Hari ini semua merasakan kebahagiaan bagi kaum muslim. Bisa berkumpul dengan sanak saudara, kerabat, dan tetangga. Yang menjadi pembeda pertemuan kali ini yaitu karena sebuah momentum yang telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, agar hamba2nya bisa hidup damai dan saling sayang menyayangi, saling memaafkan dan meredam dendam antar hambanya. Seperti terlahir kembali setiap 1 tahun sekali, ntah terlahir akalnya yg baru, cara pandangnya, ataupun terlahir rohaniahnya.
Tapi pernahkah kau menyadari jika sifat Tuhan juga tergambar dalam hamba hamba pilihannya, kasihnya,sayangnya,murkanya,cintanya. Bisakah kalau di setiap hari yg Fitri ini, kita yg biasanya hanya mampu memandang pertemuan ini sebagai ajang silaturahmi dengan hamba lain, kita ubah menjadi suatu cara mengenali sifat2 Tuhan? Kalau kita tidak mengenalnya bagaimana kita akan menemukannya? Apalagi mengharapkan pertemuan dengannya.
Tetes peluh yang keluar ketika kita sungkem, rasa bersalah kita kepada orang lain yang selalu membuat kita was was. Bisakah kita terapkan kalau itu semua belum ada apa-apanya ketika kita ingin sebuah pertemuan dengannya? Lantas seperti apa rasa bersalah kita dengan Tuhan?tangisan pilu yg bagaimana agar Tuhan mau memaafkan dosa2 kita?
Kamu yang hanya bisa memahami idul Fitri ini sebagai momentum bahagia dengan sedikit peluhan. Bagaimana dengan orang-orang ketika di hari yg sama mereka sedang berjuang agar selalu bisa bertemu dengan kebahagiaan seorang anak. Mengayuh sepeda puluhan kilo dengan kesombongan yg penuh kardus, menanti seorang diri di pinggir jalan untuk bisa kembali pulang bertemu sanak keluarga. Berjalan di antara teriknya matahari demi mencari sebuah pemaafan atas segala kesalahannya.
Haruskah kita ikut memikirkan itu? Luangkah walaupun hanya membayangkan? Siapkah dirimu untuk selalu menjadi ahsani taqwim?atau hanya citra asfala safilin yg engkau umbar di depan orang lain?
Selalu kutemukan pesona wajah Tuhanku di rupa bapak pengayuh sepeda itu, bukan pada kebahagiaan pertemuan ini. Karena aku tau pertemuan dengan Tuhanku akan menjadi sebuah pilu yang tak tertahankan.
Saudara-saudaraku tak bisakah
engkau berhenti menuntut maiyah? Walaupun ia sanggup, tapi ia hanya melihat
egomu. Untuk lebih mengeksistensikan diri. Walaupun disana ada lautan ilmu, tak
bisakah engkau hanya mendengar, menikmati saat-saat suara itu hadir memeluk
kalbu. Hingga terkadang peluh air mata ini tak terasa ikut terurai.
Maiyah
itu tak penting karena itu hanya sebatas identitas, lebih penting kenikmatan saat
kita dapat duduk menikmati keindahan kebersamaan, saling sapa antara langit dan
bumi, melontarkan sholawat sampai canda tawa dalam naungan penuh kemesraan. Silaturrahmi
itu lebih berkesan daripada menuntut maiyah untuk merubah negeri antah
berantah, dimana cara pandang kita dan pemerintah jelas saling bertolak
belakang. Walaupun di tangan Allah tak ada sesuatu yang tak mungkin.
Yang
menyelimuti hakikat ilmu yang tersirat, yang tersampaikan menurut kasih sayang
Sang Pemilik Ilmu. Aku pun tidak pernah menemukuan kenikmatan duduk tanpa
istirahat selama kurun waktu yang cukup lama di malam hari. Lebih indah
daripada menikmati gemircik suara ombak di pantai, lebih anggun daripada
menikmati hiasan bintang di angkasa. Entah kenapa.
Puluhan
kilometer selalu kutempuh untuk dapat menikmati situasi itu. Tak peduli esok
pagi mesti berangkat memenuhi tuntutan pekerjaan. Ku ajak tubuh ini memaksimalkan
perannya sesekali saja, dan kurebahkan raga, berharap waktu berjam-jam dapat
kulipat sejenak dalam hitungan menit. Jalan sunyi selalu kuterjang demi mencari
kehangatan itu.
