Category Archives: makna

GELOMBANG

Setiap manusia sekarang bangga akan identitas yang melekat pada dirinya. Contohnya saja sebuah nama gelar yang melengkapi namanya baik di depan atau dibelakang. Yang bisa menunjukkan tingkatan kelas akan ilmu yang ia telah tempuh. Walaupun belum pasti gelar yang tersanding di namanya didapat karena telah “lulus” atau hanya sekedar formalitas ritual yang harus dijalani untuk mendapati gelar tersebut.

Bukan hanya itu, secara tidak sadar pun kita sering mengidentitasikan diri kita sendiri ke dalam suatu kelompok tertentu. Dan kita bangga akan itu. Sekarang yang perlu diperhatikan ialah kitanya sebagai manusia apa identitas tersebut? Gelar? Apakah besok di alam sana hal tersebut akan ditanyakan? Kamu kalau tidak bergelar sarjana kamu tidak akan masuk surga. Atau kamu kalau tidak ikut dalam kelompok FPI kamu tidak akan mendapat surga. Begitukah?

Entah kita ini terlalu polos atau jujur terhadap dunia ini. Kita sudi untuk digiring sedemikian rupa sehingga kita lupa akan hakikat kita sebagai manusia. Kita dibuat terhijab oleh segala kefanaan. Oleh gegap gemerlap kehidupan mewah dunia. Oleh kesenangan, kecemburuan, kekuasaan, pangkat, jabatan yang selalu kita kejar demi mendapatkan penghidupan yang layak.

Sebenarnya saya sendiri pun takut kalau semua ini hanyalah sebuah pembelaan terhadap diri saya. Ketaatan ini bisa menjadi “jebakan batman” bagi si penulis. Jujur, ketaatan akan lebih menjerumuskan daripada kemaksiatan karena hal itu bisa tidak terlihat dan tidak disadari sama sekali.

Maka dari itu kita mesti memperhatikan dan lebih belajar untuk mengenali diri kita sendiri. Kenapa? Bukannya lebih baik kalau kita mempelajari ilmu yang bersangkutan dengan kemajuan baik bagi diri sendiri maupun sekitar kita? “kemajuan” disini berarti ada sedikit ego yang mendorong nafsu untuk menjadikan sesuatu lebih baik. Dalam bentuk apapun yang pasti itu berkaitan dengan apa yang diluar diri kita yang nanti mungkin akan  berimbas pada dikenalnya atau pembuktian diri.

Kita masih sering salah berprasangka karena belum mengenalnya kita pada diri kita sendiri. Mengapa kita disini atau mengapa aku lahir, mengapa aku jadi manusia, bukan burung? Mengapa aku lapar, haus? Mengapa hanya aku, bukan dia, atau ia, atau mereka? Kita sering mengira bahwa dunia itu terlalu luas, padahal diri kita sebenarnya adalah lebih besar dari dunia itu, hanya prasangka kita menjadikan dunia itu terlipat-lipat.

Sebenarnya saya sendiri pun bukan seorang penulis atau seorang ahli, jadi ya sejalannya jari jemari mau menekan huruf apa aja, yang penting jalan gitu aja. Jangan diperhatiin, diikutin apalagi dipikir dalem-dalem. Yang enak-enak aja hidup itu, jangan dibikin serius.

Salah satu cara untuk mengenali diri kita sendiri ialah dengan mengetahui gelombang dimana kita berada. Gelombang disini merupakan suatu ahwal (keadaan) yang sangat mempengaruhi pemikiran kita, baik itu tentang dirinya, dunia, ataupun Tuhannya. Gelombang ini sangat menentukan arah dan tujuan seseorang. Gelombang ini terbagi dalam 3 tahap. Yang pertama merupakan gelombang terluar, paling terlihat di zaman sekarang ini. Lalu, ada gelombang pencarian, dan yang terakhir merupakan inti gelombang.

Gelombang terluar ini biasanya mencakup pandangan materialistik. Golongan yang termasuk dalam golongan ini masih terhijab oleh dunia ini. Dia lebih banyak disibukkan oleh urusan dunia, yang sejatinya tidak memiliki nilai keabadian di dalamnya. Karena semua urusan di dunia ini sebenarnya hanyalah kefanaan, hanya sendau gurau, bahkan kalau kita bisa melipat waktu hidup di dunia hanyalah “mampir ngombe kopi”.

Orang saling sikut sana-sini karena keegoisan masing-masing, akan rakusnya kekuasaan, pentingnya suatu jabatan. Orang yang ada dalam gelombang ini sudah terhalang oleh nafsu dan syahwat yang membungkus hati mereka. Naluri kecintaan pada alam semesta telah kabur, bahkan hilang sama sekali. Kalaupun ia beribadah yang ia minta hanyalah harta kekayaan dunia dengan alasan demi masa depan yang lebih baik.

Masa depan hanyalah misteri, masih ghaib, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali orang-orang yang telah dikaruniai penglihatan khusus oleh Tuhan. Sungguh “saru” ketika meminta masa depan yang lebih baik pada Tuhan akan tetapi itu hanya kepentingan dirinya sendiri atau setidaknya demi keluarganya. Bukan untuk Tuhan yang dia sembah, yang dia selalu mohon doa. Seakan-akan tuhan tidak pernah memikirkan masa depan kita walaupun hanya beberapa detik saja.

Orang yang berada di gelombang terluar ini juga selalu sibuk dengan urusan-urusan syariat. Mereka selalu memperdebatkan hal-hal khilafiyah yang sesungguhnya hal itu masih bisa ditolerir dalam urusan peribadatan. Bahkan mereka tak segan untuk mengkafirkan bahkan membid’ahkan orang lain walaupun mereka seagama. Yang mereka utamakan hanyalah dhohir atau penampilan mereka, akan tetapi batin mereka masih terhijab. Lisannya selalu penuh kebencian dan perpecahan seindah apapun mereka membungkusnya, sekalipun dengan bungkus agama. Tapi itu hanyalah sebatas kerongkongan, bagaikan anak panah yang meluncur cepat seperti apa yang Rasul pernah sampaikan, akan ada kelompok atau golongan di akhir zaman yang seperti itu. Wallahu’alam.

Ya begitulah kalau agama dijadikan sarana demi kepentingan politik atau kekuasaan. Mereka selalu mengatasnamakan agama. Agama harus dibela, demi menegakkan khilafah. Pethuk gak sih, lha wong kita yang butuh agama, agama gak perlu dibela pasti menang. Khilafah tidak perlu ditegakkan pasti nanti pada akhirnya dia akan menunjukkan kesejatiannya.

Bergurulah sama orang yang tidak pernah menampakkan dirinya, tetapi murid-muridnya lah yang selalu membuat beliau tersingkap. “People zaman now” sungguh mabuk dimabuk kepayang. Ketidakseimbangan serta ketidaksinambungan hubungan antara yang satu dengan yang lain itu sulit untuk ditemukan. Semuanya secara tidak langsung menggendong tendensinya masing-masing yang bernama identitas. Semua ingin merongrongkan ke-aku-annya, karena yang paling keras yang bakal paling banyak didompleng. Seenggaknya itulah yang terjadi jika kita masih berada pada gelombang pertama.

Yang kedua merupakan gelombang pencarian. Manusia yang berada dalam gelombang ini sudah sadar akan kebutuhan ruhaninya. Mereka hidup tidak hanya untuk memberi makan jasadnya, akan tetapi ada kesadaran jika hati mereka juga perlu diberi asupan. Jika tubuh ini tidak diberi makan aja bisa kering, begitu pula dengan hati ini. Kalau hati tidak diberi makanan yang sehat, maka hatinya pun akan condong ke ketidakjelasan yang tidak memiliki manfaat dalam kebutuhan ruhaninya.

