“Soul-Harm”

Salah satu indikasi gejala psikologi ini adalah kebiasaan menyakiti diri agar bisa melampiaskan perasaannya. Dengan beberapa kecendurungan yang bisa diidentifikasi dengan data-data yang telah diteliti.

Teringat pesan Simbah kalau ilmu psikologi hanya mengetahui tanda-tanda yang nampak pada permukaan diri. Karena belum bisa memastikan kebenaran apa yang sesungguhnya ada di dalam diri. Sifatnya umumnya atau kebanyakan. Termasuk istilah self-harm itu sendiri yang menyakiti fisik diri, tapi bagaimana jika yang disakiti itu batinnya? Apakah istilah psikologinya masih sama?

Terutama jika dikaitkan dengan pendalaman spiritual. Tentu yang dirasakan adalah gejolak batin seperti roller coaster. Untuk mendapati ilmu-ilmu spiritual tertentu, terkadang selalu saja dihadapkan dengan penilaian melalui pengalaman langsung. Yang tidak bisa hal itu dikatakan baik-baik saja, karena selalu batin atau hati selalu menjadi sasaran pertumbuhan dan keluasan. Bahagia bukan pilihan karena rasa sakit yang selalu diberikan. Nikmat yang cenderung memiliki asumsi terhadap kebahagiaan, tapi yang dialami nikmat yang dirasa justru sebaliknya.

Apakah ada yang menginginkan rasa sakit? Tentu saja tidak! Hanya saja, itu seperti sudah menjadi suatu fase atau syarat untuk mendapati salah satu puncak kenikmatan yang hasilnya bisa berbuah ilmu.

Ilmu itu ibarat sebuah kunci lemari perkakasmu yang siap untuk digunakan di waktu yang masih kita belum ketahui kedepannya. Kunci nikmat, kunci syukur, kunci sabar, kunci iman, dan masih banyak lagi kunci yang lainnya. Yang bisa dipergunakan tidak hanya diri, tapi dipinjamkan atau diduplikatkan untuk orang lain pula.

Karena tipikal manusia sangat banyak. Ada yang mau sedikit banyak menyusun langkah-langkah sebelum benar-benar melakukan suatu tindakan. Ada yang cenderung memilih sesuatu yang praktis mengambil kenikmatan apa yang telah diupayakan orang lain. Ada yang suka mencuri diam-diam karena takut dengan anggapan/asumsi/prasangka. Ada yang sengaja mencuri karena keterpaksaan yang menghimpit diri. Dan masih banyak lagi.

Banyak yang harus diikuti tidak hanya sekedar disepakati dengan segala konsekuensinya, dan juga menjaga kesediaan dirinya terhadap komitmen yang telah dilontarkannya. Kita sedang tidak berlomba, tapi kita sedang saling menemani langkah untuk menggapai tujuan bersama.

Lantas jika sakit itu menjadi bagian yang pasti, manakah yang akan engkau ambil antara melukai atau memilih terlukai? Apalagi untuk mencari Tuhanmu, sudah pasti jiwamu akan menjadi tawanan bahkan menjadi salah satu bagian yang mesti dikorbankan. Menjadi sebuah persembahan yang selalu mengalami proses penyucian.