Jangan Sampai Hati Segara Kita, Penuh dengan “Uwuh dan Tahi” yang Berbau Busuk

Suasana daerah Tamanagung Muntilan nampak tidak seperti biasanya. Poster-poster sudah terpasang di beberapa titik wilayah sebagai penanda jalan menuju acara yang terselenggara malam ini, tepatnya di Gelora Dias Damahom, Dusun Ketaron. Panitia yang mayoritas pemuda lokal sudah Nampak necis dengan dresscode birunya mendekati venue acara. Para penduduk setempat seolah ikut menyambut kedatangan kami di depan rumahnya ketika dulur-dulur yang akan siau bareng berjalan melalui gang-gang sempit Dusun Ketaron.

Ketika membayangkan nama tempat yang memakai kata ”Gelora” sempat terbayang bahwa venue acara sinau bareng kali ini merupakan tempat yang luas. Namun, nampaknya itu hanyalah ekspektasi saja atas pengetahuan yang masih terbatas. Di tempat kali ini, Gelora Dias Damahom sendiri merupakan tanah lapang di tengah Dusun Ketaron yang sering digunakan sebagai orang-orang sekitar Dusun berkumpul, baik untuk olahraga, pengajian, ataupun yang lainnya.

Semakin menuju lokasi acara, sempat terbesit pertanyaan, ”mengapa panitia ber-dresscode biru-biru tadi semakin tidak kelihatan?” Kecuali hanya jajaran para pedagang serba-serbi jajanan yang nampak. ”Ah, kepo!” batin saya menjawab sendiri. Toh, ini acara maiyahan, bukan acara-acara hiburan lain yang mesti membutuhkan tim keamanan khusus. Apalagi sebagai jamaah, yang perlu disyukuri adalah rasa nikmat dan hikmat bisa berkumpul kembali bersama dulur-dulur di acara maiyahan bersama Mbah Nun, dalam rangka Milad Maneges Qudroh (Simpul Maiyah Magelang) yang ke-12 ini.

Sesampainya di lokasi, sepertinya acara sudah berlangsung cukup lama. Beberapa kelompok telah terbagi dan diberikan 3 pertanyaan. Seperti halnya tagline sinau bareng, format-format seperti ini yang membedakan maiyah dengan forum-forum kajian ilmu lainnya. Tidak hanya kepada kelompok yang di depan, jamaah pun ikut terangsang untuk kemudian ikut berpikir tentang jawaban akan pertanyaan yang diajukan Mbah Nun.

Tiga pertanyaan tersebut diantaranya, pertama, Keresahan paling besar apa yang dialami oleh diri / yang dirasa paling merisaukan? Kedua, andaikan islam ini adalah solusi dan jalan keluar dari berbagai masalah kehidupan, apa yang akan dilakukan? Ketiga, Ngopo to ndadak melu maiyah (mengapa memilih untuk mengikuti maiyah)? Saat banyak pilihan forum-forum lain di luar sana.

Sementara menanti ketiga kelompok tersebut berdiskusi, Mbah Nun mulai mbabar tentang tema yang diusung pada rutinan ke-135 malam ini (4/2), yakni “Nyegoro”. Nyegara yang dimaksud disini sudah dijelaskan dalam mukadimah rutinan, bahwasanya nyegara itu merupakan kekayaan hati, kekayaan batin, dengan membesarkan sikap toleran, mudah memaafkan, dan mampu berperan untuk menjadikan orang lain,  yang  kesemuanya itu menjadikan hidup kita menjadi luas (nyegara).

Namun berbeda dengan respon dari Mbah Nun, “ini kan kata nyegoro bisa kita kepung. Nek ono segara berarti ono kali, kalén, danau, selat, waduk, pecerén (kalau ada lautan, berarti ada sungai, parit, danau, selat, waduk, atau got).”

“Misalnya ada orang yang hatinya nyegara, berarti ada lainnya tidak yang berperan menjadi danau, sungai, bahkan pecerén (got)? Nek segara, tapi isine uwuh ro tai, seneng ra? Kiro-kiro akeh tai, batang, barang mambu, kui pie (kalau lautan, tapi isinya sampah dan tahi, seneng tidak? Sekiranya banyak tahi, bangkai, barang bau, itu bagaimana)?” tanya Mbah Nun kepada para jamaah. Pertanyaan yang sekiranya bakal men-direct stigma tentang arti kata nyegara itu sendiri.

Segara itu sendiri menurut Mbah Nun masih merupakan bagian dari bumi. Bisa jadi lautan itu menggambarkan sifat-sifat seperti lembah manah arif, ataupun bisa menampung banyak hal. Tapi pemahaman itu baru satu sisi, sedangkan kalau yang dinilai dari keluasannya, masih ada yang lebih luas dari lautan menurut Mbah Nun, yakni ruang.

Tidak akan pernah ada ilmuwan yang mampu menghitung luasnya ruang dengan berbagai galaksi dan jagad yang terkandung di dalamnya. Jadi, manusia itu sebenar-benarnya bodoh, masih banyak yang belum diketahui. Meskipun tidak bisa dipungkiri, jika zaman yang semakin maju justru memproduksi orang-orang yang sering merasa benar dengan sedikit pengetahuan yang dimiliki. Padahal, bagi Mbah Nun, puncak pengetahuan dari manusia adalah rasa tidak tahu.