Ibarat kata manusia yang sudah mengenal zuhud, dunia ini sudah tidak mereka anggap penting. Mereka sudah tidak memikirkan materi. Mereka sudah sibuk memberi makan hatinya dengan belajar tentang agama untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Mereka rindu akan kehidupan setelah di dunia ini yang fana.

Hal ini tak terlepas dari pendidikan zaman sekarang yang sudah maju. Semakin banyak formalitas pendidikan yang sudah mampu menembus batas-batas nalar. Akan tetapi sejalan dengan formalitas pendidikan yang sangat dibutuhkan, begitu pula hal ini terjadi juga pada gelombang ini. Ada yang sekedar formalitas belaka, ibarat mereka mencari Tuhannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi dengan sifat-sifat yang bertolak belakang dari ajaran yang dianutnya. Dari mulutnya keluar lafazh-lafazh Allah, tp itu hanya sebatas sampai di kerongkongan mereka.

Akibat model pendidikan zaman sekarang yang kembali lagi mengutamakan hasil yaitu berupa identitas. Maka ia tidak akan bisa sembunyi atau akan selalu bernafsu untuk menunjukkan ke-aku-annya. Walaupun ia sudah berzuhud, sudah menperdalam ilmu tassawuf, akan tetapi jika ada sedikit saja rasa untuk membanggakan itu, lenyaplah sudah.

Bagaimana mungkin bisa ia malah mencari perhatian para penduduk bumi, sedang penduduk langit yang sejati selalu memperhatikannya. Ia mengaku berzuhud, tetapi dalam hatinya masih penuh dengan riya. Disinilah terkadang ketaatan bisa berarti lebih menjerumuskan daripada berlaku maksiat. Maksiat itu jelas, sedang riya itu terkadang kita lupa kalau kita tidak berhati-hati dalam ketenaran. Makanya para pelaku zuhud yang sejati, para sufi lebih memilih sembunyi di balik tirai dunia yang selalu menghijabi pandangan mereka ke Sang Khaliq.

Biarlah aku tersesat dalam kefanaan ini

Menghilang dalam peradaban kemilau lentera malam

Mencari temaram dimana engkau sembunyi

Menyusuri tiap gelombang dalam lautan hening-Mu

Atau biarkan pandanganku ini salah terhadap kalian. Aku hanya menggerakkan jemariku, jemariku pun bergerak atas ijinNya. Lalu bagaimana semua tulisan ini dapat terurai begitu panjang lebar. Seakan menjudge suatu identitas, kelompok, ataupun aliran tertentu. Tidak, sama sekali tidak. Itu hanya prasangka kalian terhadap setiap jengkal huruf yang tak sengaja tertulis ini.

Dalam gelombang kedua ini yang memiliki arti pencarian. Seseorang tidak akan pernah menemukan kebenaran dari atau dalam dirinya. Ia selalu ragu terhadap apa yang ditemukannya. Jika itu baik, ia tidak dapat langsung menyingkap. Jika pun buruk, ia tidak bisa langsung menyesatkan. Seperti apapun kejadian yang menimpanya, selalu ia hadapi dengan penuh kewas-wasan. Walaupun ia tidak pernah berprasangka buruk, sekalipun itu musibah baginya. Dia berjalan dengan tunggangan laa hawla walaa quwwata illa billahi ‘alliyil ‘adzim. Dan ia mempuyai pandangan laa illaha illallah.

Tidak ada kebenaran kecuali satu kebenaran yang akan ditemukannya kelak, yaitu kematian. Semua ini hanyalah fana yang akan menimbulkan prasangka. Kita tidak bisa menemukan kebenaran, akan tetapi kita masih bisa memiliki keyakinan.

Selanjutnya adalah gelombang terakhir, yang tidak bisa dijelaskan karena begitu bijak dan arifnya manusia yang menyelam dalam gelombang ini. Manusia yang sudah zuhud pun kadang tidak bisa memahami apa yang menjadi keputusan manusia gelombang terakhir. Itulah gelombang Nur Muhammad. Semuanya sudah menjadi hakikat bagi dirinya.

Ada 3 perjanan menurut ulama dahulu, yang pertama hanya orang umum dan khusus aja yang bisa memahami, yang kedua hanya orang khusus aja yang mengerti karena zuhudnya mereka. Perjalanan terakhir baik dari golongan umum maupun khusus tidak bisa memahami kedaan perjalanan ini. Karena perjalanan terakhir ini sudah masuk kedalam hakikat dan menuju makrifat. Inilah gelombang ketiga, ketika manusia bakal benar-benar diuji sehingga ia bakal menemukan sebuah arti tentang hakikat hidup. Ketika seseorang tidak bersandar sama sekali kepada makhluk, kecuali hanya Sang Kekasih. Ketika seseorang bakal menerima semua hujatan di sekalilingnya tanpa pernah sekalipun ia membela dirinya.

Ia hidup bagaikan mayat tetapi selalu dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungannya. Tidak ada sedikitpun benih kebencian ataupun amarah jika yang dilihat semua itu hanyalah keindahan kasih sayangNya. Nafsu dan syahwat telah ia tundukkan. Hidupnya bukan untuk mencari Ridho, karena ia tahu kalau Tuhan selalu Ridho, hanya saja manusia yang terkadang tidak bisa selalu Ridho terhadap segala kejadian yang menimpanya.

Dhohir ini hanyalah kendaraan bagi ruhnya. Ia bagaikan binatang buas yang sangat susah ditundukkan oleh orang awan. Tapi bagi manusia gelombang ini, binatang buas ini sudah bisa ditaklukan. Ia menjadi kendaraan yang sangat ampuh untuk menerjang segala ujian daan musibah yang menimpanya. Raga itu jadi sangat tangguh. Dan semua ini hanya bisa disingkap oleh mata hati yang benar-benar murni dan diberi anugerah oleh Tuhan untuk melihatnya.

9 oktober 2017

Salah Gaul

Ini hanyalah sebuah argumen pendek tentang seseorang yang sangat saya cintai dan Tuannya, dan dicintai banyak orang bahkan beliau sendiri ialah kekasih Tuannya. Ini tentang mencintai, jadi jangan baca kalau anda kurang suka tentang arti mencintai. Jangan baca jika anda masih egois karena ini tentang junjunganku, panutanku, serta kekasihNya.

Ini tentang agamaku yang entah mengapa aku sendiri merasa semakin cinta terhadap saudara-saudaraku yang beda pemahaman agama tentang perspektif agama itu sendiri. Cinta yang sangat sungkan dan sulit terungkapkan, kenapa agamaku jadi sangat begitu anarki seperti ini. Tidak seperti yang panutanku ajarkan, contohkan, amalkan. Atau memang karena saya ini terlalu bodoh untuk menahan kata-kata.

Saya yakin dengan agamaku, sangat sangat sangat yakin bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah. Saya sangat yakin jika Allah itu Maha Baik, menciptakan perbedaan, karena itu memperindah suasana, bagaimana kita bisa saling melengkapi dan menjaga kerukunan dengan tujuan kesejahteraan bagi semuanya, bukan untuk golongannya sendiri.

Tuhan menciptakan manusia bukan untuk saling menyalahkan dan membenarkan. Tuhan menyuruh kita untuk mempercayai kitab-kitab-Nya, yang disampaikan melalui orang-orang pilihan. Dari Zabur sampai Al-Qur’an. Saya sebagai seorang yang menganut islam, saya percaya akan firman-firman Tuhan yang tertera dalam kitab-kitab Allah pun sebelum Al-Qur’an.

