Ghibah

Dalam sebuah pertemuan, hal yang paling menarik adalah membicarakan suatu subjek tertentu. Ini tidak salah, bahkan merupakan suatu hal yang wajar. Terlebih kita sebagai manusia dilengkapi dengan seperangkat alat penglihatan, pendengaran, dan pemikiran yang sangat canggih. Dan juga software hati dengan teknologi yang sangat mutakhir. Sehingga, kita tidak bisa lepas dari output hasil pengolahan suatu data terhadap suatu proses aktivasi dari seperangkat alat tersebut, yang sering kita nyatakan sebagai sebuah bentuk penilaian.

Penilaian tersebut kalau dalam komunikasi sering mewujud menjadi suatu prasangka yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Belum memiliki bukti valid atas informasi yang diterima. Belum utuh, masih berupa kepingan-kepingan mozaik yang belum lengkap wujud visual kenyataannya.

Tapi, kita sering menjadikan prasangka sebagai suatu kebenaran. Sekalipun prasangka itu mendapatkan konfirmasi dari banyak orang, apakah sudah dapat dipastikan bahwa penilaian tersebut pasti benar? Atau jangan-jangan ada rasa dari dalam diri untuk menjadi lebih baik dibandingkan orang lain. Ada suatu kepuasan ketika orang lain mendapatkan penilaian yang buruk. Ada dendam karena dirinya pernah kalah atas kompetisi yang dibuat oleh diri sendiri.

Itulah mengapa ketika kita ghibah atau membicarakan suatu hal tentang orang lain, kita juga mesti memiliki kewaspadaan, terutama terkait rasa. Adakah perubahan rasa ketika mendapatkan suatu informasi dan data tentang orang lain? Tetap percaya atau berubah menjadi ragu? Tidak mengurangi rasa cinta atau justru berbalik menjadi kebencian? Tetap mau membersamainya atau justru menjauhinya?

Kita seringkali kurang waspada terhadap segala bentuk informasi yang kita dapat. Jangan sampai diri kita tenggelam atau hanyut akan arus informasi yang kita sendiri tidak memiliki kemerdekaan atas server yang dibangun di tubuh kita sendiri. Baik atau buruk penilaian yang nantinya akan didapat, kita harus mengolah semua itu tetap dalam frame “tahadduts bin-Ni’mah”.

Jangan biarkan segala sesuatu yang buruk dan busuk itu meracuni ketulusan dan kelembutan hati. Jangan pernah ambil kesegaran dan kenikmatan daging yang disajikan, sekalipun kamu lapar, sebelum rasa syukur itu dititipkan di dalam hati kita masing-masing. Terlebih karena telah dipertemukan dan diperjalankan di jalan cinta yang sama.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.