I. Antara Justifikasi dan Notifikasi

Sayup temaram malam itu tak menyimpan berjuta makna bagi Tama. Ditemani hujan gerimis membuat penantiannya semakin sendu. Antara berharap dan tidak. Sekarang atau tidak sama sekali. Penantian itu berawal dari sebuah rasa yang telah ia pendam selama ini. Hanya diam termenung, menumpuk asa. Ketika angan tentang Layla-seorang yang dicintainya- selalu menyapa. Menjadi ruang dalam pikirannya yang selalu menari diantara kebahagiaan ataupun kesedihan.


“Ini bukan awal maupun akhir
Walau rindu ini memekikku aku takkan berlari
Hanya oleh prasangka yang tek menentu
Aku akan terus mencinta perangaimu
Meski hanya sunyi yang menjadi teman raga ini.”


Tama merupakan sebuah pemuda yang kesehariannya memiliki pekerjaan sebagai penulis. Ia memiliki kebiasaan untuk mengungkapkan segala suasana yang berada di lingkungannya menjadi sebuah tulisan. Di zaman yang serba modern dan instan ini, memang menjadi sebuah penulis tidaklah mudah. Apalagi Tama merupakan orang yang selalu menyembunyikan namanya bahkan dirinya dari keramaian. Disaat setiap orang berlomba menuju ketenaran dengan berbagai macam karya dan prestasinya. Tama menjadi salah seorang yang paling menghindari kebiasaan tersebut.


Tama seorang penyendiri, ia pun tinggal di sendirian di rumah beberapa tahun ini. Ia tidak akan bepergian kemana-mana jika tidak ada teman yang mengajaknya. Penyendiri ini bukan berarti Tama tak pandai bersosialisai, akan tetapi ia memandang segala sesuatu telah dipenuhi prasangka. Baik itu benar ataupun tidak benar. terlalu banyak yang menyepelekan kehidupan. Bahkan, Tuhan pun mereka jual-belikan demi keeksitensian ormas-ormas agama tertentu. “Jangan sekali-kali membicarakan kalau kamu islam, tapi tunjukkanlah kalau segala lakumu itu menunjukkan agamamu.” Pesan seorang Syaikh yang dianggap Guru oleh Tama ini menjadi suatu pegangan baginya.


**********
(suara HP berbunyi)


“Jangan lupa nanti kita pukul 08.00 harus standby di depan kantor. Kita hunting foto ke Pasar Beringharjo.” Isi pesan grup Layla dan teman-temannya. Layla, seorang gadis tomboy yang hidup ke perantauan untuk melanjutkan petualangannya. Perangainya yang tomboy tak dapat membohongi kecantikannya yang terbalut dalam kulit cokelatnya yang eksotis. Senyum manisnya membuat para pria banyak yang memperhatikan. Tapi dari banyak pria tersebut, tak satupun dari mereka yang berhasil mendapatkan hati Layla.


Layla seorang gadis yang tak pernah ribet dengan penampilannya. Bisa dibilang make-up yang terpampang di meja riasnya sangat awet. Jika teman-temannya sudah beli 5 kali, mungkin Layla baru habis sekali pemakaian. Hanya di meja tersebut, ada satu pohon kaktus kecil berwarna merah pemberian dari seseorang yang sangat perhatian dengan Layla. Semenjak Layla masuk Sekolah Menengah sampai lulus sebagai seorang sarjana sekitar 5 tahun yang lalu. Kaktus itu adalah hadiah wisudanya. Disaat sahabat-sahabat Layla memberikan sebuah bunga, kaktus itu menjadi pembeda pada waktu itu. Bahkan bisa dibilang terlihat aneh.


“Selamat yaa Laa, akhirnya kamu bebas sekarang. Ini tak kasih temen yang mungkin akan bermanfaat saat kamu merasa sepi. Jangan pernah merasa kalau kamu sendirian dengan kebebasanmu” Ungkap seorang lelaki yang selalu terngiang di pikiran Layla.
Gelagat ingin memberikan sebuah pelukan ditunjukkan Layla pada waktu itu. tapi karena keadaan yang ramai membuat suasana menjadi sedikit canggung diantara mereka. “Semoga tuanmu juga tidak kesepian.” Balas Layla kepada kaktus mungil itu lirih, sembari menyandarkan kepalanya di meja dan terus menatapnya.


