V. Bersembunyi di Balik Sukma

Entah mengapa kabut itu menghilang setelah perjumpaan tanpa sebuah kata sepakat. Digantikan oleh keelokan Sang Fajar yang meyapa, menyirami rona semesta sebuah pengembaraan di pagi hari itu. Meskipun lisan tak pernah sanggup untuk mengungkapkan, setidaknya sebuah isyarat sudah cukup bagi alam raya untuk merestui sebuah tatapan antara Layla maupun Tama untuk saling melepas lega.  

Bagi Tama, raganya seolah selalu enggan untuk segera menuntaskan rasa rindunya. Menepikan segala peluh kehadiran angan yang selalu memekarkan hasrat untuk dicintai sebagai seorang manusia. Tak ada manusia yang sanggup hidup tanpa cinta. Akan tetapi, makna akan cinta sendiri bagi Tama seolah telah tereduksi oleh berbagai macam tendensi untuk memuaskan hasrat pribadi, bukan karena benar-benar tulus mencintai.

“Tam, jangan CLBK lho..” cela Antok menanggapi ekspresi Tama kepada Layla. Sedang Tama hanya menanggapi dengan senyumannya.Sebuah senyuman tersebut bagi Tama sendiri merupakan cinta yang selalu hadir setiap hari, meskipun dalam wujud yang tak hanya bisa dilihat dengan pantulan cahaya wadag. Tapi, oleh sahabatnya dimaknai sebgai sebuah cinta lama yang mungkin bisa jadi adalah cerita usang bagi karibnya. Padahal bagi Tama, rasa tersebut menyapa tidak hanya setiap hari, namun di sepanjang waktu pengembaraannya setelah awal perjumpaannya dengan Layla. Hanya satu kata yang terucap diantara senyumannya menanggapi candaan Antok, “ngawuuur….”

***

Rendi sedikit merasa aneh terhadap ekspresi Layla dalam pertemuan dengan teman-temannya tadi. Membuat ruang kegelisahan sendiri dalam benak pikiran Rendi. Terlebih, melihat tatapan Layla kepada Tama yang tak pernah satupun ia dapati selama beberapa tahun ini berada di dekat Layla. Rendi menyangka bahwa Layla masih menaruh perhatian atau bahkan rasa yang tidak didapat Rendi dari Layla. Rendi sendiri sangat menyayangkan jika Layla masih menaruh perhatian tersebut dari seseorang yang dahulu telah menyakiti hati Layla.

“Heh, Ren. Lagi mikir apa to?” tanya Layla melihat Rendi yang terlihat gusar.

“Emmm… sepertinya ada yang membuatmu bahagia hari ini, Laa. Jangan-jangan….”

“Apa sih kamu, Ren! Ngawurr lho..” potong Layla.

“Kaaan, kita kan udah berteman lama, jadi ekspresimu itu gak bisa berbohong. Terlebih tatapanmu saat melihat si Tama.”

“Mulaiiii… Terus aja terus! Dipersilahkan lhoo bagi Tuan Rendi, Sang Kritikus, untuk memberikan penilaian atas dasar prasangkanya. Eh maaf, keilmuannya.”

“Terima kasih atas waktunya, Baginda Ratu Idealis, yang selalu saja banyak membuat orang-orang terkagum.”

Tak bisa dihindari jika pertemuan tersebut memang meninggalkan jejak tersendiri di fikiran Layla. Pertemuan dengan kata sepakat selalu dihindari. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana untuk mempertemukan meski tanpa kata sepakat. Hal ini tentu saja sangat mengganggu bagi Layla, terlebih dengan pemikiran idealismenya tentang cinta. Selepas rasa bersalahnya atas Tama pada waktu itu. Hingga rasa itu, kini seolah mulai tumbuh dan membentengi diri Layla sendiri.  

***

Sudah menjadi kebiasaan bagi Tama untuk mendokumentasikan segala nusansa perjalanan ke dalam sebuah goresan tinta. Dengan presisi kelokannya yang mampu membentuk idiom bahwa itu adalah huruf. Hingga goresan huruf itu mampu berjajar rapi membentuk sebuah kata. Kata-kata itu akan bersengkongkol menjadi sebuah kalimat demi terciptanya sebuah makna. Dan bagi Rendi, dunia ini sendiri belum seberapa jika mesti dibandingkan dengan dunia makna. Dunia ini hanya butuh pantulan cahaya materi untuk dapat dipahami, tapi di dunia makna dibutuhkan bantuan cahaya illahi supaya mudah dimengerti oleh akal. Cahaya materi mampu menafsirkannya, namun pada akhirnya akan sering menimbulkan perselisihan dan kesalahpahaman.

Bukankah ada cahaya di atas cahaya? Semesta selalu mempunyai cara untuk memberikan pelajaran, terutama mengintervensi pengembaran Tama yang sering dinamai sebagai perjalanan kehidupan. Membentur-benturkan batinnya seolah menjadi ujian praktek langsung ketika mendapatkan pelajaran ilmu yang baru. Baik oleh gurunya maupun teks literasi yang Tama baca. Tuhan seolah ingin membentuk Tama menjadi seorang yang tangguh dan bijaksana. Dengan cipratan cinta-Nya.

Ketika menuju perjalanan pulang setelah mengantarkan Antok di rumahnya, rasa rindu itu mneyeruak. Bahkan di sekujur rasa rindu itu sendiri serasa bergetar atas hasrat yang selalu terpendam. Pulang menjadi sebuah perjalanan yang panjang dengan angan yang selalu mendekap. Seolah rumah kosong itu menjadi tempat peraduannya.

