Category Archives: Perjalanan

Malangnya, Ibu.

Suasana cinta kembali mengemuka kepada Ibu di hari Ibu. Begitupun rindu, yang kembali menggebu bagi mereka yang telah ditinggal sesosok ibu. Aku hanya duduk termangu di sudut bangku yang sudah merapuh, melapuk oleh karena waktu yang selalu saja memberi sendu.

Ibu, kata-kata mereka tentang sesosok ibu tak mampu menghapus rinduku. Kenangan tentangmu tak layak buatku riuh, justru bertambah semakin layu.

Aku bingung, jika mesti bertemu dengan ibu-ibu tangguh yang mengayuh sepedanya disaat fajar belum sempat nampak menerangi jalanan.

Aku linglung, jika mesti melihat aku, kau gendong di pinggiran jalan,bahkan perempatan lampu merah untuk meminta belas asih, namun justru dianggap meresahkan para pengagung kenyamanan.

Aku pun canggung, ketika ibu dengan keluasannya mampu menampung kerakusan-kerakusan anak-anakmu yang tega dengan saudara-saudaranya sendiri.

Aku seperti orang yang tak tahu malu, ketika ibu dengan keringatnya yang mengucur tersengat terik matahari di emperan jalan, masih saja aku tawar harga dagangannya demi hematnya ongkos pengeluaranku.

Aku pun didera pilu, melihatmu kesana-kemari mencari penghidupan bahkan pinjaman demi masa depan  anakmu ini, hutang yang semakin menumpuk sedang anakmu hanya mendayu-dayu semakin halu. Dengan harap ilmu yang justru mengubahnya menjadi kaku.

Kini, sesosok ibu mungkin tlah lalu. Namun, ibu telah bertumbuh menjadi seribu, tidak hanya satu. Asihnya bermanifestasi ke tiap sudut mata memandang para ibu-ibu. Hingga sesekali ada ibu yang mengingatkanku agar tidak lupa akan kebahagiaanku, agar kenyamanan diriku yang nomer satu. “Tapi bahagiaku, dengan memberi kebahagiaan kepada yang lain, tak peduli aku.” Jawabku.

Bahkan, aku bertemu dengan ibu pengendali rasa, pada waktu aku durhaka kepadanya dengan berkata, “bagaimana mungkin ibu bisa mengendalikan rasa jika kita sama sekali tak punya kuasa untuk menciptakan rasa?” Hingga suatu waktu terbukti, dimana rasa rindu kepada ibu disangka-sangka seperti menagih hutang janji.

Terkadang justru aku berfikir tentang masa lalu, sungguh malang nasib ibuku mempunyai anak sepertiku. Ketika ditawari minuman teh atau kopi, justru aku menawar segelas susu. Sang ibu pun menurutinya sekalipun stok susu dirumah kebetulan sedang habis. Ia segera mencari susu meski gerimis, hanya demi melihat  sang buah hati meringis.

Sampai sekarang, anakmu justru semakin membuat malang nasib ibu. Aku pintar mencari keuntungan, tapi menutup mata terhadap keegoisan. Aku mahir mencari perhatian, disaat sebenarnya aku hanya butuh pengakuan. Aku gesit merayu Tuhan, terlebih jika ada kepentingan. Aku menyatakan perang terhadap setan, tapi diam-diam aku bersekongkol demi kejayaan fana.

Ibu, aku merindumu tanpa kata…

Aku mencintamu tanpa tatap…

Aku menyayangimu tanpa sapa…

“Tuhan, jika aku membuat malang nasib ibuku, bolehkah aku menawar nasib kehidupanku dan menggantinya dengan kebahagiaan ibuku disana?”

Anak-anakmu kini semakin tidak tahu diri, menyangga zaman yang dikira sebagai kemajuan justru semakin membalikkan keseimbangan. Ibu Bumi yang semakin renta yang semestinya bisa dijaga seksama, justru dimanfaatkan semaksimal mungkin demi yang namanya kesejahteraan rakyat, yang  nyatanya hanya menyejahterakan segelintir penguasa.

Ibu. Ibu semakin renta, jika aku membuat malang nasib ibu. Berilah kesempatan bagiku untuk mengasuhnya, ijinkan aku melaksanakan kewajibanku kepada yang melahirkanku, yang menjadi tempat tinggal dan berteduhku dari gelapnya hujan, yang menjadi sandaranku dari kejam dan teganya persaingan di dunia. Kulitmu yang mengeriput menjadi tanda perjuanganmu, jauhnya perjalanan yang telah kau tempuh, tangguhnya perjuanganmu melawan penghidupan.

“Tuhan, jika hanya gelisah yang dirasa ibu karena diamku, masih pantaskah aku mencintanya?”

Kalau ibu memang kesepian, ternyata memang karenaku, yang membuat malang nasib para ibu-ibuku.

Kasih Tak Terhingga

Suatu malam kau ajak aku mengarungi malam menuju entah. Nyatanya, kau ajak aku ke sebuah tempat beratapkan langit, bukan ukiran-ukiran indah di atas mimbar. Dengan pohon-pohon tinggi yang menjulang, bukan tiang-tiang megah penyangga kubah. Kau biarkan aku terbuai bersimpuh di pangkuanmu dengan beralaskan selembar kertas seadanya di atas tanah, bukan di atas kilaunya keramik dengan hangatnya karpet-karpet seperti di bangunan itu.

Adakah dekapan yang lebih hangat selain genggaman jari-jemari ibu?

Adakah usapan yang lebih melegakan selain belaian telapak tangan ibu?

Adakah tawa yang lebih melegakan selain tawa seorang ibu?

Adakah tarian yang lebih menghibur selain gemulai tarian ibu?

Adakah masakan yang lebih ingin kau makan selain masakan Sang Ibu?

Adakah tangan yang ingin kau cium ketika pulang selain tangan ibu?

Adakah tangis yang lebih memilukan daripada ratapan seorang ibu?

Adakah lelah yang meletihkan selain lelahnya seorang ibu?

Adakah sakit yang lebih perih selain pengorbanan seorang ibu kepada buah hatinya?

Adakah takut yang lebih menakutkan selain mendapati murka seorang ibu?

Adakah kasih yang dirasakan melebihi kasih dari seorang ibunda?

Adakah bahagia yang lebih menyenangkan selain melihat bahagianya seorang?

Ibu… ibu… ibu…

Masih adakah ego-ego itu kau simpan?

Ajaibnya saatku terbangun, air hangat sudah siap atau sewakul nasi sudah siap di atas meja.

Salah satu kasih yang tak terhingga demi sang buah hati, di malam-malam yang terus menanti… 

Kilatan Berkah Menuju Pondok

Akhir-akhir ini, saya mungkin mesti banyak menyembunyikan kejadian yang umumnya dimaknai sebagai suatu masalah. Meskipun saya selalu mengambil sisi yang sebaliknya, yakni sebagai suatu rejeki khusus ataupun kilatan berkah yang seketika didapat ketika menuju Pondok Rahmatul Umam.

Sore itu (3/9), saya bersama salah seorang saudara merencanakan untuk pergi ke acara tahlil 100 hari Kiai Muzammil. Kami berdua berangkat ba’da Maghrib agar bisa menepati waktu acara yang tertera pada undangan. Perjalanan sore itu begitu sangat dinikmati, sebelum pada akhirnya 3 menit atau sekitar 2 km sebelum sampai tujuan, sebuah insiden tak terduga tiba-tiba menyapa kami.

Seorang lelaki paruh baya dengan kendaraannya akan menyeberang jalan di perempatan kedua terakhir sebelum persimpangan utama sebelum sampai tujuan. Semisal perjalanan itu diprosentasikan, persimpangan ini mungkin berada di titik 98% jarak tempuh. Bapak-bapak yang kelihatannya akan menyeberang dengan perhitungan sempurna jika dibandingkan dengan laju kendaraan kami. Akan tetapi, nyatanya bapak-bapak tersebut justru berhenti pada lajur kami.

Sontak kami berdua kaget. Seketika itu saya hanya berpikir dua kemungkinan, pertama: dalam posisi menekam rem, kendaraan akan langsung dibanting kanan/kiri dan berpotensi menjadi kecelakaan tunggal; Atau kedua, dalam posisi menekan rem laju kendaraan akan terus melaju lurus sembari berharap bapak tersebut akan terus melanjutkan penyeberangannya.

Ketika bapak tersebut justru berhenti di sisi lajur jalan kami dan nyatanya simulasi kemungkinan yang kedua yang berjalan, maka kecelakaan pun tak dapat terhindarkan. Tapi, ini bukanlah penjelasan kronologi untuk menentukan benar atau salah. Sebab, akan sangat memungkinkan adanya potensi akan adu argumen. Kalau misalkan ada yang menginginkan kebenaran itu, silahkan ambil dan serahkan sisa salahnya kepadaku.

***

Tidak ada yang menginginkan musibah itu terjadi. Seketika semesta seolah menjadi ruang belajar untuk menapaki wilayah rela dan ikhlas atas kejadian yang tentu saja sama sekali tidak membuat nyaman bagi kedua belah pihak. Hanya saja kita diberikan pilihan, mau menikmati keadaan yang sudah terjadi dan membuat diri tidak nyaman tersebut  menjadi bagian dari kehendak ilahi atau merasa gelisah karena ketidaknyamanan diri disebabkan oleh kelalaian orang lain?

Misalkan kita mengambil pilihan akibat kelalaian yang lain, apakah orang yang dianggap lalai menginginkan atau sengaja membuat orang lain celaka? Terkadang, kita memang harus dituntut berpikir jernih secara spontan dalam keadaan apapun, agar tidak lalai untuk dapat mengambil hikmah seketika itu juga.

Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran”. (2:269)

Hikmah itu bukan lantas sudah didapatkan, bahkan dalam pikiran masih ada pertimbangan antara sisi mana yang akan lebih banyak mengandung hikmah saat saya berhasil sampai tujuan di pondok, atau ketika gagal sampai tujuan, namun justru berakhir di IGD (dengan tujuan yang berbeda). Pelajaran mana yang pada akhirnya lebih banyak akan saya ambil pada akhirnya?

Saat itu saya juga seolah diajak untuk tidak bergantung pada siapapun, sebab alat komunikasi yang saya miliki juga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Bahkan, setelah diupayakan untuk mendapatkan komunikasi berhasil terealisasi, ternyata tidak ada kontak yang mampu dialihkan. Nyatanya, upaya kebaikan yang diupayakan berlebihan pun akhirnya membuat saya lalai. “Sudahlah, ada aku! Aku yang memilikimu, maka aku juga akan bertanggung jawab kepadamu!.

Tak lama berselang saat berada di IGD, “para kekasih” itu pun datang. Kemesraan ini menjadi buah keajaiban bagi diri saya pribadi. Terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan oleh karib yang ikut mengalami proses ini bersama. Saya teringat kesepakatan yang terjalin, bahwa segala pertemuan ini disatukan atas dasar cinta yang sama.

Dan setelah boleh untuk pulang, kami pun berpamitan dengan bapak yang mengalami musibah yang sama. Meski tidak mudah, butuh kesiapan untuk menahan segala rasa yang mungkin akan menyerang diri. Apabila tidak siap, bisa jadi traumatik atas musibah akan mendorong ego dan hasrat untuk membela diri menuju pembenaran diri. Perlu kontrol dan manajemen diri bahkan ketika situasi tidak nyaman, agar diri bisa berpikir jernih dan tenang.

***

Tidak berhenti disini, masih ada beberapa urusan yang mesti dilakukan dan diupayakan untuk dapat membantu bapak tersebut. Meskipun sebenarnya ini bukanlah kewajiban secara hukum, namun secara akhlak ini menjadi suatu kewajiban. Beruntung, Bapak Polisi yang membantu juga merupakan orang yang baik. Sehingga memudahkan segala urusan yang sesungguhnya agak sedikit rumit secara formal.

Para kekasih itu masih setia menemani setiap perjalanan yang mesti dtempuh kembali dengan jarak yang lumayan jauh. Meskipun dilakukan bergantian atau berbeda-beda secara personal. Akan tetapi, cahaya kasih dan kebaikan itu nampak nyata. Begitupun dengan para kekasih lain yang saya yakini secara diam-diam melakukan upayanya untuk membantu meringankan segala urusan yang ada.

Padahal dalam keadaan serba terbatas seperti ini, kekasih-kekasih pilihan itu masih mau untuk menyediakan dirinya melalui jalan-jalan yang tidak terlihat. Saya dan saudara justru merasa merepotkan banyak pihak, meski ketika terkonfirmasi, itulah wujud katresnan dari para kekasih tersebut. Jika anggota salah satu bagian terluka, seolah semua merasakan rasa sakit yang sama. Kenikmatan mana lagi yang mungkin aku dustakan?

Tujuan yang semula tidak terwujud, juga diijinkan untuk dapat disinggahi meski dalam rentang waktu yang berbeda. Justru ketika singgah ke pondok, kami malah banyak mendapat banyak buah hikmah dari Gus Ahmad, anak mantu dari Alm. Kiai Muzzamil. Malam dihabiskan dengan kisah-kisah perjalanan Kiai Muzzamil di Gasebo yang terletak dekat makam. Rasanya tunai sudah kerinduan yang tak tersampaikan saat musibah itu menyapa.

Terimakasih dan syukur tentu saja tidak semua terungkap jika semua harus tertuang dalam selembar kertas. Atas segala doa, waktu dan upaya yang telah dibagikan. Semoga semua wujud kebaikan itu kelak akan memantul kembali menjadi suatu berkah bagi diri masing-masing. Tentu saja, mohon maaf jika segala bentuk tanggapan dan respon atas kebaikan yang telah diberikan tidak seperti yang diharapkan.

Ya, saya sendiri tidak mengingkari bahwa masih banyak kenikmatan yang masih saya dustakan? Keadaan yang sangat kompleks tentu bukan menjadi salah satu alasan untuk berpustus-asa terhadap rahmat yang bisa diambil, sekalipun nampak tidak mengenakkan. Yang penting, jangan kehilangan sedikit pun cinta agar tidak mudah lalai terhadap obral sumpah setia yang telah terucap.

Selasa, 14 September 2021

Ghaib Atau Halu?

Di tengah gelap temaram, seorang asing tiba-tiba berjalan menuju tempat Gus Welly, Rahmat, dan Bewol sedang asyik bercengkrama. Dengan badan yang tinggi, tegap, dan besarnya, ia menyapa dengan senyumnya, “assalamu’alaikum…

Mendengar sapaan tersebut, sosok yang awalnya terkesan menyeramkan, seketika berubah menjadi penuh keakraban. “Wa’alaikumsalam…” sontak mereka bertiga menjawab.

Monggo sini duduk mas”, sapa Gus Welly.

Njenengan dari mana kok malam-malam begini piyambakan?” tanya Rahmat.

“Saya lagi muter-muter aja mas, kebetulan dengar orang lagi ngobrol, terus saya mampir. Boleh kan saya istirahat sebentar?” terang orang asing tersebut.

“Boleh dong mas, monggo silahkan. Mau minum kopi mas?” Bewol menawarkan.

Singkat cerita setelah banyak bahasan terkait perkenalan, tema obrolan semakin menuju ke arah yang menarik. Sosok orang asing tersebut mulai banyak bercerita tentang perjalanannya mencari seorang guru yang dianggap bisa membimbingnya. Sebab, ia sedang banyak merasakan dimensi-dimensi yang menurutnya berasal dari sesuatu yang ghaib.

“Saya itu seperti sedang ditarik oleh suatu energi dan aura yang kuat, Mas.” jelas orang asing tersebut sembari memutar-mutarkan tangannya di sekitar kepala. Gus Welly, Rahmat, dan juga Bewol yang melihat sesuatu yang nyentrik tersebut langsung saling melirikkan mata satu sama lain. Seolah mereka sedang akan menyepakati sesuatu dengan bahasa tatapan mereka.

“Kalau saya auranya apa, Mas?” Bewol mulai merespon.

“Sebentar, Wol. Masnya belum selesai berbicara.” kata Rahmat.

“Gini Mas, kamu itu auranya nampak berwarna oranye. Tapi terkadang berubah nampak agak gelap, meski hanya sebentar.” jelas orang asing itu.

“Wah pas! Oranye, sama seperti jersey sepakbola kebanggaan kota kita. Tapi nek berubah kegelap-gelapan, jangan-jangan itu tai. Mambu, hahaha…” sela Gus Welly.

“Maaf ya mas, beliau ini Gus, salah satu putra Kyai kondang di daerah sini. Jadi ngapunten kalau beliau suka mengarti-artikan sesuatu sesuai kehendaknya.” terang Bewol kepada orang asing tersebut. “ Jadi kalau Gus Welly niki nebar sabdo nopo mawon ki teko di-iyo-ni.” lanjut Bewol dengan bahasa intriknya.

Husshh, ngece kamu Wol.”

“Pantas kalau begitu Mas, Gus Welly ini auranya memang ‘maaf’ terlihat paling bagus di antara kita dengan warna hijau dan putih.”

Iki ya pas, koyok Ormas.” balas Bewol.

Lumutan… “ gumam Rahmat. “Kalian ini lho, Masnya baru menjelaskan warna sudah disela terus. Padahal kita kan belum tanya artinya.” sambungnya.

Akhirnya, orang asing tersebut menjelaskan makna dan segala hal yang masih berkaitan dengan segala sesuatunya. Salah satunya adalah yang dia sebut Qadam, atau Bangsa Jin yang sering diartikan sebagai Jin pembantu yang melekat pada manusia. Dia merasa bahwa Jin-Jin yang melekat pada dirinya terlalu banyak nggondeli, sehingga banyak berakibat kemalasan pada dirinya.

Semakin waktu, penjelasannya semakin bias dan kontras disana-sini. Mulanya bilang ditarik, sekarang banyak menggunakan bahasa melekat. Apabila dikejar oleh sesuatu yang lebih inti, jawabannya selalu saja menggunakan frasa “banyak variasi”, tapi tak satupun dari sekian banyak variasi itu mampu ia jelaskan.

“Menurut anda sesuatu yang ghaib itu apa?” tanya Bewol.

“Ya sesuatu yang tidak nampak oleh mata, seperti setan, Jin, barang-barang ghaib, dsb.” terangnya.

“Jadi ghaib itu adalah yang tidak bisa dipandang oleh mata? Ini korek yang saya pegang kalau tak simpan dalam saku dan anda tidak bisa lagi melihatnya berarti bisa termasuk barang ghaib?” tanya Rahmat.

“Ya bukan gitu Mas, beda.”

“Saya ini mencintai seseorang yang tidak pernah bisa setiap waktu saya lihat secara langsung Mas, bahkan sangat sulit untuk mengutarakannya. Namun, saya selalu merasa dilihatkan dan dititipi rasa untuk selalu memperhatikannya. Itu apa saya juga ditarik oleh barang ghaib Mas? Apa saya ditempeli oleh khodam?”

