hingga banyak mengurai makna tentang kata.

“Kita ini terlalu sering berjalan tanpa mengetahui tujuan atau setidaknya menemukan target yang harus tercapai. Hingga harapan akan sesuatu apapun seolah tak aku miliki, mengalir dalam alur kehidupan yang telah ditentukan oleh Tuhan.” Cerita si Melky.

“Sebentar, mengalir itu sebenarnya seperti apa yang kamu maksud?” tanya Rohmat.

“Ya mengalir saja. Kalau dari ilmu yang diwedar dari Sunan Kalijaga kan ‘ngeli ning ora keli’. Aku pun juga sebenarnya masih mencari makna mengalir itu sendiri. Terutama dalam konteks kehidupan.” jawab Melky.

“Mengalir itu bukan berarti kita pasrah begitu saja terhadap apa yang kita lakukan. Misalnya, ketika kita hendak menuju ke suatu tempat, kita tidak bisa lantas mengatakan mengalir karena kita pasti telah berikhtiar dengan memaksimalkan daya pikir, memetakan kemungkinan-kemungkinan baik jarak, bahan bakar jika menggunakan kendaraan, berapa lampu merah dan tikungan yang akan dilalui. Mengalir itu didapat setelah kita selesai mapping di dalam pikiran kita, karena dalam perjalanan ada banyak hal yang sangat tidak bisa kita kendalikan kemungkinan-kemungkinan yang lain.” kata Gus Welly.

“Di dalam arus sebuah sungai, mengalirnya daun pasti berbeda dengan sampah. Begitupun cara mengalirnya manusia pasti juga akan berbeda dengan ikan. Dari situ hendaknya kita bisa mengetahui peran dan posisi kita sebagai manusia hingga akhirnya bisa memaksimalkan kesempatan waktu bermain yang telah diberikan. Kita itu tenggelam dalam samudera qudroh yang sangat tak berbatas kemungkinannya. Lantas yang kita bisa upayakan adalah mengenali iradah tentang bagaimana kita membaca dan mengenali segala sesuatu di sekitar kita. Dan kemampuan membaca itu sangat bergantung kepada akal dan hati yang harus kita latih secara terus-menerus.” terang Bewol.

Di antara banyak percikan makna yang telah disampaikan, Melky masih berupaya untuk memahami kata mengalir. Bahasa tubuh si Melky seolah mencitrakan bahwa dirinya sedang mencoba untuk mengambil sesuatu agar mendapat lebih kejelasan. Sementara di sisi lain, Rohmat justru terlihat menahan tawa melihat geliat si Melky.

“Kamu tenang aja, Mel! Terlalu lama dirimu merantau kok malah jadi seperti mudah bingung?” tanya Rohmat sembari tertawa bahagia seolah mendapatkan teman atas kata-kata yang selalu diutarakan oleh Gus Welly ataupun Bewol.

“Lha, kamu aja saat tadi kita sedang menyampaikan sesuatu kamu justru sibuk dengan HP-mu sendiri.” tambah Rohmat meragukan keseriusan niat belajar dari Melky.

Sekarang giliran Melky yang tertawa mendapati perkataan Rohmat yang masih saja merasa mudah memberikan nilai atau prasangka kepada orang lain. Sepertinya kelemahan itu belum berubah setelah bertahun-tahun mereka tidak bertemu.

Sembari menepuk pundak Melky, dengan hiasan senyum yang dimanis-maniskannya, Gus Welly berkata, “hati-hati jangan mudah menertawakannya, Dia (Rohmat) itu wali.”

Begitu pula dengan Bewol merespon sikap Rohmat yang belum berubah tersebut, sembari memasang muka yang diserius-seriuskan (meniru cara Rohmat berbicara), Bewol mengatakan, “aku adalah menurut prasangka hamba-hambaku kepadaku!”

Melky pun semakin riang mendapati si Rohmat dipermainkan oleh kata-kata, meskipun Rohmat mendapati hal seperti itu sudah biasa dialaminya. Melky pun mengatakan banyak syukur telah diperjalankan kembali untuk bertemu dengan kawan-kawan lamanya. Melky juga mengklarifikasi kepada Rohmat bahwa dirinya bermain HP itu bukan karena tidak memperhatikan, justru sebaliknya. Melky sedikit menjelaskan tentang bagaimana cara ia belajar. Melky sadar bahwa dirinya lemah dalam mengingat, akan tetapi dia memiliki cara untuk menutupi hal tersebut.

Menurutnya, mendapati ilmu itu seperti memancing, ada yang menggunakan alat pancing dan menggunakan jala. Kedua cara itu sama-sama mengasyikkan dan memiliki kenikmatannya sendiri. Akan tetapi, Melky merasa lebih cocok dengan menggunakan jala, yakni dengan mencatat poin-poin yang didapati dalam sebuah forum. Kalau dengan memancing, akan lebih bergantung kepada keberuntungan.