Setelah
9 tahun aku selalu mengikuti angin itu, tiba-tiba muncul kegelisahan yang amat
mengusik. Aku takut karena merasa memiliki keluarga dalam maiyah. Aku takut
jika rasa memiliki itu berputar 180’ menjadi rasa kehilangan. Karena aku tak
pernah kehilangan kesempatan nikmat untuk menikmati jengkal setiap rasa
kehilangan. Seolah Tuhan tak mau diduakan, atau Tuhan ingin segera menemui
salah satu ruh yang dicintaiNya. Seakan Tuhan ingin segera bertemu dengannya.
Ataukuah Tuhan mencukupkan segala usahanya dalam kefanaan ini.
Seakan
tuntutan dan harapan semakin tinggi kepada maiyah, terutama Simbah. Sebelum
terlambat, sebelum kebablasan,
sebelum cinta berubah menjadi kekecewaan. Sebelum kekacauan negeri ini membuat
beliau semakin bersedih. Andai kata Tuhan segera mengutus malaikat Izrail untuk
segera menjemput beliau, maiyah bisa apa?
Ketika setelah acara maiyah semua berebut untuk menjemput tangan beliau, aku hanya terdiam memandang beliau, ikut menikmati lelahnya. Mendoakannya agar selalu diberi kekuatan. Serta tak tahan hati ini untuk mengurangi kelelahannya, maka aku tidak ikut mengantri dalam barisan itu. Sudah banyak doa yang beliau selalu panjatkan untuk aku, kita semua. Sekarang sudah waktunya kita untuk tahu diri untuk selalu mendoakan dan menjaganya.
Aku
tak pernah menuntut apapun dari njenengan, Mbah. Tapi selalu engkau hibur
hatiku, selalu kau jaga aku, selalu kau didik aku untuk menemukan kasih sayang
Tuhan. Selalu kau nafkahi ruhku dengan berbagai ilmumu. Selale kau jawab segelumit
pertanyaan-pertanyaanku tanpa pernah aku menyataknnya. Dalam surat pertama
sampai tak kuasa aku menahan egoku sendiri untuk menganggapmu seorang Bapak
karena kesunyian ini. Karena mungkin kekosongan akan sesosok itu sendiri.
Saudaraku,
beliau bukan hanya sekedar nama ataupun sebatas rupa yang selalu nampak. Namun
beliau mengisi salah satu sudut hati kita yang terus menerus tumbuh. Hingga rindu
untuk selalu menemani setiap malam yang dilalui tanpa henti.
Apa
yang terjadi ketika ego kita menuntun untuk sesegera mungkin me-release Maiyah. Menghidupkan Maiyah di dalam situasi seperti ini. Aku hanya tidak
ingin cinta yang telah tumbuh ini dimaknai sebagai suatu yang dhohir. Biarkan ia meliputi hatiku hanya
dalam batin dan jiwa. Lantas biarkan aku membawanya ke keabadian. Mungkinkah?
Pertemuan kepada orang-orang yang mencinta di jalan yang sama ini sudah lebih dari cukup. Sebuah pertemuan tanpa rencana hingga akhirnya bisa saling sapa.
ketika kau hidupkan maiyah, apa kamu pikir ia bakal mati?
dan ketika kau adakan maiyah, pikirmu ia lekas menghilang?
Lantas mengapa mesti ‘ada’ ketika tidak ada pun kita sudah bebas dari kegelisahan dan sudah gembira?
Malam selalu menjadi
waktu yang spesial untuk menghabiskan waktu. Seberapa banyak kita menghabiskan malam
dengan sahabat dibanding dengan keluarga? Membicarakan sesuatu hingga lupa waktu.
Bersama merakit ruang kebahagiaan, pun menemani segala keluh kesah yang dilalui
masing-masing perjalanan kehidupan.
Sebuah pertemuan bukan tanpa kebetulan. Tak
pernah bisa kita memastikan akan bertemu siapa, dimana, hingga kemana jalan
yang akan dituju. Terima kasih malam, berkatmu aku menemukan saudara-saudara baru.