Kalau anda sering memasak pasti akan merasakan sedikit banyaknya pandangan tentang arti mencintai. Kalau anda suka memasak tidak mungkin hanya memasak nasinya saja, atau lauknya saja, atau sayurnya saja. Lauknya bisa macam-macam, begitupun sayurnya. Dalam proses penyajiannya, pasti ada urutannya, agar semua tersaji sesuai jadwal. Anda secara tidak langsung mempunyai naluri dan insting sendiri dalam menyiapkan jadwal makan buat seseorang yang anda cintai.

jika anda menyajikan berbagai menu tadi untuk keluarga anda, apakah anda hanya menyarankan satu menu saja untuk dimakan dengan alasan jika makan menu sop, misalnya, anda termasuk orang baik dan dijamin sehat oleh anda. Sedangkan yang memakan menu selain sop tidak baik dan tidak ada jaminan sehat dari anda. Sekarang pertanyaan saya adalah, apakah begitu pola pikir anda kalau anda memasak? Apa tujuan anda memasak berbagai menu? Kalau pada penyajiannya anda hanya menjamin satu masakan saja yang baik dan sehat.

Tujuan anda memasak berbagai menu karena mungkin si bapak suka sop, kakak suka oseng sambal, adek suka mie goreng, nenek suka bubur. Anda begitu tau apa yang mereka suka, jadi anda memasak variasi menu yang sesuai keinginan mereka. Supaya semua bisa menikmati hidangan yang mereka sukai dalam waktu dan tempat yang sama, tanpa ada yang merasa terpaksa ikut makan apa yang bapak suka. Kakak walaupun suka oseng sambal, boleh juga makan sop kalau ingin mencicipi, begitupun dengan yang lain. Agar semua bahagia, rukun, dan saling memahami, saling berbagi demi menciptakan kesehatan bersama, jasmani maupun rohani. Makan untuk jasmani, sedang kebahagiaan itu untuk rohani.

Jadi Tuhan pun juga demikian, sudah mensetting sedemikian rupa agar kita bisa saling mencintai dengan kesukaan akan akidah yang berbeda-beda. Kasian nanti kalau hanya pengikut Al-Qur,an dan sunnah aja yang masuk surga. Terus kalian fikir apakah manusia dari zaman nabi Adam as Sampai nabi Isa as yang di zaman itu belum ada Al-Qur’an dan hadits semua bakal masuk neraka? Apa fungsinya agama jika kalian merasa paling benar dan menyombongkan diri di hadapan orang yang berbeda agama. Apa kalian fikir kalau bukan Islam terus Tuhan benar-benar tidak memandang orang non islam.

Santai saja, semua itu saudara, kita memang diciptakan begini, ya kita terima saja, toh kita juga belum pasti benar. Bukankah kita memang disuruh menghadap “kiblat”nya masing-masing. Dengan maksud, kalau aku dokter ya kiblatku menolong orang yang sakit atas dasar ingin menolong orang lain yang sama-sama ciptaan Tuhan, ada yang jadi bakul tempe, jadi petani, jadi akuntan, dsb. Itu semua pumya jalan sendiri-sendiri untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Biarkan agamaku ya agamaku, dan agamamu ya agamamu.

Saya sedikit kecewa juga dengan orang-orang radikal yang menebar kebencian di dalam dakwahnya, seakan-akan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasalam merupakan orang yang memaksakan, Keras. Jujur saya sedih, mengapa harus seperti itu? Hadits andalan mereka adalah amalan yang bukan amalan dariku, maka amalan itu tertolak. Dan sekarang itu jadi senjata mereka untuk membid’ahkan orang yang tidak sesuai dengan maksud mereka. Yang beliau maksud mungkin itu dalam cakupan ibadah mahdhoh, bukan muamalahnya.

Dan biarkan perbedaan cara kita mengungkapkan sayang kepada Kekasih Tuhan seperti apa. Toh, tidak mungkin juga Rasulullah mengajari cara untuk mencintai dirinya. Pakewuh. Itulah akhlakul Karimah.

Selalu merendahkan diri di hadapan orang lain, tetap menolong orang yang selalu melemparinya batu, walaupun Rasul tau bahwa dia seorang yahudi sekalipun. Itu hanya segelintir contoh mengenai akhlak beliau.

Sekarang Ustadz-Ustadz yang “hanya” lulusan universitas Arab saja ilmu dan kedekatannya seakan-akan melebihi kanjeng Nabi. Selalu mengatasnamakan Hadits, tapi untuk membawa fikiran orang untuk menyombongkan dirinya, untuk merubah penampilan dirinya. Agar keliatan muslim banget, arab banget. Mempengaruhi cara pandang mereka kalau kaum kami lah yang paling benar karena mengikuti sahabat-sahabat nabi.

Pperlu diingat saja, berhati-hatilah dengan ilmu. Kalau kalian tidak menguasainya, itu akan menjadikanmu sombong. Semakin meninggikan hati kalian di hadapan orang lain, karena mereka berpikir merekalah yang paling sunnah. Kalau memang paling sunnah, kalian gak seharusnya memakai pakaian. Karena mereka selalu bilang jangan campuradukkan agama dengan budaya. Karene pakaian juga merupakan salah satu produk budaya.

Kita ini manusia yang dulunya malaikat pun disuruh menyembah kepada Adam. Tapi seringkali kita ini cara hidupnya lebih rendah daripada binatang. Kita sia-siakan akal kita hanya untuk menuntut pendidikan yang hanya berorientasi kepada hasil. Karena pendidikan itu berbeda dengan sekolah. Jangan dibatasi kalau pendidikan itu hanya sebatas apa yang ada di lingkungan sekolah.

Jangan beraninya baper sama penduduk bumi, dikit-dikit bikin story di instageram ataupun di wangap. Tidakkah sedikit saja kita itu berpikir untuk mencoba baper sama penduduk langit. Yang hakikatnya software maupun hardware yang sudah terpasang pada raga ini sudah sangat sempurna untu bisa bikin story yang bisa dilihat para penduduk langit. Hanya saja permasalahannya kita tidak bakal pujian dari satupun penduduk bumi jika kita berprioritas untuk baper sama penduduk langit.

Lebih senang dipuji, dikenal banyak orang lain, di-elu-elu wong akeh marai lali hakikat e dewe dadi manungso nek ora kuat nyanding awake dewe. Keblinger.

Saya terkadang tidak habis fikir sama ustadz-ustadz yang sering mengajak untuk tidak berselfie. Akan tetapi, si ustadz itu pun sering berselfie ria supaya orang banyak yang like dan lebih dikenal. Yang gaya bicaranya tidak pernah mnentramkan. Mimik wajahnya selalu dipenuhi oleh amarah. Tadz, kamu member dakwah apa mendoktrin. Apapun itu jangan lah mengajari orang untuk kembali ke qur’qn dan hadits, karena begitu banyak orang yang ingin bertaubat, tapi salah ketemu sama ustadz yang mengaku paling sunnah. Celaka.

Toleransi merupakan suatu tolak ukur nyata bagaimana ia bisa memantulkan pancaran cahaya Rahman dan Rahim. Sikap toleransi terhadap perbedaan merupakan hakikat yang selalu kita ungkapkan dalam setiap awal doa. Seberapa tinggi pemahaman kita mengenai arti kata bismillahi-arrahman-arrahim(mengatasnamakan Allah).

13 July 2017

USTADZ FORMALITAS

Assalamualaikum wa rahmattullahi wa barakatuh

Atas izin Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah mengijinkan jari-jemari ini untuk bergerak, menulis sedikit rangkaian kata yang entah akan dibawa kemana pada akhirnya. Dan terima kasih kepada Rasullullah Sholallahu ‘alaihi wassalam yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada kami dan selalu menjadi suri tauladan kami untuk berusaha mencapai akhlakul karimah.