Setelah menjelaskan sedikit banyak tentang metode cara belajarnya, Melky kemudian mengajukan pertanyaan kepada Bewol, “Kembali ke mengalir tadi, menurutmu akal dan hati kita itu harus seperti apa agar kita tidak mudah hanyut?”

Gus Welly yang merasa terpantik oleh pertanyaan tersebut, dengan spontan langsung memberikan pemikirannya, “Hati itu ibarat raja, sedangkan akal layaknya seorang jenderal atau perdana menterinya. Itu dalam hal spiritual. Akan tetapi dalam ilmu filsafat, Akal-lah yang merupakan rajanya karena semua hal bisa dipelajari menggunakan ilmu. Hati nantinya hanya kaan menjadi filterisasi terhadap hasil olah pemikiran Sang Akal.”

“Dan dari kedua hal tersebut kita bisa mengenal mana yang Jabariyah atau Qadariyah.” imbuh Gus Welly.

Bewol yang melihat Melky sedikit merasa puas atas jawaban yang tiba-tiba diberikan oleh Gus Welly, tak lantas melanjutkan apa yang akan dijawab olehnya meski pertanyaan itu awalnya tertuju kepadanya. Bewol menyadari kelemahan argumentasi dirinya ataupun ketidaktepatan waktu untuk berbicara ketika tidak dipersilahkan.

Lantas si Bewol hanya berkelakar dalam hati dan banyak memperdalam makna akan apa yang urung disampaikan justru menjadi olah dirinya sendiri. Antara akal universal atau akal sementara yang didapatinya dari Maulana Rumi. Sedangkan hati menurut hadits merupakan segumpal darah yang nantinya akan terproyeksi melalui akhlak dan laku kita sehari-hari. Ketika akal ataupun hati kita selalu dilatih dan diupgrade setiap saat karena sadar akan ketidaktahuan dan keterbatasan diri, kita nantinya akan terus memiliki tenaga untuk mencari. Dan kita tidak pernah mengetahui siapa yang Tuhan kehendaki dalam kebaikan, ataupun dalam ketersesatan.

Akal dan hati kita hanya terus berproses terus menerus. Mengalir atau hanyut merupakan pilihan, yang Allah akan mengenalkan kehendak-Nya setelah diri banyak mengolah akal dan hati melalui rayuan-rayuan kemesraan untuk berupaya mengenali dan selalu berusaha mendekati-Nya. Dan setelah semua itu, tidak opsi selain hanyut atau tenggelam dalam qudroh atau kekuasaan-Nya.

“Sudah cukup belum, Mel?” tanya Rohmat yang merasa semakin terasing.

Tak selang berapa lama, mereka pun memungkasi malam yang tak sengaja banyak dihabiskan dalam konteks mengingat Sang Pemberi Hidup.

“Sembari kita pulang ke rumah masing-masing, coba perhatikan, dalam tiap kaki yang bergantian melangkah, coba kita ajukan pertanyaan kepadanya, engkau mengalir atau hanyut?” kata Bewol memberikan instruksi kepada kawan-kawannya.

“Ribet, Wol!” tegas Rohmat.

***

28 November 2020

One of The Ways I Love

Countless, how many twilight has greeted
Offer a story of happiness
Behind the twilight
I stopped my motion for a moment

Enjoy the intimate caress of the universe
Before disappearing from your sight
Swallowed up the roar of prejudice

At that moment
sadness always produces longing
About when you come back
even if it’s just to say hello

And sometimes,
Loving you is like hearing a sign from God
who came silently
Become a source of energy in this weak body
To explore a greedy universe

***

26 June 2018

Majnun Migrasi

Aku barusan mengenal Majnun, dia sungguh lelaki luar biasa. Begitu pula Layla, seorang perempuan jelita yang dicintai Majnun. Kisah cinta mereka –waaah— sangat membuatku merasa sedikit lega. Bahwa, ternyata aku sudah sedikit gila.

Ketika salamnya hanya bisa dititipkan kepada angin. Akal sering membisikkan “jangan berlebihan”, tapi cinta seakan menghentak “aku tidak peduli!”. Lagian belum ada juga yang bisa memahami. Entah esok yang masih sebatas illusi, atau masa lalu yang selalu menjadi interpetasi. Yang berkeliaran hanya sebatas di dunia, atau hanya berdiam menanti sampai berpindah dunia.

Antara si Majnun yang akhirnya mendapat kebaikan di sisi-Nya karena cintanya kepada Layla yang membuat segala makhluk ikut merasakan kepedihannya beserta kelembutannya. Akan tetapi, Layla mendapatkan kebaikan yang lebih karena semua rasa kepada Majnun yang ia pendam sendiri. Semua punya caranya sendiri untuk menaklukan dunia.

