Category Archives: Bulir

Autokritik

Dalam kesempatan Mocopat Syafaat edisi Bulan Februari kemarin, di awal sesi Mbah Nun sempat menyinggung istilah “intiqad-nafsi”, atau sederhannya autokritik. Yang diartikan sebagai salah satu upaya untuk mewaspadai kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri.

Ketika keadaan dirasa stagnan atau membutuhkan suatu adaptasi baru karena zaman yang terus berubah, maka autokritik ini sangat diperlukan untuk mengevaluasi kemampuan diri agar mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang terjadi.

Hidup ini sendiri penuh dengan dinamika perubahan dengan time frame yang tidak bisa ditebak. Adanya sikap autokritik ini nantinya akan membantu kita untuk memberikan prediksi terhadap sesuatu yang akan terjadi. Karena selain mampu mengevaluasi kelemahan, autokritik juga membangun kemauan untuk belajar karena menyadari kelemahan dan kekurangan yang terdapat pada diri.

Apabila kita tidak waspada, dan merasa mudah puas atas apa yang sudah dilakukan, maka kita akan mengalami hambatan untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan yang selalu datang silih berganti.

Dalam Islam, autokritik ini memiliki peran yang sangat penting dalam proses introspeksi diri.  Autokritik dalam Islam berkaitan dengan konsep muhasabah atau perhitungan terhadap diri, yang mana seseorang secara kritis mampu mencari kesalahan dan kekurangan yang mungkin telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

afakhasibtum annama kholaqnakum abatsan wa annakum ilaina laa turja’un.” Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Salah satu ayat yang juga dibacakan bersama pada malam Mocopat Syafaat itu setidaknya juga dapat menjadi pemantik, untuk tidak berhenti mengevaluasi diri dengan menumbuhkan sikap autokritik. Lantas, apa saja kekurangan yang mungkin saja kita tidak sadar memeliharanya? Apa saja kesalahan atau kelalaian yang mungkin malah kita jadikan kebiasaan?

Sepoh

Sepoh itu bisa mengandung makna yang dituakan, namun bisa juga mengandung makna hambar. Dalam bahasa jawa, pelafalan kata ini hampir memiliki kemiripan yang tentu saja menarik untuk dicari-cari kesambungan maknanya.

Orang yang dianggap sudah sepuh/tua biasanya memiliki cara berpikir dan aktualisasi yang berbeda dari mereka-mereka yang lebih muda. Kalau tidak, maka kesepuhannya akan terasa sepoh atau hambar. Salah satu yang paling kentara dari mereka adalah mampu ngemong mereka yang lebih muda. Mampu mendidik serta membimbing pertumbuhan kedewasaan orang-orang yang lebih mudah darinya.

Namun, sepertinya waktu berkata lain. Evolusi perkembangan zaman seolah menerobos percepatan kedewasaan cara berpikir dan sifat di segala rentang usia. Jika dulu, ukuran itu adalah usia karena banyaknya pengalaman hidup. Namun, sekarang tanda itu telah bergeser. Sebab, bisa jadi pengalaman hidup itu bisa dirangkum dalam satu informasi yang menyebabkan percepatan kedewasaan yang bisa diakses di segala rentang usia.

Maka tidak heran, kalau di zaman sekarang sikap sepuh justru sering ditunjukkan oleh orang-orang yang lebih muda. Tak jarang kita dipertontonkan oleh drama kericuhan para pemegang amanah rakyat yang notabene seharusnya sudah matang dan sepuh cara pandang dan pemikirannya, dan layak menjadi contoh bagi generasi-generasi berikutnya, namun pada akhirnya hanya menjadi bahan cemoohan.

Meskipun kadang terdapat nilai adab terhadap yang lebih tua, namun nyatanya pengertian adab tidak hanya sebatas itu. adab juga mencakup tata krama dalam bergaul terhadap orang lain, baik itu sesama manusia, hewan, ataupun alam sekitar. Adab juga menyangkut etika dalam hubungan yang sudah terbangun secara nilai.

Jangan sampai, sesuatu yang seharusnya menunjukkan kemuliaannya, justru berbalik menjadi kehinaannya. Jangan sampai sesuatu yang seharusnya penuh limpahan nikmat dan kaya akan cita rasa, justru dibiarkan begitu saja hingga terasa sepoh/hambar.

Resonansi Kepemimpinan

Resonansi adalah getaran dari salah satu benda yang menyebabkan benda lain bergetar. Getaran itu akan menghasilkan frekuensi tertentu yang berpotensi untuk mempengaruhi lingkungan sekitarnya, terutama kepada frekuensi yang lebih rendah. Apakah hal tersebut juga berlaku bagi manusia?

