Sejarah dan ‘Ajibah’ Dalam Maiyah

Sebuah pertemuan mendadak diadakan dengan koordinasi 2 hari untuk segera berkumpul di Jombang atas permintaan Simbah. Menindaklanjuti apa yang telah dirumuskan beberapa pekan sebelumnya di Rumah Maiyah Kadipiro, Yogyakarta mengenai JPS (Jam’iyah Pengusaha Sorga). Dengan suasana Jombang yang panas saat itu, kita mesti berkumpul dalam satu ruangan penuh. Tapi, untung saja keresahan atas cuaca panas segera hilang setelah para Kamituwo ikut berkumpul bersama kami, termasuk seluruh Marja’ Maiyah. Adem.

Kamituwo memang jarang terdengar di kalangan jamaah maiyah. Kamituwo adalah para sesepuh yang telah membersamai perjalanan Simbah sejak awal Maiyah. Bisa dibilang para kamituwo ini adalah generasi pertama maiyah. Dan sesuai perjalanan dan perkembangannya, maiyah kini telah mencakup generasi-generasi muda termasuk simpul-simpul baru yang terbentuk. Oleh karena itu, salah satu pertemnuan ini adalah memperkenalkan  kami yang masih muda-muda untuk dikenalkan kepada para kamituwo yang berada pada lingkungan Simbah.

Menurut Syaikh Kamba, ini adalah suatu bentuk silaturrahmi dan mempertemukan kita dalam kasih sayang Allah. Harapan Syaikh adalah semoga hal-hal seperti ini tetap menaungi kita dengan Rahmat dan kasih sayang Allah agar kita tetap istiqomah.

Selain berkenalan, Simbah juga ingin memastikan sejumlah hal pada kesempatan ini untuk lebih diteguhkan. “Ruang dan waktu yang tidak lama lagi” kata Simbah sembari menjelaskan gambaran keadaan zaman sekarang. Simbah merasa selalu menjadi orang yang telat untuk berfikir untuk lebih tanggap kepada situasi-situasi tertentu disaat dirinya selalu dibawa saja entah kemana setiap malam untuk ngancani rakyat Indonesia. Rumah hukum nasional negeri juga sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. KPK pun sekarang terbagi menjadi dua, Komisi pemberantasan Korupsi dan Komisi Pembebasan Koruptor.

Disamping itu Simbah juga menyatakan jika dirinya disuruh memimpin padang yang luas. Lalu beliau mengibaratkan Indonesia dengan 3 stansanya. Baru sampai stansa pertama sudah banyak dikhianati dimana stansa pertama memiliki bobot Indonesia tanah airku. Belum pada stansa kedua, Indonesia tanah yang mulya. Apalagi sampai stansa ketiga, Indonesia adalah tanah yang suci. Sampai stansa ketiga Simbah hanya yakin tidak ada pejabat yang bisa menyanyikannya.

“Indonesia harus anda pimpin, dan sekarang harus siap-siap!” kata Simbah lirih, layaknya orang tua yang sedang memberikan nasihat kepada anak-anaknya dengan penuh kasih sayangnya. “Kita (Kamituwo dan Sesepuh) hanya orang yang tidak kenal dengan Indonesia.” Lanjut Simbah. Sehingga nanti harapannya acara ini akan menjadi pijakan dengan dibekali cinta atau rasa saling mencintai dengan Allah.

Acara ndadak ini merupakan suatu bentuk Syukuran ‘Ajibah Maiyah. Pengambilan kata ‘ajibah sendiri menurut Simbah cukup nekat. Karena ‘ajibah disini memiliki makna hampir menyerupai suatu mukjizat, disaat mukjizat itu sendiri hanya ditujukan kepada Rasulullah/Nabi. Nekat karena nanti bisa dikira Nabi. Semua peserta syukuran ini adalah anak-anak para Kamituwo dan Sesepuh yang telah mengalami proses bermaiyah. Jadi setidaknya semuanya pasti sudah memahami suatu ilmu maiyah, kalau anda disuruh Allah, pasti anda akan dikasih sangu. Begitu pula apabila anda dikasih rizki, maka kita harus menemukan ‘amr(perintah)Nya. Simbah lalu menuturkan jika hari ini kita mencoba menemukan bersama ‘amr itu tadi.