Tidakkah kamu juga merasakan lelah?

Hingga aku terpikir Majnun dan Layla, bukankah sungguh beruntung si Majnun karena Layla tak pernah menikam hatinya secara langsung? Hingga cintanya tetap selalu terjaga dan tumbuh memberikan keteduhan kepada segalanya.

Pada saat ada kesempatan untuk bertemu pun, hanya saling menatap yang bisa mereka lakukan. Entah mengapa untuk menemukan nikmat seperti itu walaupun harus bertemu dengan berjuta kesunyian, mungkin tidak akan jadi masalah. Bahkan, nikmat rindu yang juga bersamaan datang di sela sunyi itu. Seperti ada rasa tersendiri untuk menambah kenikmatan bermesraan dengan cinta.

Walaupun nikmat itu didapat dari kepedihan-kepedihan yang mesti ditahan, rasa sakit yang mesti dilalui seorang diri. Yang datang tanpa kenal waktu dan tidak pernah bisa disangka orang yang dimandati menyampaikan pengalaman tersebut, karena bisa saja mereka adalah orang-orang terdekat di sekitar kita.

Namun, setelah kupikir-pikir, ternyata di Negeri ini lebih banyak para ‘Majnun’nya daripada di negara asalnya sana, apalagi pada zaman now. Nggembelnya, nggondesnya, matek ajinya, atau segala sesuatu yang sangat ‘full of love’. Meskipun tolak ukur kita tidak akan bisa disamakan. Atau mungkin karena mereka telah bermigrasi atau gimana saya sendiri tidak punya sanad keilmuan yang pasti, begitupun kalian meski untuk mengatakan sekedar tidak.

Yang pasti si Majnun terlihat sudah nyaman di negeri yang baru, dengan segala keindahannya yang berbalut pertikaian.

Jumat, 9 November 2018

Keajaiban yang Bersembunyi dalam Kata

Tadabbur Selasan | 051

Baik dalam keadaan lemah ataupun tak berdaya, kami selalu diperjalankan untuk menapaki putaran-putaran Selasan berikutnya, setidaknya hingga titik ke-51 ini. Kami dipertemukan di kediaman Pak Adi (Ndalem Ngadisuryan), tepatnya berlokasi di daerah Dusun Saratan, Mertoyudan, Magelang. Selain itu, Selasan kali ini juga sebagai bentuk rasa syukur atas lahirnya putra kedua beliau belum lama ini.

Malam yang cukup cerah dengan suhu yang sedikit lebih dingin dari biasanya mengiringi perjalanan kami. Namun, rasa dingin itu seketika hilang tatkala kami tiba di lokasi karena beberapa sanak saudara Pak Adi sudah menanti kedatangan kami di beranda rumah penuh dengan kehangatan. Sedikit sambutan dari Pak Adi sebelum wirid dan sholawat dimulai, beliau menegaskan bahwa banyak-banyak mengucapkan terimakasih atas doa ataupun perhatian dari sedulur Selasan dan permintaan maafnya karena dalam beberapa kesempatan terakhir tidak bisa mengikuti Selasan.

Pada putaran kali ini, ada beberapa sedulur yang menitipkan doa untuk kesehatan ataupun keselamatan bagi orang terkasihnya. Dengan harapan ketika doa-doa dilakukan secara berjamaah dalam Selasan, maka Allah berkenan untuk membantu permasalahan yang sedang dialami. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk ikhtiar bagi dirinya, dan memahami fungsi ruang kebersamaan (Selasan) sebagaimana mestinya.

Dalam beberapa putaran terakhir, Selasan selalu memasukkan doa Nadi ‘Aliyyan Khabir di sela-sela dulur yang lain sedang melantunkan “Hasbunallah” sebagai pemantik datangnya manifestasi-manifestasi keajaiban sesuai dhawuh yang pernah diberikan oleh Mbah Nun. Di antara panjangnya doa ini, ada satu bait inti doa yang salah satu satu kalimatnya berbunyi “tajid hu’aunan laka fin-Nawaaib (kau akan mendapatinya sebagai pembantu di kesusahan-kesusahanmu)”.

Doa tersebut seperti menjadi jawaban tatkala minggu-minggu sebelumnya kami mentadabburi doa ini dengan menyeru “kulla hammim wa ghammim sayanjalii (agar susah dan sedih menjadi reda)”. Tentu saja untuk menjadi reda atau hilang, dibutuhkan satu kekuatan yang nantinya akan berperan mengurai permasalahan yang meresahkan atau bahkan menyusahkan. Namun, dalam Selasan sebenarnya kita sudah memohon dan meminta lewat bait-bait doa ataupun syair-syair cinta yang terlantun, meskipun belum banyak yang mengetahuinya.