“Malah curhat!”

“Ghaib itu segala sesuatu yang tidak kita ketahui. Kalau bangsa atau barang yang tidak nampak oleh mata itu mungkin dianggap oleh banyak orang sebagai sesuatu yang tidak diketahui sehingga dianggap ghaib. Meskipun tidak fair karena beberapa orang diberi kelebihan untuk dapat melihatnya, jadi itu hanya beda dimensi.” jelas Gus Welly.

“Nah, hidup kita ini lebih banyak dikepung oleh ketidaktahuan daripada yang kita ketahui dan pahami. Tapi kita dituntut untuk terus mengimaninya.” tambah Bewol.

“Jadi Mas, njenengan niku harus bisa mengontrol diri. Sehingga bisa lebih niteni mana kesadaran, mana halusinasi. Atau kita ini dalam hati juga memiliki keyakinan, jangan-jangan anda ini wali jadzab!” Rahmat mencoba memberi maqom kepada orang asing tersebut.

Namun dengan rendah diri, orang asing itu hanya berkata, “Bolehkah saya tinggal dan berguru kepada anda?”

“Yo Balbalan, Yo Seduluran!”

Mungkin saja ini gak asik kalau dibaca sekarang, tapi mungkin juga ini bisa menjadi salah satu tinggalan cerita yang bisa dibuka kembali entah kapan. Ini bukan tentang kepintaran-kepintaran yang bisa menjadi potensi lubang kesombongan atau tentang kealiman-kealiman yang tak ayal menipu diri menuju syirik-syirik kecil.

Ini hanyalah cerita tentang sebuah pertemuan rutin mingguan atas dasar hobi yang sama, namun banyak mengandung buah hikmah dan seketika berubah menjadi ruang pembelajaran, tak hanya mengenai olah fisik dan kebersamaan, namun juga memberikan arti mengenai komitmen, begitupun menjadi arena dalam mengasah ketajaman mental untuk menjadi lebih kuat.

Kalau bukan karena PPKM, atau karena hari-hari besar keagamaan tertentu yang membuat lapangan homebase kami tutup, sudah berapa kali jumlah pertemuan yang sudah diperjalankan untuk saling adu ketangkasan dan kegembiraan? Itu baru yang sekedar di lapangan, belum dengan agenda nongki-nongki atau dolan bareng di luar lapangan. Apakah itu seharusnya menjadi suatu hal yang patut untuk disyukuri?

Meski harus menahan diri untuk menyesuaikan hal yang baru selama pandemi, namun itu tidak mengendurkan semangat untuk terus berusaha menyatu dalam lingkaran ini. Beberapa dari kami juga mendapat jatah untuk kebagian rejeki terpapar virus, harus terkena segala bentuk efek pandemi yang pasti mengubah banyak hal, tapi semua tak henti untuk saling mengingatkan dan sadar akan diri kami masing-masing dalam hal menjaga kondisinya masing-masing.

Selama pandemi ini, kita mengubah kebiasaan dari dunia perfutsalan ke dunia persepakbolaan. Dari lapangan yang dinilai cukup untuk menguras fisik, namun kini justru arena lapangan menjadi lebih luas. Koordinasi tim yang tadinya membutuhkan sedikit orang, kini membutuhkan daya pandang dan ketajaman fokus yang lebih besar. Semoga saja, ini juga akan menambah kebesaran hati masing-masing dari kita yang bisa diproyeksikan  ke dalam segala bentuk permainan di luar lapangan.

Karena dasarnya sudah memiliki basic suka terhadap sepakbola, tentunya tidak butuh banyak waktu adaptasi yang lama untuk membiasakan diri bermain di lapangan yang lebih luas. Bahkan, kebiasaan baru ini menjadi sesuatu yang nagih. Apabila tidak ada lawan atau tidak mendapatkan jatah lapangan sepak bola, tak ayal mengakibatkan rasa kecewa oleh sebagian dari kami.

Beruntungnya, pertemuan ini sudah terjaga selama 12 tahun. Mungkin apabila disamakan dengan karir para pemain profesional, rentang waktu ini hendak mencapai limitasinya. Bedanya karena ini hanya sebuah bentuk penyaluran hobi yang sama, sebagian dari kata jadi jarang terlihat karena kesibukan sehari-hari yang membutuhkan prioritas waktu yang lebih besar. Tapi, hal ini tidak lantas menjadi sebab untuk terputusnya silaturrahmi.

Selain itu regenerasi juga mengalir begitu saja, bermula dari ajakan bermain bersama di setiap minggunya. Sehingga dari waktu ke waktu, kegiatan ini seperti membuahkan suatu komunitas yang menyenangkan. Dan konsekuensi dari segala bentuk kolektifitas yang merangkul banyak orang, sudah pasti akan menimbulkan gejala-gejala konflik yang sewajarnya. Namun kebersamaan sampai saat ini menjadi salah satu bukti bahwa, hal itu bisa diminimalisir dan diatasi bersama-sama.

Bermula dari mempermainkan si kulit bundar untuk disarangkan ke jala lawan. Tak terhitung lagi waktu yang telah dihabiskan saat kita banyak berlarian bersama, mencari keringat bersama, belum lagi tackle-tackle(an) bersama yang pasti ada potensi untuk saling menyakiti. Tapi dari semua itu, balbalan akhirnya juga menambah lingkar paseduluran. Yo balbalan, yo seduluran. Yang patut untuk disyukuri atas kehadiran rahmatNya yang menaungi kita.

Ini bukan hanya sekedar bermain bola setiap minggunya. Ini juga bukan hanya sebuah bentuk latihan terkait sportifitas dan komitmen. Namun, kebersamaan ini telah menjadi salah satu ruang tumbuh yang bisa kita berdayakan bersama untuk manfaat yang lebih luas. Maturnuwun Lur! Maturnuwun STRONGHOLD! “Pain is Temporary, Pride is Forever”.

Bewol: “Rabio, Mat!”

Seperti biasa, untuk menghabiskan suatu malam biasanya Gus Welly sering mengajak berkumpul kedua karibnya, yakni Bewol dan Rahmat. Apabila sedang tidak memiliki acara, Bewol seringkali menghabiskan waktu bersama Gus Welly. Berbeda dengan Rahmat, karena sudah menikah, intensitas waktu untuk berkumpul mesti dikurangi agar porsi waktu buat keluarga juga tercukupi.

Tapi, itu bukan menjadi sebuah masalah. Toh, apabila Rahmat tidak bisa keluar dengan kode tertentu, mereka bisa menjadi tamu di rumahnya. Kebetulan, istrinya juga welcome dan tidak pemalu. Bahkan sebelum memiliki anak, istri Rahmat juga sering ikut dalam obrolan ketidakjelasan mereka bertiga. Pernah di suatu malam sebelum Rahmat menikah, mereka bertiga tengah mengalami gabut-gabutnya dan kebosanan atas rutinitas setiap hari yang seperti-seperti itu saja.

“Ngapain lagi ini kita enaknya? Bosan aku tiap malam cuma gini-gini aja, mbok ayo kita kreatif sedikit mencari hiburan gitu.” keluh Rahmat kepada kedua karibnya.

“Kamu ini kenapa to, Mat? Bukannya tidak melakukan apa-apapun bisa menjadi kreasi, asal kita pandai berinovasi. Kamu kepingin apa?” tanya Gus Welly.

“Aku pingin cari hiburan aja yang out of the box!” ujar Rahmat dengan bahasa kekiniannya.

Bewol pun menyodorkan terminal listrik kepada Rahmat.

“Maksudmu apa, Wol?”

“Bukankah biasanya kamu pandai menghibur dirimu sendiri dengan gadget disaat kita saling terdiam? Udah gitu paling berisik sendiri!” sindir Bewol.

“Lho iya itu bener kata Bewol, yang main tembak-tembakan itu to? Gus Welly menimpali.

Memang, diantara mereka bertiga. Rahmat merupakan seseorang yang sangat aktif, tapi disaat yang bersamaan dia juga kurang bisa mengontrol diri ketika datang kebuntuan. Disaat seperti itu, Gus Welly dan Bewol yang sudah mengenal Rahmat sejak lama, sudah paham bahwa tugas mereka adalah mencarikan atau membukakan pintu agar muatan daya keaktifan si Rahmat tersalurkan.

“Apa kita mau zaroh aja?” Gus Welly menawarkan.

“Kamu juga Gus, meskipun ilmu yang kamu miliki setinggi langit tapi jangan terlalu mudah spekulasi kalau itu hanya menurut selera dirimu saja. Lihatlah Rahmat seperti apa.” tegas Bewol.

“Lhah, Gusti Allah kan Maha Penghibur Hati. Siapa tau Rahmat disana menemukan obatnya. Emang solusi dari kamu apa buat Rahmat?” tanya Gus Welly.

“Mat, Mat, Mat!” panggil Bewol. “Rabio (segeralah menikah), Mat!”

Gus Welly yang mendengarnya pun tertawa terbahak-bahak. Seolah tidak percaya atas apa yang ditawarkan oleh Bewol. Apalagi setelah melihat gesture tubuh Bewol ketika mengatakannya, seperti seolah dirinya tidak membutuhkannya.

Tatkala Gus Welly sudah menghentikan tawanya, situasi pun menjadi hening sejenak. Satu perintah kata itu seolah menjadi nasihat bersama.

“Mungkin benar apa yang dikatakanmu, Wol.” kata Rahmat. “Kita  mungkin sudah mencari banyak tempat untuk menghibur diri. Namun setelah pulang, bahagia itu seolah hilang dalam sekejap.” lanjutnya.