Salah satunya stronghold, sebuah persaudaran
yang terbentuk karena satu kecintaan yang sama terhadap olahraga futsal. Meski
ketika di lapangan, lawan tetaplah lawan. Tidak ada kata kasihan ketika di atas
lapangan. Namun ketika keluar dari lapangan, segala permasalahan yang muncul
akibat gesekan ketika bermain selalu dapat mereka lepas. Kembali saling
mengolok dan tertawa bersama-sama.
Stronghold sendiri telah memasuki usianya
yang kesepuluh. Terdiri dari teman-teman yang usianya kisaran 20-35 tahun.
Perbedaan yang tidak terlalu jauh pun memudahkan komunikasi satu dengan yang
lain. Dengan tagline andalannya “pain is temporary, pride is forever.”
Kami sendiri bermain futsal bukan untuk unjuk kehebatan. Sudah lewat masanya untuk tampil di turnamen, meskipun kalau misal ada yang ngajak sparing kami tidak lantas menolaknya.
Futsal rutin kami diadakan tiap Minggu
pukul 19.00-20.00 di Lapangan Tuk Songo, Cacaban, Magelang.
Beberapa tahun kebelakang, kami selalu mengadakan Turnamen Terbuka setahun sekali.
Tak jarang pemain-pemain futsal profesional ikut unjuk gigi dalam turnamen yang
kami adakan. Disamping hadiahnya yang cukup lumayan.
Setiap individu yang merasa menjadi anggota stronghold secara otomatis menjadi panitia. Ya, meskipun kesadaran untuk berinisiatif dan rasa untuk saling membantu tak bisa dipukul rata. Tapi, alhamdulillah acara selalu bisa berjalan lancar. Jikalau ada konflik, anggaplah itu sudah pasti ada dalam setiap komunitas/kelompok.
Bahkan, jika memasuki bulan Ramadhan
seperti saat ini. Ada satu kegiatan menarik yang tak pernah ketinggalan untuk
diadakan. TALLING alias Nguntal Keliling. Memang namanya terkesan agak kurang
sopan, namun makna yang tersirat selalu menyimpan gregetnya tersendiri. Karena
talling ini sendiri diadakan secara bergiliran. Jadi tiap anak pasti dapat
giliran menjadi tuan rumah. Disini, yang terpenting bukan makanannya, akan
tetapi sekali lagi, kesediaan untuk saling bersilaturahmi yang paling utama.
Sungguh sangat disayangkan jika mesti
terlewatkan untuk menceritakan salah satu ruang kekeluargaan ini. Yang menemani
langkah fanaku menuju keabadian. Biarlah ikatan ini terus terjalin sampai
renta. Semoga! Lama kelamaan jari-jemari ini serasa menjadi ember jika terus
dibiarkan. Jadi, cukup sekian saja dan biarkan ruang ini yang bercerita.
Photo Exhibition ‘SYARAT-ISYARAT’ at Vibrant House by Dini Failasufa
Di sebuah sudut Kota kecil ini, sekumpulan pemuda dengan ide-ide kreatifnya sering membuat acara semacam sebuah ruang ekspresi -baik tentang literasi, design, fotografi,maupun musik- yang selalu identik dan kental dengan semangat jiwa muda. Dengan konsep yang sederhana mereka selalu bisa menciptakan suasana yang gempita nan ekspresif.
Acara mulai dibuka sekitar pukul 20.00 dan langsung disuguhi dengan penampilan akustik dari Mas Peppi/Layur. Dentingan dawai gitar ini seperti menyambut para tamu atau kolega yang lambat laun mulai berdatangan silih berganti.
Malam ini bisa dibilang adalah hajatan acara sebuah pameran tunggal fotografi di tempat tersebut. Dengan artis utama Dini Failasufa, seorang fotografer dari salah satu media surat kabar terkemuka di negeri ini. Sebuah acara pertama bagi Dini sendiri yang kurang lebih sudah 3 tahun berada di dunia fotografi. Yang mesti merantau ke kota besar demi memenuhi hasrat melakukan sebuah peran lakon lakunya di dunia. Tentunya visual yang akan disajikan selain menampilkan cerita-ceritanya yang tersirat dan mampu dimaknai bermacam tafsir, adalah bagaimana seorang Dini menjawab tantangan kepada semesta yang menurutnya mesti segera dijawab.