Untuk menuju kesitu, Simbah mengajak seluruh yang hadir agar terlebih dahulu beres dengan diri kita. Maksudnya, lepas dari segala tendensi-tendensi yang menjadi hijab untuk berproses bersama-sama dalam rakaat panjang ini. Simbah pun lalu menyontohkan suatu ayat dalam Al-Qur’an yang kurang lebih bermakna ‘. . .Aku akan datangkan kaum yang lain, . . . .’ Apakah maksudnya kaum yang lain itu Maiyah? Karena dari banyak sisi maiyah sangat beda dengan Indonesia.  Niat, perilaku, dan tujan Maiyah beda dengan Indonesia. Seperti terjangkit penyakit kronis, kalau penyakit hati mungkin, ya, ahmaq. Yang tidak akan sembuh kecuali menemui kematian. Maiyah memiliki ‘tali sangkan paran’ sehingga membuat mau diterjang badai seperti apa, maiyah tidak akan mudah jatuh.

Jalan Maiyah Adalah Jalan Kenabian

“Lalu mengapa kita tidak menjadi kekuatan politik?kenapa kita tidak memperbaiki Indonesia?”tanya Simbah. Semua terhenyak diam. Antara sudah tau maksud dari pertanyaan itu, atau karena memang sama sekali tidak mengerti. Yang pasti Maiyah itu menurut Simbah, tidak akan mau hidup seperti Indonesia. Itu baru sebatas politik yang kebetulan yang Indonesia cari adalah kekuasaan.

Belum lagi, ketika kita ingin meresmikan lembaga Maiyah, misalnya. Karena maiyah sendiri bukanlah suatu aliran atau madzhab seperti yang sudah ada. Suatu aliran belum pasti dapat atau mampu menampung aliran lain, sedangkan maiyah justru malah menjadi ruang yang dapat menampung aliran lain, bahkan yang berbeda agama sekalipun. Untung dan rugi yang dipahami oleh Allah sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh Indonesia sekarang. Maka dari itu, banyak sekali orang memperjualkan akhirat dengan kepentingan dunia.

Di maiyah, sebuah prestasi bukanlah diukur dengan melihat jenjang pendidikan, melainkan menghargai ketepatan orisinal pribadi masing-masing terhadap fadhillah-nya. Mbah Nun sering berpesan agar kita fokus pada apa yang kita sukai lalu ditekuni agar suatu saat menjadi ahli dalam bidang tersebut. “Be yourself as do what you can do.” Kata Simbah saat itu untuk menekankan betapa pentingnya untuk fokus terhadap hal yang disukai.

Pertemuan kali ini mengisyaratkan suatu hal juga bahwa kita (maiyah) ini memiliki banyak teman. Kemana-mana SImbah pergi sampai-sampai tidak bisa menemui yang bukan jamaah maiyah, meskipun dengan pakaian yang berbeda-beda. Toh, pakaian itu hanyalah hijab disaat hati adalah yang terpenting. Biarkan pertemuan awal ‘Ajibah Maiyah ini masuk dalam takdir yang sudah Allah design dalam laju zaman yang semakin larut dalam ketidakjelasan. Simbah pun meluapkan kasih dan cintanya kepada semesta ini hingga air matanya tak mampu beliau tahan sembari berkata, ”Saya juga tidak tahu kenapa saya menangis, karena tangis ini pun juga bukan punya saya!.”

Syaikh Kamba lalu turut ikut menjabarkan kata ‘Ajibah ini. Pertama-tama beliau beragumen bahwa di dalam setiap milenium selalu ada gagasan aktualisasi diri akan nilai-nilai agama atau rekonstruksi pemikiran agama. Orientasi yang ada di maiyah pun adalah apa yang ada dan tumbuh di dalam maiyah itu sendiri. Jadi maiyah pun sudah terbiasa dengan prasangka-prasangka negatif yang datang disaat orang yang berprasangka tersebut belum pernah mengalami atau ikut terlibat dalam proses bermaiyah.

