Surat Dusta II

Terlalu Angkuh Kepada Lara

Berbicara tentang lara mungkin ini lebih mengarah ke luka yang membekas di dalam hati, bukan pada fisik. Lara merupakan sesuatu yang tak nampak, berbeda dengan luka yang sering dapat kita lihat. Rasa yang sering menimbulkan efek kekecewaan atau kesedihan ini tidak akan bisa kita hindari selama kita masih saja mendambakkan segala sesuatu seperti apa yang kita inginkan yang lebih membuat hati puas dan aman. Yang sering terdorong oleh keliaran ego kita yang selalu menuntut kenyamanan atas diri kita.

Lara hanya akan selalu datang menyapa selama kita menuntut kebahagiaan. Kamu pun pasti sudah tahu itu. Selama kita berbenturan dengan kebahagiaan dan mengejarnya, jangan harap kita bisa lari dari kekecewaan. Jalan satu-satunya adalah bagaimana kita berhenti menyombongkan diri di hadapan kekecewaan atau kesedihan itu sendiri. Bahkan, kalau perlu jadilah teman baik bagi mereka yang selalu tercampakkan. Jarang yang berterimakasih kepada mereka disaat atas jasa mereka pada akhirnya mereka bisa berkenalan dengan apa dan bagaimana rasa kebahagiaan itu.

Bahkan kedatangan anganmu pun dengan frekuensi waktu yang padat dalam hitungan jam-tanpa pernah bisa menatap atau sekedar menyapa (walaupun aku sendiri yang buat)- lantas aku bisa apa? Jika pada akhirnya dengan berpuasa menatap atau menyapa akhirnya aku bisa banyak belajar. Dan mungkin tanpa sepatah kata pun, karena aku tidak tahu apakah tulisan ini pun akhirnya sampai atau tidak. Tapi setidaknya ini lah sapaanku, untuk anganmu.

aku akan berdiri di kisaranmu, tanpa pernah berusaha menapakkan kaki lagi masuk ke wilayah itu. Bahkan memiliki angan ini pun sudah lebih dari cukup daripada mesti mencintaimu dengan harap memiliki. Aku sudah tidak ingin memiliki jika akhirnya mesti merasa kehilangan. Kecuali semilir keabadian akan sebuah rasa  karena akhirnya hanya rasa yang meleburkan aku ke dalam kasyafahmu. Menjadi satu, lalu aku mesti mengaharapkanmu dengan apa lagi? Manifestasi af’al Tuhan selalu berlaku seolah memanggil anganmu untuk segera datang. Namun, pada akhirnya aku hanya takut akan membuatNya cemburu ketika kedatanganmu akhirnya lebih bermakna. Dia hanya mengingatkan akan mengambil apapun dari sisiku yang aku cintai melebihiNya.

Lalu keselamatan seperti apakah yang kamu pilih?

Tetap mengejar kebahagiaan dengan mencongkakkan diri di hadapan lara? Atau mulai belajar niteni setiap titik rasa, masalah sedih dan bahagia hanyalah efek laku kita. Yang mengejar kita, bukan kita yang menujunya.

Kun dalam fana, fana dalam kun!

Suwung dalam fayakun, fayakun ke dalam suwung!

Bangbang Wetan

22 Januari 2019

Abnormal <144>

Hiangnya Pokok Wadah Mencari ilmu

Ada yang menarik dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan Cak Nun pada malam ini, “Sekolah itu baik apa pokok?” Saya pikir tidak ada seorang guru pendidikan formal mempunyai kebaranian sikap seperti Simbah. Kenapa? Apakah karena fungsi sebuah sekolah di zaman sekerang yang mengkredibilitaskan dirinya sebagai tempat untuk mencari ilmu? Sebenarnya apakah benar tujuan utama para orang tua menyekolahkan anaknya untuk mencari ilmu? Atau sekedar mendapatkan proses pengalaman ‘mengingat’? Atau jangan-jangan tujuan itu hanya untuk mencari sebuah lembar legalitas suatu lembaga pendidikan demi menaikkan harga dirinya di pasaran tenaga kerja atau lingkungan sosial.

Berangkat ke sekolah itu adalah sesuatu yang baik, tapi apakah hal tersebut menjadi sesuatu yang pokok? Dikatakan baik apabila berangkatnya ke sekolah, pokoknya menuntut ilmu. tapi yang dirasa sekarang proses belajar di sekolah sendiri bukan untuk mencari ilmu, melainkan hanya sebatas mengingat ilmu. Jadi terkadang saya sempat berfikiran ‘si pembolos’ pelajaran bukanlah seorang anak yang pemalas, tapi justru kemampuan nalarnya untuk menelusuri sebuah keinginannya lebih besar daripada hanya berada di suasana pembelajaran yang menyudutkan para murid untuk sekedar mengingat.

Cak Nun memberikan gagasan, “Saya tidak mau memberi anda mangga, saya kesini datang memberi ‘pelok’ atau biji mangga kepada anda. Supaya anda kreatif menanam. Merawat sampai menjadi kebun mangga. Nilai-nilai itu semua menjadi dasar, kemandirian, pedoman sebagai Indonesia di masa depan.” Apa yang terjadi sekarang dalam sistem pendidikan Indonesia adalah para murid hanya disajikan daging buah mangganya saja, jadi mereka hanya menganal bagaimana rasanya manis atau kecut, benar atau salah. Jadi sekolah itu baik, tapi telah kehilangan pokoknya sebagai wadah untuk mencari ilmu.

Mulai dari mengenal rasa, sebagai contoh kapan anda malu, kapan anda bahagia dan mencari apa yang menjadi sebab hingga output dari suatu nuansa proses pembelajaran menghasilkan sebuah rasa, apapun itu. Kita mesti belajar memaknai spektrum warna rasa yang sangat luas yang tidak bisa semuanya rasa itu dapat diwakilkan dengan literasi yang sudah tersedia. Sebuah contoh, saya merasa senang dan bahagia, tapi masih ada sedikit kekecewaan. Nah komposisi rasa yang mungkin 80%-nya terdiri dari unsur kebahagiaan dan 20% kekecewaan tersebut kita masih belum memiliki nama untuk sebuah perasaan yang seperti itu. “Bahagia yang mondo-mondo” atau “merah yang kebiru-biruan”, ini membuktikan bahwa ternyata literasi kata belum mampu menjangkau rasa ataupun makna yang masih terhampar luas untuk kita cari bersama.

 Semakin larut, malam terlihat semakin cerah. Awan kelabu mulai membukakan hijabnya hingga tampak kemerlip bintang mulai menghiasi langit malam itu. Sembari mendengarkan dan menghayati sebuah nomor lagu Letto “Ruang Rindu” yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng di sela-sela acara. Seperti salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas kerinduan dalam mencari ilmu. dalam perjalanannya kembali pulang, menuju sebuah pertemuan yang sejati dan menuntaskan rindu yang menyesakkan dada.