(Daaarrr …Daaarrr…Daaarrr)


“Laa, ayo berangkat! Temen-temen uda pada nunggu di depan lho.”seru Prisca dari luar kamar kos dengan tangannya yang usil menggedor-gedor jendela, salah seorang sahabat Layla di perantauan yang cukup humble dan easy going ini memang menjadi sahabat yang pas buat kepribadian Layla yang pendiam.


Sesampainya di Pasar Beringharjo, Layla dan teman-temannya saling berpencar mencoba berburu suasana gambar terbaik pada hari itu. Selain Priska, ada 3 rekan lain yang satu tim dengan Layla. Akbar, Diko, dan Rendi. Tim yang terbentuk 4 tahun yang lalu ini merupakan sebuah tim yang sering mendapatkan peringatan dari atasannya karena terlalu sering melewati batas peraturan. Meski sering dianggap mata oleh tim yang lain, tapi tim ini selalu berhasil menikmati segala kegelisahan dalam kebersamaan.
Ketika Layla menyusuri para pedagang sayur di pasar itu, tiba-tiba ia bertemu dengan Tama yang kebetulan sedang mencari sayuran. Baik Layla maupun Tama sama sekali tidak terlihat terkejut atau heboh. Mereka hanya saling melempar senyum seolah mereka sering berpapasan meski perjumpaan ini adalah yang pertama setelah terakhir kali bertemu 5 tahun yang lalu. Dengan sedikit canggung, Tama mengajak Layla untuk menikmati bakso di luar pasar.


“Hidup bersama raga sudah bukan menjadi keinginanku karena hati ini sudah dianugerahi angan. Dan sekarang mungkin sudah waktunya kamu mengetahuinya, Laa.” Ucap Tama.


Tampak awan pun seolah ikut hanyut merona dengan ucapan Tama kepada Layla. Menghembuskan angin yang membuat irama alam tampak merdu. Mengiringi jalinan kasih yang terpisahkan selama ini. Mempertemukan dua insan yang selama ini memendam rindu.


Layla hanya bisa terdiam mendengar ucapan Tama.


“Gimana maksudnya, Mas? Setelah sekian lama kita gak ketemu, tanpa pernah ada sapa terucap. Kenapa mesti kata-kata itu yang terungkap?” pikir Layla dalam hati.


“Maaf, kamu mungkin menganggap aku aneh atau gak jelas tiba-tiba ngelantur. Begitupun aku. Ini mungkin bisa sedikit menjelaskan semuanya.”kata Tama sambil memberikan 2 buah notebook kepada Layla yang selalu dibawa kemanapun Tama pergi.


“Apa ini?”


“Memang selama ini aku jarang menyapamu, bahkan tidak pernah sama sekali. Tapi ketika anganmu selalu datang menyapaku. Aku hanya bisa membalas sapaan itu lewat kata-kata di buku ini. Walaupun daripada yang tertulis, lebih banyak sapaanku yang akhirnya menguap di udara.”


“Kenapa tidak langsung sampaikan saja kepadaku sih, Tam?”tanya Layla.


Ingin Tama untuk menjawab panjang kisah cinta yang dialaminya. Betapa rindu ini seakan selalu tersesat di tengah padang gurun pasir. Begitu terik ketika siang, dan begitu dingin ketika malam Gersang. Atau tenggelam dalam lautan yang gelap tanpa pernah mendapat cahayanya. Bagaimana hanya siulan angin atau mengharap pada bulir-bulir air yang menguap merupakan tempat dimana satu-satunya cara bagi Tama menitipkan salam.


Pertemuan itu seperti suatu pemberitahuan bagi Tama akan angan yang selalu menyapanya. Atau malah Tama hanya melakukan tindakan pembenaran yang menurutnya baik dengan segala laku senyapnya selama ini dalam menunjukkan perasaannya. Meskipun demi kebahagiaan Layla.


“Makasih, Mas. Isinya apa nih? Lalu, adakah yang Mas harapin kalau aku sudah selesai membaca ini?” kata Layla yang cukup gembira dengan pemberian Tama.


(bersambung……………………)

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.