“Healing” Menuju Sinau Bareng dari Dusun Lekong Hingga Dieng

Sebelum perjalanan dimulai, salah seorang kawan bercerita bahwa badannya belum terlalu fit untuk ikut dalam perjalanan menuju Banjarnegara. Tapi, dia juga menyampaikan bahwasanya dirinya seperti mengalami keanehan secara fisik kalau diajak healing. Healing yang akhir-akhir ini menjadi bahasa gaul para generasi milineal untuk pergi berwisata, atau juga sebagai salah satu bentuk upaya menghilangkan kepenatan atas rutinitas yang dilakukan sehari-hari.

Namun, healing yang akan dilakukan kali ini berbeda. Jika pada umumnya orang-orang akan menuju ke suatu tempat yang memiliki panorama yang indah dan juga menyejukkan, akan tetapi healing yang dimaksud kawan saya adalah pergi ke tempat sinau bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng. Kebetulan pada weekend kali ini, acara sinau bareng akan dilaksanakan di 2 tempat yang berbeda di Banjarnegara. Hari Sabtu di Dusun Lekong dan hari Minggunya di penutupan acara Dieng Culture Festival XIII.

Benar adanya, Sabtu menjelang waktu Maghrib, kawan yang sedang menghindari makanan berminyak tersebut menghubungi saya jika dirinya akan ikut berangkat ke Banjarnegara. Ya,  kami memutuskan untuk berangkat naik sepeda motor, utamanya untuk mengantisipasi kemacetan ketika di kawasan wisata Dieng. Tanpa basa-basi, kami segera menentukan koordinat titik  kumpul untuk menuju bersama ke Banjarnegara, bergabung dengan dulur-dulur lain. Selain dari Magelang, ada pula dulur dari Klaten yang juga ikut bergabung bersama rombongan.

Seratusan kilometer kami tempuh selama 2 jam. Sekitar pukul 21.00, kami tiba di Dusun Lekong. Di sana, acara diadakan di dalam kawasan Dusun karena acara ini diselenggarakan dalam rangka peresmian sebuah Aula. Alhasil, gang-gang di Dusun Lengkong penuh dengan para jamaah. Panitia pun sudah mengantisipasi kepadatan tersebut dengan menyediakan beberapa layar di titik-titik tertentu. Animo para warga sekitar sudah cukup membuat hati trenyuh untuk ikut ngaji bersama.

Karena cukup lelah, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di balik layar yang berada di titil paling jauh dari panggung. Di teras salah seorang warga kami sedikit rasan-rasan karena merasa kagum. Bagaimana tidak? Di hadapan layar ini, ratusan warga duduk dengan tenang menonton acara tanpa suara. Meskipun ada sound yang tersedia, akan tetapi suara tidak keluar sebagaimana mestinya. Tapi mayoritas ibu-ibu dan bapak-bapak tetap hikmat menatap layar, sekalipun orang-orang bersliweran tak henti-hentinya.

Setelah dirasa cukup beristirahat, kami memutuskan untuk lebih mendekat dengan harapan setidaknya agar mampu mendengarkan suara dari acara sinau bareng. Namun, jalan yang selebar 5 meter pun dipenuhi dengan jamaah, dan jalan kaki pun dibuat macet ketika tepat sampai di titik layar berikutnya. Disini suara sudah nampak jelas, akan tetapi tidak ada tempat bahkan untuk duduk. Namun, tiba-tiba salah seorang warga membuka pagar sebuah rumah dengan halaman yang cukup luas. Kami menjadi merasa ge-er, karena seolah-olah telah dijamu sebagai tamu yang datang dari tempat yang jauh.

Akhirnya, kami bisa healing di tempat yang sempurna. Antusiasme kami mendatangi acara sinau bareng seperti ini bukan untuk berada di dekat panggung untuk melihat secara langsung ataupun bersalaman dengan Mbah Nun. Tapi, cukup menikmati suasana sinau bareng bersama jamaah lain. Kalau ada jamaah lain yang ingin lebih dekat atau berbagi tempat, kami akan mempersilahkan dengan sukarela.

Berada di satu tempat yang sama sudah cukup untuk mengobati rasa rindu kami. Sekalipun tidak ada kesempatan bagi kami untuk menatap Mbah Nun secara langsung, ijinkanlah doa-doa kami menyapa beliau. Dan sekalipun tidak mampu bersalaman secara langsung, seperti pesan beliau, semoga hati kami selalu saling bersalaman dengan beliau, insyaAllah.

***

Setelah acara, rombongan kami bertambah 3 motor. Yakni 2 motor orang Banjarnegara dan 1 motor dulur kami dari Magelang juga yang sudah legend berjualan kopi saat acara-acara sinau bareng. Kami sama-sama akan menuju Dieng setelah acara, akan tetapi kami dipersilahkan untuk istirahat sejenak di rumah saudara salah satu rombongan kami di daerah Kalibening, Banjarnegara.