Keajaiban itu sebenarnya bisa dirasakan bagi sedulur-sedulur yang berada dalam Selasan. Mereka yang digerakkan, mereka yang diperjalankan, mereka yang saling peduli antara satu dan lainnya, mereka yang saling merajut tali rahmat, semua itu merupakan wujud perkenaan atas daya dan kekuatan, bukan dari siapapun, kecuali hanya dari Allah Yang Maha Kuasa. “biwilaayatika Yaa ‘Aly

Selasan putaran ke-51 ini mungkin kalah kuantitas dibandingkan putaran-putaran sebelumnya, akan tetapi dalam kesempatan kali ini, Selasan telah melahirkan salah satu kualitas atas hasil rembug bersama yang terbentuk atas dasar sifat asih, peduli, dan saling menjaga, sebagai salah satu upaya mewujudkan keamanan dan kesejahteraan bersama, khususnya dalam satu ruang kebersamaan ini hingga kelak tak menutup kemungkinan juga untuk masyarakat yang lebih umum dan luas.

Dalam posisi selemah-lemahnya atau mungkin setidakberdayanya kita, seharusnya keadaan tersebut bukanlah sebuah alasan pembelaan diri sehingga menurun daya kreativitas, daya juang silaturrahmi, ataupun daya untuk terus mencari ilmu. Namun, dengan keadaan tersebut justru bisa menjadi sebuah kesempatan untuk lebih banyak menemukan keajaiban-keajaiban yang mungkin saja selama ini sering terlewatkan.

Keajaiban itu bahkan banyak bersembunyi dalam kata yang sering kita lafadzkan dalam wirid Munajat Maiyah. Keajaiban-keajaiban yang butuh aktivasi diri  mulai dari kesungguhan, kelembutan serta kesetiaan terhadap kata-kata itu sendiri untuk dapat menemukannya. Hingga nantinya menjadi sebuah aktualisasi diri yang salah satunya terwujud dalam suasana kebersamaan dan kepedulian malam ini.

***

Dusun Saratan, 24 November 2020

“Guru” Bukan Hanya Sebuah Identitas

Pertama-tama saya ucapkan Selamat Hari Guru Nasional kepada seluruh tenaga pendidik, baik formal ataupun non-formal, kepada para pengajar yang selalu memegang niat ketulusan yang tak henti berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa, serta kepada mereka para pahlawan yang masih setia mengambil tanggung jawabnya sebagai pendidik tanpa tanda jasa.

Berkat peran para tenaga pendidik, bangsa ini semakin banyak memiliki orang-orang intelektual yang kedepannya akan menjadi tonggak perubahan kehidupan masyarakat secara luas, dan tentu khusus untuk dirinya sendiri. Hampir seluruh orang tua menghendaki putra-putrinya untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah formal pada umumnya, dengan harapan akan menjadi orang yang sukses.

Ya, anak-anak dituntut untuk menjadi pintar dan sukses dengan ukuran-ukuran standar nilai yang telah ditentukan. Anak-anak ditatih untuk berfokus kepada nilai yang dihasilkan, bukan proses yang dilalui untuk menempuh tujuannya. Anak-anak dilatih untuk lebih mengetahui bagaimana cara  mengawali dan mengakhiri, bukan ketika memeliharanya.

Alhasil, daya intelektual yang didapat tak berimbang dengan spiritualitas dan mentalitasnya. Sementara waktu yang dihabiskan untuk menempuh jenjang pendidikan secara formal pun sudah memakan hampir sepertiga waktu dari kesempatan hidup rata-rata. Jadi wajar saja jika mayoritas akhlak pemuda pada umumnya masih jauh dari kata keseimbangan, antara intelektualitasnya, mentalitasnya, maupun spiritualitasnya yang nantinya akan terlihat dalam moral kesehariannya.

Seiring dengan kemajuan teknologi yang sering dianggap menjadi sebuah kemudahan dalam sistem pendidikan, akan tetapi apabila tidak bijaksana dalam pemanfaataannya, justru teknologi ini akan menjadi potensi kehancuran yang menjadi ancaman yang sangat nyata. Lantas, bagaimana tindakan para tenaga pendidik semestinya? Tetap mengambil perannya, atau yang penting mendapatkan pekerjaan mesti tidak sesuai dengan koridor lajur pembelajarannya.

Sebagai orang yang pernah berkesempatan belajar menjadi tenaga pendidik, melihat fenomena yang terjadi membuat saya sendiri membuat pilihan yang sangat tidak umum. Sebagai calon pendidik kalau hanya menekankan fokus pembelajaran pada materi pelajaran, tentu hal tersebut akan sangat menjenuhkan. Apalagi, kalau seorang tenaga pendidik hanya dituntut pengetahuan atau daya intelektualnya saja, mengapa kite mesti sekolah dan tidak berguru kepada google saja?

