Berpaling dari “Ada”

Seperti yang sudah diketahui, keberanian dibutuhkan pada saat berada pada medan pertempuran yang nyata. Bukan saat ide-ide itu banyak tercipta di alam pikiran. Karena pengecut di medan pertempuran yang sesungguhnya pun memiliki keberanian yang sama saat mereka merancang sebuah strategi untuk menaklukkan lawannya.

Lantas, apa medan pertempuran itu dibutuhkan pada saat ini? Sedang kita berada dalam pengawasan teknologi yang memasang banyak CCTV di jagad maya. Segala aktivitas yang memercikkan huru-hara sekecil apapun akan mudah tersorot oleh istilah “booming” karena mayoritas masyarakat merupakan netizen aktif. Lalu medan seperti apa? Model keberanian seperti apa yang kompatibel dengan zaman seperti sekarang ini?

Sedangkan saya sendiri, termasuk salah satu orang yang percaya dengan kekuatan pikiran akan mampu mewujudkan segala sesuatu yang tersimulasi oleh pikiran menjadi nyata. Sedangkan dalam berpikir, kita tidak mungkin bisa lepas oleh rangkaian berpikir sebab-akibat atau jika-maka. Mungkin terdapat sedikit perbedaan yang memperngaruhi faktir keberanian dalam berpikir, yakni kurangnya keimanan yang menimbulkan keragu-raguan.

Mengapa iman dibutuhkan saat berpikir? Hal ini penting untuk membiasakan diri melibatkan Tuhan dalam segala proses aktivitas berpikir. Kita pun memiliki kebiasaan berpikir setelah mendapati suatu informasi, baik itu dari dari informasi tekstual atau pengalaman yang direspon oleh kelima indra yang kita miliki. Siapa yang mendatangkan ide atau gagasan, kalau bukan Dia?

Kita sering mengira bahwa segala sesuatu adalah hasil dari aktualisasi diri. Terlebih kalau itu baik, kita segera mengakui bahwa itu merupakan hasil dari proses berpikirnya. Sedangkan kalau buruk, kita bingung untuk bersembunyi atau bahkan mengingkari hasil berpikirnya sendiri. Mudahnya, kalau baik diakuisisi, kalau buruk hal itu sudah pasti bukan dirinya atau miliknya.

Itulah mengapa di awal disinggung keberanian dalam berpikir, sedangkan kita sering takluk atau bahkan ingkar dengan dirinya sendiri. Sifat ini akhirnya akan lebih mengarahkan diri ke ketidakjujuran, ketidakseriusan, kemunafikan. Disinilah bahayanya jika kita terlalu pandai bermain retorika. Kita terlatih dalam berkelit atau mencari alasan pembenaran, sedang kita rapuh atau rentan dalam laku yang nyata. Termasuk saya sendiri.

Seolah semua merupakan salah satu manifestasi dari sebuah pesan Nabi yang menyatakan bahwa perang kalian akan lebih sulit dari yang beliau lakukan karena perang itu bukan melawan musuh yang nyata, melainkan perang melawan diri sendiri.

Meskipun kita nantinya sudah terbiasa melibatkan Tuhan dalam segala aktivitas berpikir, dan sering banyak menemui segala sesuatunya menjadi nyata. Sekalipun banyak membutuhkan rentang waktu antara pikiran dan kenyataan. Jikalau banyak menemui kenyataan, disitulah tugasnya menahan diri. Bahwa segala sesuatu itu bukan merupakan hasil berpikir dariku. Semua tak lebih dari penglihatan yang diberikan oleh-Nya melalui apa yang pernah disimulasikan dari proses berpikir.

Jadi, jangan lupa akan kesadaran akan Tuhan dari segala sesuatu. Itu bukan “aku”-mu atau siapapun kecuali merupakan kehendak-Nya. Yang kita perjuangkan adalah kesungguhan dalam mengaktualisai pikiran. Sekalipun itu banyak tidak mendapat penerimaan di kehidupan bermasyarakat, tapi jangan mudah putus asa akan segala rahmat-Nya. Jawaban pasti akan segera datang melalui fenomena-fenoena masa depan yang tentu masih ghaib.

Dan juga jangan mudah terpengaruh oleh prasangka-prasangka yang dihadapi. Sebagai makhluk sosial, kita tidak akan bisa menghindari segala sangka tersebut. Kalaupun banyak lingkungan yang tidak menerima atau bahkan mengasingkan kita, jangan jadikan hal tersebut sebagai alasan untuk berhenti berjuang. Kalau kehadiran kita banyak menimbulkan masalah, jangan sungkan. Peran baik atau peran buruk dalam menjadlani kehidupan bukan kita yang memilihnya, kecuali Sang Maha Sutradara.