Saat menuju Kalibening, karena fisik kami dirasa juga butuh bahan bakar, kami transit di sebuah emperan nasi goreng sekitar Wanadadi. Disana kami pun mendapati keberuntungan karena ditraktir oleh dulur dari Banjarnegara. Meskipun beberapa di antara kami baru pertama kali bertemu, namun di Maiyah rasa persaudaraan itu mewujud begitu saja atas dasar satu kesamaan cinta yang sama. Dan rasa paseduluran seperti ini, hampir selalu ditemui di setiap kami bermaiyahan di mana saja.

Rombongan ngemper di sekitar Pasar Wanadadi sekitar pukul 01.00 WIB

Sembari menikmati sajian nasi goreng, rombongan Cak Nun dan Kiai Kanjeng beserta krunya ternyata melewati jalan yang sama. Akan tetapi, perjalanan kami agak sedikit keluar dari jalur ke Dieng untuk mampir di Kalibening karena tempatnya sudah disiapkan. Setidaknya butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di Kalibening dari Dusun Lekong. Dengan jalan yang cukup ekstrim karena faktor topografi kawasan Kalibening yang termasuk berada di daerah dataran tinggi.

Sesampainya di Kalibening, kami pun masih ada waktu untuk recharge tubuh kita masing-masing beserta segala gawai elektronik yang dibawa. Di pagi harinya seusai kami bangun, sarapan sudah disediakan oleh Bu Lek, si empunya rumah. Baru sekitar pukul 10.00, kami melanjutkan perjalanan kami menuju Lapangan Pandhawa, Dieng, yang menjadi venue dari acara Kongkow Budaya bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng.

Sepanjang perjalanan menuju Dieng, kami disuguhi oleh panorama alam yang menakjubkan. Julukan “Negeri di Atas Awan” memang sudah sepantasnya terlekat, terlebih ketika menimbang keadaan sosio-kultural yang kami dapati sepanjang perjalanan. Karena banyaknya motor dari rombongan kami menjadikan perjalanan kami tempuh selama 2 jam menuju Dieng. Di samping ada salah satu kendaraan yang sedikit penuh perjuangan ketika mengarungi medan yang didominasi oleh jalur-jalur tanjakan.

Ketika mendekati area kawasan wisata Dieng, lalu lintas sudah semakin padat. Benar adanya, jika di lokasi sekitar acara tampak begitu ramai dan macet. Terlebih bagi yang memakai kendaraan roda empat. Suara-suara alunan sholawat dari kelompok Ahbabul Mustofa menjadi tanda akan lokasi acara, sekalipun kami agak kesulitan untuk mencari tempat parkir karena jalan dibuat satu arah menuju lapangan. Sesampainya di lokasi, es dawet khas Banjarnegara dirasa sangat cocok untuk melepaskan kegerahan kami selama perjalanan.

Tapi sekali lagi, sekalipun diadakan di lapangan terbuka dan depan panggung masih terlihat renggang, kami memilih untuk duduk menikmati di sudut pojok jauh dari arah panggung menghadap. Cukup menikmati suasana dan kebersamaan ini dirasa sudah cukup bagi kami. Sembari menikmati beberapa jajanan yang dijual oleh para pedagang keliling lokal. Atau membeli rokok dari mba-mba SPG yang sayang jika terlewatkan begitu saja. Pun dengan teriakan-teriakan anak kecil yang berlarian kesana-kemari dengan riang gembiranya, menambah harmonis suasana sinau bareng di Dieng Cultural Festival XIII kali ini.

Bahkan saat acara sinau bareng sudah berlangsung, beberapa di antara kami berbaring tidur begitu saja di lapangan, mungkin bukan karena lelah, tapi bisa jadi karena terlalu syahdu suasananya ketika tujuan perjalanan ini telah dituntaskan keduanya. PR kami selanjutnya tinggal pulang menuju kediaman kami masing-masing.

Rombongan kami memtuskan pulang melewati jalur perkebunan teh Tambi tembus Ngadirejo, lalu Temanggung. Meskipun saat perjalanan pulang, beberapa kendaraan dari rombongan mengalami rem blong, karena kini jalanan yang mayoritas ekstrim turunan terjal. Saat kejadian rem blong, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah masjid dengan view alam yang menakjubkan di daerah sekitar Jlumprit.

Istirahat sejenak di daerah Jlumprit

Mungkin perjalanan ini adalah touring singkat, tapi bagi kami kegiatan seperti ini merupakan healing, seperti yang sudah disampaikan kawan kami dari awal. Kami sadar bahwa healing juga dibutuhkan tidak hanya untuk wilayah jasadiah, melainkan juga di wilayah rohaniah. Apapun bentuk pemaparan ilmu ataupun wejangan yang disampaikan dalam rangkaian acara sinau bareng Mbah Nun pada dua kesempatan ini, biarlah menjadi kemerdekaan bagi kami untuk memilih buah mana yang pas akan kebutuhan diri kami masing-masing.

Selagi masih sehat dan juga sempat, semoga kami akan dipertemukan dan diperjalankan lagi di lain kesempatan. Untuk mengarungi perjalanan bersama, untuk sekedar menikmati keharmonisan suasana acara, dan yang paling penting adalah untuk mensyukuri kebahagiaan bersama atas satu kesamaan jalan cinta yang sama, insyaAllah.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.