Pada zaman now, semakin marak perpecahan antar umat beragama yang terjadi di sekitar kita. Sekuat atau sepintar apapun pemuka agama, kyai atau ulama bahkan waliyullah yang menjadi “patok” di bumi ini yang berperan menjaga persatuan dan keutuhan masyarakat, pasti akan ada suatu masa dimana fitnah dajjal datang dan memecah belah umat. Setiap golongan akan merasa paling benar dalam urusan agama walaupun mereka berpegang teguh kepada Al-qur’an dan Hadits. Alhamdulillah, jika mereka menjadikan Al-qur’an dan Hadits sebagai pedoman. Semoga pedomanmu itu gak setengah-setengah, ayat-ayat suci tidak hanya dibaca sepotong-potong. Berlaku juga dengan hadits, dalam mempelajarinya jangan hanya sekalimat-sekalimat.

Kita dapat mempelajari sunnah melalui perawi-perawi hadits, ada mazhab-mazhab, yang tentunya beliau-beliau, para sahabat dan tabi’innya lebih memahami agama karena lebih dekat dengan Rasullullah. Sekarang jika kalian memang benar mengikuti para sahabat nabi, apakah kalian pernah belajar untuk berusaha mengenalnya, siapa itu Bukhari Muslim, Abu Hurairah, Imam Hanbali, Imam Malik, Imam Syafi’i. Atau seperti apa Abu Bakar, Utsman, Atau Ali Ra.

Kenapa kita harus belajar mengenal mereka juga, karena melalui merekalah kita bisa lebih dekat dan semakin dekat kepada Rasullullah SAW. Jika kita semakin dekat, untuk lebih memahami hadits-hadits pun dengan sendirinya kita sudah menyinkronkan hati kita. Ini baru hadits, belum lagi dalam jalan kita memahami Al-qur’an. Ada banyak buku-buku tafsir yang dibikin sebuah kitab untuk memudahkan kita memahami Al-qur,an. Ada Al-Hikam atau Ihya’ Ulumuddin serta kitab-kitab yang lain. Apakah Sudah ada yang mempelajari siapa pengarangnya, dan berusaha menaruh hormat kepada beliau.

Jangan sekali-kali belajar agama melalui media-media sosial yang saya yakini bahwa semua media tersebut pasti memiliki niat yang baik. Memang lebih mudah untuk mengaksesnya, lebih simpel daripada harus membawa kitab-kitab tebal kemana-mana. Akan tetapi, kita harus memiliki filter untuk membaca setiap artikel yang disuguhkan oleh media. Setelah kita membaca artikel yang bagus, kita scroll kebawah nanti kita lihat sesuatu yang kurang pas. Ibarat kata setelah kita mengintip akhirat, kita dipertemukan dengan dunia lagi. Karna lebih dari 90% konten yang berada di media social secara tidak kita sadari telah membentuk suatu pola fikir dimana kita akan ingin jadi popular, ingin diperhatikan oleh banyak orang jika kita terlalu kecanduan oleh media sosial.

Kita lebih takut dipandang hina oleh manusia daripada bagaimana cara Tuhan memandang kita. Bukankah kita selalu diawasi? Dan paling parahnya lagi sekarang yang lagi popular untuk diperdagangkan adalah agama. Orang-orang yang berkarakter pintar yang egonya besar dan percaya diri, sering menggunakan media sosial sebagai sarananya untuk mencari kepopuleran. Orang dengan ciri tersebut akan lebih mudah untuk menerima agama yang produknya ekstrimis yang memiliki kemiripan ego dan kepercayaan diri merasa benar karena telah merasa  mengikuti dan  berpedoman kepada Al-qur’an dan Hadits.

Karena yang membawa produk agama tersebut adalah ustadz-ustadz lulusan Universitas Mekkah atau Madinah yang notabene adalah 2 kota Suci agama Islam yang Dajjal tidak dapat masuk kedalamnya. Tentu keontetikan ajaran agama yang dibawanya mendapat kepercayaan yang tinggi bagi orang-orang pintar negeri tercinta ini. Kenapa? Karena tolak ukur mereka adalah pendidikan akademis yang telah ditempuhnya, seberapa banyak ustadz-ustadz begitu hafalnya Al-qur’an dan hadits-hadits Rasul.

Ustadz-ustadz S-3 lulusan Arab tersebut intelektualitasnya tentang agama sangat bagus dan keren sekali, terlihat kharismatik, ganteng, dan sangat berwibawa. Sangat percaya diri dan sangat antusias sekali karena telah berbekal ilmu yang telah dikuasainya. Masih muda dan tidak takut mati kalau memang harus mati jihad. Mereka sangat popular dan diagung-agungkan di dunia maya.

Sifat merasa pintar dan banyak yang mengaguminya secara tidak langsung menimbulkan sifat ujub. Walaupun sudah S-3 pun saya rasa dengan model ujub pasti dibutakan hatinya terhadap nilai tanpa melihat budaya, kebiasaan, ataupun adat istiadat. Sehingga terlihat memaksa merubah budaya yang sudah ada, cara menyampaikan sayang kepada Rasul dan Allah pun dibatasi. Kita tidak boleh mengungkapkan sayang kita dengan improvisasi karena itu diaggap bid’ah. Why?

Ya karena terlalu fanatik kepada ilmu, pada akhirnya bukan ilmu yang mereka kuasai, akan tetapi malah ilmu itu yang menguasai kita. Pikiran kita dipersempit oleh kefanatikan, rasa ingin unggul, merasa paling benar bahkan yang paling membahayakan itu sampai mengkafir-kafirkan orang lain.

Salah satu andalan ataupun benteng mereka adalah suatu hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang intinya jika suatu amalan tersebut bukan dari kami, maka amalan tersebut tertolak. Kata “kami” itu siapa maksudnya? Kan amalannya, amal itu berarti perbuatan atau sifat yang outputnya menjadi bentuk yang diharapkan berkarakter akhlakul karimah. Segala sesuatu amal yang bisa mengayomi, menghormati, menjaga saudara-saudara kita tidak memandang dia muslim atau non-muslim.

Wajar atau tidak andaikata orang-orang yang mengaku ahli sunnah yang selalu mengikuti apa yang Rasulullah ajarkan akan tetapi suka judge sana-sini, mengkafir-kafirkan orang lain, gak peduli dia saudara muslim.

Kata Gus Dur dalam salah satu ba’it syi’ir tanpa watonnya ,”akeh kang apal, qur’an hadits e, seneng ngafirke marang liyane, kafir e dewe dak digatekke. Duh bolo konco prio wanito, ojo mung ngaji syariat bloko, gur pinter dongeng nulis lan moco, tembe mburine bakal sengsoro.” Makna yang terkandang dalam salah satu bait tersebut penuh sarat makna yang memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di zaman sekarang. Seakan Gus Dur telah meramal apa yang terjadi di kemudian hari.

Menghafal Al-Quran maupun hadits itu sendiri bukan suatu jaminan akan menjadikan seseorang memiliki amalan seperti Rasulullah SAW yaitu akhlakul karimah. Bisa menjadi ilmu itu menjadi siasat iblis untuk mengusai, menghitamkan dan menggelapkan hatinya. “hai antum, kamu sudah belajar banyak tentang Al-Quran dan Hadits, kamu bisa menghafal semua, sekarang saatnya untuk menebar kabar baik tentang ilmu yang telah kamu kuasai. Kembalilah pada ajaran yang telah kau pahami. Jangan biarkan mereka yang gak melakukan amalan seperti amalan Rasul dan para sahabatnya berkembang.”