Oleh sebab itu, pengalaman yang saya miliki sangat-sangatlah kurang untuk benar-benar memenuhi kualifikasi baik dari daya intelektual, spiritual, dan mentalitas. Karena yang ditekankan sebagai tenaga pendidik bukanlah profesi dengan standar nominal gaji tertentu, akan tetapi lebih kepada tanggung jawab atas ilmu yang disampaikan.

Sedangkan dalam hal spiritual, pendidikan formal pada umumnya hanya memberi waktu 3-4 jam pelajaran dalam satu minggu. Sedangkan dalam hal mentalitas, hanya siswa-siswi yang memiliki keberanian tertentu dalam menabrak batas yang akhirnya mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman. Itupun sekolah tidak menyediakan mata pelajaran khusus untuk melatih mentalitas anak-anak didiknya.

Sehingga banyak orang akhirnya sering menjadikan ruang pembelajaran khususnya pendidikan formal sebagai kambing hitam atas nasib hidupnya. Atau mungkin orang-orang pada berebut peran untuk saling menggurui satu dengan yang lainnya. Padahal, tujuan pendidikan formal memang untuk mempersiapkan nasib di dunia yang lebih baik. Ketika kamu atau kita sudah beranjak dewasa dan menemukan tujuan yang lebih jauh (bukan hanya sebatas dunia), lalu apakah terlihat bijak jika kita pada akhirnya menyalahkan sistem pendidikan?

Kita tidak bisa meng-generalisir, terlebih dalam satu ruangan besar bernama pendidikan tersebut, juga banyak orang-orang yang tulus dan jujur dalam memperjuangkan pendidikan dengan mengesampingkan pendapatan. Bahkan, tak sedikit pula yang mencari tambahan pendapatan, demi memaksimalkan perannya dalam bidang pendidikan yang menjadi medan perjuangannya.

Dan perlu diingat, guru tidak sebatas identitas atau sebuah profesi yang terafiliasi dalam naungan PGRI. Guru tidak selalu berada di dalam sekolah, pesantren atau lingkungan pendidikan lainnya. Guru selalu bisa menciptakan kelasnya sendiri dimanapun dia berada. Dan seorang guru yang sejati, selalu senantiasa membersamai tanggung jawab perannya hingga suatu saat nanti muridnya akan menjadi lebih hebat dari dirinya.

Seorang guru tidak melihat besaran nominal yang didapatkannya dari mengajar. Namun, rasa tanggung jawab, asih, dan kepeduliannya terhadap ruang dan waktu yang mempertemukan satu dengan yang lainnya. Hingga menjadikan ruang dimanapun ia beranjak sebagai suatu kelas yang pasti dapat menyiratkan ilmu-ilmu yang bisa didapat. Seorang guru bukan berarti berhenti belajar, namun justru belajarnya seorang guru adalah dengan mengajar terus-menerus.

Seorang guru seharusnya memahami keutamaan dari ilmu itu sendiri. Seorang guru harus mengetahui hakikat dari ilmu adalah pengamalannya. Dan seorang guru semestinya merasakan, bahwa ia telah dipercaya dan diberikan amanat sebagai seorang guru. Guru mengerti atau mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui, setidaknya bahwa dirinya adalah seorang Guru. Atau jangan-jangan kita hanya sebatas mampu menjadi seorang pengajar?

Tapi sudahlah, semoga momentumnya tidak hanya hari ini, namun di hari-hari berikutnya. Setiap orang dengan tanggung jawab sebagai seorang guru akan lebih meningkatkan kapasitas dan kinerjanya sehingga dapat mempersiapkan peradaban masa depan yang lebih baik. Selamat!

***

25 November 2020

Dalam Batas, Aku Menunggu untuk Kau Jerat

MYH | 029

Apakah engkau kira aku berhenti melihatmu tatkala tatap enggan untuk hadir? Pandangan ini selalu mampu melihat apapun yang engkau inginkan, mengetahui sesuatu harapan yang sangat ingin lekas mendapat kepuasan, meskipun sebenarnya rasa takut lebih banyak mendominasi harapan tersebut. Bahkan amarahmu selalu pintar bersembunyi di balik senyum indah yang engkau berikan.

Aku dan kamu sebenarnya tak lebih dari binatang buas yang lihai memanfaatkan akal pikiran. Kita selalu terjerat oleh nafsu, menjadi budak keinginan, dan selalu bergerak mencari tempat untuk melampiaskan. Hanya saja, semua itu mampu kita kemas dengan baik dalam akhlak layaknya kodrat yang telah diamanatkan sebagai manusia.