Acara sinau bareng pada malam hari ini merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan memperingati Maulid Nabi Sholallahu’alaihi Wassalam. Maulid Nabi sendiri merupakan salah satu manifestasi bentuk kerinduan kepada Kanjeng Nabi yang terejawantahkan melalaui sebuah kegiatan bersama sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah telah mengenalkan kekasih-Nya. Cak Nun lalu menyampaikan bahwa di dalam Maulid Nabi, terdapat 5 komponen yang bisa kita pelajari dari diri Kanjeng Nabi. Pertama, menyempurnakan akhlak; kedua, syafaat; ketiga, menggembirakan dan mengingatkan; keempat, menuntun ibadah kepada Allah baik mahdhoh maupun muamalah; kelima, Rahmatan lil ‘alamin.

Menyempurnakan akhlak disini merupakan dasar yang diemban Nabi disini. Dalam sebuah hadits pun disebutkan,”Aku hanya diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” Banyak surat yang mengisyaratkan untuk meneladani sikap Rasul. Tapi yang terjadi dewasa ini,ummatnya sombong disaat Rasul sangat menjunjung tawaduk dan rendah hati. Ummat begitu meng-exclusive-kan dirinya dengan lembaga-lembaga yang dibangun bak benteng kebenaran yang sengaja dibangun tinggi, disaat Rasul meng-inclusive-kan dirinya untuk selalu menerima segala kritik atas dirinya dan merangkul seluruh manusia, tidak memperdulikan dia muslim atau tidak.

Cak Nun melanjutkan dengan memberikan contoh tentang keadaan di zaman ini, dimana pokok permasalahannya adalah keterjerumusan belajar tentang sunnah hanya sebatas Fiqh-nya saja. terjerumus dalam suatu literasi hadits. Itu baik, tapi kenapa sangat sedikit dari kita untuk mempelajari ketulusannya, kedermawanannya, kerendahhatiannya. Sungguh merupakan sebuah ironi, jika ummat memiliki hati yang keras, disaat Rasul dan junjungannya memiliki sikap welas asih dan kelembutan kepada siapapun. “Kalau kita mencintai Allah, sudah seharusnya kita juga mencintai ciptaan-Nya.” Cak Nun menambahkan. Dan salah satu firman-Nya mengatakan “sungguh pada diri Rasulullah terdapat keteladanan yang baik.”

Selanjutnya adalah tentang Syafaat kanjeng Nabi, yang mengandung makna sebagai hak prerogatif yang diberikan Allah kepada Rasulullah. Dengan syafaatnya Kanjeng Nabi, dosa-dosa yang terlihat sangat menumpuk ketika kita muhasabah diri, bisa sedikit dikurangi akibat sanjange/syafaatnya Rasulullah. Sudah sangat wajar jika antara kekasih saling menggemberikan dan mengingatkan. Bahkan dunia ini pun diciptakan sebagai wujud rasa cinta-Nya Gusti Allah kepada Nur Muhammad, kekasih-Nya. Wujud yang lain dari sayang itu tertuang dalam surat Al-Ahzab 56. Dimana Allah dan para malaikat-Nya pun bershalawat kepada Nabi.

NIlai yang bisa kita ambil berikutnya adalah tentang tingkah laku. “Tidakkah aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.” Ibadah itu sendiri tidak hanya tarpaku pada saat kita sholat. Hal tersebut adalah mahdhohnya, padahal space ibadah masih sangat luas di ranah muamalah. Sebuah kreativitas sangat diperlukan untuk mengisi ruang ibadah tersebut. Hingga kalimat dogmatis pun akhirnya disampaikan Simbah,” setiap apapaun yang dilakukan harus diniati dengan ibadah.”

Dan yang terakhir adalah nilai rahmatan lil ‘alamiin. Kedatangan Rasul di muka ini pun merupakan suatu bentuk Rahmat dari Allah bagi seluruh alam semesta. Bagaimana seorang Rasul dan kekasih-Nya menolak menjadi mulkan-nabiyya dan memilih abdan-nabiyya, memilih untuk menjadi rakyat jelata karena sebagian hidup ummatnya berada di ruang kesederhanaan. Dimana dari abdan-nabiyya tersebut, kita sebagai ummatnya seharusnya memiliki kesadaran untuk menjadi abdan-abdiyya, hamba yang mengabdi. Mengabdi kepada Rahmat yang telah dianugerahkan melalui Kanjeng Nabi untuk menjaga keseimbangan semesta.

Untuk mengemban nilai-nilai yang terdapat pada diri Rasulullah tersebut, kita mesti memiliki kemandirian berfikir. Maksudnya, kita mesti memperluas kosmologi dan cakrawala cara berfikir kita untuk bersikap sebagai ruang, yang diharapkan mampu menjadi wadah atas segala peristiwa atau permasalahan yang terjadi. Dan disaat yang sama pula receiver yang terdapat pada tubuh kita akan memantik sebuah rasa kerinduan akan kesejatian. Dan rindu itu akan mempengaruhi segala perilaku kita untuk terus mengalami proses pencarian ilmu.

 Dan jangan pernah berharap semakin banyak mendapatkan ilmu itu berarti meningkatkan kepintaran, perlu juga sikap kewaspadaan atas ilmu yang kita dapatkan. Karena pada hakikatnya, semakin banyak ilmu yang kita cari, semakin kita akan merasa semakin kecil. Karena begitu luasnya luasnya ilmu tersebut. Apalagi kalau tujuannya untuk mencari kebenaran, karena kebenaran yang hanya milik Allah. “Kepintaranmu tidak laku di hadapan Allah, kekayaanmu tidak laku, ketampananmu, kecerdasanmu. Yang laku di hadapan Allah adalah akhlaqul karimah.” pungkas Cak Nun.

Di tengah intensitas proses pembelajaran yang semakin membutuhkan katahanan berfikir yang lebih, Kiai Kanjeng sesekali tampil seperti biasa. Tanpa mengurangi muatan ilmu yang sedang disampaikan. Mas Jijit, Mas Yoyok dan Mas Doni menyuguhkan permainan yang mengajak keaktifan para jamaah untuk ikut turut serta menyegarkan suasana. Tembang dolanan “Burung Kakak Tua” dan “Kodok Ngorek” sudah menjadi khas ketika waktu sudah mendekati tengah malam.

Setelah itu, 3 kelompok murid yang dibentuk awal acara tadi mempresentasikan hasil dari diskusi masing-masing kelompok. Menjelaskan tentang arti Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.dan setiap kelompok mampu memberikan secara detail sejarah dan makna dari ketiga arti frasa jawa tersebut. Seperti Rasulullah yang juga jangkep di semua tempat. Memberikan uswatun hasanahnya didepan. Ikut ajur-ajer juga selama proses mangun karso. Tut Wuri Handayani pun juga selalu beliau terapkan. Karena dari ketiga hal tersebut pula nanti akan terbentuk sikap pengayoman yang berbuah menjadi kasih sayang. Hingga akhirnya meluaskan kelapangan hati untuk selalu benar-benar siap untuk diajak berfikir.