Kalaupun suatu saat segala daya telah mencapai limitasinya, “Maka berpalinglah engkau dari mereka dan tunggulah. Sesungguhnya mereka (juga menunggu.” (32:30) Berpalinglah dari segala “ada” apapun kenyataan yang nantinya akan didapati. Setidaknya kita sudah tak henti untuk selalu menunjukkan itikad baik kepada segala yang Dia cintai. Karena itulah amanat-Nya.

Little Light

One story is over
Recorded neatly in a book on purpose
although simple and in the form of hand scratches
in words, covered by time, as if it could penetrate the universe
creates longing which manifests into a small light from the main light

That little light becomes a friend,
which guides,
which illuminates,
even gave her warm embrace
in mortality
in isolation
in the solitude of the journey to satisfy longing for the source of his compassion

Not infrequently I have to protest to God
of empty homesickness
of a light that You bring
but not even once i was able to touch it

Time after time could not stop
longing is more and more transformed into not just a roofed “house”
but he is able to form “space”
so that the light always hugged from any angle I was focused on
unlimited time

because time has become his destiny
being that space, we frame it,
love.

31 July 2018

Mendapatkan Penghiburan Nyata

Tadabbur Selasan | 060

Kalau di Magelang, saat musim penghujan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa apabila keluar rumah. Sapaan mesra dari Sang Hujan hampir sudah dapat dipastikan, baik ketika berangkat ataupun akan kembali pulang. Cuaca seolah dibuat murung oleh keadaan kami, karena pada saat yang bersamaan tulisan dari Mbah Nun dari rubrik kebon ke70 dengan judul “Ilmu Waktu” tidak sedikit membuat kami gemetar dan gelisah.

Inti dari tulisan beliau sedikit memberikan bocoran informasi terkait hari akhir ataupun qada’ qadar. Sedangkan informasi tersebut masuk dalam eskalasi rukun iman yang harus kita patuhi sebagai seorang muslim. Pernah diriwayatkan saat Malaikat Jibril menyamar sebagai seseorang dan bertanya kepada Nabi Muhammad Saw.

Orang itu berkata, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Orang tadi berkata, “Engkau benar.” (HR. Muslim)

Pertanyaannya lantas bukan apa yang harus kita lakukan, akan tetapi mengapa Mbah Nun menuliskan sesuatu yang bersifat seperti itu? Kalaupun kita mengaku sudah banyak menanam iman, benih iman seperti apa yang kita tanamkan? Seharusnya kita sadar paham bahwa hal-hal seperti itu sudah bukan suatu yang awam atau baru, karena kebiasaan manusia memang sedang memupuk kehancuran. Kalau iman, mengapa mesti ragu? Kalau sudah merasa banyak memiliki pengalaman, mengapa mesti takut?

Pernah seorang murid bertanya kepada gurunya, “bagaimana membedakan antara yang palsu dan yang sejati?” Guru itu lantas mendekatkan mukanya ke telinga muridnya sembari berkata, “Ini palsu!” Sebelum era teknologi, semua yang kita dengar hanyalah kepalsuan, sebelum mata melihat dengan sendiri kebenarannya. Namun keadaan sekarang berbeda, apa yang sanggup mata pandang pun memiliki banyak potensi kepalsuan.

Keberanian itu sama sekali tidak berlaku dalam ide-ide pemikiran. Para pengecut dalam sebuah pertempuran pun sama-sama memiliki keberanian ketika mereka sedang merancang sebuah strategi pertempuran. Tapi setelah mereka berada di medan tempur sesungguhnya, banyak yang gemetar oleh musuh-musuh yang nampak kuat dan percaya diri. Adakah keberanian itu datang tanpa keimanan?

Kita mudah terombang-ombing oleh informasi-informasi yang tampak oleh mata yang banyak men-suplai ide-ide tentang keberanian. Baik sengaja atau tidak, mata kita dipancing untuk selalu melihat hal-hal yang banyak ketidakbermanfaatannya untuk dilihat, bahkan dilatih untuk menjadi seorang pecundang nan munafik. Meskipun selalu ada pengecualian dari semua itu, karena kita juga mudah mendapatkan akses peringatan atau nasihat dari guru-guru yang tidak selalu berada dalam ruang dan waktu yang sama.

Demi waktu saat Selasan tiba, suatu pertemuan yang diperjalankan untuk berkumpul di kediaman Mas Mishar, Caruban Magelang, banyak-banyak mengingatkan tentang makna kebersamaan. Tentang makna kata “maiyah” itu sendiri. “Idz dakholna jannatal ma’iyyata qulna masyaAllah, la quwwata illa billah.” Tentang bagaimana kita saling menasihati dalam kesabaran hingga saling berbagi canda penuh kebahagiaan. Sekalipun dalam keadaan basah dan dingin, namun pertemuan kecil ini mampu memberi kehangatannya tersendiri.