Kita mungkin seringkali mendengar, tentang bagaimana keadaan suatu wilayah akan bergantung pada pemimpinnya. Akan tetapi, lebih tepatnya mungkin itu bukan pada satu subjek (pemimpin) saja, melainkan terhadap manajemen pengelolaan kepemimpinannya. Sedangkan kultur yang terbangun sampai pada saat ini kurang bisa mendukung dalam pemilihan model kepemimpinan yang ideal.

Akibatnya, budaya-budaya itu menjalar ke dalam lingkungan yang tidak seharusnya terkontaminasi oleh hal-hal yang berbau korupsi ataupun premanisme. Misalnya saja di wilayah daerah tempat saya tinggal, timses kampanye akan mendapatkan bagian atau jatah untuk menguasai lahan parkir area tertentu. Meskipun, timses oposisi juga akan memiliki bagian jatah yang sama. Timses yang biasanya terbentuk dari ormas-ormas yang ada.

Lantas, mengapa kita selalu melihat sisi buruknya? Sedangkan sisi-sisi yang baik dan positif masih banyak dilihat dan dirasakan efeknya secara langsung. Kita melihat orang-orang itu membagi-bagikan roti, sementara kita tidak mendapat sisa bagian dari roti itu, meski seculi. Padahal, kita adalah bagian dari orang-orang yang membuat roti tersebut, namun tidak mendapatkan haknya.

Tidak semua orang yang jujur dan menerima lantas menjadi orang bijak. Dan tidak semua orang yang nempak suka mencuri atau berbohong itu merupakan orang yang bangsat. Setiap orang seharusnya mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Setidaknya, agar mampu berdaulat atas pemikirannya sendiri, serta berani untuk bersikap jujur. Tidak hanya menjadi pecundang yang sukanya lari atas kesalahan yang sebenarnya dirinya ikut andil di dalamnya.

Menjilat, tidak hanya berlaku pada atasan di kantor, namun juga bisa berlaku di wilayah-wilayah sosial untuk mengambil atensi yang lain. Merendah untuk meninggi. Yang tidak bisa dipegang kata-katanya untuk dijadikan panutan.

Jangan jadikan resonansi negatif-negatif di wilayah ketulusan itu dibiarkan tumbuh. Jernih hati dan pikiran, bukan berarti sebelumnya tidak pernah mengalami kekeruhan. Tidak tega bukan berarti tidak bisa tegas dalam menentukan sikap. Jika berani menyatakan sikap untuk “memutuskan”, berari sudah siap untuk “diputuskan”, apapun hubungan yang berada di frekuensi kepemimpinan itu!

Penantian

Bagi seorang perasa, keadaan yang terjadi begitu meresahkan. Bagi seorang pecinta, keadaan ini mungkin begitu menyakitkan. Akan tetapi bagi para pengagum yang fanatik, keadaan ini menjadi sebuah ladang untuk ajang pembuktian, dan juga medan juang untuk menunjukkan eksistensinya.

Sebuah keadaan yang mana alam melakukan kodratinya untuk menyelaraskan zaman. Dibutuhkan suatu perubahan yang sedikit banyak akan membutuhkan tidak hanya perjuangan, namun juga pengorbanan. Untuk menyortir siapa-siapa yang paling bisa beradaptif dengan tatanan perubahan yang baru.

Hal yang paling dikhawatirkan adalah ketika semua rasa telah menyatu dan saling memiliki satu dengan yang lainnya, maka kita akan ditempakan dengan suasana baru, yakni kehilangan. Patut dinanti, apakah ada dan tiadanya akan menyebabkan mereka untuk tetap satu?

Zona Integritas

Kita sering menjadikan nilai sebagai tolak ukur, sesuai dengan cara pandang dan cara pikir yang masing-masing dari kita tentunya akan  memiliki sistem penilaian yang berbeda.

Dengan bekal nilai yang telah didapati, maka kita akan naik tngkat satu level ke dalam wilayah moral. Moral itu sendiri merupakan output dari nilai untuk menentukan benar atau salah langkah yang (sudah, sedang) akan kita hadapi.

Setelah menentukan moral, selanjutnya kita akan berada di ranah etika. Akan tetaoi perlu diwaspadai, bahwa etika dari perilaku manusia tidak selalu sama dengan moral yang dimiliknya. Sekarang orang-orang pintar make-up atau merias diri, agar diri yang sesungguhnya tersamarkan.