Setelah sambutan singkat, para tamu dipersilahkan masuk ke ruang pameran. ‘Syarat – Isyarat’ yang menjadi tema pameran ini langsung memberikan auranya sendiri setelah memasuki ruangan ini. Seorang fotografer memang seharusnya tetap menjaga karakteristiknya sendiri. Begitu pun semua gambar yang tersaji rapi seperti isyarat sendiri bagi Dini untuk menunjukkan karakternya. Beberapa judul memaparkan perjalanan dirinya selama ini dalam dunia fotografi.
Senandung malam kian hangat sembari memasuki sesi artist talk. Disini, Dni diberi keluasan untuk menceritakan tentang apapun sebagai seorang fotografi. Pertama-tama Dini menyampaikan jika pameran tunggal pertamanya ini terselenggara sebagai jawaban atas tantangan dari koleganya, Mas Toyib terutama atas keresahan-keresahan yang sering dialami oleh Dini sendiri. ‘Syarat’ sendiri adalah bagaimana foto-foto yang tersaji adalah sebuah eksplorasi terhadap pekerjaan sebagai seorang juru foto. Sedang ‘isyarat’ menjelaskan bagaimana foto itu menjelaskan ideologi pemikiran Dini sendiri secara internal.
Lalu, Dini menceritakan perjalanannya sebelum melekat identitasnya sebagai seorang juru foto. Dini yang dulunya hobi mengambil gambar meski meminjam kamera punya temannya. Akhirnya memutuskan untuk menghadiahi dirinya sendiri disaat ia lulus dari jenjang perkuliahan psikologi yang ditempuhnya. Bagaimana soerang psikolog mempersenjatai dirinya dengan kamera? Bukan meneruskan perjalanan sesuai jalurnya namun malah memilih mendaftarkan diri di suatu media surat kabar. Menarik, kan?
Meski awalnya hanya berniat untuk coba-coba belajar selama 3 bulan, namun semesta berkata lain menurutnya. Selain sesuai dengan hobinya, ternyata di perjalanan barunya, Dini dapat lebih mengasah ketrampilan fotografinya. Bagaimana cara menuangkan keresahan-keresahan lalu divisualisasikan menjadi sebuah objek gambar yang dapat dinikmati banyak orang. Dan bagi Dini pribadi pameran-pameran seperti ini tidak terlalu penting-penting amat. Setidaknya, ini menunjukkan bahwa eksistensi dirinya bukan menjadi tujuan menggeluti dunia fotografi.
Salah satu seniornya, Mas Nugroho tak ketinggalan memberikan apresiasi pada Dini malam itu. Mas Nugroho sendiri menganggap dini sebagai seorang perempuan yang berani dan selalu berusaha maksimal. Sebelum acara ini, karya kolabarasi antara Dini dan Mas Nugroho mampu menembus sebuah story photo exhibition di Jerman dengan tema ‘Women, Culture, Fisherman’.
Sebuah perjalanan tak akan menemukan keindahannya tanpa menemukan jatuh ataupun likunya, begitupun dengan Dini. Beban yang dirasakan pada tahun pertama sempat membuatnya merasa tidak kuat untuk terus berada di lingkungan surat kabar. Bagaimana tugas dan deadline mesti terselesaikan dengan tenggat waktu tertentu. Bagaimana mesti dikejar petugas keamanan dan mesti berurusan dengan keamanan tersebut sampai nangis. Pun dengan pengalamannya diincar bos premannya Pasar Johar karena telah mengambil gambar tanpa seijinnya. Tapi akhirnya, segelintir pengalaman tersebut justru secara tidak langsung membawanya ke fotografi dokumenter pada tahun kedua. Yang dimaknai oleh Dini sendiri sebagai panggilan semesta. “Saya harus bisa nulis”, kata Dini mengisyaratkan bahwa tulisan cerita perjalanannya mesti terus dilanjutkan.
Di sela acara, kesempatan bertanya dibuka lebar. Salah seorang penanya, Mba Regita, menanyakan tentang bagaimana caranya untuk mengatasi jenuh dalam dunia fotografi. Dini pun langsung menjawab bahwa selama ini dirinya tidak pernah mengikuti trend, dan walaupun efeknya nanti tidak terkenal, namun menurut Dini, dirinya selama ini masih fokus terhadap satu hal. Dan akhirnya memang ini menjadi salah satu isyarat dari jawaban semesta.