Keresahan yang mulanya dibawa, berangsur mulai pudar setelah wirid dan sholawat dilantunkan bersama-sama. Tidak hanya rintihan hujan yang menggelitik, namun desak rintihan mereka pun berbisik, menggambarkan kepasrahan bahkan ketiadaan diri bahwa “tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Pembacaan Wirid Munajat ke-60 di Selasan kali ini pun berakhir melebihi waktu tengah malam. Setelah suasana sendu nan syahdu, kita seolah banyak mendapat penghiburan. Terlepas sudah kesedihan ataupun kegelisahan yang menjadi bekal keberangkatan. Sebuah hiburan nyata, bukan karena apapun melainkan hanya satu, kembali merasakan cinta-Nya!

Caruban, 26 Januari 2021

Adil yang “Sok” Sosial

Dalam kehidupan berbangsa dan berbegara, yang telah memiliki sistem pemerintahan yang sedemikian rupawan. Yang kadang terlalu rupawan. Atau tidak hanya terkadang, tapi selalu nampak rupawan. Sitem-sistem ini dibuat memiliki tujuan utama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

                Setelah sekian lama negera tersebut katanya telah “merdeka” sejak tahun 1945. Sekuat apapun mereka berusaha. Sebrilian apapun mereka menerapkan sistem-sistem untuk mensejahterakan perekonomian. Tetapi tetap saja sampai sekarang usianya telah mencapai 73 tahun, tujuan tersebut belum mampu untuk diwujudkan.

                Karena keadilan itu sendiri rasanya hambar. Menurut Pak Zonk yang namanya keadilan, ya kalau polling menunjukkan pak Wowo mengungguli Pak Joko. Sementara masyarakat melihat kalau lembaga yang mengadakan polling tersebut telah memanipulasi data sehingga memenangkan Pak Wowo. Logika terhadap keadilan itu sendiri sifatnya fluktuatif. Tergantung empan dan papan. Tergantung timing-nya seperti apa.

                Kita suka berharap keadilan yang secara tidak sadar hal tersebut merupakan keegoisan kita untuk mendapatkan kenyamanan, kemapanan. Secara individu saja terkadang kita tidak bisa bersikap adil. Kita terlalu banyak memanjakan perut daripada otak. Kita terlalu banyak memikirkan perut yang kososng daripada otak yang perlu juga diberi asupan-asupan cakrawala keilmuan. Agar ia tidak kopong. Kita ingin sehat, akan tetapi yang dipikirkan hanya perut, ya mustahil!

                Begitupun dengan negara ini yang ingin mewujudkan keadilan sosial, yang berarti target dari tujuan itu (rakyat Indonesia) memiliki hak ataupun jaminan untuk mendapatkan keadilan itu. Lha modyar wae, Cuk! Padahal mayoritas rakyatnya menganggap jika keadilan itu bersifat kenyamanan dan kemapanan  dalam sudut pandang perekonomian. Yang kurang mampu ingin kaya, yang kaya ingin semakin bertambah kaya.

                Keadilan di negeri itu memiliki ratusan juta arti. Yang harusnya negara tersebut dapat menyatukan asumsi keadilan itu sendiri. Bagaimana Negara menjembatani? Bukan berusaha mengurusi sesuatu, yang akhirnya malah ngrusuhi sesuatu, njipuki, nggondoli hak-hak yang tidak seharusnya menjadi milik yang ‘sok’ berusaha mengurusi.

                Jangan berpenampilan adil yang sok sosial. Negara tidak akan mampu mewujudkan tanpa kerjasama dari seluruh elemen negara. Mesti disatukan satu suara keadilan seperti apa yang mereka bayangkan. Atau hanya akan bertingkah adil yang sok sosial itu akan berjalan sedemikian rupa sampai anak cucu kita tidak memiliki keadilan apapun karena hak-hak keadilan mereka telah terampas semua oleh para elite penguasa.

                Ini bukan ramalan, ini adalah salah satu bentuk kepedulian. Salah satu bentuk kasih sayang karena terlalu banyak memikirkan yang seharusnya tidak mau kupikirkan sama sekali. Sebenarnya saya males membuat essay yang seperti ini. Karena negara ini telah terlalu banyak membuat janji-janji palsu. Terlalu banyak orang rakus yang berkuasa. Terlalu banyak wakil rakyat yang menyukai pencitraan yang terbungkus dalam ke-eksistensi-an media.

                Dimana mereka hanya memikirkan mereka yang berpendidikan. Tiap pengurus negara mereka adalah mantan mahasiswa-mahasiswa yang telah terpelajar. Terdidik sedemikian rupa untuk meneruskan perjuangan para pendahulu mereka yang telah sukses banyak menipu rakyat. Mantan mahasiswa-mahasiswa itu tidak terdidik untuk menjadi generasi baru yang berani melawan arus zaman. Melawan segala bentuk ketidakadilan secara lantang, bukan sembunyi-sembunyi lewat akun jejaring sosial mereka. Yang terlalu banyak berisikan rupa-rupa mereka nan rupawan.