“Kembali ke ajaran Sunnah dan Quran!”

“Lha emang sejak kapan kita minggat?”

Wahai teman-temanku, saudaraku, keluargaku. Kalaupun missal ayat-ayat suci itu bagai sebulir padi, kalau kita ingin memasaknya menjadi nasi kita perlu alat-alat pendukung pastinya. Gak bisa sebulir padi tersebut langsung kita kunyah, keras kan. Nah, perumpamaan tersebut sama dengan yang keras-keras pemikirannya. Butuh dipisahin dulu kulit padinya, di bersihin berasnya, Dimasukkan ke panci lalu dipanaskan dengan api. Ayat-ayat juga sama halnya perlu digodog dulu, gak sekali baca di google atau di instagram yang hanya sepenggal-sepenggal saja.

Alhamdulillah kita mau belajar agama walaupun hanya sekedar baca sepotong demi sepotong. Kita banyak belajar agama secara literatur tanpa adanya guru yang membimbing. Hal tersebut mengakibatkan kita terlalu meyakini sesuatu yang kita anggap kita benar. Padahal kita hanya belajar secara gadgetual. Dan disitu sama halnya banyak kepentingan-kepentingan yang saling bertabrakan, saling menganggap paling benar, sehingga pola pemikiran kita terbentuk mengikuti suatu kelompok yang kita anggap paling benar dan masuk akal. Disitulah pola pikir kita dipertemukan dengan ilmu.

Apakah ilmu itu membuat hati semakin lembut? Atau hati kita semakin keras dan ikut menganggap ilmu yang sudah kita fahami secara literatur melalui gadget adalah yang paling benar? Menganggap budaya kita yang nyata-nyata telah menjaga kerukunan dan silaturahmi, sekarang telah dianggap bodong oleh para awam cendekiawan akhi angtum yang tidak percaya sama kesaktian seseorang karna menganggap itu adalah perbuatan jin dan itu syirik. Bilang aja belum mampu berkomunikasi sama bangsa jin. Apa mungkin Allah belum memberi ijin untuk berkomunikasi dengan bangsa jin. Kalo emang gitu siapa yang lebih dipercaya memegang ilmu dan lebih dekat dengan Allah?

Jangan sombong dengan ilmu yang dititipkan. Walaupun hafal Al-Quran, Hadits bahkan Injil, Taurat dan kitab Hindu Budha, terus bisa mengkafir-kafirkan orang yang berkeyakinan lain seenaknya. Hakikat ilmu itu semakin banyak engkau mengetahui sesuatu semakin sadar bahwa apa yang telah dipelajari belum ada apa-apanya karena begitu besarnya alam semesta ini.

Kalaupun baru mengetahui sebahagian saja aki angtum sudah suka memposting sana sini, dengan menampilkan dhohir aki angtum yang sesuai syariat. Lalu aki angtum disukai banyak orang awam dan mengakibatkan kefanatikan lalu menimbulkan prolematika perpecahan seperti sekarang ini. Apa aki angtum bangga? Senang kalau bangsa kami bertengkar apalagi atas nama agama, yang satu agama pula. Laa Haw laa wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.

Apakah itu yang namanya ukhuwah? Apa aki angtum pernah belajar ukhuwah? Saya yakin sangat yakin seyakin-yakinnya aki aki pasti sangat menguasai ilmu tersebut. Semua doa diawali dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Laa kum dinukum waliyadin. Udah cukup itu aja. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Kalau missal pengikut angtum pada reseh yang bisa mengakibatkan perpecahan, ya angtum cegah, dan jangan sekali-kali mengatasnamakan jihad.

Allah gak perlu dibela, Allah itu Ahad. Allah itu Shomad. Pingin baper sama Allah tapi banyak menyakiti ciptaan Allah yang lain. Apalagi Al-Quran, menistakan agama sampeyan bilang. Disinilah syaithon merasuki jiwa aki-aki. Alangkah baiknya bisa melihat secerca kebaikan kalau ada orang yang mau membaca Al-Quran walaupun dia non muslim, kalaupun dia kepleset sedikit lidahnya ya itu merupakan kewajaran.

Wahai aki angtum, mari kita berjalan bersama-sama, satu yang perlu kita yakini adalah kita kapan saja bisa terpeleset dan kita tidak tahu sewaktu terpeleset kita dalam keadaan seperti apa. Itu sebabnya kita selalu membaca Al-Fatihah, Ihdinash shirathal mustaqim karena kita selalu meminta petunjuk kepada Allah untuk ditunjukkan jalan yang lurus. Kalau missal ada yang merasa paling benar di hadapan Allah dan berani mengkafirkan saudara kita sejagad raya ini, seharusnya aki angtum yang suka mengkafirkan juga berani menghilangkan ayat itu karena Alhamdulillah anda merasa sudah lurus dan benar.

Walikullin wijhatun huwa muwalliiha fastabiquul Khoyrot. Aynamaa takunuu ya’ti bikumullahu jamii’an, innallaha alaa kulli syay’in qodir.” ( Al-Baqarah 148).

Yang menurut pemahaman saya itu seruan untuk berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan. Tidak memandang siapa kamu mau jin, malaikat, manusia karena disitu disebutkan bagi tiap-tiap umat. Dan mereka mempunyai kiblat sendiri. Disini kita memandang kalau menusaia kebaikannya ya menjaga bumi, malaikat malakukan segala perintah Allah. Yang guru ya mengajar dengan baik di sekolah, yang dokter ya merawat pasiennya tidak memandang siapa si pasien.

Karena suatu saat kita semua akan dikumpulkan di akhirat karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mbo yo rumongso kamu lebih busuk daripada seorang pelacur, karena kamu tidak akan pernah tau kita akan mati dalam keadaan seperti apa. Tetaplah rendah hati, muhasabah dengan cara membersihkan cermin hati kita terlebih dahulu, karena kita tidak akan pernah bisa melihat kita dalam pantulan cermin kalau cermin hati kita sendiri kotor, yang nampak, kalau masih kotor semua akan terlihat ngebluuurrr.

Jagalah iman, raihlah ihsan. Sembunyikan mereka dari lakumu, kuatkan dalam batinmu. Selalu sabar dan istiqomah dalam melaksanakan suatu amalan. Jangan mengharap apapun kecuali ampunan dari Allah Subhanna Waa Ta’alaa. Kalau masih ingin minta pangkat dan harta untuk menunjang eksistensi ya semoga lekas terpenuhi, asal jangan terlalu berharap. Selalu ikhlas terhadap segala sesuatu yang telah terjadi karena itu kehendak-Nya. Semoga Rahmat dan Kasih sayang Allah selalu menaungi jalan kita sampai dipertemukan kembali dengan-Nya. Amiin.

19 APRIL 2017

 

Mencintai “Tai” Sendiri

Kemilau rembulan di ufuk temaram malam. Ku dendangkan mantera rindu akan kesejatian cinta. Menitipkan sekecap pesan tentang keluh kesah  padamu wahai Pujaanku. Engkau satu-satunya pelitaku, hanya Engkaulah sandaran anganku. Engkaulah Tuhan semesta alam.

Cinta? Definisi arti kata cinta tentu saja sangat luas. Cinta berarti kekuatan, kelemahan, kebaikan, kebusukan, kejujuran dan kebohongan. Bahkan cinta bisa menjadi kehangatan atau kedinginan. Cinta juga sanggup diam, ataupun melantangkan  seribu lantunan kebencian. Cinta sanggup hidup selamanya, atau cinta juga mampu menjadi bencana dalam sekejap mata.

