Category Archives: MYH

MYH – 03 | Sangkar Tak Berhuni

Hari itu, cuaca tak seterik biasanya. Pagi datang tak selalu membawa keindahan atau mungkin pertanda akan datangnya ketidakenakan. Yah, begitulah hidup. Cinta selalu mengajarkan bahwasanya ia tak hanya bertugas memuaskan hasrat atau syafwat, akan tetapi juga mengenalkan sakit-sakit yang tak terperi atas nafsu dan ego pribadi di antara mereka yang saling berbagi cinta.

Biarlah, jika kesenangan menjadi hal utama yang masih perlu dikejar. DIsaat usia melaju tanpa pernah bisa ditawar. Pertanyaannya hanya “mau sampai kapan?” membiarkan diri menjadi bualan-bualan prasangka. Seberapa lama lagi, dirimu masih ingin diperhatikan sedangkan yang biasa memberi perhatian menjadi tidak cukup?

Jadi jangan salah suatu saat apa yang menjadi penghiburan buatmu akan meninggalkanmu, layaknya senja yang menyapa dengan gemuruhnya. Menjadi sebuah pertanda bahwa purnama tak akan memberikan terangnya kali ini dan menggantinya dengan sayu-sayu rintihan air penghidupan. Meski tawa ataupun canda kembali hadir menemani, itu tak lebih dari sebuah formalitas pertemuan yang meski dihiasi oleh rasa saling memberi kebahagiaan.

Kasih, ini adalah sebuah perjalanan panjang. Sebuah sangkar tak berpenghuni ini hanya akan menjadi hiasan jika ia tak segera menemukan puannya. Memberi kenikmatan, memahfumi kemunafikan. Seperti kekecewaan yang sudah pasti datang di sela-sela kebahagiaan. Padahal, keinginan yang berlebihan yang akhirnya menjadi sebuah batas hingga akhirnya mengenal keputusasaan.

Jangan sampai sangkar hanya akan menjadi penghiburan bagi mereka yang berlalu-lalang. Atau menjadi sebuah tempat persembunyian untuk menikmati dosa-dosa yang didustakan. Meskipun aku, tak akan berani memiliki sekalipun telah memberi asa dan asuh nan tak terlihat. Karena bukan apapun menjadi suatu harap akan pembalasan laku.

Biarkan ketika malam menyapa sangkar tak berhuni itu, semesta menjalankan perannya. Sementara aku, tak lebih hanyalah sebuah bagian dari rencananya. Yang tak bisa memilih antara nikmat atau dusta, antara sangka atau fakta. Semua hanyalah batas-batas yang mesti dipahami, yang menjadi hiasan sangkar agar selalu indah dan nyaman untuk dihuni. Agar sunyi lekas berbuah menjadi buih.

MYH – 02 || Penambang dan Berlian

Hujan seakan sengaja mengguyur kasihnya sebagai salah satu caranya untuk menghibur tanah-tanah yang mulai mengering. Datang memberi isyarat, tentang temaram wajah yang siap menggetarkan apapun dengan gemuruh angkaranya. Namun, genderang rindu ini menanti dan menanti tanpa mengetahui kepastian.

Ah, candu! Apakah ia tahu bagaimana berlian itu menjadi nampak begitu berharga? Selama ini, berlian menjadi bernilai karena perjuangan untuk mendapatkannya di dalam perut bumi, atau mungkin proses alami pembentukannya yang tidak wajar. Bukan, sekali-kali bukan itu. Berlian tetap juga sebuah batu, dan hanya mereka yang tidak rela dengan perjuangan lah yang meminta ganti rugi atas sesuatu yang didapat. Semua hanya demi keuntungan si pencari ataupun menambah prestige si pembeli.

Rindu itu nampak seperti berlian yang tak lebih dari sekedar kerikil. Berserakan dimana-mana saling menunjukkan keindahan dibalik cerita-cerita perjuangannya. Tapi tahukah kamu apa kata berlian? Dia cemburu setelah mengetahui keinginan dan hasrat si pemiliknya yang mencintai tak lebih hanya untuk harga diri mereka. Bukan sebuah ketulusan ataupun kelembutan.

Mungkin saja cemburu itu meminta ruang suatu saat nanti untuk sesekali menampakkan keanggunannya. Terlebih jika bahagia menjadi hal yang biasa dirasa, meski sapa ataupun menatap menjadi momen yang dinanti. Dan waktu bersama selalu menjadi momentum untuk saling melepas resah atas sepi-sepi yang selalu dilalui. Atau jangan-jangan rindu?

“Akankah kamu kesini benar-benar ingin memilikiku? Atau kau akan jual diriku?” Seolah-olah Berlian itu menyapa Si Penambang.