                Terlalu banyak kaum intelektual di negeri ini, tapi tidak diimbangi dengan spiritualitas dan mentalitas yang seimbang. Hingga keadaan negara zaman now menjadi bukti betapa “indahnya” moralitas para pemuda negeri mimpi tersebut.

                Yang ku mengerti hanya segala sifat itu ternyata relatif, semua itu sementara. Segala sifat tak bisa jadi tujuan ataupun karena bukan itu yang sejati. Kita hanyalah keabadian yang terbelenggu dalam kesementaraan. Kita hanya bisa berusaha istiqomah terhadap suatu sifat.

                Termasuk untuk terus ber-istiqomah dalam bersikap adil yang mesti dimulai dari diri kita sendiri. Hal ini ditandai dengan tidak banyaknya berkeluh kesah pada diri sendiri. Mengakui kalau semua keadilan akan sesuai porsinya jika kita istiqomah. Lalu setelah itu kita melihat keluar, mengamati segala gejala-gejala sosial yang ditafsirkan ke dalam lingkup ketidakadilan.

                Ketidakadilan tidak hanya bersifat materialistik. Jika kita mengejawantahkan ketidakadilan sebagai suatu ketidaksejahteraan ekonomi. Kamu akan mengalami ketidakadilan itu selama hidupmu. Akan selalu ada jurang kaya dan miskin. Maka dari itu Nabi Agung Muhammad SAW selalu menginginkan untuk hidup dekat dengan orang fakir disaat untuk menjadi kaya pun selalu ditawarkan oleh Tuhan, ketika wafat pun demikian.

                Kita tidak akan pernah bisa mengentaskan kemiskinan. Mengubah taraf hidup khalayak ramai menjadi sejahtera secara ekonomi. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus menemani mereka. Kita kikis jurang perbedaan itu dengan memandang mereka sama. Sama disini memiliki artikulasi yang sangat luas dan menyangkut banyak aspek dalam kehidupan sehari-hari.

                Keadilan sosial adalah kesatuan dalam menyatukan perspektif. Tak peduli kaya miskin, kuat lemah ataupun benar salah. Yang positif akan selalu bisa memahami, menampung, bahkan menarik yang negatif. Tidak ada pertengkaran sampai harus menumpahkan darah karena pada hakikatnya semuanya adalah saudara. Tak peduli jawa, batak, bugis, pace, cina, arab dan etnis-etnis lainnya. Keadilan sosial itu hanya memahami kalau kita satu, Indonesia.

                Jadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanyalah mimpi. Mimpi yang mungkin saja bisa diwujudkan hanya dengan meminta kepada Yang Maha Adil. Berharap Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang rela memberikan sedikit kuasanya untuk menunjuk wakilnya agar keadilan itu bisa terwujud. Karena keadilan yang sejati hanya milik-Nya.

20 februari 2018

Orang (Tidak) Cerdas!

Siapa sih orang yang tidak ingin cerdas. Cerdas seperti gabungan antara kepintaran dan ketangkasan. Kepintaran tanpa ketangkasan dalam menangani sesuatu bukan berarti ia cerdas. kalau sekedar tangkas tanpa kepintaran berarti ia tekun atau rajin.

                Anda yang membaca ini sedang membaca tulisan si penulis yang tidak memiliki kriteria satupun dari sifat-sifat yang tercantum. Dibilang tangkas koq kerjaannya hanya duduk, dibilang pintar koq lulus kuliah saja engga, apalagi dibilang cerdas lha wong kerjaannya tidak jelas. Jadi jika andai mulai tidak percaya saya harap bacanya cukup sampai titik berikut.

                Kalau anda masih meneruskan berarti anda saya bilang cerdas. karena masih penasaran kenapa saya masih menulis. Salah satu alasan menulis adalah ketidakpintaran saya akan ilmu, makanya saya akan memberi sedikit demi sedikit. Kalimat demi kalimat. Huruf demi huruf. Yang saya sendiri tidak pernah merencanakan saya akan menulis apa.

                Kebiasaan buruk itu telah membuat apa yang saya tulis menjadi sangat acak. Tidak ada kolerasi antara kalimat satu dengan kalimat berikutnya. Jika anda waras, pasti akan sangat malas membaca essay ini. Di satu sisi karena si penulis sendiri memang tidak cerdas.

                Salah satu yang mungkin paling saya ingat adalah ketika senior saya di kantor mengatakan saya tidak sehat karena kebiasaan merokok saya. Dia berpendapat bahwa merokok sangat merugikan bagi tubuh manusia. Tapi saya memiliki pendapat lain, bagi saya rokok adalah makanan bernutrisi yang menyegarkan pikiran saya ketika sedang cumpet , menjadi teman bahkan sahabat ketika sendiri. Menjadi jodoh ketika jari jemari mulai penat menekan tombol-tombol keyboard.