Jika waktu menjadi sebuah syarat menembus keabadian, maka biarkanlah setiap jejak pertemuan menjadi sebuah laku isyaratnya. Pun jika pada akhirnya setiap rekam ingatan hanya meninggalkan angannya yang tersirat, maka biarkan makna tetap memeluknya erat. Teruslah menari di panggung semesta, sampai pada akhirnya berhasil mengenal bahkan menaklukan diri. Selamat dan sukses selalu!
Salam jumpa
lagi, walau silaturrahmi ini hanya sebatas tulisan. Semoga keselamatan dan keberkahan
selalu menaungi, Layla.
Entah kenapa
juga aku mesti menulis ini karena begitu banyak pertanyaan yang selalu ingin
kutanyakan. Tapi, semua masih terbatas oleh waktu yang baru sejenak dalam
peretemuan ini. Dan aku selalu menghargai waktu disaat sesuatu yang aku tuju
sedang menjalani kesibukannya. Di satu sisi aku sendiri curiga kepada “aku”,
apa semua ini hanya kamuflase sebuah rindu kepada semesta. Bagaimana ia
memanifestasikan dirinya untuk mengisi kerinduan yang terobjekkan saat melihat
wajah Tuhan pada sesuatu.
Karena aku
selalu berusaha sembunyi disaat semua serasa ingin menunjukkan keeksistensian
maya. Aku selalu berusaha menjauh disaat semua ingin mendekat kepada
kesuksesan. Sudah bertahun-tahun lalu aku mengajukan proposal kematian kepada Al-Hayyu disaat semua ingin berusaha
memperpanjang masa hidupnya.
Dan semakin
“mbuh” ketika negeri ini sedang dilanda mabuk agama. Ayat-ayat mulai
diperdagangkan oleh para fuqaha-fuqaha
yang sering disalahartikan kalau ia seorang ulama. Ketika dulu para wali sibuk
bagaimana mengislamkan, sekarang mereka sibuk mengkafirkan. Seseorang yang
rajin ibadah dan hafal AL-Quran pun tidak bisa jadi jaminan jika ia bisa merasa
benar. Seperti Ibnu Muljam yang begitu merasa yakin ketika membunuh Khalifah
Ali Ra. Padahal, bagaimana Kanjeng Rasul mengibaratkan Ali Ra. seperti pintu ketika
ingin memasuki lautan ilmunya.
Apakah ini yang
dimaksud “sebatas kerongkongan”? Aku pun masih merasa belum benar selama masih
me-lafaz-kan ihdinash-shiratal mustaqim.
Maka dari itu aku selalu ingat famahhilil
kafiriina, amhilhum ruwaydaa. Mungkin aku termasuk orang-orang kafir yang
diberikan kesempatan sementara waktu untuk menikmati materialisasi agama di
negeri ini. Saya hanya percaya sebenarnya semua tidak ada yang berniat buruk,
akan tetapi mereka sering lupa akan hakikat siapa sejatinya dirinya. Hingga
kebenara-kebenaran yang mereka ungkapkan justru menjadi petaka sendiri bagi
bangsa ini.
Berpuluh bahkan
beratus-ratus essai telah tertulis demi mengejawantahkan ketidakpahaman saya
akan semua kelucuan bangsa ini. Walaupun saya tidak berkewajiban kepada
Indonesia, tapi karena aku sudah terlanjur cinta (munafik banget^,^), ya,
apapun semampuku akan coba aku berikan. Kalau kata Mbah Nun anggap saja itu shadaqah. Aku hanya berusaha tiap hari
melahirkan kembali aku, sebelum melahirkan sesuatu lagi yang lebih besar. itu
pun, semua penuh dengan kepasrahan, “lha
kulo ki mung manut njenengan Gusti.”
Di saat aku
berusaha mencoba “sembunyi” ketika melakukan itu semua. Aku menemukan satu
malam dimana aku ingin menetap pada malam itu. Serasa malam itu mampu menjadi
ruang bagi badai. Agar tidak terlalu merusak, agar bisa menenangkan. Seluruh
masyarakat di tubuh ini seperti sedang melakukan demonstrasi kepada
pemimpinnya. Kebetulan, belum lama ini pimpinannya bertemu Pak Edy dan bisa
belajar kepada beliau agar tidak malah balik bertanya kepada para pendemo ini,
“Apa Hak Anda?” Pemimpin tubuh ini selalu berusaha menjadi kacung
sebaik-baiknya bagi tiap masyarakat hati, masyarakat otak, masyarakat darah,
bahkan sampai ke masyarakat ‘TAI’nya yang pun ia berusaha menjadi ruang agar
bisa merasa diperlakukan adil.