“Mengapa kita mesti bertemu?” seolah pertanyaan itu terus terulang di dalam pikiran Tama.

“Bukankah kau merinduku?” terdengar angan itu menjawab lirih.

“Kalau memang begitu, mengapa dulu engkau mencampakkanku? Masihkah belum cukup, anganmu kubiarkan datang sesukanya seperti ini?”

(Angan Layla hanya tersenyum seperti biasa)

“Bahkan, senyuman itu, tidak berubah sama sekali… “ sembari mengingat senyum Layla di pertemuan tadi pagi.

Elok sang fajar menyapaku menyirami semesta
menepikan peluh hadirmu selalu menyatukan insan
antara raga dan sukma yang terurai

***

(8 tahun yang lalu)

Tama merupakan orang terdekat bagi Layla. Hampir setiap hari, bahkan setiap waktu mereka selalu menjalin komunikasi satu sama lain. Membahas apa saja di hari-hari yang mereka lalui. Tiada hari tanpa Tama bagi Layla, pun sebaliknya.

Berbagi masalah pribadi sudah menjadi hal yang biasa. Tidak ada tabir sama sekali di antara mereka. Khusus bagi Tama, Layla merupakan pendengar terbaik disaat keluhan tentang perjalanan kehidupan selalu menyapa Tama yang justru datang dari lingkunagan yang seharusnya menjadi sebuah pelindung. Bisa dianggap Layla merupakan rumah kedua bagi Tama.

“Laa, kamu dimana?” tulis Tama dalam sebuah pesan ingin menagih janji untuk saling bertemu. Namun, Layla tak kunjung membalas pesan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang Tama menanti balasan pesan singkat dari seorang perempuan yang begitu aktif di sekolahnya. Sebegitu pentingnya kehadiran Layla bagi teman-teman sekolahnya. Kebahagiaan seolah tercurah ketika siapapun berada di dekat Layla. Pada umumnya, mayoritas orang akan berkata bahwa Layla memiliki inner beauty yang sungguh indah.

(Suara notifikasi HP berdering)

Tama pun bergegas membukanya berharap itu merupakan pesan balasan dari Layla. Namun ternyata pesan permintaan tolong dari seorang kawan-lah yang masuk. Di saat bingung untuk mengonfirmasi kesanggupan, nampak sebuah amplop berwarna kuning sekali lagi nampak terdapat tanda bintang merah, yang merupakan pertanda terdapat sebuah pesan baru lagi. “Di hatimu.” Balas Layla singkat.

Setidaknya frasa kata tersebut sedikit membuat detak jantung Tama semakin cepat. Meskipun, dalam kedekatan yang sudah terjalin ini pun mustahil jika rasa hanya tumbuh sebatas kawan atau sahabat. Ketidakpantasan selalu menjadi alasan Tama untuk menahan perasaannya sendiri. Kenyamanan yang sudah tercipta enggan Tama ucapkan jika pada akhirnya hanya akan membuat canggung jika terselip kata cinta.

Namun, balasan singkat itu seperti mengukuhkan niat Tama, setidaknya untuk mengungkapkan apa yang telah dirasakannya. Toh, umur mereka juga kian beranjak dewasa. Ya, sebagai seorang lelaki, pernyataan ini mungkin bisa menjadi sebuah bentuk pertanggungjawaban atas rasa yang tak pernah bisa dicipta atau dipaksakan.

Di suatu pagi yang cerah, Tama dan Layla sedang menikmati es kelapa muda. Menikmati belaian angin yang berangsur mengusap keringat mereka berdua. Bercanda dan tertawa menafsirkan semesta yang memberikan keteduhan itu.

“Laa, salahkah kalau aku memiliki rasa yang sering mereka sebut cinta?” tiba-tiba Tama menyela.

………………………………………. .

***

(Di rumah Layla)

Sesampainya di rumah, Layla pun tak bisa begitu saja menghilangkan makna dari pertemuannya kembali dengan tama. Bahkan, malam demi malam yang telah dilalui justru semakin menambah rasa penyesalan atas sikap yang telah dilakukannya kepada Tama waktu itu. Pertemuan yang membukakan pintu kenangan yang telah lama Layla tutup rapat-rapat.

Layla merasa hal tersebut hanyalah rasa bersalahnya yang berubah menjadi rasa iba. Atau mungkin kedekatannya waktu itu tak lebih hanya sebatas rasa ibanya kepada Tama atas perjuangannya yan telah dilakukan. Dan sebuah kekaguman atas pengalaman yang oleh Tama selalu dijadikan ruang pembelajarannya untuk berani mendobrak!

“Tak ada yang salah dengan keputusanku!”

“Pertemuan tadi pun hanya kebetulan.”

Kedewasaan serta kemandirian menjadikan Layla semakin pintar melakukan pembenaran atas tindakannya. Meskipun, sekarang pintu itu telah terbuka kembali. Tama seolah selalu berbisik luruh menuntun, disaat Layla dengan kedewasaannya seolah tak mendengar pesan-pesan itu. Terkadang, Tama menyalakan cahaya remang Layla. Tapi, Layla meredupkannya dengan keinginan yang lain.

“Sebegitu cintakah engkau kepadaku?” kata Layla kepada kelapa muda yang sedang ia nikmati untuk menuntaskan dahaganya. “Aku sedang berusaha mencintai diriku, apakah kamu menjadi bagianku?” lanjut Layla.


ia bersembunyi di balik relung sukmamu

tapi malah semakin engkau sembunyikan
ia sangat dekat denganmu
tapi engkau mengira jauh dengan ilmumu
bagaimana engkau mau mengenalnya, jika kamu sendiri enggan untuk menganggapnya?

(Bersambung)

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.