Contoh keadaan yang kontras antara moral dan etika adalah korupsi. Anggap saja kita meyakini kalau orang-orang yang melakukan tindak pidana korupsi, pasti menyadari bahwa melakukan korupsi merupakan tindakan yang tidak bermoral.

Orang-orang pandai yang menjadi seornag pemimpin biasanya menunjukkan etik dan attitude yang baik, sopan, dan santun. Meskipun budaya yang tercipta sarat akan tindakan korupsi (melawan moral) yang dilakukannya, namun biasanya hukum hanya akan mengambil kasus-kasus korupsi yang besar-besar saja.

Bayangkan saja, tidak hanya di gedung-gedung pusat pemerintahan, di Desa pun fenomena korupsi sudah sangat melekat, hanya saja nominalnya masih sangat kecil. Tapi bibit-bibit itulah yang pada akhirnya merusak integritas para pegawai pengabdi masyarakat.

Seolah etika bisa dilanggar bagi para penguasa, atau ketika ada momen-momen kepentingan tertentu. Meski tetap dihormati oleh bawahannya, namun keadaan tersebut akan menjadi perusak integritas. Pantas saja pemimpin-pemimpin itu terus di-rolling, seperti arisan. Kalau perlu tulisan “zona integritas” jangan hanya menjadi hiasan pintu masuk instansi, melainkan pintu masuk para pimpinan.

Kita membutuhkan tempat yang adil, agar permainan yang tercipta menjadi fair-play. Kita adalah pemain bersama-sama untuk menapaki kebahagiaan bersama, bukannya untuk dimanfaatkan untuk menjadi pelengkap kebahagiaan ambisi mereka yang di atas kita.

Bagaimana mungkin seseorang bisa berintegritas dengan orang lain, jika dengan dirinya sendiri dirinya belum mampu menanamkan sikap integritas?

Tangga

Kita biasanya mencari sebuah tangga untuk menapaki sebuah tempat yang lebih tinggi. Untuk menaiki lantai 2, untuk mengganti lampu yang padam, atau ketika ingin memperbaiki genteng yang bocor. Alkisah, tangga menjadi suatu mindset untuk dapat meraih sesuatu yang tinggi.Mindset tersebut terkadang pula membuat kita lupa, bahwa fungsi tangga tidak hanya untuk “naik” ke posisi yang lebuh tinggi. Ada fungsi lain yang justru lebih penting, yakni sebagai jalan untuk kembali ke posisi awal dengan selamat. Bayangkan jika tidak ada tangga, bagaimana kita akan turun dari lantai dua, atau bagaimana kita akan turun setelah memperbaiki genteng yang bocor?Dengan adanya tangga, maka kita diberikan kemudahan untuk turun. Tangga bisa jadi suatu kiasan yang menggambarkan akses jalan bagi sesuatu yang naik dan turun.Saya hanya sedikit membayangkan bagaimana ayat-ayat dari langit (Allah) yang turun dan menjadi pedoman bagi seluruh manusia. Bagaimana ayat-ayat tersebut melalui sebuah akses yang pada akhirnya menunjukkan jalan keselamatan.Jika ayat-ayat tersebut dapat tersampaikan, bukankah itu menjadi suatu tanda bahwa sebenarnya terdapat sebuah tangga yang bisa kita lalui pula untuk menaiki asal muasal ayat-ayat tersebut?Hanya sangat disayangkan bagaimana orang-orang saling berebut tangga kebenaran antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila yang terjadi demikian, sudah sewajarnya kita lebih waspada terhadapnya. Sebab, tangga itu hanya akan dipakai untuk “naik” guna mengambil sesuatu untuk kemashlahatan dan keselamatan, bukan malah untuk digunakan sebagai bekal pertengkaran, apalagi permusuhan.Karena para ahli pemanjat “tangga” –yang notabene pernah melihat sesuatu dari tempat (maqom) yang lebih tinggi— atau yang setidaknya pernah diberikan kesempatan itu, biasanya akan memiliki ketrampilan dan cara pandang khusus, yang berbeda dengan yang lainnya.Lalu, apa perbedaan itu? Salah satunya adalah tidak mempermasalahkan perbedaan, karena dari pengalamannya, tidak didapati satupun manusia yang bisa menjamin keselamatan hidupnya kelak.

Dibiarkan Bersenang-senang

Sepertinya tidak ada satupun yang tidak mengetahui bahwa kita adalah bagian dari kekuasaan Allah Swt. Perkataan mereka seolah menyatakan suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, apa yang disangka kuat dalam diri ternyata lemah. Sesuatu yang seharusnya menjadi anugerah, justru menjadi provokator keburukan apabila kita tidak waspada terhadapnya.