“Tapi bagaimana denganmu, Wol?” tanya Gus Welly.

“Aku? Munafik jika aku tak menginginkannya juga. Tapi aku bisa jadi tak seperti kalian ketika menginginkan peribadatan itu. Benar, menikah itu menyempurnakan ibadah, namun aku menjadikan orang-orang yang aku kasih perhatian lebih itu sebagai manifestasi dari istriku kelak, termasuk kalian. Kita duduk bersama seperti ini, bisa saling menerima kekurangan, berbagi, bukankah itu termasuk bagian keindahan akan sesuatu yang berjodoh? Apakah jodoh itu harus selalu tertuju pada satu subjek (istri) kita kelak?” terang Bewol.

“Benar juga, bahkan Simbah pernah menuliskan sebuah buku berjudul “Istriku Seribu” yang kurang lebih cara pandang dan cara pikirnya tentu saja tidak dimaknai secara linear. Dan ketika dipahami secara luas, tentu saja kesendirian kita saat ini mungkin karena kita telah menerapkan laku sebagai seorang suami terhadap siapa saja. Karena aku yakin, kalian akan bertanggung jawab ketika menghamili, dengan kata lain mengambil sikap atas apa yang kita lakukan di berbagai wilayah kebersamaan. Termasuk di lingkaran kecil ini.” sambung Gus Welly.

“Kok menghamili? Memang anaknya siapa?” canda Rahmat.

“Segala bentuk konsekuensi atas apa yang kamu rawat dan kamu upayakan tumbuh itulah anak-anakmu. Tidak hanya berbentuk fisik, namun kata-kata yang sering kita lontarkan kepada orang lain berpotensi menjadi anak-anak buah pikir yang menerimanya. Pun sebagai anak yang mesti kamu pelihara konsistensinya dengan laku, karena kata-katamu itu adalah janji.” kata Bewol.

“Semua hal itu laksana akad yang mesti kita jaga keutuhannya. Tidak hanya terhadap manusia, namun juga terhadap semesta. Begitukah? Rahmat memahami.

“Ya itu tergantung kesadaranmu akan ketauhidanmu dengan Tuhan. Bukankah Dia berfirman, ‘maka kemanapun engkau menghadap, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui’.” jawab Gus Welly.

“Nah itu, sudah jelas apa yang dikatakan sama Welly. Penyatuan itu kan terjadi oleh sebab adanya suatu perkenalan. Dari perkenalan kita memiliki kesan yang akan mempengaruhi penilaian. Penilaian itu menjadi sebab datangnya rasa. Kalau kita mampu mengambil segala hikmah dari setiap yang kita temui, sepertinya tidak mungkin kita tidak mencintai sesuatu. Cinta mungkin menjadi pondasi utama menikah, tapi itu juga bukan menjadi faktor yang kuat untuk jadi alasan untuk disegerakan menikah.”

“Lhah kenapa bisa begitu?” Rahmat memotong.

“Karena hasrat ingin saling memiliki di antara sejoli itu kuat. Untuk hidup bersama mengarungi belantara kehidupan dan mendapati kebahagiaan bersama.” jawab Gus Welly.

“Sedangkan pecinta sejati, dia tidak membutuhkan alasan untuk menerima balasan kepada yang dicinta. Dia akan tetap kuat mesti cintanya tak beralasan. Karena ia tahu, bahwa rasa itu bukan dirinya yang mencipta. Rasa cinta itu hanya titipan dari Yang Maha Mencinta. Rasa cinta itu suci, jadi mana mungkin tega mengkhianati.” curhat Bewol.

“Dasar jomblo!”

Suasana yang tadinya hening pun seketika berubah menjadi riang akibat saling lempar ejekan. Dinamika gejolak saat duduk bersama seharusnya bisa diproyeksikan dalam skala yang lebih luas. Agar kita tidak mudah masuk angin terhadap kata-kata yang mudah menguap oleh sebab kemesraan yang ingin dibangun. Kalau kita salah menempatkan mana, bisa jadi kesalahan itu bukan pada kebenaran informasi, melainkan filter kelengkapan diri kita yang belum mampu menampung segala bentuk daya informasi yang masuk.

Selalu ada getaran yang mengakibatkan gejolak rasa dalam dinamika kehidupan. Kita hanya perlu terus-menerus meng-upgrade sistem peredam yang ada pada diri kita. Supaya getaran itu tak membuat perangkat diri yang lain rusak. Bahkan, mesin utama bisa overheat hanya kerana rusaknya bagian kecil dalam sebuah sitem diri.

Dan segala bentuk candaan bisa yang menghadirkan gelak tawa kebahagiaan bisa menjadi sistem peredam yang sangat efektif dalam kehidupan. Jangan terlalu larut dalam suasana yang terlalu serius, pun jangan mudah terlena dalam suasana yang terlalu cair. Diri kita sendirilah yang mengetahui takaran porsi keseimbangan tersebut.

“Lalu, mengapa kamu menyarankan aku untuk menikah, Wol?” tanya Rahmat.

“Saran itu kan juga berlaku buat diriku sendiri, kenapa kamu malah tanya alasannya kepadaku? Diri kita sendiri yang lebih mengerti jawabannya. Berapa banyak kata bijak yang didapati juga tidak akan berpengaruh apa-apa.” kata Bewol.

“Terus menurut kalian, siapa diantara kita yang duluan menikah esok? Gus Welly melontarkan tanya.

***

Selang jagongan malam hari itu, kurang lebih 3 bulan setelahnya, Rahmat memberikan undangan pernikahannya kepada Bewol dan Gus Welly. Mereka pun sangat gembira terhadap keberanian si Rahmat. Dan sekarang, setelah 2 tahun berlalu, dirinya sudah dikaruniai seorang putri cantik yang mirip sekali dengan ayahnya.

“Nikmat Cinta yang Dititipkan Lewat Kata-kata.”

Di suatu malam, Gus Welly dan Rohmat memiliki rencana akan pergi ke rumah Bewol. Sebelum berangkat, mereka berdua mampir ke toko jualan martabak telor yang searah dengan jalan menuju rumah Bewol. Tak menunggu lama setelah martabak terbungkus rapi dengan ektra acar yang disukai olehnya, mereka pun langsung bergegas melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di rumah Bewol, seperti biasa mereka duduk-duduk di teras rumah sembari menikmati gemerlap bintang gemintang karena kebetulan langit malam itu sangat cerah. Bewol keluar sembari membawakan dua gelas kopi hitam kesukaan mereka. Gus Welly punya selera kopi tanpa gula, sedangkan Rohmat menyukai kopi arabika dengan tambahan gula yang mondo-mondo. Martabak yang dibawa pun segera dibuka bungkusnya dengan harap bisa dinikmati bersama.

“Kalian tunggu dulu ya, masih ada yang harus aku selesaikan. Sebentar.” kata Bewol sembari menampakkan senyum lugunya.

“Lhah, ini lho sudah dibawakan martabak. Mbok ya dimakan dulu bareng-bareng.” ajak Rohmat.

“Iya Wol, keburu dingin kalau masih harus nunggu kamu.” timpal Gus Welly.

“Maaf, untuk kali ini saja tak ijin sebentar.” kata Bewol sembari lari masuk ke dalam dengan keadaan pintu yang masih terbuka.

Mau bagaimana lagi, Gus Welly dan Rohmat pun terpaksa menunggu Bewol menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan. Menit dan menit dihabiskan dengan bermain dengan gadget-nya masing-masing. Tak terasa waktu sudah berlalu hampir setengah jam dan Bewol belum keluar. Martabak sudah terlanjur mendingin. Karena penasaran dan sedikit terpancing rasa ingin tahu, Rohmat pun memutuskan untuk melihat apa yang dlakukan kawannya. Kebetulan pintu rumahnya juga masih terbuka.

Rohmat pun masuk diam-diam dengan langkah jinjitnya, mencoba ngintip apa yang membuat Bewol sampai lupa kalau ada teman yang sedang menunggu. Kembalinya dari dalam rumah, Gus Welly pun segera menanyakan aktivitas yang sedang dilakukan Bewol. Dengan muka masam dan cengar-cengirnya, Rohmat menjawab, “Entah sedang menulis apa si Bewol. Kelihatannya serius karena suara ketikannya keyboard-nya bertempo tinggi. Tapi bisa juga tidak serius, kalau melihat mimik mukanya, dia nampak sedang bahagia dengan senyumnya.”

“Ya sudah, mungkin dia sedang mentransliterasikan apa yang ada dalam angannya waktu itu.” tegas Gus Welly.

“Oiya, yang kita malah berdebat mau mengganggunya itu ya?” jawab Rohmat.

“Iya, makanya sekarang kita biarkan saja.”

Tak selang berapa menit, Bewol pun keluar, “maaf Lur baru selesai.”

“Maafmu tuh gak bisa buat martabak ini hangat lagi.” jawab Rohmat agak sinis.

“Gapapa.” jawab Gus Welly. “Tapi tumben sekarang kamu jadi agak tega sama kita.” lanjutnya.

“Gak tega Gus, keburu hilang nikmatnya tadi. Sudah dikasih nikmat kok dibiarkan begitu saja.” jawab Bewol sembari mengambil sajian nikmat berikutnya berupa martabak.

“Owalah, makanya tadi cengar-cengir sendiri. Ternyata sedang menikmati sesuatu to, tapi kamu pelit soalnya kita gak dibagi-bagi.” sahut Rohmat.

