Setiap manusia sekarang bangga akan identitas yang melekat pada dirinya. Contohnya saja sebuah nama gelar yang melengkapi namanya baik di depan atau dibelakang. Yang bisa menunjukkan tingkatan kelas akan ilmu yang ia telah tempuh. Walaupun belum pasti gelar yang tersanding di namanya didapat karena telah “lulus” atau hanya sekedar formalitas ritual yang harus dijalani untuk mendapati gelar tersebut.
Bukan hanya itu, secara tidak sadar pun kita sering mengidentitasikan diri kita sendiri ke dalam suatu kelompok tertentu. Dan kita bangga akan itu. Sekarang yang perlu diperhatikan ialah kitanya sebagai manusia apa identitas tersebut? Gelar? Apakah besok di alam sana hal tersebut akan ditanyakan? Kamu kalau tidak bergelar sarjana kamu tidak akan masuk surga. Atau kamu kalau tidak ikut dalam kelompok FPI kamu tidak akan mendapat surga. Begitukah?
Entah kita ini terlalu polos atau jujur terhadap dunia ini. Kita sudi untuk digiring sedemikian rupa sehingga kita lupa akan hakikat kita sebagai manusia. Kita dibuat terhijab oleh segala kefanaan. Oleh gegap gemerlap kehidupan mewah dunia. Oleh kesenangan, kecemburuan, kekuasaan, pangkat, jabatan yang selalu kita kejar demi mendapatkan penghidupan yang layak.
Sebenarnya saya sendiri pun takut kalau semua ini hanyalah sebuah pembelaan terhadap diri saya. Ketaatan ini bisa menjadi “jebakan batman” bagi si penulis. Jujur, ketaatan akan lebih menjerumuskan daripada kemaksiatan karena hal itu bisa tidak terlihat dan tidak disadari sama sekali.
Maka dari itu kita mesti memperhatikan dan lebih belajar untuk mengenali diri kita sendiri. Kenapa? Bukannya lebih baik kalau kita mempelajari ilmu yang bersangkutan dengan kemajuan baik bagi diri sendiri maupun sekitar kita? “kemajuan” disini berarti ada sedikit ego yang mendorong nafsu untuk menjadikan sesuatu lebih baik. Dalam bentuk apapun yang pasti itu berkaitan dengan apa yang diluar diri kita yang nanti mungkin akan berimbas pada dikenalnya atau pembuktian diri.
Kita masih sering salah berprasangka karena belum mengenalnya kita pada diri kita sendiri. Mengapa kita disini atau mengapa aku lahir, mengapa aku jadi manusia, bukan burung? Mengapa aku lapar, haus? Mengapa hanya aku, bukan dia, atau ia, atau mereka? Kita sering mengira bahwa dunia itu terlalu luas, padahal diri kita sebenarnya adalah lebih besar dari dunia itu, hanya prasangka kita menjadikan dunia itu terlipat-lipat.
Sebenarnya saya sendiri pun bukan seorang penulis atau seorang ahli, jadi ya sejalannya jari jemari mau menekan huruf apa aja, yang penting jalan gitu aja. Jangan diperhatiin, diikutin apalagi dipikir dalem-dalem. Yang enak-enak aja hidup itu, jangan dibikin serius.
Salah satu cara untuk mengenali diri kita sendiri ialah dengan mengetahui gelombang dimana kita berada. Gelombang disini merupakan suatu ahwal (keadaan) yang sangat mempengaruhi pemikiran kita, baik itu tentang dirinya, dunia, ataupun Tuhannya. Gelombang ini sangat menentukan arah dan tujuan seseorang. Gelombang ini terbagi dalam 3 tahap. Yang pertama merupakan gelombang terluar, paling terlihat di zaman sekarang ini. Lalu, ada gelombang pencarian, dan yang terakhir merupakan inti gelombang.
Gelombang terluar ini biasanya mencakup pandangan materialistik. Golongan yang termasuk dalam golongan ini masih terhijab oleh dunia ini. Dia lebih banyak disibukkan oleh urusan dunia, yang sejatinya tidak memiliki nilai keabadian di dalamnya. Karena semua urusan di dunia ini sebenarnya hanyalah kefanaan, hanya sendau gurau, bahkan kalau kita bisa melipat waktu hidup di dunia hanyalah “mampir ngombe kopi”.
Orang saling sikut sana-sini karena keegoisan masing-masing, akan rakusnya kekuasaan, pentingnya suatu jabatan. Orang yang ada dalam gelombang ini sudah terhalang oleh nafsu dan syahwat yang membungkus hati mereka. Naluri kecintaan pada alam semesta telah kabur, bahkan hilang sama sekali. Kalaupun ia beribadah yang ia minta hanyalah harta kekayaan dunia dengan alasan demi masa depan yang lebih baik.