Kita bisa saja saat ini sedang menjadi “numatti’uhum qalilan” atau orang yang dibiarkan bersenang-senang sebentar, sebelum kemudian mendapati paksakan untuk merasakan hukuman atas kelalaiannnya. Fenomena yang terjadi sering menjadi bias pemaknaan atas banyaknya perbedaan yang saling berebut kebenaran. Apakah perebutan itu menjadi pertanda bahwa seyogyanya tidak ada yang mengetahui di antara mereka? Sedang mereka malah asyik dan justru bersenang-senang menikmatinya.

Sangat disayangkan jika kebaikan itu mesti menghilang karena adu kebenaran. Orang-orang yang bersenjatakan kecanggihan akal dan pikirannya justru terkelabuhi oleh kabut egonya sendiri. Menang tak menjadikan dirinya merendah, kalahpun tidak menjadikan dirinya gagah. Hingga bijak acapkali nampak bagaikan kepongahan yang penuh dengan pemakluman.

Mereka hanya berani melantangkan, tanpa pernah rela untuk melapangkan. Mereka hanya mengetahui tentang gambaran kemenangan, tanpa mau sekalipun berkenalan dengan keniscayaan. Serasa hambarnya kebahagiaan, yang dirasa tanpa pernah mau memahami kehilangan.

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (31:25)

Cinta yang Membebaskan

Setiap orang pasti mencinta, sebab hanya karena itulah alasan mengapa dirinya hidup. Akan tetapi, banyak dari kita menganggap cinta hanyalah sebagai alat untuk menapaki kebahagiaan yang kita inginkan. Terutama untuk memenuhi kebutuhan nafsu yang selalu membara.

Namun apakah cinta hanyalah berada di satu sisi bernama kebahagiaan saja? Lantas bagaimana dengan keputusasaan ketika mencinta hingga seringkali mendatangkan kesedihan, apakah itu bukan berarti cinta?

Terkadang orang terlalu berlebihan dalam menafsirkan cinta hanya menghadirkan kebahagiaan saja, dengan menafikkan segala perasaan yang membuatnya kecewa dan bersedih hati. Padahal, sudah semestinya jika kita mengidentifikasi dan mencermati secara seksama, cinta selalu hadir dalam kedua sisi yang berlawanan sekalipun.

Ketika berlebihan itu dipaksakan, hal itu justru bisa berpotensi merusak keseimbangan. Harmoni tidak akan tercipta dari satu unsur pencipta saja. Yang satu tidak akan bermakna tanpa adanya yang dua, yang tiga, dst. Hal ini seharusnya menjadi suatu kewaspadaan agar kita memahami, bahwa cinta tidak boleh dipaksakan. Biarlah ia mengalir seperti adanya, kita hanya perlu membuat aliran itu tenang dan menenangkan bagi apapun saja yang dilaluinya.

Tidak hanya bahagia dan sedih, semangat atau putus asa, harapan atau kekecewaan, dsb. Melainkan cinta adalah kebebasan atas rasa yang bisa tercipta dan berubah seketika. Cinta itu membebaskan, bukan justru pengekangan atas sesuatu. Ia sanggup melepaskan segala bentuk kegundahan dan keresahan tanpa sebab, hingga apa yang seharusnya dirasa sebagai suatu bentuk pengorbanan, ketika mencinta itu bukan lagi sebagai pengorbanan.

Bisa jadi cinta itu tidak bisa didenifisikan. Cinta adalah cinta itu sendiri. Namun meskipun begitu, hatimu pasti banyak menafsirkan makna cinta yang mesti engkau pilah dengan lebih bijak dan lugas. Sebab, hidupmu adalah laku aktualisasimu atas hasil pemaknaan cinta tersebut.

Lebih Baik Duduk Berdiam Diri, daripada Harus Berdiri

Sesuatu yang benar, nampak seolah-olah salah. Sedang yang salah, justru terlihat benar. sebenarnya kita tidak sedang berada dalam keadaan yang pantas untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi, kita telah terlanjur untuk dididik menentukan pilihan antara benar dan salah.

Seiring berjalannya waktu, yang benar lama-kelamaan bisa menjadi salah. Sebaliknya, yang salah suatu saat bisa menjadi suatu kebenaran bernama hikmah. Waktu yang telah berlalu bisa menjadi suatu pelajaran dan masa depan merupakan suatu harapan,  sedangkan sekarang, saat ini ketika engkau sanggup membaca merupakan suatu anugerah.