                Saya mungkin termasuk orang tidak cerdas yang ngeyel.  Karena ketidaktahuam saya, ketidakmengertian saya, kegagalfahaman saya terhadap ilmu yang entah mengapa amat terlalu luas. Lantas saya definisikan diri saya menjadi manusia paling bodoh yang bahkam rumus “to be rich” pun selalu gagal aku fahami.

                Untuk segera tidur tepat waktunya saja selalu tidak bisa. Ketidakcerdasanku menuntutku untuk melék sampai mata ini tertidur dengan sendirinya. Tanpa mengenal waktu ataupun terbatasi waktu. Begitu juga dengan asupan nutrisi. Saya bersyukur menjadi orang jawa, yang suka makanan manis. Akan tetapi, saya tidak pernah membatasi makanan apapun untuk menjadi asupan. Apalagi jika makanan itu pemberian orang lain. Tanpa pernah peduli gula, kolesterol, asam urat, ataupun yang lainnya.

                Ketidakcerdasan ini hanya mengetahui kalau apapun yang berlebihan itu tidak baik. Kita memiliki standar kesehatan yang mungkin hanya kita sendiri yang mengetahui. Ada yang tiap hari hidup hanya membutuhkan biaya paling tidak seratus ribu. Hanya terkadang uang segitu terlalu mewah bagi orang yang tidak cerdas yang selalu terinjak-injak seperti saya. Yang selalu dijadikan target neo-kapitalisme karena harga tenaga kami sangat murah.

                Standart hidup kami yang biasa-biasa. Makan apa adanya, ada ikan ya makan ikan, adanya tempe ya alhamdulillah, gak ada apa-apa ya puasa sebentar. Biarlah mereka menganggap ketidakcerdasan kami sebagai sebuah paradigma. Mereka berdiri di atas kami, mengeruk harta alam kami, parahnya mencoba menginjak-injak kami bahkan menghina kami.

                “ . . .tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. 2 : 216)

                Ketidakcerdasan ini merupakan cerminan kalau bangsa ini memang merupakan negara islam terbesar. Yang selalu menerima apa yang dikasih oleh Tuhannya meskipun itu sangat pas-pasan. Budaya bangsa ini, adat ataupun norma yang ada di masyarakat sangatlah menjunjung nilai-nilai islam. Yang celakanya akhir-akhir ini sering dikata bid’ah. Disini saya beruntung menjadi orang tidak cerdas! ^^

17 januari 2018

Tinggalkanlah “Aku”!

Dalam sebuah perbincangan orang-orang sering beradu capaian mengenai “aku”-nya masing-masing, sekalipun tidak ada yang bertanya. Situasi tersebut secara tidak langsung mengajak orang yang mendengarkannya untuk lebih mengenal si pembawa cerita, apabila yang banyak diungkapkan adalah keakuannya.

Begitupun bagi si pendengar, untuk memahami posisi menjadi pendengar yang baik juga butuh upaya ekstra untuk menahan diri. Terlebih jika yang didengar selalu memacu diri untuk mengatakan bahwa “aku pun telah mengalaminya” atau “itu belum seberapa daripada aku yang… .”

Tentu dibutuhkan racikan porsi dan takaran yang tepat untuk dapat membuat suasana perbincangan itu nyaman ketika dilakukan. Saling memberikan perhatian dengan bergantian melontarkan apa-apa yang telah didapati oleh masing-masing agar dapat saling berbagi kenikmatan. Baik itu ilmu, pengalaman, atau berbentuk hikmah cerita.

Karena bisa jadi cerita-cerita ringan yang saling kita dengar sehari-hari, merupakan sebuah manifestasi masalah problematika dunia. Hanya skala konsekuensi dan proyeksi wilayahnya saja yang berbeda. Oleh karena itu, fokus dan kecermatan sangat dibutuhkan sebagai sebuah upaya menjadikan segala sesuatu yang kita dengar, lihat, atau ungkapkan sebagai pembelajaran. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dibutakan, ditulikan, ataupun dibisukan. Apalagi sampai  dibiarkan golongan-golongan yang telah tertutup pintu hatinya.

Syarat dari semua itu tentunya menyadari hal yang sebenarnya sepele, tapi sangat sulit untuk dipraktekkan. Yakni membiasakan diri menghadirkan kebaikan Tuhan saat mendengar, melihat, atau berbicara, bahkan ketika hati sedang mengalami sebuah fenomena rasa. Jika mampu mengendalikan kesadaran tersebut, lambat laun, eksistensi kata “aku” akan semakin berkurang kehadirannya. Kita akan semakin lebih berhati-hati dan waspada atas apapun yang dihadapkan.

Kalaupun terasa sulit untuk mendapatkan sebuah hakikat kehidupan, cukup dengan banyak-banyak mengingat-Nya akan berdampak banyak terhadap segala aspek pemikiran yang nantinya mempengaruhi pola kebiasaan diri. Karena dua hal terpenting dari konsep penyatuan adalah sadar akan perbedaan dan rela untuk meniadakan diri atau banyak-banyak menghilangkan “aku”.

