Ada yang menarik dengan sebuah
pertanyaan yang dilontarkan Cak Nun pada malam ini, “Sekolah itu baik apa
pokok?” Saya pikir tidak ada seorang guru pendidikan formal mempunyai
kebaranian sikap seperti Simbah. Kenapa? Apakah karena fungsi sebuah sekolah di
zaman sekerang yang mengkredibilitaskan dirinya sebagai tempat untuk mencari
ilmu? Sebenarnya apakah benar tujuan utama para orang tua menyekolahkan anaknya
untuk mencari ilmu? Atau sekedar mendapatkan proses pengalaman ‘mengingat’?
Atau jangan-jangan tujuan itu hanya untuk mencari sebuah lembar legalitas suatu
lembaga pendidikan demi menaikkan harga dirinya di pasaran tenaga kerja atau
lingkungan sosial.
Berangkat ke sekolah itu adalah
sesuatu yang baik, tapi apakah hal tersebut menjadi sesuatu yang pokok?
Dikatakan baik apabila berangkatnya ke sekolah, pokoknya menuntut ilmu. tapi
yang dirasa sekarang proses belajar di sekolah sendiri bukan untuk mencari
ilmu, melainkan hanya sebatas mengingat ilmu. Jadi terkadang saya sempat
berfikiran ‘si pembolos’ pelajaran bukanlah seorang anak yang pemalas, tapi
justru kemampuan nalarnya untuk menelusuri sebuah keinginannya lebih besar
daripada hanya berada di suasana pembelajaran yang menyudutkan para murid untuk
sekedar mengingat.
Cak Nun memberikan gagasan, “Saya
tidak mau memberi anda mangga, saya kesini datang memberi ‘pelok’ atau biji mangga kepada anda. Supaya anda kreatif menanam.
Merawat sampai menjadi kebun mangga. Nilai-nilai itu semua menjadi dasar,
kemandirian, pedoman sebagai Indonesia di masa depan.” Apa yang terjadi
sekarang dalam sistem pendidikan Indonesia adalah para murid hanya disajikan
daging buah mangganya saja, jadi mereka hanya menganal bagaimana rasanya manis
atau kecut, benar atau salah. Jadi sekolah itu baik, tapi telah kehilangan
pokoknya sebagai wadah untuk mencari ilmu.
Mulai dari mengenal rasa, sebagai
contoh kapan anda malu, kapan anda bahagia dan mencari apa yang menjadi sebab
hingga output dari suatu nuansa proses pembelajaran menghasilkan sebuah rasa,
apapun itu. Kita mesti belajar memaknai spektrum warna rasa yang sangat luas
yang tidak bisa semuanya rasa itu dapat diwakilkan dengan literasi yang sudah
tersedia. Sebuah contoh, saya merasa senang dan bahagia, tapi masih ada sedikit
kekecewaan. Nah komposisi rasa yang mungkin 80%-nya terdiri dari unsur
kebahagiaan dan 20% kekecewaan tersebut kita masih belum memiliki nama untuk
sebuah perasaan yang seperti itu. “Bahagia yang mondo-mondo” atau “merah yang kebiru-biruan”, ini membuktikan bahwa
ternyata literasi kata belum mampu menjangkau rasa ataupun makna yang masih
terhampar luas untuk kita cari bersama.
Semakin larut, malam terlihat semakin cerah.
Awan kelabu mulai membukakan hijabnya hingga tampak kemerlip bintang mulai
menghiasi langit malam itu. Sembari mendengarkan dan menghayati sebuah nomor
lagu Letto “Ruang Rindu” yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng di sela-sela acara.
Seperti salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas kerinduan dalam mencari
ilmu. dalam perjalanannya kembali pulang, menuju sebuah pertemuan yang sejati
dan menuntaskan rindu yang menyesakkan dada.
Acara sinau bareng pada malam hari
ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan memperingati Maulid Nabi Sholallahu’alaihi Wassalam. Maulid Nabi
sendiri merupakan salah satu manifestasi bentuk kerinduan kepada Kanjeng Nabi
yang terejawantahkan melalaui sebuah kegiatan bersama sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Allah telah mengenalkan kekasih-Nya. Cak Nun lalu menyampaikan
bahwa di dalam Maulid Nabi, terdapat 5 komponen yang bisa kita pelajari dari
diri Kanjeng Nabi. Pertama,
menyempurnakan akhlak; kedua,
syafaat; ketiga, menggembirakan dan
mengingatkan; keempat, menuntun
ibadah kepada Allah baik mahdhoh maupun muamalah; kelima, Rahmatan lil ‘alamin.