Masa depan hanyalah misteri, masih ghaib, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali orang-orang yang telah dikaruniai penglihatan khusus oleh Tuhan. Sungguh “saru” ketika meminta masa depan yang lebih baik pada Tuhan akan tetapi itu hanya kepentingan dirinya sendiri atau setidaknya demi keluarganya. Bukan untuk Tuhan yang dia sembah, yang dia selalu mohon doa. Seakan-akan tuhan tidak pernah memikirkan masa depan kita walaupun hanya beberapa detik saja.
Orang yang berada di gelombang terluar ini juga selalu sibuk dengan urusan-urusan syariat. Mereka selalu memperdebatkan hal-hal khilafiyah yang sesungguhnya hal itu masih bisa ditolerir dalam urusan peribadatan. Bahkan mereka tak segan untuk mengkafirkan bahkan membid’ahkan orang lain walaupun mereka seagama. Yang mereka utamakan hanyalah dhohir atau penampilan mereka, akan tetapi batin mereka masih terhijab. Lisannya selalu penuh kebencian dan perpecahan seindah apapun mereka membungkusnya, sekalipun dengan bungkus agama. Tapi itu hanyalah sebatas kerongkongan, bagaikan anak panah yang meluncur cepat seperti apa yang Rasul pernah sampaikan, akan ada kelompok atau golongan di akhir zaman yang seperti itu. Wallahu’alam.
Ya begitulah kalau agama dijadikan sarana demi kepentingan politik atau kekuasaan. Mereka selalu mengatasnamakan agama. Agama harus dibela, demi menegakkan khilafah. Pethuk gak sih, lha wong kita yang butuh agama, agama gak perlu dibela pasti menang. Khilafah tidak perlu ditegakkan pasti nanti pada akhirnya dia akan menunjukkan kesejatiannya.
Bergurulah sama orang yang tidak pernah menampakkan dirinya, tetapi murid-muridnya lah yang selalu membuat beliau tersingkap. “People zaman now” sungguh mabuk dimabuk kepayang. Ketidakseimbangan serta ketidaksinambungan hubungan antara yang satu dengan yang lain itu sulit untuk ditemukan. Semuanya secara tidak langsung menggendong tendensinya masing-masing yang bernama identitas. Semua ingin merongrongkan ke-aku-annya, karena yang paling keras yang bakal paling banyak didompleng. Seenggaknya itulah yang terjadi jika kita masih berada pada gelombang pertama.
Yang kedua merupakan gelombang pencarian. Manusia yang berada dalam gelombang ini sudah sadar akan kebutuhan ruhaninya. Mereka hidup tidak hanya untuk memberi makan jasadnya, akan tetapi ada kesadaran jika hati mereka juga perlu diberi asupan. Jika tubuh ini tidak diberi makan aja bisa kering, begitu pula dengan hati ini. Kalau hati tidak diberi makanan yang sehat, maka hatinya pun akan condong ke ketidakjelasan yang tidak memiliki manfaat dalam kebutuhan ruhaninya.
Ibarat kata manusia yang sudah mengenal zuhud, dunia ini sudah tidak mereka anggap penting. Mereka sudah tidak memikirkan materi. Mereka sudah sibuk memberi makan hatinya dengan belajar tentang agama untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya. Mereka rindu akan kehidupan setelah di dunia ini yang fana.
Hal ini tak terlepas dari pendidikan zaman sekarang yang sudah maju. Semakin banyak formalitas pendidikan yang sudah mampu menembus batas-batas nalar. Akan tetapi sejalan dengan formalitas pendidikan yang sangat dibutuhkan, begitu pula hal ini terjadi juga pada gelombang ini. Ada yang sekedar formalitas belaka, ibarat mereka mencari Tuhannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi dengan sifat-sifat yang bertolak belakang dari ajaran yang dianutnya. Dari mulutnya keluar lafazh-lafazh Allah, tp itu hanya sebatas sampai di kerongkongan mereka.
Akibat model pendidikan zaman sekarang yang kembali lagi mengutamakan hasil yaitu berupa identitas. Maka ia tidak akan bisa sembunyi atau akan selalu bernafsu untuk menunjukkan ke-aku-annya. Walaupun ia sudah berzuhud, sudah menperdalam ilmu tassawuf, akan tetapi jika ada sedikit saja rasa untuk membanggakan itu, lenyaplah sudah.