Jika lawan kata cinta adalah benci,menurutku  sebenarnya benci itu tidak ada. Tidak ada yang namanya benci, yang ada hanya belum cinta, atau kehilangan cinta kepada suatu subjek ataupun objek yang akan dicintainya, atau baru saja kehilangan sesuatu yang dicintainya. Hal itu dikarenakan karena diri kita sendiri yang terlalu memaksakan ego. Melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan atau pemikiran kita, lalu kita sejenak diam, lekas tidak akan memperhatikannya, apalagi mencintainya.

Semua permasalahan yang muncul di dunia ini hanya memiliki satu sumber, cinta. Cinta memiliki ciptaan luapan emosi yang bernama nafsu. Jika cinta itu dimiliki setiap insan yang hidup di dunia ini. Itu merupakan suatu percikan cahaya dari Tuhan, yang berarti itu kebaikan. Kebalikannya, jika manusia diliputi oleh hawa nafsu, emosi yang berlebihan, yang akhirnya menggelapkan cahaya cinta. Maka itu merupakan misi iblis, untuk menyesatkan manusia dari terang cahaya Sang Ilahi.

Tidak semua insan dapat menyadari ini, karena mindset yang sudah tertanam dalam pandangan kita, kalau cinta selalu menyenangkan, membahagiakan, ataupun memberi ketentaraman. Padahal yang namanya cinta itu juga perlu ada ujian, untuk meningkatkan kadar cinta kita kepada sesuatu. Agar kita mengerti kalau pada hakikatnya semua cinta kepada segala sesuatu yang ada di dunia ini akhirnya akan berujung kembali kepada Tuhan.

Terkadang cinta akan memberikan kita rasa sakit. Cinta merupakan input yang kita rasakan pada diri kita, sedangkan sakit itu sendiri merupakan sesuatu dari luar diri kita yang masuk ke dalam diri kita yang tidak sesuai dengan pengharapan kita. Software ataupun hardware dalam diri kita belum bisa menerima aplikasi baru, ataupun komponen dalam diri kita belum mampu upgrade versi terbaru. Sehingga terjadi error, ataupun lack pada sistem yang berjalan tidak seperti biasa pada diri kita. Itulah sakit.

Kita hanya disuruh menemukan komponen baru jika kita merasa sakit. Yang notabene playstore dalam diri kita sudah langsung tersedia dari dan selalu update langsung dari progammer handalan Tuhan. Segala aplikasi ataupun sistem software tersedia dalam jaringan internet kita kepada Tuhan. Yang bisa dibilang kita bisa mulai mengakses hal tersebut jika kita sudah bisa menemukan alam malakut.

Kita hanya disuruh cinta kepada alam semesta. Udah, itu saja, Tuhan tidak pernah menuntut kita lebih. Ibadah mahdhoh pun bukan pahalanya yang dihitung. Tuhan tidak mengajarkan kita untuk itungan, tetapi bagaimana ibadah mahdhoh itu bisa bermanfaat bagi sistem tubuh kita. Karna Tuhan tidak perlu dibela, tidak perlu disembah. Tuhan tidak butuh puja puji kita mau bagaimana. Tapi Tuhan lebih mengajarkan kita untuk tahu diri, siapa kita sebenarnya. Tuhan telah merumuskan berbagai macam masalah dan persoalan kepada diri kita agar kita tahu dan mengerti, kalau jika sakit yang kita terima dari masalah itu hanyalah bentuk nikmat, rejeki yang harus kita terima dan hadapi. Karena Tuhan sedang mengajarkan kita untuk mengingatnya, untuk kembali kepadanya. Untuk mengenal cinta dan kasih sayangNya.

Jangan kalian pandang nikmat dan rejeki cinta dan kasih sayang Tuhan itu hanya berwujud materi dan kesenangan yang kita rasakan di dunia ini. Atau yang lagi ngetrend adalah hijrah-hijrahan yang banyak menimpa insan yang sedang galau karena dia telah sadar akan dosa-dosa yang telah dilakukannya. Jika seseorang melaukukan hijrah tapi yang pertama dilakukan hanyalah sebuah perubahan pada penampilannya,celakalah orang itu. Karena hati mereka masih sangat liar. Hati mereka masih singup, tak terterangi oleh makrifat Tuhan. Walupun tiap hari yang mereka ucapkan atau tampilkan adalah agama. Karena jika telah mengenal Tuhannya, tidak pernah dia bisa aman, apalagi hanya karena telah sempurna ibadahnya, dia bisa mengjudge ini kafir, ini dosa, ini bid’ah, dan lain sebagainya.

Kalau negara kita masih memelihara orang-orang seperti itu, hancurlah bangsa ini. Tapi hal itu tidak akan pernah terjadi. Karena negeri ini penuh dengan cinta, negeri ini adalah sepenggal surga yang tidak akan hancur hanya karena isu-isu yang berlandaskan agama. Negeri ini akan memperlihatkan betapa tangguhnya moral kesatuan dan kasih sayang sesama, walau berbeda ras, suku etnis, ataupun agama. Negara ini akan menjadi acuan dunia untuk belajar toleransi yang menjadi wujud utama cinta itu snediri.

Tuhan sering singgah di bangsa yang sangat Ia cintai ini, Tuhan sering ngopi di angkringan bersama para pencari rongsokan, Tuhan sering “ngetem” sama tukang becak di pinggiran pasar, Tuhan sering sholawatan bareng para bapak-bapak dan ibu-ibu petani. Sesekali Tuhan mampir ke gedung DPR untuk melihat para pelawak ulung di dunia ini.

Tuhan tidak saklek, Tuhan sangat senang jika kita ajak “bercanda”. Tuhan bisa menjadi orang tua jika kelak kita kehilangan orang tua. Tuhan bisa menjadi pasangan hidup, jika kita kehilangan jodoh kita. Tuhan bisa menjadi sahabat terbaik andai dunia seolah mengusir kita. Tuhan tidak mungkin menciptakan keturunan Adam hanya untuk menjadi penjahat, penipu, ataupun seorang pembunuh. JIka kenyataannya ada yang seperti itu, hal itu dikarenakan peran setiap manusia sudah ada rumusannya dalam Lauh Mahfuz. Kita gak usah nudang-nuding, biarkan itu urusan Tuhan. Kita hanya disuruh tetap merangkulnya, sekalipun ia seorang “bajingan”.

Dan mengapa jihad terbesar bukan memerangi ISIS ataupun melawan dajjal, akan tetapi jihad terbesar adalah melawan diri kita sendiri? Kerana musuh kita adalah hawa nafsu, bukan setan lagi melainkan iblis. Dia yang selalu menaruh kebencian dan dendam pada diri kita. Iblis yang selalu menghalangi cahaya mekrifat Tuhan. Iblis yang membuat kita egois dan memaksakan segala kehendak dan kesenangan hanya untuk kita semata. Oleh sebeb itu, kita mudah mencaci, mengumpat, memukul, bahkan melaknat sesama manusia yang sejatinya urusan itu diluar kuasa kita sebagai manusia.

Cinta, mengapa engkau selalu bersembunyi dibalik nafsu? Mengapa engkau selalu mengalah? Mengapa tak kau tampakkan sinarmu yang bisa menerangi segala kegelapan dunia ini? Cinta, salahkah aku jika aku menuntutmu untuk hadir?

Cinta, mengapa engkau biarkan dirimu untuk dipermainkan, untuk dicaci, bahkan rela untuk dibenci. Sebesar itukah jiwamu? Seluas itukah samudera kesabaran dirimu? Mengapa engkau rela dihujat oleh prasangka? Mengapa engkau ikhlas dipandang sebelah mata?