Jangan pernah takut salah, “karena kesalahan itu sendiri adalah bagian dari kebenaran.” lanjut Cak Nun. Dari kesalahan juga kita bisa menemukan kebenaran. Tanpa tahu mengalami apa itu salah, benar yang dirasakan akan serasa kosong. Seperti apa yang sedang terjadi di dunia medsos. Disana selalu terjadi pertengkaran yang disebabkan akan kebenaran yang diyakini oleh masing-masing pemikiran. Yang terjadi di dunia medsos adalah banyaknya pengecut yang hanya mengutarakan subjektivitas pemikirannya. Lahirlah kebencian yang mengikis rasa cinta sesama penduduk bangsa. Hanya karena ingin menang apa saja akan dilakukan demi menghancurkan lawannya.

“Kita mesti berfikir sebagai dunia, jangan berfikir sebatas Indonesia.” nasihat Cak Nun. Kita mesti mengasah intelektualitas kita ke arah universial, jangan menjadi seorang intelek persial karena itu hanya bagian dari intelek universal. Karena kelamahan orang zaman sekarang adalah ora jangkep cara berfikirnya. Atau jangan-jangan si pembolos yang sering kita anggap bodoh tersebut adalah seorang intelektual yang berpandangan universal? Yang pasti bangsa Indonesia sudah sangat dekat dengan Rasulullah. Suatu budaya di Indonesia tidak membatasi profesi dirinya ketika dimintai tolong untuk membantu diluar profesinya tersebut.  Tak terasa lantunan Sidnan Nabi dan Sholawat Nabi yang lain menjadi pamungkas acara kegiatan sinau di malam tersebut.

Re-posted : https://www.caknun.com/2018/hilangnya-pokok-wadah-mencari-ilmu/

Magelang, 6 Desember 2018

Ruang Rindu Para ‘Tholabul Ilmi’

Temaram langit nampak kelabu menjelang acara sinau bareng Cak Nun dan Kiai Kanjeng di MAN 1 Karet, Magelang. Pada waktu isya’ para undangan dari siswa beserta orang tuanya sudah memadati tempat yang diselenggarakan oleh panitia. Tak kurang para jamaah setia maiyah sudah pasti bersila rapi di barisan terdepan. Walaupun lapangan becek, namun hal tersebut tak mengurangi antusiasme seluruh hadirin untuk mengikuti proses sinau bareng.

Acara pun dimulai ditandai dengan qira’ah surat Al-Azhab oleh salah satu siswi MAN, Bothok Rahayu. Suara merdunya seolah mengetuk pintu langit untu menaburkan khazanah ilmunya dan memanggil-manggil para pengunjung untuk segera merapat. Setelah itu, pentas seni tari dari Asmarandhana menampilkan pesonanya bak kemerlip cahaya yang menambah kemilau panggung.

Setelah pentas seni tari selesai, halaman pertunjukan tersebut nampak seperti santapan yang lezat bagi para pencari ilmu yang ingin lebih dekat dengan panggung, terutama Cak Nun. Para siswa maupun siswi berlarian menuju tempat tersebut, sekilas nampak seperti ‘wall of death’ dalam pertunjukan musik metal. Walaupun tujuannya bukan bertubrukan dan hanya berebut tempat paling depan. Namun sekilas, terlihat asyik melihat antusiasme dari adik-adik MAN 1 Magelang.

Tak ayal kota ini disebut sebagai kota sejuta bunga, keindahan para wanita berhijab pun seperti sihiran bagi para kaum Adam untuk menyegarkan kepenatan dari rutinitas harian pekerjaan masing-masing. Sebuah potensi terutama bagi para jomblowan yang diam-diam tersembunyi niat untuk memperbesar peluang mereka mendapatkan pasangan. Dengan catatan punya keberanian mental untuk sekedar menyapa dan berbasa-basi.

Suasana semakin ramai menjelang pukul 20.00, padahal masih sebatas pra acara. Tapi setidaknya hal tersebut membuktikan rumusan mengapa langit selalu terucap terlebih dahulu diikuti dengan bumi di seluruh hamparan literasi Al-Qur’an. Setidaknya disini, ketukan langit di awal acara tadi seolah meminta curahan ilmunya dari langit, untuk menabur kasih sayang ilmunya demi penghidupan yang lebih bermanfaat di hamparan bumi yang begitu luas.

Mas Doni, mas Imam, dan mas Islamiyanto mulai menyapa para jamaah maiyah yang sudah tak sabar ingin segera memulai proses sinaunya. Beberapa lagu dari Kiai Kanjeng diantaranya Yaa Thayibah, Sholli Waa Saliim, dan Marhaban menjadi pertanda awal bahwa kegiatan akan segera dimulai. Seolah memberikan getaran magisnya yang menyelaraskan sprektrum berfikir yang sangat beragam ini menuju satu frekuensi gelombang berfikir yang sama.

Cak Nun mulai menaiki panggung beserta para tamu dan langsung manyapa para jamaah dengan membaca Al-fatihah bersama-sama. Beberapa diantaranya ada dari perwakilan Kapolres Kota maupun Kabupaten Magelang, dari Komandan Kodim, kepala MAN 1 Magelang, dan para tamu lainnya. Cak Nun membuka dengan membuka pintu makna dengan mengajukan pertanyaan ke para siswa tentang perjalanan hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Saat kloter Rasulullah yang dipimpin Sayyidina Abu Bakar dikejar oleh kaum Quraisy yang dipimpin oleh Abu Jahl, Rasul mengalami rasa ketakutan. Pertanyaannya bagaimana jawaban Allah atas keadaan itu? Keadaan keadaan tersebut membuat Rasul merasa berat hati untuk meninggalkan kota Makkah, disaat para penduduk Makkah terutama kaum Quraisy mengusir beliau.

Salah seorang siswa berhasil menjawabnya “Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita. “kejadiab tersebut terekan dalam ayat surat At-Taubah 40.Disaat kepungan zaman seperti ini, sudah semestinya kita memaknai segala permasalahan dengan penuh keyakinan jika Allah pasti bersama kita.

Sejenak seluruh peserta sinau bareng dimohon untuk berdiri. Menyanyikan dua nomor lagu kebangsaa, Indonesia Raya dan Syukur.Dengan harapan tetap menjaga rasa cinta dan syukur seluruh hadirin kepada bangsa Indonesia. Karena tema malam hari ini pun untuk lebih ke pendidikan karakter melalui pembelajaran bersama dan memperingati Maulid Nabi Sholallahu’alaihi Wassalam. Maka setelah dua nomer lagu itu dilanjutkan dengan mendendangkan Shalawat Narriyah dan Kado Muhammad.

Pada kesempatan awal tadi Cak Nun menyampaikan bahwa seluruh jamaah disini harus siap memaknai, jangan tergantung sama guru ataupun ustadz. Sehingga mempunyai keluasan cakrawala yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya sendiri, agar mulai bisa belajar berdaulat dengan mulai dari dirinya sendiri. Hingga benar-benar siap untuk menjadi manusia.

“Sekolah kui ora segala-galanya!“sepenggal kata Cak Nun tersebut disambut tepuk tangan meriah oleh para jamaah, terutama dari para siswa-siswi itu sendiri. Hal ini membuktikan setidaknya para siswa mulai mempunyai kesadaran untuk tidak hanya tergantung kepada sekolah dalam hal mencari ilmu. Seperti kata Cak Nun setelah itu, “Dimanapun kamu harus bisa belajar!”. Karena sejatinya proses belajar itu tidak terikat hanya pada lingkungan fomalitas pendidikan.