Anugerah bukan karena tulisannya, melainkan kesempatan yang ada untuk menikmati segala bentuk nikmat yang tercipta. Yang masing-masing dari kita memiliki jatah dan bagian yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Meskipun, kelemahan kita sesungguhnya adalah hasrat. Yang tak jarang sering menjebak diri ke dalam perang argumen, baik yang tersampaikan ataupun yang tersirat. Mengakibatkan fitnah-fitnah yang banyak menimbulkan perselisihan dan perpecahan di jagad komunal. Kebanyakan dari mereka merupakan orang yang berilmu, akan tetapi terkadang buta dengan kebenaran.

Bukan berarti apa yang ditulis merupakan suatu kebenaran, kecuali banyak salahnya. Bisa jadi keadaan yang terlanjur rumit akan berhasil terurai ketika kita aktif, akan tetapi tidak menutup kemungkinan yang rumit akan terurai dengan sendirinya hanya dengan berdiam diri atau pasif terhadap keadaan. Ada suatu ruang yang mana kita hanya disuruh mendengar, tanpa harus memberikan jawaban.

Artinya, diam bisa menjadi suatu tindakan untuk menjaga diri. Tidak terlalu cepat membenarkan suatu data, dan tidak pula menghakimi sesuatu yang dianggap salah. Kita hanya butuh belajar mengambil cara yang lebih tepat agar terhindar dari sifat-sifat yang merugikan diri, seperti saling menghujat, menghina, dan menjatuhkan. Yang terkadang butuh kita lakukan hanyalah bersabar dan berdoa meminta perlindungan kepadaNya.

Seperti sepenggal nasihat yang pernah disampaikan oleh Kanjeng Nabi ketika banyak muncul fitnah dan perselisihan, “Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari.”

Tapi perlu dicatat juga, bahwa duduk disini disarankan ketika dalam keadaan terjadi banyak perselisihan, bukan dalam hal mencari penghidupan. Kecuali engkau ingin mati kelaparan, atau “mati” harga dirimu sebagai hamba yang telah banyak diberikan nikmat kehidupan.

Tergantung atau Bergantung?

Setiap orang bijak biasanya akan melakukan segala sesuatunya “tergantung” pada keadaan yang sedang dialaminya. Sehingga dirinya bisa menerapkan lakunya sesuai dengan empan papan. Orang dengan model seperti ini biasanya sangat cocok menjadi artis, karena memiliki bakat untuk bersandiwara.

Ada juga model orang yang melihat segala sesuatu keadaan itu sama, kemudian “bergantung” pada dirinya akan merespon keadaan itu seperti apa. Orang model seperti ini adalah tipe orang yang berdaulat pada dirinya sendiri, meskipun apabila tidak waspada sangat riskan disebut orang yang sakgeleme dewe (semau-maunya sendiri). Karena perbedaan orang yang berdaulat dan berbuat sesukanya sendiri sangatlah tipis.

Pada dasarnya, setiap manusia adalah orang yang bijak karena memiliki akal. Contohnya, setiap orang pasti membersihkan lubang duburnya setelah melakukan buang hajat besar. Terlepas dari penggunaan air atau sekedar hanya menggunakan tisu, menggunakan tangan kiri atau kanan, memakai shower atau ciduk, itu adalah bakat seniman yang telah diyakini kebenarannya masing-masing.

Orang yang berdaulat tidak akan menerima perintah hajat besar, kecuali dirinya yang memerintahkan. Meskipun tahu segala konsekuensi yang mesti dialami, akan tetapi orang ini sangat suka bermain di wilayah batas limitasi dirinya.

Untuk menjadi bijak sangatlah mudah, berbeda dengan menjadi sosok yang berdaulat. Yang bijak membuat dirimu dan mungkin sekitarmu nyaman. Sedangkan yang daulat, seringkali membuat dirimu dan sekitarmu tidak nyaman. Sehingga manusia akan lebih suka cenderung memilih “tergantung” daripada “bergantung”. Kalau bisa mudah, mengapa harus memilih ribet?

Oleh karenanya, orang bijak belum tentu berdaulat, tapi orang berdaulat sudah pasti bijak. Salah satu yang utama dari sifat seorang teladan ummat manusia bukanlah karena dia bijak, akan tetapi karena dirinya berdaulat dengan dirinya sendiri.

Orang yang bijak biasanya terbentuk oleh keadaan, akan tetapi orang yang berdaulat adalah orang-orang yang pintar mengkreasi dan memanipulasi keadaan, sehingga apapun keadaannya, tidak memungkinkan untuk memengaruhi atau bahkan merubah dirinya, kecuali sebagai ladang pembelajaran.