Semuanya terjadi hanya ada 3 sebab, yaitu cinta, belum cinta, atau kehilangan cinta. Semoga kita bisa belajar untuk mencintai “tai” kita sendiri.

ibu

dua pertiga malam selalu engkau paksakan sadar 
kokok ayam yang memecah sunyi selalu kau dahului
mengumpulkan segala daya untuk kau nafkahi
siap menyambut Sang Malaikat fajar dengan ketidakberdayaan

oh ibu, malaikatku....
segalaku bergantung keridhaanmu....

ratapan pilu yang kau sembunyikan dalam bilik sukmamu
senyum ikhlasmu yang terlukis indah melayang dalam anganku
mewarnai sunyi kelamnya jalan anakmu menimpa qalbu
menggoreskan tulisan dalam batin untuk mengajarkan kesejatiaan

oh ibu, penuntun hidupku....
naungan rahmatmu, harapanku....

lirih suaramu terngiang jelas memecah telingaku
segala lakumu menitipkan ayat-ayat ketauhidan
menahan lara yang selalu ingin anakmu teriakkan
menepikan kesendiriaan yang menjadi teman sejati raganya

oh ibu, penerang gelapku....
cahayaku berawal dari restumu....

keringatmu mampu kau sulap menjadi kebahagiaan
tetes peluhmu kau biarkan menjadi kesetiaanku
kucuran sayangmu kau berikan tanpa harapan imbalan
ketulusanmu melululantahkan segala kedurhakaanku

oh ibu, sandaran sukmaku....
keselamatanku buah ampunanmu....

wahai para kekasih rahasia Tuhanku sampaikan salamku
yang tak sempat terucap
"mengenalmu, memilikimu, ibu... adalah anugerah terbesar dan terindah dalam hidupku,
aku sayang engkau, ibu....
terimakasih, ibu....
peluk anakmu selalu terangkai dalam bait-bait doa"
ibu... ibu... ibu...
rinduku selalu tersembunyi dan tersimpan hingga aku menemukanmu, lagi.

Manukan, 28 November 2015

science of soul

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Ya itulah ngendikanipun kanjeng Rasul.

Kebanyakan dari kita tidak mengenal siapa kita, kita masih sering terkurung dalam kebatilan diri kita sendiri. Sering mereka campur adukkan kebenaran dan kebatilan, padahal sesungguhnya mereka mengetahui.

Banyak dari mereka lebih sibuk mengurusi urusannya masing-masing, padahal tugas mereka di dunia adalah sebagai anugerah semesta alam. Di dalam semesta alam pun tersebar ayat-ayat Allah dan tanda-tanda kebesaran Allah, tapi kita sibuk mengejar kesenangan dan rejeki yang menjadi tujuan utama hidup mereka.

jika dalam tataran manusia/naas mereka akan menyadari keajaiban-keajaiban kecil yang sering Allah limpahkan kepada mereka. Ketika kita telah menyadari kalau kita hidup di dunia untuk mencari bekal “kesuksesan” di akhirat, secara tidak langsung kita telah melebur menjadin “hamba Allah”.

Ketika kita hidup dengan melakukan segala sesuatunya hanya untuk mencari Ridho-Nya, itu berarti kita sadar akan tugas “khalifatullah” yang telah dimandatkan kepada kita.

Tanamlah ilmu hati kepada sesama, walau engkau tidak akan dipandang manusia dan dunia, tapi Allah Maha Melihat lagi Maha Mengetahui. Semoga Rahmat dan Ridho Allah menaungi hamba-hambaNya.

Kalinegoro, 30 September 2015

menerangi angan

angan seakan menjadi sebuah kekuatan untuk memotivasi diri menjadi lebih baik dalam konteks keduniawian di masa depan. Tapi tak habis-habisnya angan tersebut menjadi celah bagi setan untuk merasuk ke dalam jiwa, membutakan hati yang semula jernih. Terus buat apa kita berangan?

Engkau hanya memanggil Tuhanmu ketika apa yang engkau angankan tak kunjung datang, kadang malah berubah menjadi suatu musibah. Sungguh apa yang engkau cari dalam angan, Tuhanmu lebih tau yang lebih baik daripada kamu.

Daripada engkau memohon kesenangan ataupun rejeki yang Allah tau kapan waktu yang tepat untuk diberikan kepadamu. Lebih afdhol engkau memohon agar terhindar dari azab siksa kubur atau siksa neraka, sabda Rasulmu.

Kalinegoro, 29 September 2015

rona as(mar)a

Hangat pagi ini seperti biasa, membekukan relung tempatku berpijak. Shifa mencari tempat persembunyian seperti biasa, bersama dengan orang-orang yang mungkin sedang melakukan hijrah juga.

Saat itu waktu ibadah sahur bagi Shifa. Kebanyakan seperti sahur-sahur biasanya, tapi untuk saat ini kubawakan sedikit asupan gizi untuk kekasihku yang sedang berada di perantauan. Jarak tak menjadi penghalang bagi Shifa, apalagi dingin yang bisa Shifa sulap menjadi dekapan kehangatan pagi yang masih temaram.

Walaupun apa yang ia bawa tidak dimakan oleh kekasihnya, entah itu karena masih ngantuk atau kurang cocok dengan makanannya. Shifa masih bersyukur minum yang ia buat sempat diteguknya sampai habis.

7 july

berteman sunyi

Seperti biasa, pada bulan yang penuh keberkahan (menurutnya) ini, Shifa menikmati buka puasa dengan gorengan, secangkir teh beserta sebatang rokok yang meminta untuk segera dibakar karena sudah merasa hambar, telah berjam-jam memisahkan diri dari sangkarnya. Ditemani kesendirian, tanpa senyum atau canda tawa ketika berbuka puasa atas syukur setelah terlapas dari menahan hawa nafsu sehari. Kesunyian itu membuat Shifa merasa senang karena bisa merasakan ditemani oleh sesuatu yang selalu berada dalam kehampaan sunyi.

Hari ini mungkin juga Shifa merasakan nikmat lain. Laksana bertemu, disapa, bahkan didatangi oleh seorang Tokoh yang sangat dikagumi. Walaupun datang hanya di alam bawah sadar, tetapi semoga ini menjadi pertanda awal akan bertemu langsung dengan beliau suatu saat nanti. Di Antah Berantah pun.

Di bulan yang banyak diturunkan mukjizat-mukjizat ini, Shifa juga berharap mukjizat juga akan datang kepadanya. Tentu bukan seperti Nabi Musa yang bisa membelah lautan,. Cukup bagi Shifa kalau mukjizat itu berupa kekuatan, kesabaran, serta ditunjukkan jalan untuk menghadapi kompleksitas masalah hidup yang menerpanya. Serasa ditunjukkan jalan untuk bisa mengabdi kepada Tuhanku dengan segala ridho dari-Nya. Satu ungkapan yang mengandung berjuta-juta rasa terima kasihku atas cinta-Mu yang tak terbayangkan besarnya ini. Engkau Maha Penyayang.

6 Juli 2015

will (not) you ?

bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah telah lalu. Tapi, itu bukan berarti  kita harus mengurangi amalan baik, justru moment setelah Ramadhan dan Idul Fitri kita jadikan sebagai acuan kita untuk lebih berimprovisasi dalam menambah amalan-amalan baik yang lain. Tentu saja malaikat Raqib dan Atid tidak akan pensiun dalam menjalankan tugasnya mencatat amalan baik dan buruk setiap umat manusia.