Jadi belajar itu sendiri sangat penting. Belajar bukan hanya sebatas mengingat. Belajar adalah proses mengalami setiap keadaan dan memaknainya.Hingga akhirnya proses belajar itu merubah tingkah laku individu terhadap lingkungannya. Yang akhirnya dirinya pun sendiri yang akan memilih akan nandur kebaikan atau yang lain.

“Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alaa kulli muslimin wal muslimatminal mahdi ilal lahdi”. Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap muslimin/muslimah sejak dari ayunan hingga liang lahat. Ilmu itu sendiri tidak akan menjadi apa-apa tanpa diamalkan. Menjadikan setiap insan mempunyai kapasitas sebagai ruang yang menampung segala permasalahan dan menyikapinya secara bijak. Hingga menciptakan ruang rindu bagi para penuntut ilmu.

Re-posted
https://www.caknun.com/2018/ruang-rindu-para-tholibul-ilmi/

Megelang, 6 Desember 2018

Mengendalikan Rasa?

Aku masih teringat dan memaknai ‘aku dapat mengendalikan perasaan‘, jika ternyata ini yang dinamakan mengendalikan, perasaannya terasa sedikit aneh. Karena hal tersebut tak lebih atau kurang hanya sebuah distorsi dari perasaan menahan atas belum adanya kepercayaan kepada siapa perasaan itu terhubung.

Kalau cinta itu suci, bukankah tidak seharusnya kita menahan kesucian itu?

Kalau mengendalikan diartikan sebagai menahan. Almarhum ibuku berarti ahlinya, beliau selalu memberi walau mesti berjuang dan merasakan sakit. Tapi mungkin kamu punya cara peandang sendiri tentang mengendalikan disaat cinta itu sendiri suci.

Kita tidak pernah bisa menyalahkan dan kita mesti menghormati. Jangan sampai pada akhirnya cinta itu mempermalukan kita dihadapan Rasul yang begitu cinta kepada ummatnya.

Di satu sisi, kita bisa memaknai cinta itu sendiri juga karena perasaan sakit yang pernah dialami. “oh, ternyata begini, begitu, ternyata hanya bualan, gombal, palsu.” Ketidak terimaan atas perasaan itulah akhirnya mengarahkan kita untuk semakin lebih dalam menemukan kesucian itu. Karena tanpa ada asumsi negatif tentang cinta, tidak akan pernah kita temui betapa sucinya cinta.

Bagaimana perdamaian itu bisa bermakna tanpa adanya perselisihan. bagaimana kita menemukan kejujuran diantara pertemuan-pertemuan kebohongan. Apa artinya sebuah pencapaian jika kita melakukannya diantara penindasan baik sosial ataupun kultural.

Lalu, duluan mana antara agama atau cinta? disaat seorang begawan berkata Ad-dien al-makrifat. Makrifat hanyalah awal dari sebuah agama dimana ia akan berbuah muhabbah/cinta. Atau seperti yang Rasul ajarkan bukanlah agama, melainkan akhlak (cinta).

Pada akhirnya, kita hanya disuruh sadar, atas dasar ikatan cinta itu. Maka kita akan merasakan satu/menyatu. Sukamu adalah sukanya, sedihmu adalah sedihnya, syukurmu adalah syukurnya.

Sehingga kamu tidak lagi terpengaruh atas hidup dalam lamunan rasa yang penuh sandiwara dan membolak-balikkan. Dan hanya rindu yang tersisa.

Masihkan merasa mampu mengendalikan rasa?

29 Oktober 2018

Abnormal <141>

Simbah Mampir KPK

Pertama-tama saya ucapkan terimakasih terlebih dahulu terhadap dulur-dulur admin dari @sahabaticw dan @bemfisipunair yang telah merelakan tenaga dan kuotanya. Sehingga kami bisa tetap mengikuti acara sarasehan budaya dengan melipat jarak dan bersatu di acara tersebut. Tak lupa kepada pihak instagram juga perlu kita apresiasi yang telah menjadi ruang bagi kami yang mengikuti livestream dari tempat yang terpisah.

Acara yang diselenggarakan oleh KPK ini merupakan rangkaian acara yang telah diselenggarakan sedari siang dan dipuncaki dengan diskusi bersama oleh Mba Najwa Shihab, Cak Nun, dan Bapak Novel Baswedan sendiri. Di sore hari ada sebuah deklarasi pernyataan dari beberapa forum/aliansi yang menyatakan dukungannya terhadap proses penegakan hukum atas apa yang menimpa Pak Novel. 11 April ini bertepatan telah 2 tahunnya proses kriminalisasi terhadap Pak Novel dengan proses hukum sendiri yang terkesan hanya ‘nggantung’ tanpa ada kejelasan untuk ditindaklanjuti.

Kenapa? Seberapa penting orang yang mengutus para tersangka penyiraman hingga mampu membuat hukum seolah ‘hina’ bisa dipermainkan seenaknya. Kalau begini cara anda mempermainkan hukum, maka wajar saja jika generasi yang kamu ciptakan mampu selfie dengan gembiranya walau sudah melukai martabat orang lain.

Mungkin karena sebagian faktor inilah sehingga Cak Nun yang sedemikian tertutup oleh Indonesia hingga akhirnya pada malam itu bersedia muncul ke permukaan. Sepanggung dengan Mba Najwa Shihab yang akhirnya keinginannya terwujudkan juga bisa membersamai Cak Nun. Walau mungkin terdapat syarat-syarat tertentu yang tidak 1 media nasional pun bisa menayangkan acara sebagus ini (menurut saya).

Selebihnya, saya mendokumentasikan ini setidaknya buat catatan saya sendiri jika saya mengikuti. Sering saya tekankan jika kata ‘saya’ dalam semua ketidakjelasan tulisan adalah gambaran bahwa saya sendiri adalah ketidakjelasan. Saya yang anda maksud tidak bukan berarti adalah aku. Bahkan saya sendiri sering salah sangka menganggap saya adalah saya ( aku).

Saya sangat tertarik ketika diskusi telah sampai pada sesi tanya jawab. Pada saat -‘Si Penjaga Keset KPK’- begitu Pak Mario mengibaratkan profesinya di Gedung KPK ini diberikan kesempatan untuk bertanya. Pak Mario telah menjadi bagian dari suatu aliansi masyarakat yang terbentuk karena keresahan akan apa yang terjadi dengan hukum di Indonesia. Yang sering memikirkan Indonesia lebih banyak daripada apa yang para wakil rakyatnya lakukan. Mereka lebih berfikir untuk bagaimana memperbaiki daripada mencari untungnya sendiri.

“Cak, apa yang harus kita lakukan?” kurang lebih pertanyaan tersebut terlontar dari Pak Mario setelah panjang lebar menceritakan kegetiran situasi yang ada di lingkungan KPK.