Tapi, tubuh ini layak untuk diisi oleh sesuatu yang sekiranya akan berdampak kebahagiaan. Terdapat banyak hal penting yang dapat engkau masukkan ke dalam diri selama pengembaraan ini. Bahkan, tempat yang engkau anggap panggung sandiwara ini pun menyimpan banyak rahasia yang dapat engkau jadikan energi mengarungi ketersesatan yang sering dijumpai. Lalu, apakah engkau akan memutuskan untuk berhenti?

Malam yang hangat datang terlalu cepat hingga tak sempat mengurai banyak makna. Semua terlewatkan begitu saja. Angan-angan suara tentangmu seolah tinggal disampingku, hingga hal tersebut sangatlah cukup memberikan ketenangan dan menghapus segala letih yang sudah lama tertahan.

Tak berhenti disitu, engkau pun kembali hadir menemani dalam keterlelapan. Setidaknya memberikan keindahan di antara banyak mimpi-mimpi yang terlalu sering berlalu-lalang. Mimpi yang selalu ditunggu di antara banyak ketidakjelasan makna yang membutuhkan banyak upaya lebih untuk mengungkapnya. Dan semua itu tentunya membutuhkan jala kesabaran untuk mendapatkannya, lalu memasukkannya ke dalam diri.

Walaupun yang terjadi justru sebaliknya, engkau habiskan banyak waktumu dalam pengembaraan. Berkeliaran mencari sesuatu yang dapat menghadirkan kebahagiaan untuk dirimu. Aku berenang dalam luasnya samudera yang sungguh tak mengerti batas. Sekiranya aku mengatakan batas, itu pun belum tentu aku memahaminya, bahkan terkesan berpura-pura. Karena batasan ini sangat sulit untuk dilihat dan diukur sebagaimana batas-batas yang telah dikenal.

Batas itu sangatlah lembut, dan ketika batas itu terungkapkan dan menjadi sebuah pemahaman, hilang sudah kelembutan yang selama ini melekat. Segalanya akan mencuat penuh dengan pengharapan. Jika seperti itu adanya, batas tidak lagi menjadi kemerdekaan diri. Karena  semua yang dilakukan akan penuh dengan tendensi.

Tanpa diungkapkan, engkau sesungguhnya sudah mendengar meskipun aku sembunyi. Engkau sesungguhnya telah melihat aku berenang di kisaranmu, meski yang tampak hanya sebatas bayang-sayang samar. Dan engkau pun dapat merasakan kehadiran itu sekalipun jarak tak selalu mewujudkan tatapan-tatapan yang menunjukkan rasa saling ketertarikan. Namun dari semua itu, batas justru hadir tatkala kita banyak mengenal sesuatu dari luar. Menjadi penghalang yang nantinya menghambat langkah atau justru ketika tak disegerakan akan menghilang.

Semua itu adalah prasangka yang banyak memberikan penilaian kepada kita. Sekalipun mereka banyak berkata batas yang mengandung kelembutan. Dan perhatikanlah, mana yang akan lebih sering kita masukkan ke dalam diri? Sedangkan ketika memasukkan, kita butuh kedaulatan diri agar tak mudah terombang-ambing dalam ketidakjelasan.

Dan memahami atau tidak kelembutan dalam batas pun sesungguhnya itu hanyalah jalan. Karena “mereka tidak akan memahami apa pun dari Pengetahuan Tuhan, melainkan sejauh yang Dia kehendaki(2:255). Aku enggan batas-batas itu hanya akan kau kenal sebagai penghias kata atau sesuatu yang mistik. Aku akan membiarkan segala kelembutan itu hanyut atau mungkin terbakar oleh waktu jika hal itu merupakan kebaikan yang sangat mungkin mendatangkan keajaiban.

Mungkin karena itulah aku memilih untuk enggan untuk mengungkapkan kelembutan ini kepadamu. Aku tak lain hanyah seekor ikan yang sedang berenang tanpa batas sembari menunggu waktu untuk kau jerat. Dan menjadi salah satu di antara banyaknya sesuatu yang akan engkau kenang dalam dirimu. Aku tak peduli jika nantinya engkau akan telan aku, jika hanya itu satu-satunya jalan aku akan melebur ke dalam dirimu, Kasih!

***

24 November 2020

Sepakat Mengingkari Kebutuhan

Kita selalu berada di pilihan antara ingin atau butuh. Dan itu sepertinya dialami oleh semua orang setiap hari. Tapi di antara pilihan itu, kita sendiri ternyata justru lebih disibukkan oleh pandangan yang mengarahkan diri untuk banyak menghabiskan dengan menilai. Apapun. Apalagi kita sudah hanyut dalam suasana duduk nongki bersama. Tema mana yang lebih mengasyikkan, membahas sesuatu di luar lingkaran atau sesuatu ke dalam lingkaran?