Kemudian Mbah Nun mengajak para jamaah untuk menelaah arti hidup atau yang sering disebut hayat dalam bahasa arab. Mbah Nun memberikan amsal sebuah pohon bisa dikatakan hidup itu karena apa. Daunnya? Batangnya? Tingginya? Apakah tanda dari hidup itu bisa dilihat? “Yang namanya hayat itu adalah tukulé (tumbuhnya). Hayat itu tidak hanya hidup, namun juga tumbuhnya sesuatu,” kata Mbah Nun.

Mbah Nun mengajak para jamaah yang hadir untuk bersikap waspada, yakni jangan sampai pemikiran kita dikira mampu untuk memberikan penilaian terhadap Allah, sebab logika kita tidak akan sampai. Maka dari itu, dengan segala keterbatasan kita sebagai seorang hamba, jalan yang bisa dilalui agar setidaknya mampu lebih dekat dengan Allah adalah takwa, tawakkal, dan cinta.

“Jangan Merasa Punya Pemahaman (Kebenaran) Sendiri”

Setelah dirasa cukup panjang dan banyak ilmu dari Mbah Nun yang perlu di-menep-i, selingan satu nomor hiburan “Ora Cetho” dari Jodhokemil disajikan untuk kembali mencairkan suasana. Mbah Tanto pun tururt hadir untuk mangayubagyo dalam acara milad ini. Menghadirkan pula musikalisasi puisi dari WS Rendra dengan judul “Barangkali karena Bulan” yang ditampilkan oleh Rama dan Ryan Irta.

Sementara para orangtua yang membawa anaknya sibuk untuk berteduh, dan yang lainya masih hikmat mendengarkan puisi tersebut. Namun, bukan jamaah maiyah jika tidak menemukan solusinya sendiri atas rahmat hujan malam ini. Setelah pembacaan puisi usai, Mbah Nun segera mengatakan kepada para jamaah bahwa setiap tetes hujan adalah rahmat, dan memberikan anjuran untuk melafadzkan Ar-Rahman Ar-Rahim. Maka jamaah mengamininya sebagai doa baik untuk semuanya.

Dalam sinau bareng seperti ini, Mbah Nun menekankan kepada jamaah untuk tidak harus paham kepada semuanya. Tapi dengan adanya forum bersama seperti ini, kita bisa menawarkan banyak warna untuk membangun pemahamannya masing-masing. “Anda jangan sok punya pemahaman, terutama atas kehendak Allah atas kehidupan ini. Sehingga dalam keadaan apapun, tetaplah untuk nyegara.” nasihat dari Mbah Nun.

“Negesi” Kehendak Allah

Pembahasan kembali dilanjutkan dan mengundang ketiga kelompok untuk memaparkan diskusinya kepada jamaah semua. Satu persatu kelompok memparkan tentang pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kelompok pertama menyebutkan bahwa keresahan diri yang diamali kelompok pertama adalah keresahan tentang kematian. Bahwa memikirkan tentang kematian saja begitu menakutkan. Memikirkan seperti apa kehidupan setelah mati. Bahwa ternyata hidup lalu mati itu menakutkan.

Kelompok kedua mengaikatkan keresahan pribadinya dengan politik dan pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan adalah dasar untuk manusia berilmu. Namun, pendidikan saat ini menjadi barang yang mahal untuk kaum menengah ke bawah. Terakhir kelompok ketiga, mengungkap bahwa keresahan diri adalah ketika mengingat tentang kematian. Untuk pertanyaan kedua, dari ketiga kelompok sepakat bahwa islam adalah kunci dari permasalahan pertanyaan yang pertama. Jadi apapun permasalahan yang didapat dari pertanyaan nomor satu jawabanya adalah nomor dua, yakni dengan berkeyakinan bahwa islam adalah kunci jawabannya.

Kesimpulan dari pertanyaan nomor 3, dari ketiga kelompok juga hampir sama, mengapa ikut miayah? Jawabannya adalah dalam  maiyah lalu mengikuti sinau bareng membuat diri tidak memikirkan masalah duniawi, tidak ada orang yang sok keminter dan minteri. Di maiyah, kita semua tidak diajak untuk mendengar saja, namun jamaah juga diajak untuk berdaulat dengan setiap langkah yang diambil. Pandangan dari kelompok yang di depan terhadap maiyah sendiri juga merasa kagum dengan kebersihan hati orang-orang maiyah. Maiyah dirasa mampu meningkatkan kepercayaan diri, kepekaan diri, dan meningkatkan muhasabah diri. Maiyah juga dirasa menjadi salah satu ruang yang dapat menampung aspirasi kaum muda jaman sekarang.

Malam semakin larut, hampir mendekati pergantian hari, dini hari Mbah Nun mengakhiri Sinau Bareng dengan mengajak jamaah untuk berdoa, “Robbi Anzilnii Munzalan Mubaarokan Wa Anta Khoirul Munzilin (Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat).” (Surat Al-Muminun : 29)

Mbah Nun berpesan untuk para jamaah khususnya MQ yang sedang milad, seperti namanya Qudroh bahwa semua harus meyakini kasih sayang Allah kepada manusia itu luas. “Negesi” bahwa Allah pasti memberikan kasih dan jalan keluar kepada umatnya. Jika ada orang yang hatinya seluas segara (red, Lautan), mungkin juga ada orang yang hatinya seluas Danau, atau bisa dipersempit seluas parit? Dan kalian memilih untuk seperti apa? Kalau segara namun isinya hal-hal yang berbau busuk, itu juga bagaimana? Untuk selalu sabar seperti lautan yang luas berkaitan dengan tema milad kali ini yaitu “Nyegoro”, Sabar, luas seperti Lautan.

***

Dusun Ketaron, 4 Februari 2023

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.