Tapi, apakah masyarakat benar-benar merasakan hakikat dan arti dari Ramadhan dan Idul Fitri? Mayoritas masyarakat saya yakin tidak peduli,  melainkan hanya sekedar formalitas tradisi keagamaan yang harus dijalankan. Walaupun saya juga sebenarnya tidak memiliki hak menilai itu.

Hal di atas seperti contoh kecil tradisi atau budaya keagamaan yang diadakan dalam periode tertentu. Sekarang kita coba melihat lebih luas, lebih dalam, dan lebih objektif. Dalam kehidupan sehari-hari, apakah manusia sudah menyadari tujuan hidup mereka sebenarnya? Atau mereka sudah terbutakan oleh hingar-bingar kehidupan zaman “modernitas teknologi” atau perkembangan teknologi android? Yang justru memudahkan atau memalaskan kita?

Apakah harus menunggu akan ada UAN kamu sering menyapa-Nya? Menunggu hasil tes pendaftaran pekerjaan kamu lalu sering memohon kepada-Nya? Dan yang pasti ketika kamu mengalami tidak sinkronnya suasana hati, pikiran, dan keadaan lalu kamu sering menyebut nama-Nya, “Ya Allah”? Tapi apakah kamu pernah berhitung seberapa banyak dan besarnya nikmat yang sudah Dia berikan kepadamu? Untung saja Allah Maha Baik, tidak pernah berhitung dan meminta imbalan apapun. Wallahua’lam.

Didikan dari dulu dari kebanyakan orang tua adalah “kamu harus sekolah yang pintar ya, Nak? Biar bisa cepet dapat pekerjaan dan dapat uang yang banyak.” Itu adalah mindset yang sangat kentara ketika kita melihat kehidupan masyarakat sekarang. Anak-anak berlomba untuk menjadi pintar(saja). Mereka takut kalau tidak pintar secara akademik, mereka tidak akan sukses. Dan yang paling utama adalah anak-anak dididik untuk berpacu pada “hasil” tanpa pernah diajari cara untuk menikmati proses menuju hasil tersebut.

Itulah gambaran umum pendidikan di negeri kita tercinta ini. Jadi, jangan kaget kalau korupsi, kolusi, dan nepotisme ada dimana-mana dan yang melakukan korupsi kebanyakan bukan seorang OB(Office Boy) di kantor Dinas, melainkan orang-orang yang pintar, yang mempunyai gelar pendidikan yang berdert-deret, yang mempunyai pangkat.

Hati-hati, manusia atau pemimpin yang pintar, ilmunya mumpuni, aksesnya besar dalam suatu sistem birokrasi, belum tentu dia sukses dalam konteks ilmu kehidupan. Karena mereka lupa, lalai, bahkan terbutakan oleh semua sifat keduniawian, terutama harta dan kekuasaan. Mereka lupa bersyukur atas nikmat, dan pengetahuan serta tanggung jawab yang telah diberikan. Kepintarannya tidak didukung oleh spiritual dan mental yang bercakrawala.

Seorang Tokoh menjelaskan,” Dimensi ketercerahan jiwa manusia, kita misalkan ada tiga. Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental. Ketiga, Ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yaitu ketercerahan moral.”

Sedikit, kita bisa menyimpulkan kalau semakin banyak oran pintar, dari sarjana sampai professor, tanpa diimbangi oleh spiritual sebagai landasan dan mental sebagai keberanian, Negara kita tidak akan kondusif untuk perbaikan dan pembangunan bangsa dan Negara. Ada gejala moralitas kehiduan berbangsa yang tidak baik, contoh nyatanya mulai kurangnya sopan santun  dari anak-anak, remaja, bahkan para orang tua.

Bagi anda para(calon) orang tua atau para(calon) mertua, apakah anda masih berpikir kalau anak sukses itu pasti pintar, bergelar, dan mempunyai tanggung jawab? Pedulikah anda?

KESEIMBANGAN

Beberapa waktu kemarin melihat kampanye “Revolusi Mental”, saya melihat adanya sedikit harapan adanya perubahan moral. Akan tetapi, sampai sekarang saya atau mugkin hanya sayasaja yang tidak merasakan adanya penerapan/perwujudan dari “Revolusi Mental” tersebut.

Sekarang bagaimana kalau mentalnya saja yang bagus? Orang yang memiliki mental yang bagus itu kalau bicara tidak bohong, kalau janji tidak pernah ingkar, kalau dipercaya tidak pernah berkianat. Tapi, orang yang cuma mempunyai mental yang bagus pun ternyata tidak akan mampu merubah moral hidup bangsa kita yang terlanjur nyasar. Karena mereka tidak mempunyai intelektualitas yang cukup dalam memandang kompleksitas keadaan.

Disamping itu, langkahnya terlalu biasa, mudah ditebak, dalam suatu tingkat ketegasan tertentu terlihat seakan brutal, agresif, marah-marah. Terlalu memandang suatu keadaan hanya dalam dua sisi, baik dan benar, hitam atau pun putih. Maka, orang yang bermental bagus saja tidak akan cukup menolong perbaikan moral bangsa.

Sekarang, kita beralih ke orang yang mempunyai spiritual yang bagus saja. Bangsa kita memiliki lima agama berbeda, dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Orang-orang dengan spiritual yang bagus bisa dijamin kejujuran pribadinya, kekusyukannya, kesalihannya. Tapi, orang-orang seperti itu seakan hanya diam, sembunyi. Mereka hanya bersila dan berdzikir meminta kepada Tuhan, tanpa ada tindakan realistis karena kurangya intelektualitas dalam memahami dunia yang sedang dihadapinya. Kurang ada inisiatif agenda untuk menyalurkan kehebatan mentalitasnya. Kalau pun ada mereka akan menjadi kelompok yang radikal, ekstremis, bahkan sampai ke anarki. Mereka terlalu menganggap ajaran mereka paling benar, serta grebeg sana-sini, bahkan dalam suatu ajaran spiritualitas yang sama pun mereka saling membenarkan dan menyalahkan, sampai paling parah sampai mengkafirkan yang lain, padahal kafirnya sendiri gak diperhatikan.

Intelektualitas ibarat merefleksikan pikiran kita, spiritual menggambarkan hati kita, mentalitas sebagai sarana gerak kita, yakni tangan dan kaki kita. Bagaimana jika kita hanya mempunyai pikiran, hanya mempunyai perasaan/hati, hanya memiliki tangan dan kaki? Bukankah semuanya mesti menjadi satu yang utuh, dibutuhkan simbiosis mutualisme juga dalam diri kita, sinergi untuk bisa membentuk moral yang baik.

Akhirnya, paling tidak kita bisa memahami sedikit tentang perlunya keseimbangan antara intelektualitas, spiritualitas, dan mentalitas. Jadikan dedikit coretan ini sebagai awal untuk memahami dan melihat dunia lebih luas, peduli terhadap lingkungan terdekatmu. Jika tidak ada yang sesuai, jangan terus lari menghindar, ubahlah menjadi sebuah tantangan untuk mempelajari dan mendalami, apa yang tidak sesuai menjadi suatu kondisi yang sesuai, bukan hanya untuk dirimu, tetapi sesuai juga buat ligkunganmu. Hiduplah sebagai khalifah, sebagai anugerah bagi semesta alam. Bukan hanya untuk kesuksesanmu. Seperti filosofi garam, dia tidak terpampang dalam daftar menu makanan. Akan tetapi, dia menjadikan setiap masakan itu menjadi enak, tanpa garam semua akan menjadi terasa hambar.

Maukah kamu tidak dilihat dan tidak dipuji? Walaupun, sebenarnya semua itu kamu yang melakukan, will (not) you?

Maukah kamu menjadi cahaya?

change your life