Si Berlian yang nampak belum menarik pada awalnya, sanggup memiliki nilai dan kecantikan sedemikian rupa pun berkat pengasuhan Si Penambang. Dan rasa cemburu Berlian kepada Penambang lambat laun menjadi sebuah prasangka dan kekhawatiran. Bagaimana tidak? Ia sungguh tega hati untuk begitu saja melepasnya setelah mendapat banyak keuntungan darinya.

Sekali-kali bukan itu, segala rapuh ini membutuhkan keteduhan bukan untuk menjadi Penambang ataupun Berlian. Dia hanya menanti dan akan terus menanti akan Engkau tumbuhkan rasa seperti apa? Dengan cinta ataupun rindu kepada siapa diantara banyaknya kehadiran yang berlalu-lalang. Yang terselip satu senyum merekah yang meluluh-lantahkan tirai batas untuk segera datang mengikutinya.

Biarkan pintu-pintu itu berdentum menutup jalan-jalan cahaya yang menuntun kepada kehangatan. Bagaimana kerapuhan itu mesti bertahan jika ia mesti menabrak batas-batas tersebut tanpa  cahaya itu sendiri yang menuntunnya. Kecuali engkau sendiri yang membisikkan celah tentang liku-liku yang mesti dilalui, seolah engkau telah tau bahwa ada sesuatu yang mengikuti.

Dia berkeliaran sesukanya menikmati kehidupan seolah tak peduli tentang rasa. Dia berlaku seakan dirinya adalah duri sedangkan kelembutan dirinya hanya tertuju kepada perempuan yang diikutinya. Atau entah dijaganya. Dia hanya menanti dirinya memalingkan sedikit tatapannya kebelakang, sembari menegaskan bahwa ternyata ini memang cinta.

Adakah dia mesti mengadu kepada Tuhan, sedang Tuhan justru kembali bertanya kepadanya, “katanya cinta?”

Adakah dia meminta pertolongan kepada Tuhan yang memberinya kekuatan, namun Tuhan kebali lagi hanya menjawab dengan tanya, “katanya berjuang?

Haruskah ia mengemis pasrah kepada-Nya, tapi sekali lagi Tuhan hanya mengembalikan sebuah tanya, “katanya ingin menjaga kekasih-Ku?

Sebuah kesempatan sudah pasti berlalu begitu saja. Menanti dan menanti sesuatu yang tak pernah sekalipun dirinya ingin lepas dari belenggu yang menyiksanya. Ijinkan dia menjaganya ataupun mengikuti sekaligus menikmatinya. Sekalipun tanpa harap. Karena ia bukan Si Penambang, ataupun Berlian.

6 Mei 2020

Malam yang Hangat

Sebuah kepastian kehadiran tak selalu mampu menghapus kesunyian. Kata-kata sudah biasa terangkai untuk memaknai segala sapa ataupun tatap yang terangkai dalam sebuah canda. Menggantikan angan yang selalu bersembunyi jauh di dalam sanubari laksa.

Kepastian selalu datang mengajak ketidakpastian. Sebuah rencana menyeruak untuk menikmati kehadiran agar bisa menambah kehangatan. Meski pada akhirnya semua hanya akan menjadi wacana, namun ia selalu menggantinya dengan mimpi-mimpi yang nyata. Memberi harap untuk tak lantas menyerah atas rencana-rencana yang dirasa sia-sia.

Rasa ini terlalu egois untuk meminta tetap tinggal dalam ketidakjelasan. Rasa ini hanya sanggup menjanjikan luka diantara hari-hari yang selalu dihiasi bahagia. Bahkan, rasa ini selalu mengajak untuk menyisihkan waktu bagi air mata, agar tawa tak membuat kita lupa bahwa semua hanya sementara.

Terlebih jika mesti berkata cinta, hanya akan terlihat seperti angkara. Disaat kehadiran hanya menegaskan jarak yang tak sepantasnya untuk disatukan. Sekat yang sudah tercipta, tak sepatutnya untuk menyatu menjadi ruang saling berbagi ketulusan.

Lalu seketika latah. Menahan segala gejolak yang terus-menerus menggerogoti waktu yang terus berlalu begitu saja. Akankah seketika lepas? Jika hasrat hanya mengurung cinta yang mesti lekas diuangkapkan. Menabrak segala batas yang menjadikan manusia-manusia terjebak dalam kesunyian.

Tapi setidaknya kehadiran selalu menyajikan kehangatan. Di antara temaram bayangmu, aku selalu mengucap kasih sekalipun lirih. Jika kau tak mendengar, lihatlah segala tatap yang selalu mengisyaratkan sebuah makna. Bahwa, denganmu aku selalu bahagia hingga mengubah malam menjadi hangat.