“Mat, kamu tadi sudah masuk rumah. Kenapa hanya dengan lihat aku yang sedang cengar-cengir terus kamu malah jadi mrengut?”

Bewol pun kemudian menceritakan apa yang sedang dialaminya dan apa yang sedang dilakukannya karena takut kedua kawannya tersebut hanya berprasangka tidak sebagaimana mestinya. Meskipun kalau dibiarkan prasangka kedua kawannya itu beterbangan juga bukan merupakan sebuah masalah, akan tetapi Bewol lebih memilih untuk membatasi dan segera memberikan informasi kebenarannya.

Seperti yang Rohmat lihat, Bewol sedang menuliskan kata-kata yang dituliskannya sebagai sebuah wujud syukur atas banyak kenikmatan yang telah diberikan oleh Semesta kepada dirinya. Bewol memberikan contoh martabak yang dibawakan oleh kedua kawannya ini juga termasuk salah satu nikmat, tapi tidak cukup kuat untuk mampu menggerakkan jari-jemarinya untuk lantas menuliskan kekuatan syukur yang dialaminya. “Karena sudah menjadi kebiasaan (saling membawakan martabak).” pungkas Bewol.

“Pasti nikmat yang datang karena perempuan, kan?” tebak Gus Welly.

“Kalau hanya masalah perempuan Wol, percuma kamu banyak bermain dengan kata-kata. Perempuan itu tidak butuh kata-katamu, dia hanya melihat dan merasakan apa-apa yang kamu lakukan secara langsung. Aktualisasikan nikmatmu itu secara langsung!” Rohmat mendadak menjadi sok bijak.

“Iya perempuan, Gus. Tapi Mat, dari perasaan menuju pikiran dan merangkainya dalam kata-kata pun aku masih merasa belum tuntas. Jadi, bagaimana mungkin aku mengaktualisasikannya secara nyata? Kamu juga tahu dan paham betul, kalau aku jarang berkomunikasi apalagi bermain dengan wanita.” terang Bewol.

Mbok ya sing thas-thes (cekatan), apalagi kamu seorang laki-laki. Nanti keburu hilang.”

“Lantas kenapa kalau hilang? Sekarang pun kalau dia hilang itu bukan masalah. Nikmat cinta yang dititipkan ini pun tak lantas menuntutnya untuk ada atau hadir didepanku. Bahkan, memiliki harapan untuk mendapatkan balasan perasaannya pun tidak.”

“Kalau hanya itu yang kamu lakukan, kamu mau diam atau suka memilih diam, yang mungkin juga justru menjadi  jadi hobi baru, yakni ngrepotin malaikat?” tanya Gus Welly.

“Bukan gitu, Gus. Lagian malaikat mana yang malah tunduk bukan atas perintah Sang Majikan satu-satunya.”

“Dan biarkan aku mencintanya dengan caraku sendiri. Tanpa huruf “i” lho. Aku biarkan kata-kata itu berceceran dan berserakan agar ia ditemukan oleh sesorang yang sanggup meletakkan di tempat yang tepat. Bahkan kalaupun memungkinkan, menatanya agar tampak lebih indah.”

Repot-repot nduwe konco koyok kowe, Wol. Ojo meneh sesuk bojomu. Tur kata-katamu ora iso marai anak bojomu wareg (repot punya teman seperti kamu, apalagi besok istrimu. Terlebih kata-katamu tidak bisa membuat anak istrimu kenyang)!” ejek Rohmat.

Amiiin… .” Gus Welly dan Bewol selaras mengaminkannya.

Lhoh, kok malah di-amin-i?”

Mereka berdua pun hanya tertawa dan melanjutkannya dengan pembahasan topik yang lain. Malam itu tetap hangat meskipun langit nan nampak berbinar-binar, pun dengan martabaknya yang terlanjur sudah menjadi dingin.

Menembus Batas Tak Hanya Sebatas Kata

Semakin bertambahnya usia, kita saling menyadari bahwa masing-masing dari teman/kawan/sahabat pasti memiliki prioritas utamanya sendiri. Alhasil, ketika ada sebuah undangan dari salah seorang sahabat dekat, tentu saja keadaan ini akan menjadi sebuah momentum untuk berkumpul dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Ikatan yang kita sangka akan selalu kuat menerjang badai waktu yang terus berhembus, akan terkikis sedikit demi sedikit.

Beruntung malam setelah menghadiri pernikahan itu, kita berkumpul melingkar lalu menyepakati dan satu pemahaman akan sebuah pertemuan yang ditujukan tidak hanya sebahai sebuah ruang untuk mengobati rindu. Akan tetapi, kita mencoba bersama-sama membangun sebuah ruang yang dapat digunakan sebagai media sharing, saling bertukar pikiran, ataupun mencoba menjaring cahaya yang bisa saja dititipkan melalui kata-kata yang terlontar jika akhirnya tercipta ruang kebersamaan itu.

Aku sendiri sempat bingung, mengapa hal seperti itu tiba-tiba dapat terjadi disini? Apakah mungkin karena sedari pagi kita berjalan bersama hingga malam menyapa? Yang di dalamnya terukir kenikmatan-kenikmatan yang dirindukan selama ini dan tidak didapatinya di tempat lain? Apakah kalian merasa seperti pulang ke rumah? Hingga akhirnya kita juga menghendaki adanya sikap untuk saling terbuka disaat menyatakan segala resah dan perjuangan yang sedang ditapaki pada fase-fase krusial ini.

Kalau disuruh memberikan makna, banyak pengalaman yang telah memberikan satu pelajaran utamanya tentang sesuatu yang berkaitan dengan banyak orang. Kita sama sekali tidak bisa mengupayakan, memastikan, ataupun mempertahankan kebersamaan. Mungkin jika diri sendiri mampu, yang lain belum pasti bisa melakukannya. Begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, kesadaran akan Maha Pencipta pun harus benar-benar dipegang teguh. Bukankah tiada daya dan kekuatan yang terjadi kecuali atas ijinnya? Dan jangan kira kita yang melempar, karena bukan kita yang sesungguhnya melempar. Adakah yang terjadi disini bukan karena apapun melainkan menjadi salah satu kehendakNya?

Setiap perjalanan pasti akan memberikan kesan dan pengalamannya sendiri. Setiap kerinduan pasti akan membisikkan luka-luka yang pernah dirasakannya. Setiap kebahagiaan pasti menyimpan kesunyian yang tertahan untuk lekas diungkapkannya. Pun dengan segala harapan yang mencuat, semua itu lahir karena ketakutan akan sesuatu yang mungkin saja segera mengenalkan tentang perpisahan.

Namun, kami percaya bahwa semua yang telah teruntai menjadi kenangan akan selalu menjadi obat tatkala hiruk-pikuk realita akan perjuangan kehidupan harus kita hadapi saat kami harus kembali ke tempatnya masing-masing. Kami juga yakin bahwa satu dengan yang lainnya telah memaksimalkan segala bentuk perhatiannya agar saling bisa mengisi kekurangan yang mungkin saja enggan untuk diungkapkan.

Perjalanan ini belum usai, kita masih berada pada sebuah pemberhentian untuk mengisi bahan bakar laju kendaraan kita. Yang kita tidak akan pernah tahu sampai mana ujung perjalanan ini akan berakhir. Hanya saja, sediakah kalian bersama-sama menembus batas itu dan melangkah bersama menuju keabadian? Tentu saja, kendaraan ini masih banyak tersisa bangku-bangku yang masih kosong. Yang nantinya bisa kalian isi dengan orang-orang terkasih yang akan menemani perjalanan panjang kita. dan jangan sampai ada yang tertinggal.

Terimakasih atas segala hal baik yang diberikan. Dan maaf apabila aku belum mampu banyak memenuhi harapan kita. Tapi satu hal yang harus kita pegang bersama bahwa percayalah jika kalian menghendaki kita duduk bersama seperti ini lagi, aku atau salah satu dari kita pasti akan segera berupaya untuk hadir dan menemani. Sekalipun hanya sebatas kata-kata.

“Keseriusan yang Tidak Main-main!”

Jum’at malam merupakan jadwal agenda rutinan M3. Satu malam mungkin telah berlalu, namun hal itu bukan berarti cerita akan pula sampai di titik akhir. Siang dan malam akan terus silih berganti mengisi hari, tapi cahaya itu akan selalu berpendar ke mana arah mata dituju. Biar saja satu malam M3 telah berlalu, namun harapannya, cahaya pada malam itu tidak akan meredup dan akan terus memancar melalui kata-kata.

Pada malam itu, berkumpul sekitar belasan orang. Lintas usia dan generasi. Namun, sedari awal kita menyepakati bahwa di ruang ini kita belajar bersama. Mencoba menangkap cahaya-cahaya yang mungkin saja dititipkan melalui salah satu dari kita. Oleh karena itu, meski utamanya melatih daya ungkap diri (bicara) dengan baik, namun nyatanya kita justru banyak melatih diri untuk bagaimana menjadi pendengar yang baik.