“Baru sekarang saya merasa dibutuhkan oleh Indonesia.” Ungkap Cak Nun menanggapi pertanyaan Pak Mario. Cak Nun menyatakan bahwa sebelumnya beliau sudah sempat tidak percaya kepada KPK. Namun, setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Pak Mario. Simbah hanya menyarankan apabila KPK bener-bener membutuhkan beliau, mari kita saling jaga komunikasi mulai sekarang. Cak Nun juga mengibaratkan bahwa hubungannya dengan KPK sejak malam itu ibarat sudah terikat secara resmi seperti pertunangan. Harapan Cak Nun semoga hubungan baik ini bisa berlanjut sampai jenjang pernikahan.

“Mas, kalau kita ingin membicarakan strategi ya jangan disampaikan disini.”tegas Mbah Nun menyambung ke pertanyaan yang diajukan oleh Pak Mario. Kalau memang niatan semua yang hadir di halaman gedung KPK ini memang baik, pasti Allah akan membantu mereka. Bahkan Mbah Nun juga sempat menyampaikan bahwa kita (maiyah) siap untuk menjadi Tentara Spiritualnya KPK.

Di akhir acara Mbah Nun mengajak seluruh hadirin untuk bersama-sama membacakan Ayat Kursi dan memohon kepada yang beragama selain Islam juga ikut berdoa seuai dengan keyakinan yang dianutnya. Mbah Nun sedikit menjelaskan kenapa Ayat Kursi? Setidaknya agar 4 kursi yang dijaga oleh Malaikat tidak ada yang bisa menggoyahkannya, khususnya Indonesia.

“Islam di Indonesia bukan untuk Islam,tapi untuk Indonesia” pesan Simbah. Hutang kepada Pak Novel jika hukum yang berlaku di Indonesia tidak bisa mengatasinya, biarkan Tuhan sendiri yang menagihnya. Semoga Indonesia selalu menjadi “Bangsa Yang Engkau Beri Cahaya”. Saya beruntung dapat menyasikan Cak Nun dolan KPK walaupun mesti menikmati lewat layar kotak kecil ini. Maturnuwun.

Innama amruhu araada syaiy’an ay-yaqula lahu KUN FAYAKUN!

Dalam coretan ini, tidak semua hal bisa diceritakan. Mungkin di dunia digital anda bisa mencari tahu sendiri informasi yang dibutuhkan. Cahaya tidak selalu bermakna terang. Cahaya sejati akan nampak ketika kegelapan menyapa. Ketika mata wadag tersingkap oleh tipu daya cahaya. Mereka sangka cahaya adalah sinar yang memancar yang memantul di matanya sehingga ia bisa melihat. Mereka tidak sadar bahwa penglihatan matanya adalah penglihatan-Nya. Yang dalam gelap pekat pun, cahaya itu akan selalu nampak hingga tak lupa selalu memberikan petunjuk-Nya.

Abnormal <140>

12 April, 2019

29-30.-

Seiring waktu berlalu

Kutemukan cinta bukan hanya sebuah materi

Melainkan roh

Yang meliputi segala kehendak

Walau tanpa tatap, tanpa sapa

Ia hidup begitu saja

++++

Aku berterimakasih kepadaNya

Karna telah memberi secerca cahayaNya

Melalui dirimu

Dan satu-satunya harapku

Kamu pun berterimakasih padaNya

Karena telah menggerakkanku

Untuk selalu menyapamu

Dalam makna ataupun senyap

++++

14 Juni 2018

Salah Sangka Manusia!

Sebelum kamu menuntut kesejahteraan, keadilan, bahkan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Ketika kamu ingin merubah segala sistem birokrasi yang menurutmu penuh kecurangan, ketika hukum lemah dimana-mana atau lebih memihak kepada para penguasa. Seakan kamu tahu ssegalanya. Kamu mendadak bersikap seakan-akan ingin mengganti pemimpin negeri ini, kamu ingin memiliki kekuasaan untuk memperbaiki segalanya demi kemashlahatan umat. Tapi sebelum itu, apakah kamu sudah bisa memimpin dirimu sendiri? Apakah dirimu sudah merdeka? Apakah kamu mampu memimpin dan menundukkan dirimu sendiri?

                Orang-orang berdemo menuntut hak-hak yang menurut mereka perlu dipenuhi, membuat poster, membakar ban bekas, berteriak-teriak dan tak segan melakukan tindakan anarki. Apakah benar memang seperti itu caranya berdemonstrasi?  Walaupun demonstrasi itu sendiri bersifat lebih ke mengawasi jalannya sistem pemerintahan. Yang menjadi pertanyaan yaitu, apakah para pelaku demo pernah merasakan sakit hati? Berarti mereka belum bisa mengontrol dirinya sendiri. Sel-sel mereka berontak, merusak segala sistem kesabaran hati hingga akhirnya kita merasa tersakiti. Atau jika kamu tidak merasakan itu saat berdemo, saya curiga kalau anda hanya ingin menarik perhatian atau terpengaruh oleh oknum yang memiliki kepentingan politik tertentu. Lebay.

                Sakit itu merupakan akibat dari disfungsional yang terjadi pada masyarakat tubuh kita, terutama hati. Misalnya, otak yang kebanyakan fikiran tanpa ada cara untuk membuang kelabihan fikiran itu biasanya akan mengakibatkan ‘mumet’. Ketika otak yang notabene seperti pusat pemerintahan di tubuh kita sedang mengalami ‘mumet’, pasti seluruh wilayah yang terdapat di dalam tubuh kita akan terkena dampaknya. Jadi sebelum berfikir jauh-jauh tentang negara, alangkah baiknya jika memperbaiki tataran pemerintahan di dalam tubuh kita terlebih dahulu. Apakah di dalam diri kita sudah merdeka?

                Manusia belum tentu stagnant menjadi  manusia terus-menerus. Pada situasi tertentu, pada suatu keadaan psikologis tertentu, pada hubungan sosial tertentu, manusia bisa dipandang sama seperti hewan, kanibal, setan,bahkan iblis. Tetapi tidak menutup kemungkinan pula manusia bisa berperan bak dewa penolong, psikiater terkemuka, sampai wali Allah.

                Tokoh belum tentu seorang tokoh. Bisa jadi ia seorang eksploitator yang penuh nafsu. Para ahli bidang tertentu pun  bisa juga ternyata ia seorang manipulator logika yang dibalut oleh ilmu kebenarannya.  Pemimpin pun belum tentu memiliki jiwa pemimpin, bisa juga ia hanyalah korban dari partai politik tertentu karena dianggap memiliki nilai jual yang tinggi dalam transaksi politik. Ulama belum tentu ulama, ia tidak jauh berbeda dengan calo terminal. Dakwah mematok bayaran, mengajak umatnya untuk menyalahkan bahkan sampai mengkafirkan mereka yang tidak sejalan dengan ajaran mereka. Orang hidup mesti berhati-hati, penuh kewaspadaan logika dan andap asor batinnya. Supaya tidak terlalu sakit ketika jatuh, dan tidak terlalu nggrundel ketika dikhianati.

