Mengetahui Tanpa Memperkenalkan

Kenapa aku yang akhirnya kau pungut dari jalanan kumuh dan kotor untuk kau bawa pulang ke rumah. Rumah yang ramai, yang sangat berkebalikan dengan jalanan yang selama ini aku tinggali. Sambutan penuh kehangatan tentu saja menjadi sambutan yang tak terlupakan saat pertama kali aku memasuki rumahmu. Dulu.

Saudara-saudaraku yang baru memiliki keahliannya masing-masing dari hasil olah pemikirian mendalam yang biasa diajarkan oleh sang pemilik rumah. Aku pun bingung hendak melatih diri di bidang apa atau di wilayah bagian rumah sebelah mana. Sementara dari keseluruhan rumah yang diamanahkan ini, ada satu kesamaan yang terabaikan, yang menjadi kendala utama ketika aku hendak ikut mengambil peran dalam satu bagiannya.

Bayanganku ketika akan memasuki rumah ini tentu aku sudah memiliki bayangan tentang idealnya hubungan para penghuni rumah. Terlebih ketika sudah memasukinya, kesan pertama seolah memperkuat dogma pikiran sebelum aku pertama kali menginjakkan kaki di rumah tersebut. Meski ada kecurigaan meskipun sedikit.

Hidup di jalanan telah banyak memberiku bekal tentang jangan melimpahkan segala kepercayaan dan harap kepada manusia, jika tidak ingin menabung kecewa nantinya. Hubungan yang sudah pasti terjadi antar manusia tidak hanya cinta, melainkan segala komponen-komponennya menuju kesejatian hubungan itu sendiri. Oleh karena itu, aku terbiasa untuk tetap waspada, barangkali kehangatan yang aku terima hanyalah adab budaya yang hanya bersifat “nglegani” atau melegakan aku saja pada waktu itu.

Sebagai penghuni baru, tidak banyak instruksi atau perintah yang diberikan kepadaku. Namun, yang aku alami ternyata rumah dalam kondisi terbengkalai. Banyak bagian-bagian rumah yang dibiarkan begitu saja, jarang ada yang merawatnya terlebih membersihkannya. Dengan sukarela aku terus mengambil bagian itu dengan terus berpikiran baik kepada saudara yang lain.

Waktu demi waktu berlalu, kecurigaan awalku semaki menguat. Hal utama dan penting dalam keindahan adalah kebersihan. Dan untuk mencapai sesuatu yang bersih, harus ada yang merawatnya, memelihara, dan memperhatikannya. Namun, setelah adanya aku, semua seolah seperti merasa bebas dari apa yamg seharusnya dilakukan. Dilimpahkan begitu saja. Apa ini tujuan sang pemilik rumah membawaku?

Jika keindahan sebuah tempat ditandai dengan kebersihan dan kenyamanan tempat. Maka, keindahan sebuah hubungan akan tertandai dengan kemesraan dan kebersamaan yang terjalin. Keadaan rumah merupakan proyeksi kepedulian para penghuni rumah. Dengan kata lain, bentuk luar merupakan wujud sebenarnya dari apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita masing-masing. Katanya kebersihan adalah sebagian dari iman. Lalu kalau ternyata malas dengan kebiasaan membersihkan, bagaimana dengan upaya untuk meningkatkan kadar keimanannya?

Manusia sangat lihai memanipulasi citra diri, namun dalam kebersamaan yang membutuhkan kesetiaan. Waktu akan menampakkan sesuatu yang selalu disembunyikannya. Kalau aku mudah berkecil hati, aku mungkin akan mengadu kepada yang lain. Namun, sekali lagi, aku tiada harap kepada mereka, bahkan siapapun. Aku tidak menuntut karena aku tidak berkehandak, melainkan hanya sekedar diperjalankan.

Aku sudah banyak berhitung tentang konsekuensinya ketika aku memilih membangun keintiman. Aku lebih memilih untuk menjadikan tantangan untuk terus melatih kapasitas kesungguhan memiliki cinta. Meski tak berbalas, atau bahkan sekedar dipandang pun tidak. Dan sekalipun nantinya aku harus kenyang terhadap bualan prasangka.

Ternyata, rumah pun tak beda jauh dengan jalanan, wilayah, atau bahkan bangsa. Situasi yang ada di luar diri tak akan cukup untuk mengurangi rasa cinta ini kepada kehidupan. Ketika semua saling berebut kekuasaan, kebenaran, bahkan kedekatan personal dengan sosok tertentu, semua tidak akan banyak mengubah kebiasaanku untuk melakukan apa yang harus saya lakukan dalam waktu dan tempat di mana aku sedang diperjalankan.

Rasa terimakasihku kepada pemilik kehidupanku, bukan terwujud melalui ketundukan, ketaatan, atau menyerahkan diri. Itu semua sudah menjadi hal yamg sewajarnya dan sepatutnya dan sang pemilik tidak membutuhkan hal tersebut. Sedang kebanyakan penghuni hanya sibuk menjilat-jilat demi sebuah pangkat atau maqom kehidupan, citra publik, dsb. Lain hal denganku, yang lakukan justru bagaimana untuk terus berupaya berlaku kesungguhan atas amanah yang sudah dipercayakan dalam mengarungi samudera kehidupan.

Aku tidak butuh diketahui dan dikenal oleh sang pemilik. Karena Pemilik Sejati pasti mengetahui tanpa aku sibuk memperkenalkan. Memaklumi tanpa harus aku bingung mempertunjukkan. Dan merasakan tanpa butuh pengungkapan. Segalanya. Lalu kenapa engkau sibuk membangun citra diri supaya agar terligitimasi atas namanya?