M3 sendiri merupakan kumpulan dari berbagai aktivitas untuk melatih daya pikir. Ada yang bersifat permainan, ada pula yang sedikit membutuhkan kreasi ataupun innovasi sehingga membutuhkan konsentrasi lebih. Berikut daftar aktivitas yang biasanya dilakukan dalam M3:

  1. Aktivitas “Alhamdulillah”. Aktivitas ini biasanya dilakukan saat acara baru dimulai. Sebagai pengganti kalimat pembuka, masing-masing yang melingkar dalam M3 saling membuka dengan kata alhamduliillah sebagai salah satu bentuk ungkapan syukur. Karena, dengan rasa syukur tersebut, harapannya kita akan banyak membuka pintu kebaikan-kebaikan yang lain.
  2. Aktivitas “Berkabar dan Berbagi Temuan”. Biasanya aktivitas ini satu paket dengan aktivitas alhamdulillah. Hanya saja dalam aktivitas ini, dulur-dulur yang hadir memberikan kabar ataupun informasi yang banyak didapati selama seminggu terakhir.
  3. Aktivitas “Evaluasi/Berbagi Pendapatan”. Aktivitas ini biasanya dijalankan setelah aktivitas utama dijalankan. Para dulur-dulur bebas mengungkapkan apa saja yang didapati selama proses kegiatan dilakukan.
  4. Aktivitas “Diskusi”. Aktivitas ini dijalankan apabila ada satu sumber ahli. Misalnya saja pada pertemuan pertama bulan Februari 2021, hadir Bapak Damtoz Andreas yang notabene merupakan sastrawan. Dalam aktivitas diskusi, biasanya juga ada sesi tanya jawab, yang mana masing-masing dulur diharapkan melatih “cipta tanya”. Karena orang yang pandai itu tidak hanya pintar berargumentasi memberi jawaban, akan tetapi orang pandai itu justru harus pintar membuat pertanyaan.
  5. AKtivitas “Cipta-Baca Puisi”. Di ruang M3, aktivitas ini merupakan salah satu aktivitas  yang dinanti. Selain untuk memberikan hiburan selama dipentaskan masing-masing puisi yang telah dibuat. Namun dengan melatih cipta puisi, diharapkan mampu melatih kepekaan dan juga interaksi tidak hanya dengan sesama manusia, melainkan kepada semesta yang begitu luas nan lembut.
  6. Aktivitas “Kurasi/Apresiasi”. Aktivitas ini hampir sama dengan aktivitas evaluasi. Biasanya dilakukan apabila hadir narasumber.
  7. Aktivitas “Presentasi Kata Pilihan”. Aktivitas ini bertujuan untuk melatih daya bicara agar sesuatu dapat disampaikan secara baik dan asyik. Aktivitas ini biasanya diberikan batasan waktu sesuai kesepakatan. Kata pilihan juga terkadang ditentukan, biasanya bebas. Tentu dari perbedaan tersebut ada maksud dan tujuan yang berbeda pula. Salah satunya, spontanitas juga memerlukan kesadaran untuk lebih dikreatifkan.
  8. Aktivitas “Pernyataan Penutup”. Semua dulur-dulur saling berbagi apa yang telah didapati selaa mengikuti seluruh aktivitas sedari awal kegiatan. Aktivitas ini juga bisa menjadi pengganti kalimat penutup, yang mana banyak berisi kumpulan kesimpulan yang didapati oleh masing-masing pejalan aktivitas M3.
  9. Aktivitas “Cipta Quote”. Meskipun terkesan sederhana ketika disampaikan, dan mungkin juga mudah terlupakan kalau saja hanya didengar. Akan tetapi apabila didokumentasikan, quote ini bisa menjadi salah satu cahaya yang mungkin tak akan redup. Contohnya saja salah satu quote dari Mas Damtoz, “di atas kesempurnaan masih ada keseimbangan, yang lebih banyak memberikan keindahan.”
  10. Penutup Doa Majelis.

Dari beberapa aktivitas di atas, penerapannya tidak harus berdasarkan sesuai urutan. Bisa dibolak-balik asalkan disepakati oleh semua yang hadir.

Keadilan dan Kontra Produktif

Pada Minggu kedua, kita diberi tema Keadilan dan Kontra-Produktif yang nantinya dulur yang hadir dibebaskan untuk memilih salah satu dan dipresentasikan dengan durasi 3 menit. Pak Sholeh menceritakan keadilan melalui kisah seorang Malik bin Dinnar. Mas Topan berbicara keadilan dengan menekankan bahwa porsi keadilan tidak bisa disamaratakan, serta keadilan yang lebih bersifat ke dalam. Karena apabila keadilan itu dilempar ke luar diri pasti akan mendapati gesekan, benturan, kontroversi, atau ketidakpuasan. Tidak mungkin harapan atau ekspektasi manusia dapat terpenuhi semuanya. Tidak bisa keadilan itu ditakar.

Toing, Ilo, dan juga Angger, mereka juga lebih memilih untuk berbicara mengenai keadilan. Toing menjelaskan keadilan melalui kisah sepasang suami istri. Angger menganggap bahwa keadilan masih menjadi sebuah pertanyaan bagi dirinya. Angger berasumsi bahwa untuk apa diciptakan keadilan kalau manusia sendiri masih sulit memutuskannya? Ilo yang baru mengikuti rutinitas M3 pertama kali nampak masih terlihat gugup sehingga banyak melakukan kata repetitif

Beda lagi keadilan menurut Pak Adisuryo, menurutnya keadilan.itu terkadang nampak adil tapi tidak adil bagi pelakunya, sehingga nampak juga sisi keterpaksaan. Meskipun, hal tersebut lama-lama juga akan menjadi kebiasaan. Pak Adi beranggapan bahwa untuk  mencapai keadlian terkadang dibutuhkan keterpaksaan yang terwujud melalui sikap mengalah, mengakui pendapat orang lain, termasuk saat berkompromi.

Kemudian ada Mas Ipul yang menyatakan bahwa keadilan tidak bisa terlepas dari hak dan kewajiban. Dan menurutnya, sesuatu akan menjadi sebuah masalah di dalam sebuah komuntias/pekumpulan/sejenisnya apabila kta lebih sering menuntut keadilan atas hak, bukan kewajiban. Lalu, Mba Sarifah menyatakan bahwa keadilan itu merupakan prasangka. Baik kepada Tuhannya ataupun kepada sesama manusia. Dan yang terakhir ada Mas Sani yang baginya, karena terlalu banyak mendengar kata keadilan jadi eneg. Menurutnya sederhana, asal tidak berat sebelah dan dalam kondisi ajeg, itulah keadilan.

Setidaknya dari opsi yang diberikan antara keadilan dan kontra produktif, hanya 2 orang yang mengambil kontra produktif, yakni Mang Yani dan Mas Sigit. Menurut Mang Yani, lingkungan sangat mempengaruhi produktivitas seseorang. Mang Yani mengambil dari sebuah sumber mengatakan bahwa lingkungan yang subur, cenderung akan mebuat orang yang tinggal di atasnya menjadi malas. Dan orang malas atau kontra produktif itu biasanya justru dari mereka yang terbiasa patuh.

Sementara Mas Sigit beranggapan bahwa kontra produktif merupakan hasil dari suatu tidndakan yang berawal dari niat yang baik, tapi hasilnya berkebalikan. Akan selalu ada niat dalam mengiringi segala tindakan, kalau tidak hati-hati atau melebihi dosis, hal tersebut menjadi sesuatu yang berpotensi menimbulkan hasil yang kontra produktif. Hadir pula Mas Budi yang juga baru pertama kali hadir dalam majelis M3 ini, menarik apa yang disampaikan Mas Budi, bahwa saat asyik menjadi pendengar, terkadang ada hal yang kontra produktif seperti seakan-akan mendengar, tapi sebenarnya berpikir sendiri. Dan keadaan itu menjadi hal yang tidak adil bagi si pembicara.

Melatih Siap Tanpa Kesiapan

Selanjutnya masih ada aktivitas Baca Puisi dan juga berbicara 5 menit. Namun karena waktu yang terbatas, akhirnya hanya sebagian yang menjalankan aktivitas berbicara 5 menit lantas dilanjutkan dengan menikmati puisi yang telah dibuat oleh dulur yang hadir. Dan puisi yang tersaji pun diharapkan mampu menambah daya imaji dan juga intuisi di masa depan yang masih ghaib.

Sebagai penutup, semua saling berbagi apa saja yang telah didapati sekaligus masing-masing memberikan sumbangan closing statements. Satu diantaranya, “enak gak enak itu perlu kita paksakan kita latih untuk terima. Asalkan itu keadilan.” Tentu saja kalimat singkat tersebut banyak menyiratkan makna yang menarik untuk dijadikan sangu kembali pulang.

Malam hari ini juga lebih banyak cermin, artinya jumlah kehadiran semakin bertambah. Meskipun beberapa, namun hal tersebut mampu menambah kejernihan cermin dalam kembali melihat diri. Baik atau tidak baik jangan sampai menjadi hal yang kontra produktif. Harus bisa lebih mepresisikan antara daya linuweh dan daya linuwih. Untuk bisa kita menempatkan di tempat yang pas dan adil untuk kita sendiri.

Kita mesti terbiasa untuk siap tanpa kesiapan. M3 sebagai ladang, harus intensional karena yang mengkonstruksi bangunan ini adalah kita sendiri. Ketidaksengajaan sangat mungkin akan menjadi ketagihan di dalam M3. Artinya, kalau melihat dari luar M3, adanya M3 itu nampak hanya sekedar main-main seperti biasa. Tapi yang dirasakan ketika terlibat langsung, “keseriusannya tidak main-main!” kata Mas Budi yang baru pertama kali mengikuti.

Acara pun berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Acara yang diadakan di Sanggar Wening atau kediaman Mas Sigit itu tetap berlanjut meskipun secara resmi telah ditutup. Bahkan, keintiman menjadi semakin kental melalui obrolan-obrolan ringan, sembari menanti fajar.