“Jalan maiyah adalah jalan kenabian” lanjut Syaikh Kamba. Jangan bayangkan jalan kenabian itu nampak seperti kumpulan syariat dengan kekakuannya. Esensi dari jalan kenabian ini adalah sebuah proses transformasi diri. Bagaimana membangun kedaulatan berfikir dan membersihkan diri dari berbagai macam penyakit hati. “Tidak mungkin Nabi Muhammad membangun kota Madinah dengan syariat!”tegas Syaikh Kamba. Allah telah memberikan role mode/kedaulatan berfikir sedemikian rupa kepada kota Madinah. Ketika Allah mengehendaki perubahan, disitu pula Allah pasti menyediakan jalan. Tinggal seberapa kita mampu memaknainya. Yang pasti hindari mudah berprasangka dan berebut kebenaran. Karena kebenaran sejati hanya milik Allah.

Maiyah adalah ksatria yang ditugaskan untuk mengembalikan agama ke kesejatiannya. Seorang ksatria harus tahan ujian dan cobaan. Tapi, dengan ujian dan cobaan itu pada akhirnya maiyah justru dapat merekatkan dan membangun sebuah peradaban.

Kemudian Syaikh Kamba memberikan contoh para elit jahiliyah pada masa itu, salah satunya Abu Jahal, yang mengharuskan penindasan dengan dasar kebenaran yang dianutnya. Bahkan jika Negara kembali pada masa Jahiliyah itu salah satunya adalah mengatasnamakan Tuhan. Sedangkan Rasulullah diutus pun bukan untuk membuat sebuah negara atau apapun ,melainkan hanya untuk memberikan contoh akhlak yang baik. Terlebih lagi negara ini sudah terlampau dibalut syirik. Syirik bukan sebatas menyukutukan Allah, tapi syirik itu ketika engkau berbuat jahat kepada saudaramu, dan disaat bersamaan engkau berharap Allah memihakmu.

Sungguh ironi memang apa yang sedang terjadi di negara ini.

Cak Fuad yang akhirnya rawuh pun tak lama langsung diminta Cak Rahmat untuk menyampaikan sesuatu mengenai acara ‘Ajibah Maiyah ini. Menurut Cak Fuad kita sudah berada pada ‘sirathal mustaqim’. Lalu Cak Fuad memberikan contoh sebuah hadits seorang mukmin yang telah tergoda oleh harta, tahta, dan wanita lebih berbahaya jika dibandingkan dengan keadaan dimana ada dua ekor serigala yang sedang kelaparan, lalu datang seekor kambing.

Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut, Cak Fuad lalu menambahkan penggalan surat Al-Kahfi. Yang kurang lebihnya bermakna sikap-sikap yang berlebihan karena mengikuti hawa nafsu. Salah satunya memang karena dibuat lupa hatinya kepada Allah karena terlalu berharap pada perhiasan-perhiasan dunia. Namun di Maiyah, yang tercipta adalah atmosfer tahabbu fillah, yaitu bersaudara di jalan Allah.

Berikutnya adalah perkenalan para Kamituwo dan sesepuh. Giliran pertama adalah Cak Ukik, seorang seniman asal Jakarta. Ada Mas Rud dari Blora. Dilanjutkan dengan Pak Syamsul, ketua Lesbumi NU Lampung. Lalu ada pula Pak Toto Rahardjo alias Kiai Tohar yang membeberkan sedikit cerita tentang progress. Indonesia ini terlalu besar untuk diseragamkan bentuknya menurut beliau. Jadi salah kalau kita mengubah bentuk Indonesia, terkecuali yang diseragamkan kembali adalah prinsipnya. Progress pun atas saran Pak Toto ini disuruh agar tidak terlalu mikir terlalu jauh. Tugasnya cukup ngusrusi CNKK saja. Serta bagaimana mengelola data yang begitu banyak. Dan mengelola data itu bukanlah pekerjaan yang ringan.

Mempertegas Tujuan

Tak ketinggalan, pada waktu yang semakin sore ini ada sedikit flashback tentang perjalanan Maiyah, terutama pra-silatnas dari tahun 2000-an. Dan dilanjutkan sedikit bercerita kembali tentang Silatnas yang pertama kali diadakan tahun 2014 di Purwokerto. Hingga Silatnas kemarin tahun 2018 diselenggarakan di Surabaya. Sampai sekarang pun tlah terdata setidaknya ada 64 titik Simpul yang tersebar di Indonesia dan di beberapa negara Asing.

