Mbah!

Sayu senja menerka di gersangnya ujung dahaga manusia. Lelap sepertinya menjadi cara terbaik untuk menikmati sapaan semesta. Sembari menanti angan yang mungkin akan datang sebentar lagi.
“Kenapa engkau tak datang?” angan itu tetiba datang menyapa dengan senyumannya.
Aku terdiam, meletakkan sebatang rokok lintingan yang masih menyala sebagai pelengkap nikmat berbuka.
“Mbah!” jawabku lirih atas rasa yang tidak menyangka.
“Ngapunten, jasadku tidak bisa datang membersamai kegembiraan disana” lanjutku.
Perasaan semakin bersalah seketika menyeruak menghakimi raga yang masih penuh tendensi. Kata-kata maaf seakan masih tak cukup ketika beliau sendiri datang menyapaku dalam kesendirian ini. Saya sendiri terbiasa membiarkan prasangka-prasangka mereka menyergapku atas ketidaktahuannya.
“Cucuku, aku tidak butuh kehadiranmu disini. Jangan ge-er.”
“Nggih, Mbah. Saya sadar masih belum mampu untuk memenuhi semua hasratku untuk sekedar menatapmu langsung. Terlebih di hari yang begitu spesial ini.”
“Apa aku pernah memintamu datang kesini, menatapku? Disaat kau sendiri selalu menikmati tatapmu ketika semua sibuk untuk menjabat tanganku? Apa kau pikir aku tak tahu berapa banyak doa kepadaku yang tersembunyi dalam tatapanmu itu?”
“Speechless saya Mbah kalau kata-kata njenengan tersebut menjadi sanjungan yang justru bisa membahayakan ketulusanku selama ini.”
“Dan karena cintamu yang tulus itu makanya aku mampir, Nak. Ke setiap batin anak cucuku yang ingin datang kesini tapi terhalang oleh bermacam-macam alasan. Yang telah begitu tulus mempersembahkan cintanya kepadaku.”
Tidak ada yang bisa merencanakan sebuah pertemuan. Jikalau bisa, itu tak lebih sekedar sangkaan dan kesombongan kita terhadap pertemuan-pertemuan itu sendiri. Bukankah tidak ada satupun yang bakal terjadi kalau bukan atas legitimasi ijin-Nya?
Saya tidak bisa berkata banyak terhadap ilmu dibalik ketidaktahuan. Terhadap cahaya yang selalu menemani dalam kegelapan. Terhadap lantunan kemesraan disaat sunyi mengekang. Semua diamku telah terwujud dalam kata-kata yang sangat tidak jelas dan sangat mungkin offside atau kebablasan. Mungkin karena aku tidak suka mengedit apa yang telah terlanjur tertulis. Biarkan mereka memaknai hingga menjadi prasangka tersendiri olehnya.
“Mbah siapa, aku pun siapa? Tidak pernah terikat oleh hubungan darah apapun. Namun begitu banyak hubungan yang terjalin oleh karena cinta ini. Anggap saja semua kata-kataku ini sebagai suatu perwujudan rasa terimakasihku kepadamu.”
“Justru itu, bukankah seharusnya aku juga mengucapkan itu kepadamu? Berterimakasih atas segala cinta kalian yang selalu berubah menjadi kekuatanku? Meski jarang aku membalasnya langsung apalagi mesti mendatangi satu persatu.”
Anganpun segera pergi ketika waktu akan kewajiban sholat semakin menipis. Aku sendiri selalu mengingat kata Al Mutahabbina Fillah sebagai ruang karena telah mempertemukan orang-orang yang memiliki kesamaan jalan dalam mencintai sesuatu. Aku tidak bisa mengatakan ini sebuah nikmat ketika cahaya datang dalam kekalutanku.
Biarkan semua menari di kisarannya. Dan semoga keselamatan atas rahmat dan barokahNya selalu menaungi Simbah. Yang telah begitu dalam mengenalkanku kepada Tuhan dan kekasihNya, Rasulullah Sholallahu’alaihi Wassalam.

Magelang, 26 Mei 2019