Sanggar Wening, 12 Februari 2021

“Nyawijining Raga lan Rasa, Tumekaning Suwargo”

Reportase Milad MQ 10 – Tadabbur Selasan | 63

Ba’da Isya di ruang depan Pabrik Roti D’Cahayu yang menjadi bagian dari Panti Cahaya Ummat dan Yasaum (Yayasan Satu Ummat), nampak telah rapi dengan tatanan artistik yang berbeda dengan umumnya. Tidak ada level panggung ataupun sound system yang besar untuk acara Milad ke-10 Maneges Qudroh yang akan diselenggarakan di tempat tersebut. Hal ini ternyata berkaitan dengan konsep acara yang dipakai, yakni menep atau intim.

Untuk Milad kali ini, Maneges Qudroh mengangkat tema Sepuh Suluh yang memiliki makna kematangan yang diharapkan mampu mencahayai. Jamaah yang datang pun hanya sebatas undangan yang telah disebarkan yang berjumlah sekitar 100-150 orang. Terutama untuk orang-orang yang selama 10 tahun ini telah atau pernah membersamai perjalanan Maneges Qudroh. Harapannya agar di dalam tubuh Maneges Qudroh sendiri lebih saling mengenal sehingga terjalin hubungan yang lebih erat. Sesuai tagline yang dipakai dalam acara ini “Nyawijining Raga lan Rasa Tumekaning Suwargo”.

Tadarrus Surat Al-Hujurat dibawakan oleh Pak Sholeh menandakan rangkaian acara Milad telah dimulai. Alunan suaranya menyambut para tamu undangan yang mulai berdatangan satu per satu. Rona kebahagiaan begitu terpancar dengan senyum yang banyak di obral hampir di setiap sudut tempat acara. Kerinduan seakan terlepas setelah sudah banyak waktu terlewatkan dengan menahan diri untuk tidak banyak melakukan kegiatan maiyahan seperti ini.

Satu dua bait lagu kemudian disuguhkan oleh Mas Sani dan temannya untuk lebih menghidupkan suasana, sebelum Mas Adi sebagai MC sekaligus moderator membuka secara resmi acara Milad Maneges Qudroh. Sedikit sambutan dari Mas Yuli sebagai ketua panitia menambah greget setelah banyak menceritakan prosesi pra-acara Sepuh Suluh, termasuk insiden laka yang terjadi siang hari sebelum acara yang memberkahi beberapa teman panitia.

Mas Yanuar dan Mas Piu juga unjuk aksi dengan memusikalisasi janji suci awal paseduluran Maneges Qudroh dan diteruskan dengan pembacaan puisi dengan judul “Bertuah” oleh Mba Rizky.  Kemudian Mas Virdhian dan Mas Eko, sebagai orang yang ikut merintis Maneges Qudroh hingga terus menemani perjalananannya sampai sekarang banyak menceritakan pengalaman hikmah yang dirasakan. Utamanya menceritakan sejarah awal dan telah dipertemukan dengan banyak orang spesial, yang beberapa di antaranya menjadi tamu undangan yang diundang pada acara ini.

Ijazah Wirid Munajat Maiyah

Pada Milad ke-10 Maneges Qudroh ini dihadiri pula Mas Islamiyanto. Sebagai salah satu vokalis Kiai Kanjeng yang kurang lebih telah 25 tahun membersamai Mbah Nun, tentunya banyak sekali pengalaman yang bisa diceritakan sebagai wujud tahadduts bin-Ni’mah. Di samping itu, alasan menghadirkan Mas Islamiyanto utamanya adalah untuk mengkonfirmasi wirid Munajat Maiyah yang selama ini dibacakan bersama pada acara Selasan Maneges Qudroh, sekaligus bisa memandu pembacaan Munajat Maiyah tersebut di tengah acara karena kebetulan acara Milad ini bersamaan dengan agenda Selasan biasanya.

Karena begitu banyak sekali potensi sastrawan di lingkungan MQ, maka pembacaan puisi kembali disajikan yang pada kesempatan ini dibacakan oleh Pak Dadik, sembari menanti Mas Is hadir ke depan panggung. Ruangan sudah terpenuhi oleh undangan yang sudah hadir, bahkan sebagian mesti berada di altar pabrik karena kapasitas yang terbatas dan faktor kenyamanan. Varian snack ataupun minuman hangat bebas diambil dan dibawa agar perjalanan di acara Milad ke-10 ini terasa lebih nikmat.

Ketika Mas Islamiyanto sudah di depan, beliau memberi kesan pertama pada acara ini dengan menyampaikan bahwa suasana berduyun-duyun ini seperti sedang merasakan bertemu dengan dulur suwargo. Sebelum memberikan konfirmasi atas wirid yang sering dibawakan di Selasan, Mas Islamiyanto mencoba mengajukan pertanyaan dahulu kepada dulur-dulur MQ, “Adakah yang mengetahui tahun berapa maiyah terbentuk?”

Jawaban-jawaban yang terlontar pun belum ada yang tepat. Mas Is kemudian bercerita tentang awal mula Maiyah yang tercetus pada tahun 2002. Mas Is begitu mengingatnya karena di tahun berikutnya Kiai Kanjeng bersama Mbah Nun melakukan perjalanan cinta ke Mesir. Pencetusan nama maiyah sendiri menurut Mas Is disadari atau tidak terpantik oleh ayat innallaha ma’ana (sesungguhnya Allah bersama kita). Kemudian Mbah Nun memimnta saran kepada Cak Fuad, lalu jadilah nama maiyah.

Dan wirid Munajat yang dipakai di rutinan wirid dan solawat Selasan MQ merupakan wirid yang juga digunakan di awal-awal maiyah. Pada saat itu, wiridan yang dilakukan oleh Pakdhe-pakdhe Kiai Kanjeng dengan saling bergantian ke rumah-rumah satu dan yang lain, sekaligus sebagai bentuk silaturrahmi. Rutinitas kegiatan itu dilakukan sekitar 3-4 bulan dengan tujuan tak lebih hanya sebatas meminta syafaat dari Kanjeng Nabi.

Melalui wirid tersebut, menurut Mas Is dapat menimbulkan gejolak yang luar biasa pada diri, terutama jika dalam melakukan wirid betul-betul penuh konsentrasi. Dahulu ketika awal maiyah, Kiai Kanjeng tidak ada jadwal sama sekali. Tapi kemungkinan karena niat baik dan keseriusan dalam melakukan upaya wirid, timbullah rasa untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan. Kemudian, Allah memberikan jalan keluar yang terbaik pada saat itu. Min haitsu la yahtasib benar-benar beliau rasakan. Sebagian dari wirid Munajat Maiyah tersebut, juga sudah diijazahkan oleh ibunda Chalimah. Mas Is berharap, semoga laku dulur-dulur Maneges Qudroh di dalam Selasan dapat terus terjaga keistiqomahannya.

Resepsi Ikatan Paseduluran

Sebelum masuk ke dalam sesi bermunajat bersama, moderator meminta para pilot (penabuh rebana) untuk mempersiapkan diri. Mas Is yang dalam sesi bermunajat diminta untuk menjadi rois, juga memohon kepada dulur-dulur semua untuk mempersiapkan diri dan batinnya dengan baik.

Cahaya penerangan sedikit diredupkan hingga suasana menjadi remang. Perjalanan wirid Munajat dimulai dengan khusyuk dsn hikmat. Terlebih dibawakan oleh Mas Islamiyanto, tentu sangat kental dengan suara-suara yang identik saat maiyahan. Apabila biasanya di Selasan hanya 30-50 orang, namun dalam acara Milad ini terjadi kuantitas yang berbeda. Semoga saja mampu menjadi kekuatan dan mendapati kualitas munajat yang “masyaAllah la quwwata illa billah”, sehingga kedepannya mampu menjadi tonggak laku kehidupan sehari-hari.

Pembacaan wirid ini memang sengaja dibawakan seolah menandai bentuk resepsi ikatan untuk lebih meneguhkan rasa paseduluran, khususnya bagi tubuh Manges Qudroh. Lebih mengikat tak hanya raga, namun juga rasa untuk bersama-sama menjalankan ibadah dalam amanat kehidupan yang sedang diberikan oleh Allah Swt.

Setelah prosesi Munajat, dulur-dulur diberikan suguhan puisi kembali, kali ini oleh Pak Sholeh yang diiringi musik oleh Mas Sigit dan Mas Budi. Puisi dari Pak Sholeh lebih banyak menggambarkan tentang penghambaan diri kepada Allah dan Kanjeng Nabi.

Pemotongan tumpeng sebagai simbol acara Milad juga tak dilewatkan. Penyerahan potongan tumpeng diawali oleh ketua panitia untuk diberikan kepada Mas Is, sampai yang pemotongan terakhir dari generasi awal kepada generasi yang paling akhir  Maneges Qudroh. Tentu penyerahan tersebut menjadi simbol penyerahan tonggak asa perjuangan yang diharapkan mampu terus bergulir di rakaat panjang yang serang dijalankan dalam maiyah.

Tidak Berebut Benar, Tidak Juga Berebut Salah

Seperti biasa dalam forum maiyah pada umumnya, sesi tanya jawab digulirkan agar kita dapat sinau bareng. Setidaknya ada 2 pertanyaan menarik yang jawabannya dijelaskan banyak dan detail oleh Mas Is. Pertanyaan pertama dari Mas Munir, beliau adalah orang yang biasanya menjadi rois dalam pembacaan Munajat Maiyah di Selasan. Dengan sedikit menjabarkan gambaran keadaan zaman yang semakin carut marut, Mas Munir bertanya, “bagaimana kita memberikan sikap dalam keadaan seperti ini?” Dan yang kedua dari Mas Tege yang menanyakan tentang bagaimana cara kita meminta permintaan maaf kepada Allah Swt? Mas Tege yang kesehariannya menjadi bagian dari tim SAR juga menanyakan, apakah dengan permohonan maaf tersebut bisa menjamin keselamatan kita?