Mungkin saja, kelembutan dan kebaikan ilahi sudah banyak dirasa karena itu semua masuk ke dalam segala sesuatu yang masuk dalam kekuasaan-Nya. Namun, jika kita banyak meng-“aku”-kan diri, dikhawatirkan nantinya kita akan ingkar terhadap segala kebaikan yang telah diberikan. Tentu saja hal ini juga mudah untuk dibantahkan karena sifatnya yang sirr atau hanya diri sendiri yang mengetahui.

Umumnya, orang tidak bisa mengetahui bagian dalam masing-masing orang yang ditemuinya hanya dengan sebuah perkenalan, kecuali hanya mengenali bagian luar atau permukaannya saja. Oleh karena itu dibutuhkan intensitas perkenalan yang lebih banyak, karena dengan mengetahui banyak bagian luar, sedikit demi sedikit kita akan menemukan jalan memasuki bagian isi atau dalam.

Kita akan banyak diberikan fenomena keindahan antara kebaikan ilahi dan upaya kesungguhan, karena kedua hal ini berbeda. Misalnya saja, para nabi mendapatkan kebaikan ilahi tanpa upaya pribadi. Akan tetapi, upaya kesungguhan dan kejujuran diri mampu mengantarkan seseorang untuk mendapatkan kebaikan ilahi.

Bagi orang tekstual, Fir’aun sudah pasti tidak termasuk sebagai bagian dari kebaikan ilahi. Namun secara kontekstual, Fir’aun termasuk salah satu bagian dari seseorang yang mendapatkan kebaikan melalui upaya dan berbagai kebaikan yang telah dilakukan. Hanya saja jangan sangka bahwa kebaikan itu melulu merupakan sebuah reward atau penghargaan. Karena yang terjadi bisa sebaliknya, kebaikan itu bisa berupa hukuman atau penjara.

Kita bisa lihat bagaimana orang-orang dahulu menghukum seseorang dengan menggunakan tiang gantungan, lantas digantungnya si tersangka di muka umum dengan podium yang tinggi. Tentu ada maksud dari semua itu, utamanya agar mampu dilihat oleh orang-orang yang ingin menyaksikannya.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tiang hukuan nan tinggi itu tak lantas tersusun atas bongkahan kayu. Tiang itu sekarang bisa berupa posisi-posisi strategis dalam sistem hierarki, atau dengan singgasana kursi-kursi mewahnya. Bisa juga berupa status sosial atau keberhasilan-keberhasilan dunia lainnya sehingga membuat dirinya mudah terlihat. Kita tidak pernah mengetahui cara Tuhan menyergap seseorang, salah satunya Fir’aun atau penguasa-penguasa dholim lainnya yang nyatanya justru diberikan posisi yang tinggi.

Lantas dimanakah “aku” yang sering kita bicarakan? Kalau semua merupakan manifestasi wajah-Nya. Yang mana tak ada satu orang pun yang mampu mengkonsepsi kekuasaan dan kerajaan-Nya. Kalaupun manusia mampu mengejewantahkannya, sudah dapat dipastikan bukan itu. Kecuali hanya melalui analogi atau perumpaan yang memudahkan.

Mengapa tingkah laku kita sering meniadakan? Lantas, apa masih ada duka itu harus tersisa, jika kita telah mengorbankan “aku”? Jika kelak suatu saat terdengar kata “tinggalkanlah”, maksudnya bukan berarti aku akan meninggalkan kita, melainkan “aku” itu sendiri.

Isn’t Mine

My imagination leads me to string these words
In order to get to the ‘missed one’
I’m just a pen
While God is actually that hand

I don’t have anything
I just live alone
So, I feel I don’t care if I live or die
I’m just moved by that hand

So, if you need love
know that I am your servant
Take it as much as you want, as you like, as long as you can, as long as you can
Because it really isn’t mine

9 agustus 2019

Delusi Penderitaan

Hujan es mengguyur kota Darmo kemarin sore. Terjadi tak begitu lama tapi cukup membuat kehebohan di kota ini, bahkan masuk ke berita nasional. Darmo terheran terhadap kehebohan itu, bukan karena hujan es, akan tetapi karena pemandangan moral manusia yang begitu menggelikan.

                Sebelum hujan itu terjadi awan gelap tak begitu mengherankan masyarakat, malah yang terjadi adalah keluhan yang berkicau disana-sini. Mengeluh kepada hal yang seharusnya disyukuri karena akan datangnya hujan. Padahal dulu Rasul amat takut ketika awan mulai mendung dan selalu memohon agar musibah ataupun bencana tidak akan datang.