                Di dalam budaya islam, orang yang menguasai agama islam belum tentu mereka seorang mislim. Orang yang pintar membaca kitab Al-Qur’an belum tentu ada jaminan dia berkelakuan baik. Orang yang rajin bershalawat belum tentu gerakannya berkaitan dengan makna shalawat.orang yang mengenakan peci, surban, tasbih, ataupun jilbab, belum tentu ia seorang yang soleh. Di antara 73 golongan islam menurut Rasulullah SAW,  Indonesia sudah menyumbang 2 golongan ekstrimis yang berbeda pandangan. Sekarang mungkin tambah 1. Bukankah lebih baik jika mereka dapat berkoalisi?

                Wajah seorang tokoh bisa diibaratkan kalau dalam kondisi tertentu, diedit  sedemikian rupa di masukkan photoshop, kita manipulasi. Yang jerawatan bisa dihapus, tekstur wajah yang kasar bisa dibuat mulus. Kita ciptakan layers, pengolahan index colour set CMYK. Ketika tidak ada keseimbangan dalam image tersebut, kita bisa croping. Kita bisa buat skenario dalam gambar tersebut. Bisa kita buat fokus pada satu titik sementara yang lain kita buat blur. Ketika sudah sempurna, kita cetak dan sebar ke masyarakat.

                Kita mungkin bisa mencari bukti akan kebenaran dari suatu image, apakah image tersebut editan atau tidak. Tetapi kalau image yang kita maksud adalah citra dari seorang pemimpin, tokoh, para ahli, ulama, atau bisa juga seorang yang kamu anggap ia sebagai panutan. Yang membuat kamu percaya pada meraka adalah karena adanya pendapat orang lain. Menurut si A baik, menurut si B, C, D, E, dan seterusnya orang itu baik. Maka rakyat sebuah negeri bisa tertipu oleh citra yang terbentuk karena sebuah opini. Padahal yang memberikan opini bisa saja disuap untuk mambaik-baikkan ini, menjelekkan itu dengan media sosial sebagai sarana utamanya. Yang notabene sekarang media sosial menjelma menjadi sebuah senjata yang paling ampuh untuk menyebar isu.

                Kemudian kita ribut, bunuh-bunuhan dan tetap memelihara kekerdilan untuk tidak belajar dari kebodohan. Sampai kapan engkau akan diam? Atau engkau akan ikut kaum mayoritas biar kamu aman, keren? Be followers or be inspirator?

Abnormal <138>

20 Desember 2015

(edit 22/4)

SILA SEKAWAN

Untuk sebentar saya renungkan (setidaknya oleh saya sendiri) adalah menjaga keceriaan anak-anak itu, bukan malah merusak moralnya, kecuali kamu Tuhan! Dan untuk sekedar catatan saja, saya ngorek-orek tentang sila-sila ini adalah dampak atas ketidakpahaman saya atas korelasi keadaan dan landasan ideologi bangsa ini. Entah itu mengenai posisinya, maknanya, atau mungkin karena telah kehilangan potensi untuk mengaplikasikan hasil dari pemaknaan sila-sila ini. Eh, sebentar! Kehilangan apa sengaja dihilangkan? Sengaja kehilangan atau telah dihilangkan?

Sekawan dalam bahasa Indonesia memiliki arti angka 4. Sebuah angka yang memiliki filosofi sebagai tonggak sebuah kursi untuk menopang segala bebannya. Bahkan, dalam Islam pun ada Ayat Kursi yang sering juga disebut sebagai doa sapu jagad. Sekawan juga bisa memiliki makna sepertemanan yang memiliki kesamaan rasa sepertanggung jawaban ataupun sepenanggungan. Tapi ada apa dengan sila ke-sekawan (empat) bangsa ini?

Sila “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan/dalam Permusyawaratan Perwakilan.” Jujur saya selalu ingin menahan tawa ketika mendengar pemimpin upacara membacakan sila keempat ini. Bukan karena menyepelekan, tapi saking (sok)perhatiannya saya pada sila yang paling panjang ini justru membuat saya tak pernah habis fikir.

Itu semua dikarenakan tidak pernah adanya kesamaan realita antara tiap kalimat yang ada di dalam sila tersebut. Kata pertama adalah kerakyatan, yang tentu sangat berbeda sekali maknanya dengan rakyat. Ya sudah kalau memang yang dimaksud kerakyatan berposisi sebagai subjek, setelah itu ada kata yang dipimpin.

Rakyat itu berposisi sebagai puncak pemimpin kedaulatan, bahkan “sekelas” presiden pun seharusnya memiliki kedudukan yang tidak lebih dari rakyat. Bosnya itu rakyat dalam sistem demokrasi ini. Rakyat hanya akan dipimpin oleh Tuhan. iya, mungkin hanya saya yang saya gagal. Makanya saya sering tertawa sendiri.

Tapi kata-kata terakhir lah yang selalu membuat saya berpikir. Ini negeri orang waras semua. Ini negeri kok pada bergembira semua. Ini negeri lucu-lucu semua. Semua makhluk bahkan materi di negeri ini sangatlah cocok jika dijadikan handai tauladan.

Hikmat kebijaksanaan yang memimpin rakyat. Mana ada? Hikmat sangkaanmu! Tawa ini semakin tak bisa terbendung. Kebijaksanaan nd*smu! Adanya malah pencitraan disana-sini. Jika itu hikmat pasti kesejahteraan yang dipimpin akan selalu terjaga. Jika itu bijaksana, tidak akan ada manusia-manusia yang akan berebut kekuasaan kecuali jika hanya ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Aji-aji mumpung.

Lanjut di kata permusyawaratan perwakilan. HOAX. Tidak ada musyawarah untuk mewujudkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar memiliki cinta terhadap bosnya(rakyat). Yang ada adalah juragan-juragan itu hanya diakali dan tak pernah dianggap. Sesuatu yang musyawarah untuk menjadikan pemimpin untuk dijadikan wali rakyat yang adil, bersih, dan transparan sangatlah susah. Dan negeri ini belum pernah sekalipun benar-benar ingin mewujdkannya.

Bos-bos di negeri ini terlalu baik. Wakil-wakil mereka dibiarkan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya. Mereka sangat baik hati walaupun sering kena tipu. Bos-bos rela rugi demi kesejahteraan wakil-wakilnya yang sangat haus akan materi.

Mungkin ini negeri hiburan bagi para penduduk langit. Gimana ada dasar negara yang mereka buat hanya sebagai formalitas belaka. Tanpa pernah dipahami, dipelajari, apalagi dilakoni. Yang ada sila-sila itu hanya terucap lewat pemimpin upacara. Yang hanya kita ikuti pelafalannya, bukan pemahamannya. Bukan tafsirnya. Hanya suaranya.

Jadi apa sebaiknya? Seperti apa seharusnya. Tidak akan pernah ketemu juntrungan-nya walau kita men-jlentreh-kan semua persoalan-persoalan yang terlanjur sudah ruwet ini. Manusia tidak akan pernah bisa melakukan perubahan ini. Kecuali tanpa campur tangan bantuan Tuhan. Jadi, gak usah sok Meng-aku-kan diri sendiri!