“Maiyah adalah pancaran sebuah bentuk paradigma baru.” Ungkap Simbah. “Kita berkumpul disini ingin menemukan kembali Muhammad! Serta mempertegas sejumlah hal yang akan dilakukan.” Lanjut Simbah. Untuk melangkah ke hal-hal yang akan dilakukan tersebut setidaknya Simbah selalu menekankan untuk beres dengan diri kita masing-masing. Dan berusaha niteni apa yang menjadi fi’il atau af’al-Nya.

Selain nama-nama Kamituwo yang telah disebutkan diatas ada pula Bapak Purnomo Wisanggeni, yang dulunya adalah seorang gelandangan di Malioboro. Berikutnya ada Napak Supriyanto, seorang Dr. Spesialis Bedah yang juga mengelola sebuah Rumah Sakit dengan manajemen yang sama sekali berbeda pada rumah sakit umumnya. Sepanjang bercerita, ada sebuah pesan dari Bapak Supriyanto ini yang menekankan bahwa saat kita berorganisasi, jangan pernah merasa benar sendiri. Karena Maiyah sendiri besar pada dasarnya hanya karena banyak orang yang gelisah. Lalu ada Mas Budi dari Yogyakarta, dilanjutkan dengan Mas Yudi, salah seorang aktor teater Lautan Jilbab ini menyatakan jika keselamatan Indonesia adalah shalawat.

Mungkin, masih banyak lagi nama-nama yang belum disebutkan. Yang pasti pertemuan ini setidaknya sedikit menyambung dan merekatkan antar lintas generasi di dalam Maiyah.

Tak terasa waktu sudah menjelang Maghrib yang berarti waktunya istirahat. Dari panitia penyelenggara membagikan selebaran kuisioner tentang pendapat para jamaah tentang Maiyah. Yang secara garis besar menanyakan makna maiyah baik sebagai individu maupun organisasi, pendidikan maiyah, ataupun ekonomi maiyah. Dari ketiga hal tersesbut kami diminta untuk menjawab sekiranya diarahkan ke ‘apakah perlu bulir-bulir maiyah tadi dilembagakan?’

Sepertinya apa yang akan dibahas ba’da Maghrib menjadi semakin menarik dengan dasar kuisioner tadi. Namun, ternyata selama waktu yang singkat. Sebelum pindah ke acara yang kebetulan malam itu juga diselenggarakan rutinan bulanan Padhangbulan. Pada akhirnya, hanya sebatas membahas dan meminta pendapat para Kamituwo tentang apakah perlu ada lembaga yang khusus mengatur dana di dalam maiyah. Kebanyakan setuju, namun sampai akhir acara tidak ada ‘ketok palu’ akan seperti apa. Para delegasi Simpul dipersilahkan untuk turut berpartisipasi dalam acara Padhangbulan oleh Simbah. Namun, Maneges Qudroh sepertinya mesti lekas pulang kembali ke Magelang.

Dhawuh Simbah terakhir pada malam itu adalah kita disuruh peka terhadap ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan. Dan Simbah juga menyuruh seluruh simpul untuk lebih memperdalam makna surat Al-Ankabut 69. Tentang ayat ini kebetulan Cak Fuad pernah menuliskan dalam rubrik tetes “Petunjuk Jalan Allah”. Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar kita memperoleh petunjuk jalan-jalan Allah berdasarkan Al-Ankabut ayat 69. Pertama jahadu–berjihad, berjuang, mengerahkan segenap daya upaya dengan sungguh-sungguh: harta, tenaga, pikiran, jiwa dan raga. Kedua, fina–ikhlas semata-mata untuk memperoleh keridaan Allah. Bukan berjuang untuk mewujudkan ambisi pribadi, kejayaan kelompok atau golongan. Bukan berjuang untuk memperoleh tahta, kekayaan dunia, atau popularitas. – Cak Fuad

Sekitar pukul 20.00 acara di SMK Global ini pun dipungkasi. Mungkin tiap makna kalimat bisa membuahkan bermacam-macam tafsir. Apa yang semula terfikir dalam benak kita tentang sebuah formulasi tertentu sebagai kuda-kuda untuk perjalanan Maiyah kedepan, sepertinya tertunda. Tertunda bukan karena waktu, akan tetapi karena kita belum siap menjadi sejatinya diri kita.

Menturo, 14 April 2019