Tentu saja, sesuatu yang berada di luar akan lebih menarik, terutama terkait sebuah kasus yang menurutnya kurang tepat (menurut penilaiannya). Atas penilaian tersebut, keluarlah argumen-argumen subjektif yang didapat atas ilmu atau pengalaman yang telah dimiliki. Lantas, anggap saja di dalam lingkaran kita menyepakati sebuah argumen. Lantas apa tindakan selanjutnya?

Benar, jika dalam suatu obrolan yang melibatkan lebih dari satu orang itu sudah memiliki bobot kebaikan dan merupakan sebuah proses ijtihad. Tapi apakah keputusan yang telah disepakati berdasarkan musyawarah atau mufakat benar-benar atas dasar karena sependapat atau setuju dengan argumen yang disepakati?

Sepakat sendiri bermula karena ada opsi-opsi yang muncul ke permukaan. Opsi yang berupa ide atau gagasan hasil pemikiran ini ibarat pakaian yang dikenakan oleh seseorang. Lantas apa jadinya jika kita dipaksa untuk memakai pakaian yang bukan merupakan gaya berpakaian kita? Tidak nyamankah? Menurunkan kepercayaan diri? Atau bahkan kalau kita mengikuti kesepakatan agar kita memberikan kelegaan dan membangun situasi yang kondusif, sampai kapan kau akan bertahan?

Manusia merasa nyaman tinggal di lingkungannya karena diakui eksistensinya, baik itu pemikirannya, kebiasaannya, sifatnya, bahkan kebebasan cara berpakaiannya. Jika semua itu diatur sedemikian rupa sehingga orang-orang tidak merasa bebas dan seolah menjadi kehilangan dirinya, orang tersebut pasti akan mencari lingkungan yang lebih menerimanya. Itulah kenapa orang pada akhirnya lebih banyak mengutamakan keinginannya daripada kebutuhannya.

Manusia lebih suka mengakui kebenarannya, dibandingkan dengan pengakuan kesesatannya. Manusia lebih suka mencari pembenaran diri di depan kerumunan, daripada merintih lirih di kesunyian lantas menyenandungkan pengakuan akan kesalahan-kesalahannya. Sekalipun yang tercitra dari manusia selalu saja lebih mengutamakan keinginan, tapi bukankah tidak mungkin manusia menomorduakan kebutuhan karena pemberi utama kebutuhan itu sendiri tidak ada sesuatu apapun kecuali hanya Tuhan? Sehingga setiap orang tidak akan lepas dari kebutuhannya, sekalipun ia mengingkarinya. Dan perlu kita pahami dan renungi bahwa kebutuhan lebih dekat daripada subjek apapun yang kita kasihi.

Tapi kelemahan kita pada umumnya adalah mudah berspekulasi dan memberikan nilai baik buruk, benar salah, kepada sesuatu hal. Apa yang menjadi kebutuhan manusia pun pada umumnya sama, hanya kemasan-kemasan yang tercipta atas dasar ketidaksepakatan identitas yang akhirnya banyak membentuk sekat-sekat yang dibangun sangat megah dan indah karena ilmu-ilmu yang telah banyak dimiliki sehingga sekat yang tercipta nampak sangat transparan (tidak nampak) , namun kuat karena benar-benar sangat mampu menghalangi orang-orang untuk dapat keluar masuk sesukanya.

Ya, semua itu merupakan hal absurd yang lagi-lagi memerlukan upaya lebih untuk lebih banyak dan niteni kebiasaan diri. Sebenar-benar apapun diri, sebaiknya kita tak pernah berhenti atau bosan menghitung segala tindakan ataupun niat. Apakah kebaikan yang kita dapati sekarang sudah pasti tetap berlaku di masa yang akan datang?

Pada akhirnya, seberapa jauh manusia akan banyak menuntut kepada keinginan, kebutuhan akan terus membersamai dan tak pernah bisa terpisahkan. Hanya saja, cara pandang kita yang masih berbatas selalu saja terjebak dalam fakta. Bahkan kebenaran yang seringkali diadu sebenarnya merupakan sebuah fakta yang diimani oleh seseorang. Dan fakta itu sendiri ibarat tafsir –tafsir apabila sudah terucap.

Oleh karena itu pula, waktu akan selalu datang tanpa lupa membawa keranjang ilmu sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk melewati suatu masa. Dan jangan mudah dibuat resah oleh kekecewaan, karena ilmu yang menyapa selalu membawa bingkisan kebahagiaan, asal kita sanggup menahan diri dengan sabar. Temukan dan saling berdamailah, setidaknya kepada diri kita masing-masing. Dan jangan lupa untuk banyak-banyak bersuci.