Yang pasti
manifestasi kerinduan saat melihat wajah Tuhan yang terobjekkan ini menjadi
pemicu demonstrasi. Kukira mereka sudah nyaman dengan alur ini, ternyata mereka
bisa memberontak juga gegara malam itu. Cuma mereka terlihat “wagu”, Mereka
berdemo seakan sedang berpesta bahagia.
Mungkin sampai
sini dulu yaa ngelanturnya. Maaf kalau sudah menceritakan ketidakjelasan yang
aku sendiri tidak paham. Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca
surat dusta ini.
Hari Minggu yang selo sekiranya sangat cocok untuk
menceritakan sedikit kisah yang selow
juga. Terlebih agenda nonton ‘Final Four’ yang batal karena faktor teknis dan
niat dari saya sendiri yang kurang mencukupi untuk datang ke acara tersebut.
Gak ada salahnya, nonton lewat layar kaca sembari iseng orek-orek.
Ketika usia semakin menuju kedewasaan,
baik fisik maupun pola pemikiran, sadar atau tidak waktu berkumpul kita bersama
teman-teman lama kita semakin berkurang. Terutama yang sejatinya telah selalu
menemani setiap proses pendewasaan diri kita. Walaupun, semua itu adalah proses
alam yang menuntun kita untuk selalu siap bertemu orang-orang yang baru. Tergantung
kesiapan dari diri kita masing-masing untuk dapat menjaga komunikasi baik
dengan siapapun. Sebenarnya, itu juga bukan suatu masalah.
Untuk menyempatkan waktu untuk dapat berkumpul bersama terkesan seperti hanya sebuah wacana. Apalagi untuk berwisata bersama-sama. Yang terjadi biasanya hanya akan menjadi berserakan menjadi tumpukan sebuah wacana. Disatu sisi, tidak pernah ada paksaan juga untuk selalu mewujudkan ide walau sekedar berkumpul bersama. Karena bagi saya pribadi, untuk dapat mewujudkan segala wacana yang patut diselidiki menjadi sebuah pertanyaan -‘datang entah darimana?’- selalu menjadi kenikmatan tersendiri. Dapat duduk melingkar bersama dan membicarakan segala hal. Yang pasti saya sangat suka dengan suasana kebersamaan. Tidak semua moment akan menjadi hal yang membahagiakan, terkadang kesedihan pun menyapa tanpa ada yang pernah menginginkan hal tersebut.
Mengapa wacana itu mesti ada yang
diwujudkan? Karena jangan sampai kita kehilangan kata untuk menyampaikan wacana
tersebut. Bayangkan saja kalau pada akhirnya sebelum menyampaikan wacana, terbesit
suara di dalam hati “ah, paling nanti juga hanya jadi wacana”. Hingga akhirnya
tak tersampaikanlah niatan untuk mengajak berkumpul bersama. Benar saja,
berbagai alasan pasti akan muncul untuk sekedar berbahagia bersama. Atau
mungkin, hanya saya saja yang tak mampu menciptakan kebahagiaan itu sendiri
tanpa sebuah kebersamaan.
Wacana akan merujuk pada suatu
pertemuan. Menurut saya, disinilah poin pentingnya mengapa wacana sebisa
mungkin mesti diwujudkan. Kita tidak akan pernah bisa memprediksi pertemuan
seperti apa yang mungkin akan kita temui. Secara wadag pun, mesti kita bisa
memprediksi dengan siapa kita berkumpul. Tapi belum pasti itu akan menjadi
sebuah pertemuan jika belum benar-benar menatap mereka dengan mata kepala
sendiri. Bukan menakutkan, hanya saja pemikiran seperti ini menjadikan pikiran
kita, terutama saya pribadi sangat menikmati segala pertemuan dan perjumpaan
itu sendiri. “Akhirnya diijinkan berjumpa kembali” begitulah kira-kira yang selalu
terbesit dalam hati.