Jawaban pertama diberikan oleh Mas Is dengan menggunakan istilah jawa “njembleng serendheng, getun setahun.” Hal ini tidak lepas dengan kondisi zaman yang carut marut akibat banjir informasi yang tidak diimbangi dengan keseimbangan receiver penerima informasi, sehingga berpotensi menghanyutkan bahkan menenggelamkan penerima informasi.

Mas Is kemudian menyampaikan ayat ke-6 Al-Hujarat “fa tabayyanu an tuṣibụ qaumam bijahalatin (maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya)”. Ayat tersebut akhir-akhir ini juga sering disampaikan oleh Mbah Nun melihat benturan yang banyak terjadi. Mas Is menyampaikan bahwa kalau mendapatkan informasi apapun, segera tabayyunkan terlebih dahulu.

Koyo-koyo kumpul, tapi ning njero atine saling mengincar untuk menghancurkan, untuk saling menjatuhkan.” kata Mas Is menggambarkan keadaan yang nampaknya umum terjadi. Mas Is memberikan nasihat bahwa kalau ada apa-apa, musyawarahkan terlebih dahulu. Karena jika tidak ada syura bainahum nantinya akan berpotensi menimbulkan benturan. Utamanya bagi lingkungan keluarga Maneges Qudroh, “ketika yang kamu tinggalkan sejarah yang baik, putune akan bangga dengan sejarah itu”, pesan Mas Is.

Melalui Maneges Qudroh ini, Mas Is berharap kita mampu meninggalkan sejarah cinta yang baik karena hal tersebut akan dinikmati oleh anak cucu kita. Tidak berebut benar, tidak pula berebut salah. Saling mempunyai hati yang sama untuk saling menyapa. Maka akan terbentuk hubungan erat paseduluran yang luar biasa.

Mas Is kemudian ingat obrolan yang pernah dilakukan bersama Mbah Nun, di dalam obrolan tersebut Mbah Nun menyampaikan bahwa rusaknya dunia itu salah satunya karena semua saling berebut panggung. Itu yang membuat rusak. Kemudian Mas Is melanjutkan dengan menceritakan harapan Mbah Nun kepada anak cucu Maiyah, bahwasanya beliau tidak memiliki harapan apa-apa, maiyah itu kepunyaan Gusti Allah. Kalaupun ada, harapan beliau hanya rukun. Yang disayangkan oleh Mbah Nun menurut Mas Is, jamaah maiyah itu pintar-pintar tapi memiliki kebiasaan yang berkebalikan dengan adab orang Jawa.

Pada saat itu Mas Is kemudian bertanya kepada Mbah Nun, “Lha, sing kirang niku nopo?

Lakune.” jawab Mbah Nun.

Kebaikan Tidak Lepas Membuat Diri Lepas dari Ujian

Menjawab pertanyaan yang kedua, Mas Is memberikan pernyataan awal bahwa manusia itu kadang-kadang absurd. Mas Is mencoba menceritakan apa yang sudah disampaikan Mbah Nun dalam tulisan Kebon 70 berjudul “Ilmu Waktu”. Hal ini dijelaskan oleh Mad Is sebagai bentuk protesnya 4 unsur alam, yaitu air, api, angina, dan tanah.

Mas Is kemudian mengajak dulur-dulur yang hadir melihat keabsurdan manusia dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Andaikata pada bulan Maret-April besok tidak terjadi apa-apa, banyak dari kita pasti beranggapan “Nah kan, tidak terjadi apa-apa!” Mas Is kemudian menyampaikan bahwa manusia memiliki kecenderungan tidak pede terhadap hatinya sendiri. Padahal, apakah Gusti Allah pernah tidak serius?

Kaitannya dengan selamat atau tidaknya kita apabila terjadi sesuatu yang besar, Mas Is mengambil surat Al-Maidah ayat 54 dan meminta Mas Virdhian untuk membacakannya, kemudian ditadabburi bersama. Pada kalimat pertama ayat tersebut, pernahkah kita membedakan sapaan antara “hai” dan “wahai”. Lalu, Mas Is mencoba mengajak sapaan mana yang dirasa lebih dekat? Orang-orang beriman itu dipanggil dari jarak yang dekat atau jauh?

Tapi orang-orang yang beriman, pada akhirnya akan mencari dan terus mencari. Karena dalam kalimat berikutnya Allah memberikan peringatan kepada orang-orang beriman itu sendiri “barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya”. Menanggapi tadabbur tersebut, Mas Is kemudian melontarkan pertanyaan, “murtad apakah selalu keluar dari agama?” Dan berikutnya dijelaskan dua ciri yang semoga di lingkungan Maneges Qudroh ini, kita termasuk bagian daripadanya, yakni orang yang saling mencintai karna Allah dan yang bersikap lemah lembut.

Menurut Mas Is, kemampuan kita untuk menjustifikasi selamat atau tidaknya dibatasi atau dinilai dengan mata wadag “masih hidup”, itu juga kurang tepat. Karena Mas Is ketika banyak berdiskusi dengan Mbah Nun mendapati kata tumbal bagi yang mati di situasi pandemi ini. Bagaimana respon kita ketika mendengar kata tumbal? Baik atau jelek? Karena tumbal itu menurut cerita Mas Is yang didapat dari Mbah Nun merupakan sesuatu yang baik. Dengan kata lain yang menjadi tumbal telah menyelamatkan orang lain.

Contoh lain pengguanaan kata almarhum yang identik dengan orang yang mati. Padahal almarhum sendiri memiliki makna orang yang dikasihi, jadi jangan terus dihubungkan oleh mati. Hal ini nampak begitu absurd-nya, banyak dari manusia itu sendiri belum siap menjadi manusia. “Dereng katam dadi manungso,” kata Mas Is.

Terkait permintaan maaf, Mas Is mencoba memulai dengan mengingatkan kembali tentang “Yaa ayatuhannafsul muthmainnah”, dan muthmainnah itu sendiri menurut Mas Is bukan ketenangan, melainkan merdeka. Kalau kita memiliki kemerdekaan diri sehingga mengetahui dan memahami batas, maka harapannya kita tidak berpikir tentang diterima atau tidaknya permintaan maaf kita. Akan tetapi, dengan kemerdekaan kita akan selalu cepat-cepatan memohon maaf kepada Allah, terlepas dari segala pemikiran baik atau salah. Bahkan terlepas dari kesadaran bentuk ruang ataupun waktu. Seperti dalam dzikir setelah ibadah, selalu diutamakan untuk melafadzkan istighfar.

Dan keutamaan ini disampaikan oleh Mas Is dengan mengambil surat Al-Imron ayat 133, “Dan bersegeralah kamu memohon atas ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”

Orang berbuat baik itu selalu mendapatkan ujian terus. Mas Is menganalogikan keadaaan orang baik itu seperti sebuah paku yang terus-menerus mendapat pukulan agar berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan selama hidup, kita memiliki limitasi untuk mengetahui kapan pukulan itu berhenti. Bahkan, Mas Is menggambarkan seorang Mbah Nun pun belum berhenti mendapati itu, apalagi kita?

Mas Islamiyanto menjelaskan dengan penuh kerendah-hatianbahwa apa yang sudah disampaikannya sedari tadi kalau itu salah, itu merupakan dirinya. Kalau benar, itu semua merupakan ilmuanya Gusti Allah.

Kado Spesial dari Mas Islamiyanto

Tak lupa dalam rangka acara milad Maneges Qudroh ke-10, Mas Is juga memberikan kado spesial buat MQ dengan membuatkan sebuah lagu yang baru dibuat oleh beliau pada saat masih di transit. Lagu itu kemudian dibawakan bersama-sama dengan irama lagu keroncong oleh Mas Sigit, Mas Yanuar, Mas Budi, dan Mas Agil.

Ayo konco podo kumpul suko-suko
Kumpul bareng ana majlis kang minulyo
Mugo-mugo dadi sarono kang nyoto
Maneges Qudroh kang dadi padhang jiwo

Nemu jaman sing lagi ora karuan
Saben dino sing dipikir mung kadonyan
Rodo eling yen Gusti nduduhke dalan
Rino wengi ndoyo kang dadi uberan

Gusti Allah mugi paring kekiyatan
Maring kito ingkang tasih gegondelan
Gusti Allah mugi paring keslametan
Saking zaman kang kebak godane setan

Terakhir sebagai pungkasan, Mas Adi sebagai moderator meminta harapan dari Mas Islamiyanto terhadap Maneges Qudroh. Mas Is kemudian menyampaikan bahwa toling jadikan Maneges Qudroh sebagai tinggalan kebaikan bagi hidup kita kelak, jangan hanya sampai angka 10. “Ojo bosen dadi wong apik, ora pinter ora popo”, pungkas Mas Is.

Acara pun ditutup dengan melafadzkan bersama “Shohibu Baiti” dalam nuansa temaram. Lalu, diantara semua yang hadir saling bersalaman dan berpelukan satu dengan yang lainnya sambil bersholawat bersama. Rona haru dan sendu pun memancar sebagai bentuk ketulusan dalam ikatan paseduluran. Semoga kebersamaan ini dapat terjaga hingga kelak sampai dipertemukan kembali di surga.

Panti Cahaya Ummat, 16 Februari 2021