***

23 November 2020

Aku dan Manusia Kurungan

Minggu pagi merupakan waktu yang tepat untuk menikmati dunia bagi mereka para pendamba gaji dari kantor. Seperti mendapatkan waktu sejenak untuk keluar dari kurungan yang kebanyakan waktu mereka tempati. Dan mereka percaya hanya dari kurungan itu mereka bisa makan dan minum. Seolah terpesona oleh keelokan Sunday morning. Berbeda dengan saya yang nekat tidak mau dikurung, makan pun tidak jelas. Everyday is Sunday. Bebas kemana saja mencari kamu. Setiap hari terlepas memuai ke angan kesejatian.

                Tapi ternyata manusia kurungan itu sangat sakti. Mereka seakan menjadi duta bagi dunia. Mengatasnamakan kebahagiaan dan keselamatan, bahkan sampai ke kebenaran. Sungguh sangat menarik, semua yang saya cari mereka mempunyai. Mereka sakti, bisa mengorbit semua teknologi untuk lebih membantu menghias kurungan mereka. Perkataan mereka sungguh luar biasa. Tanpa pernah menyentuh kulit saya pun, mereka sanggup memprediksi masa depan orang gelandangan seperti saya ini. Yang tak mau berada dalam kurungan manapun alias suram!

                Kalau ada salah satu seorang gelandangan kumuh seperti saya ini uang puluhan juta, kami disangka hanya enak-enak. Yang hanya bermodal menodongkan tangan sambil mengharap belas kasihan. Harga diri kami, kami jual kepada kalian, disaat tak ada satupun dari kami yang ingin hidup seperti ini. Kami tak punya selembar ijazah diploma atau sarjana, bahkan sudah punya ijazah sekolah tinggi saja kami sudah setengah mati membiayai itu. Kami tak punya modal untuk membuat usaha dan kami juga tak mempunyai sepetak lahan pun untuk digarap.

                Dan mengapa kalau salah seorang dari gelandangan seperti kami dapat mengumpulkan uang banyak, seolah semua teman-teman segelandanganku juga ikut menanggung merasakan hal yang sama? Mengapa salah satu diantara kita tidak boleh ada yang sukses seperti mereka yang tolak ukur kesuksesannya jauh sangat berbeda itu? Kalau manusia kurungan itu iri terhadap kami yang lepas dari kurungan, tidak ada yang melarang untuk menjadi seperti kami. Lowongan terbuka lebar, persyaratannya mudah, hanya saja harus bermuka tebal, teguh hatinya, serta siap dan rela jika harga dirinya dihina. Maukah kalian wahai manusia kurungan? Yang memiliki kebenaran yang kalian anggap sejati, padahal itu relatif.

                Bagaimana kalian bisa mengerti kami, mau membantu kami kalau merasakan jadi kami pun tidak pernah. Lima ribu rupiah mungkin sudah sangat cukup bagi kami sekeluarga. Tapi kalau menghamburkan seratus ribu rupiah hanya untuk dirimu sendiri. Kalian memnbayar pajak lebih banyak daripada memberi zakat kami yang fakir. Kalian lebih suka menyegarkan dahaga para penguasa daripada menolong kami dari lembah yang katanya adalah kemiskinan.

                Di pagi hari itulah waktu kami bersilaturrahmi. Kalian memandangiku dengan sebelah mata, dengan penuh lemparan hina. Sedangkan kami memandang kalian dengan harap-harap cemas. Kami berpakaian lusuh, menggendong anak dikira pencitraan. Apalah kami ini, kami sudah biasa diprasangka seperti ini. Tapi sangatlah bersyukur kami masih merasa mempunyai Tuhan Yang Maha Baik, yang selalu memberikan kekuatan dan rejekinya.

                Kami rasakan kenikmatan sejati dalam menolong kami dengan penuh keikhlasan. Tuhan memberikan fasilitas melalui kami untuk menuju keabadian sejati. Tidak mungkin semua orang punya atau tidak punya. Tuhan menciptakan perbedaan, menciptakan cinta dan benci, senang sedih, kaya miskin, benar maupun salah. Bukankah semua itu agar kita berpkir menuju kesejatian? Agar perbedaan itu berpasang-pasangan untuk saling melengkapi. Hati-hati jika ingin menyangka, terkadang wujudmu nanti adalah buah perkataanmu saat ini.

2 november 2017

Can I Feel My Love?

Even if I die, I can never love me
When the condition for loving is knowing love
I slashed this body in all directions
I pick up all the pain that is scattered in the universe
Just to know me
I who are deep in the depths of the heart
The one hiding behind your fear

But I never recognized myself
Until I heard the song about your lover
“Know me, then you will know your Lord!”
Since then I started to be able to smile
I who reside in this body will never be able to be recognized
I can only hear it, without looking or greeting
So how can I love myself?

If life was just a return journey
I can only know your love
Rahman and Rahim became provisions on my return trip
I can never guess that I love something
Can’t I spell my sincerity in looking for you
When at last You will let me meet her
Only you, have the right to judge
Do you feel my love?

***

24 June 2018