Lalu, hikmat kebijaksanaan itu adalah kerelaan Tuhan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah yang ruwet ini. Dan permusyawaratan perwakilan adalah gimana kita sebagai rakyat mencoba untuk mengikutsertakan Tuhan untuk diajak duduk bersama dalam permusyawaratan. Tidak ada wakil rakyat juga bukan suatu masalah bagi bangsa ini, karena mereka sudah sangat sadar ada Tuhan yang menjadi sebaik-baiknya wakil bagi mereka.

Jadi sila ini tidak usah dibikin terlalu panjang dan terkesan seperti guyonan baut manusia-manusia zaman now. Sekali-kali ketidakwarasan ini perlu didudukkan kembali bersama-sama untuk merumuskan kembali. Setidaknya mau mencoba. Setidaknya yang keempat ini bisa menjadikan kita sekawan. Sepertemanan. Seperjuangan.

Abnormal <137>

15 February 2018

Tiket Destinasi Kebodohan!

Semalam kita pergi bersama dalam dimensi yang berbeda. Aku senang, setidaknya aku berada di dekatmu. Walaupun makna dari dekat itu sendiri bukan berarti seperti pada umumnya. Aku ingin mengajakmu, tapi itu tidak mungkin karena pasti kamu menolaknya.

Hanya saja, niatku tidak lain hanya ingin menunjukkan kacamata yang pas denganmu yang sudah memiliki pemikiran yang luas. Dan sudah saatnya pemikiran itu diasah lebih kedalam, bukan untuk kembali ke permukaan. untuk jauh menyelami hakikat, daripada memikirkan gejolak-gejolak yang selalu menerka syariat dan pada akhirnya menjadi suatu kebingungan.

Kalau kamu mencermati sanad-sanad asal muasal suatu ilmu, belajar tentang riwayat perawi-perawi hadits, pasti terdapat titik dimana kamu hanya berkata, “ohh”. Dan semua ilmu itu ada hikmahnya, hanya kita perlu siaga dan waspada. Yang pasti kita harus mencintai segala bentuk ciptaanNya, dan sudah sewajarnya kita lebih menghormati kepada alam yang sejatinya diciptakan lebih dulu dari kita. Jangan sampai ada ilmu yang membatasi kasih sayang kita sekalipun kepada hal yang membahayakan sekalipun.

Benar saja, aku ini manusia yang selalu gagal dalam menyembunyikan islamku, sampai sudah ibarat ngemis, aku meminta-minta hal itu. Celakanya, mereka yang hanya belajar melalui literasi dan terjemahan kadang suka vulgar terhadap sedikit ilmu yang didapatinya. Parahnya lagi, banyak yang masih buta terhadap hal-hal yang memerlukan ilmu sastra.

Salah satu contoh saja, masalah penulisan insyaAllah dan inshaAllah saja udah pada geger. Padahal itu kan hanya masalah transliterasi. Lalu dalam surat kelapangan, banyak yang salah memahami jika setelah kesulitan terdapat kemudahan. Padahal disana tulisannya ma’al, bukan ba’dal. Jadi setiap kesulitan itu datang, bersamaan dengan itu kemudahan juga datang. Maka dari itu kita mesti mentadabburi setiap informasi yang kita dapat.

Tapi apalah daya sekarang kita terjerembab dalam liang bisnis. Sing payu ya sing bermerk. Yang laku itu yang pasti jelas brand-nya, gelarnya apa, lulusan mana. Itulah mengapa aku sering sekali menulis hati-hati terhadap ilmu.

Selama ini kita hanya saling sapa lewat tulisan, dan pesanku jangan tertipu sama aku. Meskipun banyak yang ingin aku ceritakan kepadamu. Selain itu, aku hanya membayangkan betapa riuhnya jika kita sama-sama mendengar keluh kesahnya Sang Alam. Merapikan rumput-rumput yang terinjak semena-mena oleh kaki-kaki kehidupan. Melihat wajah Sang Waktu yang sangat bijaksana walaupun telah dihujam oleh berjuta-juta prasangka manusia pelarian.

Aku tawarkan sebuah tiket dengan destinasi kebodohan. Agar kita tawadhu kepada siapa saja, sekalipun ia pendusta, perampok, pembunuh, bahkan pemfitnah. Supaya kita siap untuk diinjak-injak oleh dusta-dusta yang akan kita temui. Agar kita siap kepada air mata ini yang mungkin akan bercucuran darah melihat ketidakadilan dan keserakahan “si raga yang asing kepada dirinya”. Agar kita menuju manusia ruang. Karena hanya kebodohan inilah yang hanya bisa menopang manusia-manusia yang merasa pintar.

Aku tidak tau ini akan masuk dalam surat dusta atau hanya selamuranku saja. Jemari ini hanya bercerita kepadamu. Nafas ini hanya berhembus mengudara mengikuti angin. Terimakasih atas kebahagiaan ini. Aku sedikit takut sapaan ini terurai waktu demi waktu. Dan itu diluar kuasaku untuk mengendalikannya. Kalaupun itu terjadi, satu hal yang dapat kupastikan adalah ruh ini telah mengenalmu.

Rabu, 17 Oktober 2018

Abdan ‘Abdiyya

Menguak Tabir Cahaya Pengabdian dan Integritas Kemendikbud

Pendidikan sedang berada pada proses transformasi menuju modernitas. Dengan temuan metode-metode baru dalam penyampaian ilmu materinya. Ruang-ruang formalitas memiliki ragam dan cara sendiri dalam mentransferkan ilmu. Dalam lingkup formal, antara pemerintah dan swasta juga memiliki cara pandang sendiri. Namun, sebuah modernitas yang baru adalah mulai munculnya ruang underground di dalam ruang pembelajaran. Karena sebuah fenomena yang ‘mungkin’ ruang formal tidak mampu menjangkaunya.

Perbedaan cukup signifikan pun ditunjukkan oleh ruang baru tersebut, terutama dalam aspek budaya yang tercipta. Misalnya, tidak dibutuhkan dresscode atau seragam identitas yang mengharuskan dipakai saat proses pembelajaran. Atau mungkin ruang ini pun tak terbatas pada satu tempat yang paten, akan tetapi ruang tersebut bisa tercipta dimana saja. Yang menjadi pertanyaan adalah, dalam perbedaan tersebut, apakah pendidikan ada dalam lingkup budaya atau budaya merupakan ada di lingkup pendidikan?

Seperti acara Simbah yang terselenggara di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ini. Simbah yang mungkin telah terbiasa dengan ruang non-formal dan menemani rakyat biasa, kini mesti diundang dalam acara sekelas kementrian yang jelas pendengarnya adalah rakyat-rakyat yang sangat berpindidikan.  Hanya saja simbah menyeletuk di awal acara,”semakin rendah eselon, semakin lebar mulutnya.” Disambut tawa seluruh hadirin pada ruangan itu. Karena biasanya pada acara resmi seperti ini, tempat duduk yang paling depan biasanya diisi dengan para petinggi, semakin ke belakang maka level eselonnya semakin rendah.