                Turunlah hujan dengan begitu derasnya, tetiba kicauan keluhan berubah drastis menjadi teriakan Takbir. Dasar manusia, begitu labil. Sebegitu mudahkah ke-teteg-an hati kalian. Kalian menjerit heboh dengan tidak lupa update story di media sosial masing-masing. Emang Tuhan ada di aplikasi handphone kalian? Tidak ada sinkronisasi antara mulut dan hati. Ingin hati mendapat perhatian orang lain dengan menjual asma Allah. Mungkin, manusia zaman now lebih suka menjadi terkenal diantara manusia lain daripada menjadi terkenal di mata Tuhan,

                Gila! seperti itulah Darmo melihat gegap gempita perilaku sosial masyarakat di kotanya. Darmo hanya bisa bersyukur kalau awan gelap itu hanya menurunkun hujan es. Tuhan mungkin sedang rindu dengan teriakan-teriakan kita. Dan parahnya, ketidaknormalan histeris itu tidak hanya terjadi di kota ini saja, bahkan di mayoritas wilayah negeri ini.

                Beberapa hari lalu Darmo bertemu dengan salah satu kawannya ketika masih kuliah. Temannya merupakan salah satu korban gempa Yogyakarta di tahun 2006. Semasa kuliah ia tak pernah menceritakan sedikitpun tentang apa yang pernah dialaminya. Baru beberapa hari kemarin ketika Darmo dan temannya mendapat waktu untuk bersantai. Temannya menceritakan segalanya, termasuk kehilangan ibu dan neneknya dalam kejadian itu.

                 Darmo gumun karena dibalik kediamannya, ia menyembunyikan kegembiraan yang luar biasa atas apa yang orang-orang biasa sebut bencana alam adalah musibah, bukan berkah. Bukankah berarti memangsesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan? Ini lho, sesunggungnya bersama kesulitan ada kemudahan?”

                Lalu sebenarnya adakah kesulitan itu? Apa yang menyebabkan sesuatu menjadi sulit adalah ketika kita  berprasangka akan ketidakmampuan kita untuk menjalani atau mengatasi apa yang sedang terjadi. Padahal Tuhan pasti tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan kita.

Lalu bagaimana dengan orang yang gila? Gila bukan berarti dia menghindari cobaan atau pikirannya sudah terlampau overload terhadap ujian yang datang ke dalam kehidupannya. Dan tidak mungkin juga sebuah APK file (ujian) bisa diakses dalam komputer (diri) kecuali memang sesuai dengan spesifikasinya (kapasitasnya). Bukankah lantas orang gila pun dibebaskan dari kewajiban beribadah? Tapi kenapa masih ada aja yang meremehkan mereka disaat mereka sudah selesai.

                Terkadang kita sengaja dibuat tersesat agar kita dapat mencari ilmu yang tidak akan kita dapat prasangka kebenaran kita. Bahkan, hakikatnya kita hidup pun adalah sebuah pencarian yang artinya kita akan sedang dalam keadaan sesat dan tidak tau arah untuk mencari jalan kebenaran yang hanya diketahui oleh Tuhan. Menjadi bekal untuk memberikan makna kepada setiap keadaan yang selalu kita hadapi.

                Ya kita semua hanya bisa memahami proses pembelajaran waktu demi waktu. Mengapa kita selalu mengungkapkan rasa ketidakpuasan kita terhadap kehidupan yang tidak sesuai harapan. Kita terlalu memaksakan kebahagiaan yang justru bisa menenggelamkan kita ke lautan kemunafikan. Lantas delusi penderitaan semacam apa yang pernah kalian alami?

26 november 2018

Renjana Kala Itu

Renjana kala itu

Masih saja tentangmu

Menerkam tak kenal waktu

Di ufuk temeram yang berbalut peluh

Merajut laku, berbisik pilu

Tentang kamu sang pujaan qalbu

Mendekap erat sekujur nalar sampai terasa kaku

Sekalipun aku tahu kalau segala anganmu palsu

Renjana kala itu

Masih saja aku tertipu

Menerka dari segala penjuru

Di belantara rindu yang riuh oleh senandung sendu

Tapak berdenting, meninggalkan berjuta sayup

Untuk kekasih yang lusuh tersungkur

Entah menahan diri atau sengaja membisu

Di antara reruntuhan puing-puing istana kelabu

Renjana kala itu

Masih saja bersuara merdu

Membuat segala halu menjadi syahdu

Di hamparan para serdadu yang berpolah angkuh, menyangka dirinya hidup

23 Januari 2021

Lebih Menyadari Kehadiran-Nya di Segala Ruang dan Waktu

Ada beberapa kemungkinan ketika kita banyak mempertanyakan keadaan yang membuat hati gelisah. Tapi dari semua kemungkinan, satu sebab yang pasti karena adanya sebuah masalah.

Sudah berulangkali pula keadaan yang sering dianggap masalah, hadir membawa 2 pilihan rumus yang sangat gamblang. Antara memilih kemudahan atau kesulitan. Karena 2 hal ini selalu datang bersamaan.