Menyempurnakan akhlak disini merupakan
dasar yang diemban Nabi disini. Dalam sebuah hadits pun disebutkan,”Aku hanya diutus untuk menyempurnakan budi
pekerti yang mulia.” Banyak surat yang mengisyaratkan untuk meneladani
sikap Rasul. Tapi yang terjadi dewasa ini,ummatnya sombong disaat Rasul sangat
menjunjung tawaduk dan rendah hati. Ummat begitu meng-exclusive-kan dirinya dengan lembaga-lembaga yang dibangun bak
benteng kebenaran yang sengaja dibangun tinggi, disaat Rasul meng-inclusive-kan dirinya untuk selalu
menerima segala kritik atas dirinya dan merangkul seluruh manusia, tidak
memperdulikan dia muslim atau tidak.
Cak Nun melanjutkan dengan
memberikan contoh tentang keadaan di zaman ini, dimana pokok permasalahannya
adalah keterjerumusan belajar tentang sunnah hanya sebatas Fiqh-nya saja. terjerumus dalam suatu literasi hadits. Itu baik,
tapi kenapa sangat sedikit dari kita untuk mempelajari ketulusannya,
kedermawanannya, kerendahhatiannya. Sungguh merupakan sebuah ironi, jika ummat
memiliki hati yang keras, disaat Rasul dan junjungannya memiliki sikap welas
asih dan kelembutan kepada siapapun. “Kalau kita mencintai Allah, sudah
seharusnya kita juga mencintai ciptaan-Nya.” Cak Nun menambahkan. Dan salah
satu firman-Nya mengatakan “sungguh pada
diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik.”
Selanjutnya adalah tentang Syafaat
kanjeng Nabi, yang mengandung makna sebagai hak prerogatif yang diberikan Allah
kepada Rasulullah. Dengan syafaatnya Kanjeng Nabi, dosa-dosa yang terlihat
sangat menumpuk ketika kita muhasabah
diri, bisa sedikit dikurangi akibat sanjange/syafaatnya
Rasulullah. Sudah sangat wajar jika antara kekasih saling menggemberikan dan
mengingatkan. Bahkan dunia ini pun diciptakan sebagai wujud rasa cinta-Nya
Gusti Allah kepada Nur Muhammad, kekasih-Nya. Wujud yang lain dari sayang itu
tertuang dalam surat Al-Ahzab 56. Dimana Allah dan para malaikat-Nya pun
bershalawat kepada Nabi.
NIlai yang bisa kita ambil
berikutnya adalah tentang tingkah laku. “Tidakkah
aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.” Ibadah
itu sendiri tidak hanya tarpaku pada saat kita sholat. Hal tersebut adalah
mahdhohnya, padahal space ibadah masih sangat luas di ranah muamalah. Sebuah
kreativitas sangat diperlukan untuk mengisi ruang ibadah tersebut. Hingga kalimat
dogmatis pun akhirnya disampaikan Simbah,” setiap apapaun yang dilakukan harus
diniati dengan ibadah.”
Dan yang terakhir adalah nilai rahmatan lil ‘alamiin. Kedatangan Rasul
di muka ini pun merupakan suatu bentuk Rahmat dari Allah bagi seluruh alam semesta.
Bagaimana seorang Rasul dan kekasih-Nya menolak menjadi mulkan-nabiyya dan memilih abdan-nabiyya,
memilih untuk menjadi rakyat jelata karena sebagian hidup ummatnya berada di
ruang kesederhanaan. Dimana dari abdan-nabiyya
tersebut, kita sebagai ummatnya seharusnya memiliki kesadaran untuk menjadi
abdan-abdiyya, hamba yang mengabdi.
Mengabdi kepada Rahmat yang telah dianugerahkan melalui Kanjeng Nabi untuk
menjaga keseimbangan semesta.