Antara pendidikan dan kebudayaan itu sendiri, mana yang lebih utama? Apakah tidak setiap budaya bisa dikatan pendidikan? Atau tidak setiap pendidikan bisa dikatakan budaya? Mana yang lebih tinggi maqom-nya? Tentu beberapa diantara kita pasti mempunyai versi yang berbeda dengan kebenaran versi dirinya. Cuma premis tersebut setidaknya membuka sedikit tentang mana yang mesti diutamakan antara budaya dan pendidikan.

Budaya dan pendidikan adalah sesuatu yang sangat sulit dipisahkan. Suatu proses mentransfer ilmu butuh pengaplikasian budaya yang sesuai agar tercipta situasi yang kondusif dan nyaman. Karena ilmu tersebut akan sampai jika kondisi si penerima ilmu siap dengan keranjang ilmu merk kebahagiaan yang dia bawa. Bayangkan jika kebudayaan tidak berperan disitu, setiap merk keranjang, misalnya kesedihan, kecemasan, atau kemalasan berfikir akan menjadi penghalang ilmu ketika akan dimasukkan ke keranjang. Budaya memiliki peran penting dalam pendidikan untuk menciptakan suasana kebersamaan dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu pula, hal-hal yang membuat kebersamaan ataupun kebahagiaan diaplikasikan dan dilakukan simbah-simbah kita dalam melakukan proses pembelajaran melalui kebudayaan, seperti wayang atau lagu. Tentu untuk memudahkan membuat keranjang sehingga mampu memuat ilmu yang disampaikan.

Ini yang sangat jarang sekali ruang pembelajaran formal lakukan sekarang. Semua murid ibarat diterjang oleh bulir-bulir ilmu setiap hari. Kalau diibaratkan seperti hujan, kita tidak akan bisa mampu menampung sebegitu banyak tetes air yang menyentuh tubuh hingga akhirnya tubuh kita sulit memaknai tetes-tetes tersebut. Ilmu pun demikian, tidak akan seluruh ilmu yang mesti dilahap setiap hari tak kurang dari 8 jam, akan masuk ke dalam muatan keranjang yang disediakan seadanya. Bahkan jika kita sudah tidak mengalami ruang lingkup formalitas pembelajaran (lulus), kalau kita perhatikan pasti apa yang kita kenang selama 10 tahun pembelajaran adalah proses-proses atau suasanya daripada materi/ ilmunya. Seperti bagaimana percintaan masa remaja, rasanya bolos jam pelajaran, atau ketika terkena hukuman oleh Guru pasti akan lebih membekas dan terkenang.

Apakah hal tersebut yang mungkin dicari oleh Kemendikbud hingga menjadi tema ‘Pengabdian dan Integritas’? Atau jangan-jangan ketika masalah tersebut masih belum terselesaikan, Kemendikbud berupaya untuk melangkah menerobos masa depan dengan pengabdian dan integritasnya? Lha siapa yang mengabdi? Tujuan pengabdian kemana? Lantas integritas seperti apa yang diinginkan? Jangan menyebut ‘kawulo’ atau ‘sahaya’ sebagai seorang pengabdi, jika dalam setiap ilmu yang disampaikan sangat jarang sekali melibatkan Tuhan disitu. Disaat Dia adalah sumber dari segala ilmu, Sang Maha Mengetahui.

Jadi wajar saja jika pendidikan sangatlah semrawut seperti ini. Sangat banyak orang berpendidikan akan tetapi moral yang dihasilkan sangat tidak mencerminkan jenjang pendidikannya. Ilmu yang didapat akan lari sangat kencang menjauh dari pemiliknya karena ilmu itu hanya dianggurkan tanpa pernah diamalkan. Permasalahan umum yang terjadi sekarang adalah manusia sangat kurang peka. Entah itu pengaruh android  atau memang dijadikan Tuhan sebagai orang yang malas berfikir. Hingga akhirnya kurang tandang atau sigap. Terlalu sering membiarkan ilmu hanya lewat tanpa pernah setidaknya mendokumentasikan dalam sejarah peradaban dirinya.

Walau sekali-kali juga terbesit pemikiran. Toh, pada akhirnya kita hanya sebuah lukisan yang hanya nurut kepada Sang Pelukis. Manusia hanya tunduk pada ketentuan Si Penciptanya. Kita sekali-kali mesti tahu diri, mengapa Tuhan membuat kita? “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun”. Terkadang kita sering salah mengartikan tiap bulir kata tersebut. Kebanyakan selama ini Tuhan menciptakan jin dan manusia supaya untuk mengabdi kepada-Ku. Seakan itu adalah suatu tujuan penciptaan. Disaat sama sekali Tuhan tidak membutuhkan pengabdian kita, karena Dia Maha Segalanya. Yang ada dalam kalimat itu adalah bukan ‘supaya’ mengabdi melainkan ‘illa’/ kecuali mengabdi kepada-Nya. Kenapa disebut jin dulu yang diciptakan baru manusia? Hanya ada 2 kali dalam kitab ketika manusia disebut dulu. Kenapa?

Kalau Nabi Ibrahim itu adalah Mulkan Nabiyya ( Nabi yang Berkuasa), dan Kanjeng Nabi ditawari hal yang sama oleh Tuhan, beliau malah lebih memilih untuk menjadi seorang ‘Abdan Nabiyya (Nabi yang Mengabdi). Mengabdi kepada Tuhan dengan menemani ummatnya yang sebagian besar adalah rakyat jelata. Sedangkan kita, raja bukan, pemimpin bukan, nabi juga bukan. Hingga yang sepantasnya kita lakukan jika kita tahu diri adalah menjadi seorang ‘abdan ‘abdiyya (hamba yang menngabdi). Mengabdi kepada Tuhan dengan terus menerus melakukan perintah Tuhan dan Kekasih-Nya sebagai seorang hamba.

Di akhir acara, Simbah membeberkan jika penyakit utama kita adalah kesempitan. Terutama kesempitan dalam berpikir. Kita sering salah mengartikan tauziyah seperti orang yang sedang mencari ilmu. padahal tauziyah adalah nasihat yang diberikan kepada orang yang mau meninggal. Alangkah baiknya jika ilmu itu bukan dibungkus sebagai tauziyah, melainkan tawaashou atau saling menasihati atau mengingatkan. “wa tawaashou bil haqqi wa tawaashou bishshobr”. Saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Kalau sembahyang itu baik, tapi kalau niatnya buruk pasti akan tetap mempengaruhi makna sembahyang tersebut. Bahkan Tuhan sudah mengingatkan, “Celakalah orang-orang yang lalai dalam sholatnya!”.

Tidak banyak pengharapan Simbah kepada Kemendikbud, atau mungkin reporter lupa untuk mencatatnya. Hanya pembacaan surat An-Nur 35 sangat mungkin menjelaskan harapan dan doa untuk Kemendikbud. Yaa! Masih ada cahaya di atas cahaya. Asal usul semuanya adalah cahaya. Pendidikan dan budaya pun adalah transformasi cahaya yang diharapkan bisa menerangi kesempitan berfikir hingga melihat bahwa sebenarnya semesta begitu luas.

16 Januari 2019