Sesuatu terasa mudah karena kita pernah mendapati pengalaman yang sama. Atau sesuatu akan terasa mudah karena kita telah mempersiapkan diri menggunakan ilmu sebagai alat bantu. Sebaliknya, sesuatu akan terasa sulit karena kita belum pernah mengalami dan bersamaan dengan itu, kota masih belum memiliki kesiapan mental atau keberanian untuk menghadapinya. Maka, muncullah keraguan, ketidakpercayaan, ketakutan, dlsb.

Bukankah sesuatu itu datang tak pernah lebih dari kapasitas diri? Tapi mengapa kita ragu? Mengapa kita tidak siap? Toh, teratasi atau tidak, benar ataupun salah, itu semua akan tetap menjadi pelajaran yang bisa diambil hikmahnya.

Kalau didalami pun, keraguan dan ketakutan itu datang karena harapan atau ekspekstasi kita yang terlalu tinggi. Atau khawatir terusik kenyamanan yang telah didapat akan terganggu.

Oleh karena itu, bukan masalah yang sulit. Akan tetapi, lebih karena diri yang belum mau berproses. Padahal, semua kejadian itu datang tidak lain agar membuat diri lebih berkembang dan dewasa. Melalui perubahan-perubahan yang semua itu hanya akan terjadi jika kita sudah melampui ujian yang datang. Bukankah tanda dari sesuatu itu berproses adalah hadirnya masalah?

Sebenarnya, melalui permainan makna kata kita juga bisa sedikit menentramkan pikiran. Karena berawal dari pikirianlah segala masalah itu datang. Entah itu karena sudut pandang, pola pikir, ataupun data/ilmu yang masih belum banyak tersimpan. Permainan kata itu misalnya “persatuan”, apakah kita bisa memaknai persatuan tanpa ada perbedaan? Atau, adakah kata satu itu tercipta tanpa ada dua, tiga, empat, dst?

Contoh yang lain misalnya kata “benar”, bisakah makna benar itu tercipta tanpa kita mendapati terlebih dahulu makna tentang salah? Seperti hanlnya kemudahan dan kesulitan, tidak akan kita dapati salah satu makna dari kedua kata tersebut tanpa kita mengalami makna keduanya.

Mengalami bukan berarti kita melakukan, karena kita memiliki akal yang bisa mensimulasi berbagai kemungkinan. Memiliki wakil panca indera yang kita bisa memproyeksi berbagai keadaan sehingga bjsa meminimalisir sakit-sakit yang mungkin bisa menjadi potensi terluka oleh karenanya.

Dan kita tidak bisa menghindari eskalasi pasti suatu budaya yang tak akan terbentuk karena kebiasaan. Kebiasaan juga merupakan hasil dari tingkah laku/kata. Sedangkan kata, hanya akan tercipta karena buah pemikiran individu-individu yang melontarkannya.

Maka dari itu, jangan sembarang melemparkan pemikiran karena ia laksana debu yang mudah tersapu angin kesana-kemari. Jika kita tidak mengaliri air di atasnya, ia hanya akan mudah tersapu angin dan sangat mungkin melukai pandangan-pandangan orang lain.

Persiapkanlah kearifan sebelum benar-benar siap dengan suatu amanat. Kearifan yang tidak bisa didapat seketika kecuali sudah memiliki kemandirian atau kedaulatan pikir dan tak henti melakukan penyucian/ muhasabah diri. Dan jangan sekali-kali banyak mengumbar kata cinta jika belum banyak melakukan upaya-upaya tersebut. Kecuali nantinya cinta yang terwujud akan nampak transaksional.

Jadi, jangan sampai kita kehilangan nikmat untuk menikmati segala keadaan. Jangan sampai kita terbalik sudut pandangnya. Jangan sampai kita kurang presisi menggunakan alat bantu pemikiran. Karena segala masalah yang datang itu bukan berasal dari luar diri kita, melainkan dari diri kita sendiri. Karena Tuhan terlalu Maha Pengasih dan Penyayang terhadap seluruh hamba-hambaNya.

Begitu pula Kanjeng Nabi Muhammad Saw, kekasihNya, yang tidak pernah tega melihat ummat-ummatnya hanya sibuk dengan pertikaian yang masalah utamanya justru dirinya sendiri. Bukankah sudah banyak diberi nasihat kalau perang terbesar itu adalah melawan diri sendiri?

Jadi, enyamlah segala keadaan itu! Dan selamatkanlah kesejatianmu! Sekalipun ragamu terkoyak dan habis energimu, ingatlah bahwa akan selalu ada Sang Maha Pemberi Kekuatan. Yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat segalanya. Karena kita pun, adalah sebulir demi dari hamparan kuasa-Nya.

Sadarlah akan kehadiranNya di segala ruang dan waktu. Yang kita sendiri sering lupa bahwa kemanapun kita mengarahkan pandang, itulah wajahNya. Lantas, masih beranikah kita banyak berprasangka dan berkecil hati kepada masalah?

22 Januari 2021