Bagaimana mungkin bisa ia malah mencari perhatian para penduduk bumi, sedang penduduk langit yang sejati selalu memperhatikannya. Ia mengaku berzuhud, tetapi dalam hatinya masih penuh dengan riya. Disinilah terkadang ketaatan bisa berarti lebih menjerumuskan daripada berlaku maksiat. Maksiat itu jelas, sedang riya itu terkadang kita lupa kalau kita tidak berhati-hati dalam ketenaran. Makanya para pelaku zuhud yang sejati, para sufi lebih memilih sembunyi di balik tirai dunia yang selalu menghijabi pandangan mereka ke Sang Khaliq.
Biarlah aku tersesat dalam kefanaan ini
Menghilang dalam peradaban kemilau lentera malam
Mencari temaram dimana engkau sembunyi
Menyusuri tiap gelombang dalam lautan hening-Mu
Atau biarkan pandanganku ini salah terhadap kalian. Aku hanya menggerakkan jemariku, jemariku pun bergerak atas ijinNya. Lalu bagaimana semua tulisan ini dapat terurai begitu panjang lebar. Seakan menjudge suatu identitas, kelompok, ataupun aliran tertentu. Tidak, sama sekali tidak. Itu hanya prasangka kalian terhadap setiap jengkal huruf yang tak sengaja tertulis ini.
Dalam gelombang kedua ini yang memiliki arti pencarian. Seseorang tidak akan pernah menemukan kebenaran dari atau dalam dirinya. Ia selalu ragu terhadap apa yang ditemukannya. Jika itu baik, ia tidak dapat langsung menyingkap. Jika pun buruk, ia tidak bisa langsung menyesatkan. Seperti apapun kejadian yang menimpanya, selalu ia hadapi dengan penuh kewas-wasan. Walaupun ia tidak pernah berprasangka buruk, sekalipun itu musibah baginya. Dia berjalan dengan tunggangan laa hawla walaa quwwata illa billahi ‘alliyil ‘adzim. Dan ia mempuyai pandangan laa illaha illallah.
Tidak ada kebenaran kecuali satu kebenaran yang akan ditemukannya kelak, yaitu kematian. Semua ini hanyalah fana yang akan menimbulkan prasangka. Kita tidak bisa menemukan kebenaran, akan tetapi kita masih bisa memiliki keyakinan.
Selanjutnya adalah gelombang terakhir, yang tidak bisa dijelaskan karena begitu bijak dan arifnya manusia yang menyelam dalam gelombang ini. Manusia yang sudah zuhud pun kadang tidak bisa memahami apa yang menjadi keputusan manusia gelombang terakhir. Itulah gelombang Nur Muhammad. Semuanya sudah menjadi hakikat bagi dirinya.
Ada 3 perjanan menurut ulama dahulu, yang pertama hanya orang umum dan khusus aja yang bisa memahami, yang kedua hanya orang khusus aja yang mengerti karena zuhudnya mereka. Perjalanan terakhir baik dari golongan umum maupun khusus tidak bisa memahami kedaan perjalanan ini. Karena perjalanan terakhir ini sudah masuk kedalam hakikat dan menuju makrifat. Inilah gelombang ketiga, ketika manusia bakal benar-benar diuji sehingga ia bakal menemukan sebuah arti tentang hakikat hidup. Ketika seseorang tidak bersandar sama sekali kepada makhluk, kecuali hanya Sang Kekasih. Ketika seseorang bakal menerima semua hujatan di sekalilingnya tanpa pernah sekalipun ia membela dirinya.
Ia hidup bagaikan mayat tetapi selalu dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungannya. Tidak ada sedikitpun benih kebencian ataupun amarah jika yang dilihat semua itu hanyalah keindahan kasih sayangNya. Nafsu dan syahwat telah ia tundukkan. Hidupnya bukan untuk mencari Ridho, karena ia tahu kalau Tuhan selalu Ridho, hanya saja manusia yang terkadang tidak bisa selalu Ridho terhadap segala kejadian yang menimpanya.
Dhohir ini hanyalah kendaraan bagi ruhnya. Ia bagaikan binatang buas yang sangat susah ditundukkan oleh orang awan. Tapi bagi manusia gelombang ini, binatang buas ini sudah bisa ditaklukan. Ia menjadi kendaraan yang sangat ampuh untuk menerjang segala ujian daan musibah yang menimpanya. Raga itu jadi sangat tangguh. Dan semua ini hanya bisa disingkap oleh mata hati yang benar-benar murni dan diberi anugerah oleh Tuhan untuk melihatnya.
9 oktober 2017