Setidaknya, berangkat dari pemikiran itu pula, kita mampu untuk meminimalisir segala prasangka buruk terhadap apapun yang kita temui. Hingga segalanya akan cair dalam kebersamaan dan kebahagiaan. Karena kita bisa menemukan kenikmatan dalam menikmati apa makna pertemuan itu. Belum lagi, jika kita mampu merasakan pertemuan dengan diri sendiri yang selam ini kita acuhkan. Atau mungkin ini hanya prasangka saya pribadi yang sering merasa bertemu dengan sosok yang lain dalam diri saya. Mungkin pula itu hanya suatu pembelaan terhadap pribadi saya yang terlalu menikmati ketidakjelasan di waktu senggang. Pada akhirnya, semua juga memiliki standar pemaknaan menurut tonggak idealismenya masing-masing. Keberagaman untuk menerima segala pemikiran itulah yang sekiranya mampu membawa potensi menjadikan kita manusia ruang. Berangkat dari sebuah rencana wacana, memantik sebuah pertemuan, akhirnya menjadikan sebuah ruang.
Seperti yang nampak pada satu
rona pencintraan pada tulisan kali ini. Semua berangkat dari sebuah wacana
seminggu sebelumnya. Pertemuan di sebuah cafe yang terjadi setelah menghadiri
pernikahan salah satu saudara kami yang pada akhirnya mengumpulkan kami
sedemikian bahagianya. Waktu yang mungkin terkesan singkat ini membuat kita
sepakat untuk mengadakan pertemuan berikutnya. Anggap saja ada tim “gass” yang
selalu siap mewujudkannya, walau toh yang berangkat hanya berdua. Itu bukan
suatu masalah. Wacana bak sebuah perjanjian yang sebisa mungkin mesti ditepati
bagi tim “gass”.
Dalam keadaan seperti ini, tanpa ada struktur organisasi, dibutuhkan seorang playmaker yang siap untuk mewujudkannya. Skill dan mental sangat diperlukan bagi seorang playmaker, dengan segala resiko pertanggungjawaban atas segala aksinya untuk menciptakan goal/tujuan. Untuk mencapai tujuan itu, playmaker pun sangat terbantu dengan kesadaran keseluruhan tim. Dan akkhirnya, terlaksanalah wisata bersama ke Bandungan, Umbul Sidomukti. Meskipun sebelumnya pernah ke tempat itu, tidak ada salahnya berkumpul bersama kembali di tempat sama. Toh, nanti kita akan mendapatkan cerita dan hasil yang berbeda pula.
Ada sebuah cerita ketika kita
mampir ke Candi Gedungsongo. “Dimohon untuk Sigit Regetan dari Magelang segera
kembali ke tempat parkir karena telah ditunggu oleh rombongan. Sekali lagi, . .
. .” Pada waktu itu, Sigit telah berkumpul dengan yang lain, kami sengaja
menunggu sebentar untuk menikmati pusat informasi mendengungkan pengumuman
tersebut. Kami pun cekikikan bersama atas kekhawatiran yang terbalut kejahilan
dari rekan yang lain. Bahagia, tuntas! Yang belum memiliki kesempatan untuk
berkumpul bersama pun, tetap menjadi bagian dari perjalanan ini.
Perjalanan itu akhirnya dimaknai
oleh Satya sebagai ‘Sarang Semut’. Karena salah satu kendaraan yang dipakai menemani
perjalanan membawa serangkaian perkumpulan semut. Ketika parkir, pasti setiap
penumpang sibuk seakan memiliki kewajiban untuk menurunkan penumpang para semut
tersebut. Sarang Semut ini mungkin juga bisa dikaitkan oleh semut-semut yang
suka dengan hal yang manis. Memang perjalanan ini pun nampak sangat indah dan
manis.
Saat ini, saya sedikit memaknai
bahwa di setiap Sarang Semut terdapat Sang Ratu Semut yang menjadi pioneer para semut-semut yang lain. DIa
berhasil menggerakkan komunitas yang sedemikian rupa untuk mencapai
kesejahteraan bersama. ‘Sang Ratu’
inilah yang menggerakkan kami semua untuk berkumpul bersama menikmati segala
proses menuju apa itu kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Ya, teruslah
bersua dalam Ruang Sarang Semut yang menggelisahkan dalam kerinduan!