Pengalaman Sebagai Pelari “Virgin” di Tilik Candi Borobudur Marathon 2022

“Jika hidup itu ibarat lari marathon, maka aku tidak boleh menyerah.” Setidaknya kata-kata itulah yang menjadi penyemangat diri ketika pertama kali mengikuti lomba marathon “Tilik Candi 2022” yang diadakan di Borobudur. Dengan pola hidup yang bisa dibilang buruk menurut kesehatan, tapi saya berupaya untuk menuntaskannya.

Meski hanya half-marathon, dengan jarak lari sekitar 21 km yang saya ikuti, merupakan tantangan tersendiri bagi saya utamanya yang tidak memiliki pola makan dan istirahat secara teratur. Begadang dan merokok merupkan kebiasaan yang hampir tiap malam dilakukan. Olahraga mungkin hanya futsal atau sepakbola seminggu sekali. Bayangkan? Sekalipun pernah ada pengalaman jalan kaki 50 km, tapi itu tidak lantas membuat saya sendiri berbesar hati.

Meskipun tidak menjadi yang tercepat, tapi apa yang menjadi target ikut perlombaan telah terpenuhi, yakni mencapai garis finish. Hasil itu tercapai tentu bukan tanpa persiapan. Dalam rentang seminggu sebelum lomba, setidaknya ada dua kali latihan lari, dengan jarak 4 km dan 14 km. Anehnya, saya melakukan latihan tersebut tetap dengan kebiasaan bergadang alias belum tidur semalaman.

Di latihan kedua, saya sadar setidaknya untuk tidur dulu sebelum mengikuti lomba. Tapi pada kenyataannya, malam sebelum lomba ada agenda rutin yang tidak bisa ditinggalkan sampai tengah malam. Setelah sampai rumah dan niat untuk istirahat, ternyata ada pertandingan sepakbola dan yang main adalah tim kesayangan. Godaan macam apa ini!

Setelah sempat tertidur sebentar dan melihat hasil akhir skor pertandingan, akhirnya saya mendapatkan motivasi tambahan untuk mengikuti perlombaan marathon, yakni pelampiasan kekecewaan karena tim kesayangan yang mainnya buruk dan selalu kalah di beberapa pertandingan terakhir. Setidaknya, lari marathon kemarin menjadi pelampiasan amarah ke arah yang positif dan menyehatkan.

Ba’da shubuh kami berangkat menuju garis start di lapangan Lumbini. Animo para runners dari segala penjuru negeri meningkatkan antusiasme bagi diri saya sendiri. Predikat bagi mereka yang rela membayar mahal hanya untuk capek lari puluhan kilo, nyatanya kurang tepat. Sebab kalau sudah hobi itu tidak bisa dibanding-bandingkan.

Saya yang pada kesempatan ini merupakan salah satu pelari “virgin” atau pertama kali mengikuti marathon begitu terkesan dengan apa yang disuguhkan para pecinta “runners” baik dari personal ataupun dari berbagai komunitas. Ada sedikit rasa kekecewaan, mengingat dulu hobi jogging semasa kuliah di Graha Sbha Pramana atau Embung Tambakboyo tidak saya lanjutkan. Tapi, ya sudahlah!

***

Jam 5 tepat lomba dimulai, sepanjang jalan para pelari banyak disemangati oleh suguhan budaya lokal yang hampir tersedia di setiap kilometer. Belum lagi, warga sekitar Borobudur yang menonton cukup ramai. Water station yang banyak tersedia cukup membantu, tapi animo masyarakat dan hiburan budaya lokal menjadi booster tersendiri bagi para pelari. Apalagi senyum anak-anak yang juga selalu ingin menjulurkan tangas “toss” kepada para pelari. Seolah-olah ada energi tambahan yang tersalurkan dari tangan-tangan mereka.

Pemandangan yang disuguhkan sepanjang perjalanan juga cukup eksotis, dengan rute-rute jalan pedesaan. Dengan background persawahan dan Candi Borobudurnya, adalah kenikmatan pesona alam tersendiri bagi para pelari. Yang tidak hanya sejuk udaranya, tapi juga menyejukkan sosial budayanya. Mahar yang dikeluarkan pun terasa sangat sebanding dengan apa yang telah tersaji sepanjang perjalanan.

Jika hidup itu merupakan ibarat lari marathon,sebenarnya kita hanya butuh untuk mengalihkan fokus pada kenikmatan dan kebahagiaan yang sebenarnya banyak telah disuguhkan. Akan tetapi, biasanya kita hanya memilih untuk segera menuntaskan keletihan diri.

Di kilometer 4, sebenarnya tubuh ini pun sudah sengkil dan engkel kaki terasa seperti kambuh. Dan jika dibayangkan jarak yang harus ditempuh masih 4x jarak yang telah dilalui. Pikiran untuk DNF pun seolah menjadi racun tersendiri, toh tidak ada punishment atau kerugian lainnya kalau gagal finish. Tapi, apa menariknya hidup jika saya menyerah? Stronger to Victory!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.