Untuk mengemban nilai-nilai yang
terdapat pada diri Rasulullah tersebut, kita mesti memiliki kemandirian
berfikir. Maksudnya, kita mesti memperluas kosmologi dan cakrawala cara
berfikir kita untuk bersikap sebagai ruang, yang diharapkan mampu menjadi wadah
atas segala peristiwa atau permasalahan yang terjadi. Dan disaat yang sama pula
receiver yang terdapat pada tubuh
kita akan memantik sebuah rasa kerinduan akan kesejatian. Dan rindu itu akan
mempengaruhi segala perilaku kita untuk terus mengalami proses pencarian ilmu.
Dan jangan pernah berharap semakin banyak
mendapatkan ilmu itu berarti meningkatkan kepintaran, perlu juga sikap
kewaspadaan atas ilmu yang kita dapatkan. Karena pada hakikatnya, semakin
banyak ilmu yang kita cari, semakin kita akan merasa semakin kecil. Karena
begitu luasnya luasnya ilmu tersebut. Apalagi kalau tujuannya untuk mencari
kebenaran, karena kebenaran yang hanya milik Allah. “Kepintaranmu tidak laku di
hadapan Allah, kekayaanmu tidak laku, ketampananmu, kecerdasanmu. Yang laku di
hadapan Allah adalah akhlaqul karimah.” pungkas Cak Nun.
Di tengah intensitas proses
pembelajaran yang semakin membutuhkan katahanan berfikir yang lebih, Kiai
Kanjeng sesekali tampil seperti biasa. Tanpa mengurangi muatan ilmu yang sedang
disampaikan. Mas Jijit, Mas Yoyok dan Mas Doni menyuguhkan permainan yang
mengajak keaktifan para jamaah untuk ikut turut serta menyegarkan suasana.
Tembang dolanan “Burung Kakak Tua” dan “Kodok Ngorek” sudah menjadi khas ketika
waktu sudah mendekati tengah malam.
Setelah itu, 3 kelompok murid yang
dibentuk awal acara tadi mempresentasikan hasil dari diskusi masing-masing
kelompok. Menjelaskan tentang arti Ing
Ngarso sung Tulodho, Ing Madya Mangun
Karso, dan Tut Wuri Handayani.dan
setiap kelompok mampu memberikan secara detail sejarah dan makna dari ketiga
arti frasa jawa tersebut. Seperti Rasulullah yang juga jangkep di semua tempat.
Memberikan uswatun hasanahnya didepan. Ikut ajur-ajer juga selama proses mangun karso. Tut Wuri Handayani pun juga selalu beliau terapkan. Karena dari
ketiga hal tersebut pula nanti akan terbentuk sikap pengayoman yang berbuah
menjadi kasih sayang. Hingga akhirnya meluaskan kelapangan hati untuk selalu
benar-benar siap untuk diajak berfikir.
Jangan pernah takut salah, “karena
kesalahan itu sendiri adalah bagian dari kebenaran.” lanjut Cak Nun. Dari
kesalahan juga kita bisa menemukan kebenaran. Tanpa tahu mengalami apa itu
salah, benar yang dirasakan akan serasa kosong. Seperti apa yang sedang terjadi
di dunia medsos. Disana selalu terjadi pertengkaran yang disebabkan akan
kebenaran yang diyakini oleh masing-masing pemikiran. Yang terjadi di dunia
medsos adalah banyaknya pengecut yang hanya mengutarakan subjektivitas
pemikirannya. Lahirlah kebencian yang mengikis rasa cinta sesama penduduk
bangsa. Hanya karena ingin menang apa saja akan dilakukan demi menghancurkan
lawannya.
“Kita mesti berfikir sebagai dunia, jangan berfikir sebatas Indonesia.” nasihat Cak Nun. Kita mesti mengasah intelektualitas kita ke arah universial, jangan menjadi seorang intelek persial karena itu hanya bagian dari intelek universal. Karena kelamahan orang zaman sekarang adalah ora jangkep cara berfikirnya. Atau jangan-jangan si pembolos yang sering kita anggap bodoh tersebut adalah seorang intelektual yang berpandangan universal? Yang pasti bangsa Indonesia sudah sangat dekat dengan Rasulullah. Suatu budaya di Indonesia tidak membatasi profesi dirinya ketika dimintai tolong untuk membantu diluar profesinya tersebut. Tak terasa lantunan Sidnan Nabi dan Sholawat Nabi yang lain menjadi pamungkas acara kegiatan sinau di malam tersebut.
Re-posted : https://www.caknun.com/2018/hilangnya-pokok-wadah-mencari-ilmu/
Magelang, 6 Desember 2018